PENGERTIAN TEORI SASTRA KRITIK SASTRA DAN SEJARAH SASTRA

Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, serta Sejarah Sastra 
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yg mengusut mengenai prinsip-prinsip, aturan, kategori, kriteria karya sastra yg membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori merupakan suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yg menerapkan pola pengaturan hubungan antara tanda-tanda-gejala yg diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang aturan-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan menurut suatu titik pandang eksklusif. 

Kritik sastra pula bagian menurut ilmu sastra. Istilah lain yang dipakai para pengkaji sastra merupakan telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk menciptakan suatu kritik yang baik, diharapkan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak pada menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, dominasi, dan pengalaman yg cukup pada kehidupan yang bersifat nonliterer, dan tentunya penguasaan tentang teori sastra. Sejarah sastra bagian berdasarkan ilmu sastra yg menyelidiki perkembangan sastra menurut ketika ke saat. Di dalamnya dipelajari karakteristik-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak -zenit karya sastra yg menghiasi dunia sastra, serta insiden-insiden yg terjadi pada seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra wajib mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, pembagian terstruktur mengenai, gaya, gejala-tanda-tanda yang terdapat, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik.

Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra 
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di pada karya sastra, baik konvensi bahasa yg meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, juga konvensi sastra yang mencakup tema, tokoh, penokohan, alur, latar, serta lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra adalah ilmu sastra yg mempelajari, menyelidiki, mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra merupakan penulis karya sastra serta sekaligus pembaca karya sastra. Untuk menaruh pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai menggunakan konvensi bahasa serta kesepakatan sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian jua terjadi interaksi antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra merupakan bagian menurut ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra berdasarkan ketika ke waktu, periode ke periode sebagai bagian berdasarkan pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu wilayah, suatu kebudayaan, diperoleh menurut penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menampakan terjadinya perbedaan-disparitas atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.

Teori, Kritik, Dan Sejarah Sastra
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, serta sejarah sastra telah poly ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol menjadi kritikus, dan Frederick A. Pottle, yg mempelajari sejarah sastra. Teori, kritik, serta sejarah sastra tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berafiliasi. Untuk mempelajarinya, kita wajib memilah perbedaan sudut pandang yg fundamental. 

Kesusastraan dapat ditinjau menjadi formasi karya yang sejajar, atau yg tersusun secara kronologis serta adalah bagian menurut proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra serta sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman menurut teori, kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu bisa dikaji satu persatu ad interim pada dalam buku teori sastra saja telah termasuk di dalamnya kritik serta sejarah sastra. Sehingga, tidak mungkin bisa disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra serta teori sastra, serta kritik sastra tanpa teori sastra serta sejarah sastra. 

Teori sastra dapat disusun menurut studi eksklusif terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat mengenai sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra nir mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan serta generalisasi.

Mengenai kritik dan sejarah sastra, terdapat yang berusaha untuk memisahkannya. Berawal berdasarkan pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria serta standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yg sudah lalu. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran serta sikap orang-orang menurut zaman yg dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati menggunakan masa silam serta kesukaan masa silam mengenai rekonstruksi sikap hayati, kebudayaan serta sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud buat mendeskripsikan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut berakibat tugas zaman serta karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra pun sudah terselesaikan. Apabila hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yg digambarkan sang pengarang berarti pembaca hanya sanggup menoleh ke zaman pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini . Sementara zaman lampau sangat tidak sinkron dengan zaman kini . Pembaca tentu mempunyai imajinasi dan interpretasi sendiri yang jauh tidak sama dengan yang mengalami masa lampau itu. 

Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus kini justru bisa menghilangkan makna drama tadi. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman yg berbeda antara zaman pengaran serta kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik dalam karya buat memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting buat kritik sastra. Kalau seorang kritikus yg nir peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia nir akan tahu status karya itu asli atau palsu serta beliau cenderung memberikan evaluasi yg sembrono. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

PENGERTIAN TEORI SASTRA KRITIK SASTRA DAN SEJARAH SASTRA

Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra 
Teori sastra artinya cabang ilmu sastra yang mengusut tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya menggunakan yang bukan sastra. Secara umum yg dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yg menerapkan pola pengaturan hubungan antara tanda-tanda-gejala yg diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan berdasarkan suatu titik pandang tertentu. 

Kritik sastra juga bagian berdasarkan ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra adalah jajak sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yg baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam mengkaji, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan, serta pengalaman yg relatif pada kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan mengenai teori sastra. Sejarah sastra bagian menurut ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra berdasarkan saat ke ketika. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa eksklusif, para sastrawan yg mengisi arena sastra, puncak -zenit karya sastra yg menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-insiden yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu aktivitas keilmuan sastra, seseorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra dari karakteristik, pembagian terstruktur mengenai, gaya, tanda-tanda-gejala yg terdapat, imbas yang melatarbelakanginya, ciri isi serta tematik.

Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra 
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di pada karya sastra, baik kesepakatan bahasa yg meliputi makna, gaya, struktur, pilihan istilah, maupun kesepakatan sastra yang mencakup tema, tokoh, penokohan, alur, latar, serta lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yg mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta menaruh penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra merupakan penulis karya sastra serta sekaligus pembaca karya sastra. Untuk menaruh pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa serta kesepakatan sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian jua terjadi hubungan antara teori sastra menggunakan sejarah sastra. Sejarah sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memeriksa perkembangan sastra berdasarkan saat ke saat, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh berdasarkan penelitian karya sastra yg dihasilkan para peneliti sastra yg memperlihatkan terjadinya perbedaan-disparitas atau persamaan-persamaan karya sastra dalam periode-periode tertentu. Secara holistik pada pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra serta kritik sastra terjalin keterkaitan.

Teori, Kritik, Dan Sejarah Sastra
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik serta sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tadi. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol menjadi kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mengusut sejarah sastra. Teori, kritik, serta sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling bekerjasama. Untuk mempelajarinya, kita wajib memilah disparitas sudut pandang yang mendasar. 

Kesusastraan dapat ditinjau sebagai gugusan karya yg sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra merupakan studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra serta sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yg berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, serta sejarah sastra. Bagaimana bisa disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu ad interim pada dalam buku teori sastra saja sudah termasuk pada dalamnya kritik serta sejarah sastra. Sehingga, tidak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra serta teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra serta sejarah sastra. 

Teori sastra bisa disusun berdasarkan studi pribadi terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik tentang suatu pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra serta sejarah sastra nir mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan serta generalisasi.

Mengenai kritik dan sejarah sastra, terdapat yang berusaha buat memisahkannya. Berawal menurut pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yg sudah kemudian. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran serta sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan khayalan, empati dengan masa silam dan kesukaan masa silam mengenai rekonstruksi sikap hayati, kebudayaan serta sebagainya. Hal ini bisa diasumsikan bahwa pengarang bermaksud buat menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tadi mengakibatkan tugas zaman serta karyanya tidak perlu diulas lagi serta kritik sastra pun sudah selesai. Apabila hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya sanggup menoleh ke zaman pengarang tadi. Tidak melihat ke masa sekarang. Sementara zaman lampau sangat tidak sama dengan zaman sekarang. Pembaca tentu mempunyai khayalan serta interpretasi sendiri yg jauh tidak sinkron dengan yg mengalami masa lampau itu. 

Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi sang kritikus kini justru bisa menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra mampu menyoroti karya sastra menggunakan sudut pandang zaman yang tidak sama antara zaman pengaran dan kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya buat memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting buat kritik sastra. Kalau seseorang kritikus yg tidak peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan dia cenderung menaruh penilaian yang sembrono. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

MAZHAB FRANKFURT DAN CHICAGO

Mazhab Frankfurt Dan Chicago 
Di waktu teknologi komunikasi massa mulai berkembangan sangat pesat pada tahun 1960-an muncul berbagai disparitas pendapat mengenai dampak komunikasi masa pada kalangan para tokoh-tokoh atau pakar-ahli ilmu komunikasi yg pada sebut mazhab atau aliran. Terdapat dua mazhab yang tidak sama pendapat tentang dampak tadi, yaitu mazhab Frankfurt serta Mazhab Chicago. 

MAZHAB FRANKFRUT
a. Mazhab frankfrut
Mazhab Frankfurt merupakan Mazhab atau genre yang asal dari negara Jerman. Penelitiannya dinamakan penelitian kritik (critical research) yang menampilkan teori komunikasi kritik. Aliran Frankfurt atau sering dikenal menjadi Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang timbul menurut lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai rakyat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yg ikut menciptakan dan mensugesti tindakan masyarakat tersebut. Yang dijadikan objek studi merupakan peranan media massa pada kehidupan terbaru dengan filosofi kritik dalam bentuk lain terhadap kritik Karl Marx. Bukan saja determinisme ekonomi yg ditentangnya, namun pula positivisme empirik.

Mazhab Frankfurt atau yang sering dikenal dengan Teori Kritis sendiri merupakan nama berdasarkan suatu cara berpikir serta sebuah aliran filsafat yg berkembang di Institut fur Sozialforschung (Lembaga Penelitian Sosial) pada Frankfurt, Jerman. Lembaga ini didirikan tahun 1924 sang Carl Grunberg menggunakan tujuan buat mengadakan penelitian-penelitian mengenai warga yg bernafaskan Sosialisme serta Marxisme.

b. Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci
Teori komunikasi kritik ini muncul saat terjadi aksi-aksi mahasiswa pada Eropa Barat pada tahun 1960-an khususnya di Jerman dalam tahun 1967 yang menuntut demokratisasi universitas. Aksi-aksi itu kemudian dilancarkan juga pada media massa yg dianggapnya tidak memperdulikan ketertiban, hukum, nir mengindahkan hakikat harapan politik para mahasiswa, terutama pada media cetak.

Teori komunikasi kritik itu semakin semarak, sehabis ada Jurgen Hubermas. Hubermas dikenal sebagai filsuf masa sekarang tentang kritisnya terhadap pemikiran Marxis. Dalam interaksi ini menjadi pengganti paradigma kerja, Habermas mengacu kepada paradigma komunikasi. 

Implikasi dari kerangka berpikir baru ini adalah memahami praxis emansipatoris menjadi obrolan-obrolan komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yg membuat pencerahan. Hal ini bertolak belakang dengan teori-teori Marxis klasik yg menempuh jalan revolusioner buat menjungkirbalikan struktur masyarakat demi terciptanya rakyat sosialis yang dicita-citakan. Habermas menempuh jalan mufakat dengan target terciptanya ”demokrasi radikal”, yaitu hubungan-interaksi soisal yang terjadi pada lingkup komunikasi bebas kekuasaan.

Cara berpikir genre Frankfurt bisa dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini merupakan membebaskan manusia menurut manipulasi teknokrasi modern. Khas jua bila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa wangsit Teori Kritis banyak didialogkan menggunakan aliran-genre besar filsafat – khususnya filsafat sosial dalam ketika itu. 

„Teori kritis menyatakan bahwa ternyata faktor primer perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, misalnya politik- sosiologi serta kebudayaan yg turut pula mempengaruhi dinamika sosial rakyat serta individu. Aliran frankfrut ingin memperjelas secara rasional struktur yg dimiliki sang warga pasca industri dan melihat dampak-akibat struktur tadi pada kehidupan insan serta dalam kebudayaan. Teori kritis ingin mengungkapkan hubungan manusia menggunakan bertolak dari pemahaman rasio fragmental.teori kritis ingin menciptakan teori yg mengkritik struktur dan konfigurasi warga aktual sebagai dampak menurut suatu pemahaman yg galat tentang rasionalitas“.

c. Para Pemikir serta Pakar Utama Mazhab Frankfrut
Aliran Frankfurt dipelopori sang Felix Weil dalam tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin konkret, waktu aliran Frankfurt dipimpin sang Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (pakar Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan serta psikolog), Herbert Marcuse (anak didik Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) serta lainnya yaitu Leo Lowenthal, Frans Neumann, Frans Oppenheimer, Alfred Schmidt, Jurgen Habermas, Oskar Negt, susan Buck morss serta terakhir Axel Honneth.

d. Teori-Teori yg tergabung ke pada Mazhab Frankfrut
1. Rasionalitas Positif-Negative (J.hebermass)
"pemikiran Habermas menoleh kedalam 2 hal, yakni disatu sisi pada sistem menggunakan mekanisme dominasi dan penyimpangan yang diakibatkannya kepada dunia kehidupan, serta disisi lain pada perumusan pemikiran buat membentuk tatanan yang lebih bermoral.merumuskan 2 macam rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental, yang adalah bentuk rasionalitas yang membenarkan sistem penindasan sang akal sistem administrasi serta ekonomi kapitalis buat mencapai efiensi serta efektifitas sebanyak-besarnya demi laba yg bersifat strategik, dan rasionalitas komunikatif, yg berupaya mewujudkan penciptaan ruang publik kritis serta memiliki potensi buat mencapai emansipasi melalui komunikasi yang bebas dominasi dan setara. Untuk mudahnya, kita sanggup menciptakan distingsi antara rasionalitas negatif, yakni rasionalitas instrumental, dan rasionalitas positif, yakni rasionalitas komunikatif. Akar dari semua pertarungan sosial pada masa ini, berdasarkan Habermas, terletak terjadinya distorsi komunikasi yang diakibatkan sang nalar rasionalitas instrumental didalam sistem birokrasi pemerintahan dan sistem ekonomi “merangsek” masuk kedalam dunia kehidupan yg seharusnya bersifat komunikatif".

2. Teori intervensi (Antonio Gramsci)
"Hegemoni merupakan bisa diartikan menjadi suatu syarat pada mana kelas yang berkuasa sanggup mengadakan kepemimpinan moral dan intelektual (moral and intellectual leadership). Hegemoni berlangsung secara ideologis (by ideology), Ideologi dalam pandangan Gramsci nir hanya dilandasi oleh sistem ekonomi saja namun tertanam secara dalam pada seluruh aktifitas warga . Sehingga, ideologi berartikulasi pada kehidupan dengan nir dipaksakan oleh satu kelompok tetapi adalah menembus serta diluar kesadaran.gramsci menyebutkan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses dominasi kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung inspirasi-pandangan baru kelas mayoritas. Di sini penguasaan dilakukan nir dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan warga yg dikuasai.bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai rakyat secara umum dikuasai dilakukan dengan dominasi basis-basis pikiran, kemampuan kritis, serta kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui mufakat yg menggiring pencerahan masyarakat mengenai kasus-kasus sosial ke pada pola kerangka yg ditentukan lewat birokrasi (warga secara umum dikuasai). Di sini terlihat adanya bisnis buat menaturalkan suatu bentuk dan makna gerombolan yang berkuasa .

3. Teori Ingatan dan Sejarah Masa Lalu Manusia, Walter Benjamin (1892-1940)
Menurut Benjamin, masa lalu serta masa sekarang memiliki hubungan sekaligus berada dalam sebuah konstelasi, bukan demi memiliki dirinya sendiri. Masa lalu mempunyai potensi sejarah di masa sekarang serta masa mendatang. Singkatnya, masa lalu sendiri memiliki arti bagi masa kini . Sehinga insan sekarang selalu harus bisa merajut rekanan yang bermakna menggunakan pergulatan historis masa kemudian pada wujud perilaku solidaritas, yakni kita berjalan maju dalam sejarah dengan "muka menghadap masa lalu serta punggung membelakangi masa depan".

Paham atau pemikiran Benjamin demikian ada berdasarkan refleksi dirinya atas sejarah kehidupan manusia dalam bentuk kritik dirinya terhadap paham historisisme, yang pula secara khusus dia kenakan kepada diri Horkheimer yang mengungkapkan bahwa sejarah insan merupakan tertutup-closed. Artinya, sejarah kemanusiaan masa lalu sudah tertutup pada masa kemudian serta nir mempunyai relevansi apa pun menggunakan sejarah masa kini . 

4. Teori Keterpisahan Eksistensial (Erich Fromm)
"Fromm merumuskan keterpisahan eksistensial ini dalam kecemasan. Ia berusaha mengangkat perasaan cemas serta kekalutan yg dialami insan bahwa mereka akan ditinggalkan sang orang-orang yg mereka kasihi atau mereka akan lebih dulu meningglkan orang-orang terkasihnya. Kecemasan dampak keterpisahan eksistensial ini sama dengan sebuah kesendirian." 

Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan mengatasi keterpisahan itu dengan menenggelamkan diri dalam keadaan orgiastik. Mereka menghendaki pengalaman trance buat melepaskan keterpisahan. Trance ini sendiri bisa melalui dalam diri insan yakni pada apa yg disebutnya syarat terdalam kemanusiaan, spiritualitas, atau rohani. Bisa pula dengan bantuan alkohol dan obat bius tetapi sifatnya ad interim. Cara lain adalah melalui aktivitas seksual. 

5. Teori Tindakan komunikatif (Communicative Action Theory), J.hebermas
Teori tindakan komunikatif menyatakan adanya situasi ideal (ideal speech situation) yg memungkinkan manusia melakukan komunikasi secara terbuka serta setara sebagai basis bagi terciptanya kesungguhan (sincerity), kejujuran (truthfulness) dan hubungan yg intelektual (intelligibility).

6. Framing Analysis (Erving Goffman 1974)
"Goffman bergeser berdasarkan cara pandang interaksionisme simbolik menuju studi struktur kehidupan sosial berskala mini . Ia melakukan kajian atas sekian poly struktur yang nir terlihat pada rakyat yg membentuk peristiwa atau tindakan manusia yang bermakna. Kerangka (frame adalah prinsip organisasi yang memberi definisi atas pengalaman kita. Frame menaruh kita asumsi terhadap apa yang kita lihat dalam kehidupan sosial) "

7. Public Opinion Theory (Walter Lippmann 1922)
Istilah “komunikasi massa” yg secara umum kita kenal, dalam massa itu belum dikenal, yang digunakan merupakan istilah “public opinion”. Lippmann pula menyatakan bahwa kiprah media massa pada membangun opini public. Yang sebagai konsen Lippman merupakan kebutuhan akan kebebasan media massa yang secara normative serta public yang terinformasikan.

8. Symbolik Interactionalism Theory (Mead)
Menurut perspektif hubungan simbolik, konduite manusia harus pada pahami menurut sudut pandang subyek. Teori ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi insan menggunakan menggunakan simbol-simbol. Inti pada penelitian ini merupakan mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-simbol yg merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan sesame. Makna yg mereka berikan kepada objek dari berdasarkan hubungan sosial serta dapat berubah selama interaksi itu berlangsung. Inti berdasarkan teori hubungan simbolik merupakan “self” atau diri. Mead menganggap konsep diri merupakan suatu proses yg asal dari interaksi sosial individu dengan orang lain ( D. Mulyana, 2001:73 ). 

Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat dalam objek, melainkan dinegosiasikan pada penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena insan mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa ( bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau insiden itu).(Arnold M Rose 1974:143 dalam D.mulyana 2001:72).

Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas lantaran peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yg lalu memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yg mereka hasilkan bukan berasal menurut faktor eksternal ataupun didapat menurut proses mekanis, tetapi lebih bergantung dari bagaimana individu tadi mendefinisikan apa yg mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yg dapat menaruh pemaknaan serta melakukan respon dalam kehidupan sosialnya.

Namun, makna yang merupakan output interpretasi individu bisa berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan berdasarkan faktor-faktor yg berkaitan dengan bentuk fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku insan) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tadi didukung pula dengan faktor bahwa individu bisa melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu bisa melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari serta memikirkan cara lain kata yg akan beliau ucapkan. 
9. Ideology and Communication Theory (Stuart Hall)
10. Dialectical Differentiation of Emansipathory
11. Dialctic of Enlightenment
12. Instrumentalisme Political Economy Theory (Gramsci & Adorno)

MAZHAB CHICAGO
a. Mazhab Chicago
Mazhab Chicago adalah Mazhab atau aliran yg bewrasal berdasarkan Amerika Serikat. Mazhab Chicago menggunakan positivisme empirik menitikberatkan penelitiannya pada pemecahan perkara kriminal, prostitusi, dan perkara-perkara lainnya yang timbul akibat industrialisasi serta urbanisasi yg berlangsung sangat cepat pada Amerika.

Pada masa puncaknya kejayaan Mazhab Chicago, penelitian komunikasi poly dilakukan dengan metode kuantitatif, diantaranya menjadi akibat dari pendanaan yg disediakan sang sponsor. Sebagai konsekuensinya, penelitian yang semula merupakan kegiatan kreatif perorangan menjadi pekerja secara borongan. Penelitan banyak dilakukan terhadap persuasi, propaganda, serta efek pribadi berdasarkan media massa dalam khalayak. Penelitian komunikasi menggunakan fokus dalam pengaruh pribadi itu, adalah dampak contoh linear menurut Shannon serta Weaver.

Aliran tadi menyadari bahwa media komunikasi memiliki keperkasaan dalam mempengaruhi masyarakat. Oleh karena itu media massa perlu melakukan penyempurnaan secara sinambung agar acaranya, pengolahannya, penyajiannya, serta penyebarannya sebagai lebih efektif serta efisien.

“genre empirik menekankan pada pengaruh komunikasi dalam khalayak dengan melakukan analisis isi (content analysis) dalam rangka menarik kesimpulan tentang impak komunikasi,”

b. Tokoh-Tokoh dalam Mazhab Chicago
Mazhab Chicago tokoh-tokohnya adalah Robert Ezra Park, Harold D. Lasswell, Bernard Berelson, Robert K. Merton, Daniel Lener, Ithiel Da Sola Pool, Wilbur Schramm, Charles Wright, David Berlo, serta lain-lain.

c. Teori-Teori yg tergabung ke pada Mazhab Chicago
a. Model Lasswell
Harold Lasswell, pada artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model komunikasi yang sederhana dan tak jarang dikutif poly orang yakni: Siapa (Who), berbicara apa (Says what), pada saluran yang mana (in which channel), pada siapa (to whom) serta efek misalnya apa (what that effect) (Littlejhon, 1996). 

b. Teori Komunikasi 2 tahap dan pengaruh antar pribadi
Teori ini berawal berdasarkan output penelitian Paul Lazarsfeld dkk tentang imbas media massa dalam kampanye pemilihan umum tahun 1940. Studi ini dilakukan dengan asumsi bahwa proses stimulus bekerja dalam membuat pengaruh media massa. Tetapi hasil penelitian membuktikan kebalikannya. Efek media massa ternyata rendah dan perkiraan stimulus respon tidak cukup mendeskripsikan empiris audience media massa dalam penyebaran arus berita dan menentukan pendapat umum.

Teori serta penelitian-penelitian komunikasi dua termin memiliki asumsi-perkiraan sebagai berikut: 
1) Individu nir terisolasi berdasarkan kehidupan sosial, tetapi merupakan anggota dari kelompok-kelompok sosial pada berinteraksi menggunakan orang lain.
2) Respon serta rekasi terhadap pesan berdasarkan media nir akan terjadi secara pribadi serta segera, tetapi melalui perantaraan serta ditentukan sang hubungan-hubungan sosial tadi.
3) Ada dua proses yg langsung, yang pertama mengenai penerima serta perhatian, yg kedua berkaitan dengan espon pada bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya mensugesti atau mengungkapkan liputan.
4) Individu tidak bersikap sama terhadap pesan/kampanye media, melainkan memiliki berbagai peran yg tidak sinkron dalam proses komunikasi, serta khususnya dapat dibagi atas mereka yang secara aktif mendapat serta meneruskan/enyebaran gagasan berdasarkan media, serta mereka yg sematamata hanya mengandalkan interaksi personil dengan orang lain sebagai penentunya.
5) individu-individu yang berperan lebih aktif (pemuka pendapat) ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih akbar, tingkat pergaulan yang lebih tinggi, anggapan bahwa didinya berpengaruh terhadap orang lain, serta mempunyai peran menjadi asal keterangan serta panutan.

c. Uses and Gratifications Theory (Teori Kegunaan serta Kepuasan)
Teori ini pertama kali diperkenalkan sang Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini mengungkapkan bahwa pengguna media memainkan kiprah aktif buat menentukan dan memakai media tadi. Dengan kata lain, pengguna media merupakan pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari asal media yang paling baik di pada usaha memenhi kebutuhannya. Artinya pengguna media memiliki pilihan cara lain buat memuaskan kebutuhannya.

Elemen dasar yang mendasari pendekatan teori ini (Karl pada Bungin, 2007): (1) Kebutuhan dasar tertentu, pada interaksinya dengan (2) berbagai kombinasi antara intra serta ekstra individu, dan pula menggunakan (3) struktur rakyat, termasuk struktur media, menghasilkan (4) aneka macam percampuran personal individu, serta (lima) persepsi mengenai solusi bagi problem tadi, yang menghasilkan (6) banyak sekali motif buat mencari pemenuhan atau penyelesaian duduk perkara, yang menghasikan (7) perbedaan pola konsumsi media dan (8) perbedaan pola konduite lainnya, yang menyebabkan (9) perbedaan pola konsumsi, yg bisa memengaruhi (10) kombinasi karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus akan memengaruhi pula (11) struktur media serta banyak sekali struktur politik, kultural, dan ekonomi pada masyarakat.

d. Uses and Effects Theory
Pertama kali dikemukakan Sven Windahl (1979), adalah sintesis antara pendekatan uses and gratifications serta teori tradisional tentang pengaruh. Konsep use (penggunaan) adalah bagian yg sangat penting atau pokok dari pemikiran ini. Lantaran pengetahuan tentang penggunaan media akan menaruh jalan bagi pemahaman dan asumsi tentang hasil berdasarkan suatu proses komunikasi massa. Penggunaan media bisa mempunyai poly arti. Ini dapat berarti exposure yang semata-mata memilih dalam tindakan mempersepsi. Dalam konteks lain, pengertian tadi bisa sebagai suatu proses yg lebih kompleks, dimana isi terkait harapan-asa tertentu buat bisa dipenuhi, fokus menurut teori ini lebih kepada pengertian yang kedua.

e. Teori Agenda Setting
Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs serta DL Shaw (1972). Asumsi teori ini merupakan bahwa bila media memberi tekanan dalam suatu insiden, maka media itu akan mempengaruhi khalayak buat menganggapnya krusial. Jadi apa yg dianggap krusial media, maka krusial jua bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan mempunyai imbas yang sangat kuat, terutama karena perkiraan ini berkaitan menggunakan proses belajar bukan menggunakan perubahan sikap dan pendapat.

f. Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa (Dependention of Mass Communication Effect Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeachdan Melvin L. DeFluer (1976), yg memfokuskan pada syarat struktural suatu masyarakat yg mengatur kesamaan terjadinya suatu dampak media massa. Teori ini berangkat menurut sifat rakyat terbaru, diamana media massa diangap sebagai sistem berita yang mempunyai peran krusial dalam proses memelihara, perubahan, serta konflik dalam tataran warga ,grup, serta individu pada kegiatan sosial. 

Secara ringkas kajian terhadap dampak tersebut bisa dirumuskan bisa dirumuskan menjadi berikut: 
1. Kognitif, menciptakan atau menghilangkan bermakna ganda, pembentukan sikap, agenda-setting, ekspansi sistem keyakinan warga , penegasan/ penerangan nilai-nilai.
2. Afektif, membentuk ketakutan atau kecemasan, dan menaikkan atau menurunkan dukungan moral.
3. Behavioral, mengaktifkan atau menggerakkan atau meredakan, pembentukan info eksklusif atau penyelesaiannya, menjangkau atau menyediakan taktik buat suatu kegiatan dan mengakibatkan konduite dermawan.

g. The Spiral of Silence Theory (Teori Spiral Keheningan)
Teori the spiral of silence (spiral keheningan) dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neuman (1976), berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya pendapat umum. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya pendapat generik dipengaruhi sang suatu proses saling mensugesti antara komunikasi massa, komunikasi antar eksklusif, dan persepsi individu tentang pendapatnya pada hubungannya menggunakan pendapat orang-orang lain pada masyarakat. 

h. Stimulus – Respons Teory
Pada dasarnya merupakan prinsip belajar yg sederhana, dimana dampak adalah reaksi terhadap stimulus eksklusif. Dengan demikian, seorang bisa menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media serta reaksi audience. Elemen-elemen primer teori ini dari McQuail (1996):
a. Pesan (stimulus)
b. Seorang penerima atau receiver
c. Efek (respons)

Dalam masyarakat massa, prinsip S- R mengansumsikan bahwa pesan berita dipersiapkan oleh media dan didistribusikan secara sistematis pada sekala yg luas. Sehingga secara serempak pesan tersebut dapat diterima oleh sejulah akbar individu, bukan ditujukan kepada orang per orang. Kemudian sejumlah akbar individu itu akan merespons warta itu.

i. Information Seeking Theory
Donohew serta Tipton (1973), menyebutkan mengenai pencarian, penginderaan, serta pemrosesan kabar, disebut mempunyai akar dari pemikiran psikologi sosial tentang sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari warta yg nir sesuai menggunakan image of reality-nya lantaran berita itu sanggup saja membahayakan.

j. Information Gaps Theory
Dalam membahas efek jangka panjang komunikasi massa, krusial dikemukkan pokok bahasan tentang celah pengetahuan (information gaps). Latar belakang pemikiran ini terbentuk oleh arus warta yg terus semakin tinggi, yang sebagian akbar dilakukan oleh media massa. Secara teoritis peningkatan ini akan menguntungkan setiap orang pada masyrakat lantaran setiap individu memiliki kemungkinan buat mengetahui apa yg terjadi di dunia buat memperluas wawasan.

k. Teori Konstruksi sosial media massa
Gagasan awal dari teori ini adalah buat mengoreki teori konstruksi sosial atas realitas yang dibangun sang Peter L Berrger serta Thomas Luckmann (1966, The social construction of reality. A Treatise in the sociology of knowledge. Tafsir sosial atas kenyataan: sebuah selebaran tentang sosisologi pengetahuan). Mereka menulis mengenai konstruksi sosial atas realitas sosial dibangun secara simultan melalui tiga proses, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses simultan ini terjadi antara individu satu menggunakan lainnya pada pada masyrakat. Bangunan empiris yang tercipta karena proses sosial tadi merupakan objektif, subjektif, dan simbolis atau intersubjektif.

MAZHAB FRANKFURT DAN CHICAGO

Mazhab Frankfurt Dan Chicago 
Di ketika teknologi komunikasi massa mulai berkembangan sangat pesat pada tahun 1960-an timbul aneka macam disparitas pendapat mengenai imbas komunikasi masa di kalangan para tokoh-tokoh atau ahli-ahli ilmu komunikasi yg pada sebut mazhab atau aliran. Terdapat dua mazhab yang tidak sinkron pendapat mengenai impak tadi, yaitu mazhab Frankfurt serta Mazhab Chicago. 

MAZHAB FRANKFRUT
a. Mazhab frankfrut
Mazhab Frankfurt adalah Mazhab atau aliran yang asal berdasarkan negara Jerman. Penelitiannya dinamakan penelitian kritik (critical research) yang menampilkan teori komunikasi kritik. Aliran Frankfurt atau tak jarang dikenal menjadi Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) adalah sekelompok pemikir sosial yang ada berdasarkan lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis tentang masyarakat pasca-industri serta konsep mengenai rasionalitas yang ikut menciptakan dan menghipnotis tindakan masyarakat tersebut. Yang dijadikan objek studi adalah peranan media massa dalam kehidupan terbaru menggunakan filosofi kritik pada bentuk lain terhadap kritik Karl Marx. Bukan saja determinisme ekonomi yang ditentangnya, namun pula positivisme empirik.

Mazhab Frankfurt atau yg tak jarang dikenal menggunakan Teori Kritis sendiri adalah nama berdasarkan suatu cara berpikir dan sebuah genre filsafat yg berkembang di Institut fur Sozialforschung (Lembaga Penelitian Sosial) di Frankfurt, Jerman. Lembaga ini didirikan tahun 1924 sang Carl Grunberg menggunakan tujuan buat mengadakan penelitian-penelitian tentang warga yang bernafaskan Sosialisme dan Marxisme.

b. Sejarah serta Asumsi-Asumsi Kunci
Teori komunikasi kritik ini ada ketika terjadi aksi-aksi mahasiswa pada Eropa Barat dalam tahun 1960-an khususnya pada Jerman dalam tahun 1967 yang menuntut demokratisasi universitas. Aksi-aksi itu lalu dilancarkan pula kepada media massa yg dianggapnya nir memperdulikan ketertiban, hukum, nir mengindahkan hakikat impian politik para mahasiswa, terutama pada media cetak.

Teori komunikasi kritik itu semakin semarak, selesainya timbul Jurgen Hubermas. Hubermas dikenal sebagai filsuf masa sekarang mengenai kritisnya terhadap pemikiran Marxis. Dalam interaksi ini sebagai pengganti kerangka berpikir kerja, Habermas mengacu kepada paradigma komunikasi. 

Implikasi menurut kerangka berpikir baru ini merupakan tahu praxis emansipatoris sebagai obrolan-obrolan komunikatif serta tindakan-tindakan komunikatif yang membuat pencerahan. Hal ini bertolak belakang menggunakan teori-teori Marxis klasik yang menempuh jalan revolusioner buat menjungkirbalikan struktur masyarakat demi terciptanya warga sosialis yang dicita-citakan. Habermas menempuh jalan konsensus menggunakan sasaran terciptanya ”demokrasi radikal”, yaitu hubungan-interaksi soisal yang terjadi dalam lingkup komunikasi bebas kekuasaan.

Cara berpikir genre Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik rakyat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini merupakan membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi terkini. Khas jua bila teori ini berinspirasi dalam pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa pandangan baru Teori Kritis poly didialogkan dengan aliran-aliran akbar filsafat – khususnya filsafat sosial pada saat itu. 

„Teori kritis menyatakan bahwa ternyata faktor primer perubahan sosial nir terletak dalam faktor ekonomi saja, namun terdapat faktor-faktor lain, seperti politik- sosiologi dan kebudayaan yg turut pula mempengaruhi dinamika sosial rakyat dan individu. Aliran frankfrut ingin memperjelas secara rasional struktur yg dimiliki sang masyarakat pasca industri serta melihat dampak-akibat struktur tersebut dalam kehidupan insan serta dalam kebudayaan. Teori kritis ingin menjelaskan interaksi insan dengan bertolak dari pemahaman rasio fragmental.teori kritis ingin menciptakan teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual menjadi dampak dari suatu pemahaman yang galat tentang rasionalitas“.

c. Para Pemikir dan Pakar Utama Mazhab Frankfrut
Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil dalam tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin sang Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (pakar Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), Herbert Marcuse (murid Heidegger yg fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya yaitu Leo Lowenthal, Frans Neumann, Frans Oppenheimer, Alfred Schmidt, Jurgen Habermas, Oskar Negt, susan Buck morss serta terakhir Axel Honneth.

d. Teori-Teori yg tergabung ke dalam Mazhab Frankfrut
1. Rasionalitas Positif-Negative (J.hebermass)
"pemikiran Habermas menoleh kedalam dua hal, yakni disatu sisi kepada sistem menggunakan mekanisme penguasaan dan distorsi yang diakibatkannya pada global kehidupan, dan disisi lain kepada perumusan pemikiran buat menciptakan tatanan yang lebih bermoral.merumuskan 2 macam rasionalitas, yakni rasionalitas fragmental, yg merupakan bentuk rasionalitas yg membenarkan sistem penindasan oleh logika sistem administrasi serta ekonomi kapitalis buat mencapai efiensi dan efektifitas sebesar-besarnya demi keuntungan yg bersifat strategik, dan rasionalitas komunikatif, yg berupaya mewujudkan penciptaan ruang publik kritis serta memiliki potensi untuk mencapai emansipasi melalui komunikasi yg bebas dominasi serta setara. Untuk mudahnya, kita sanggup menciptakan distingsi antara rasionalitas negatif, yakni rasionalitas instrumental, dan rasionalitas positif, yakni rasionalitas komunikatif. Akar berdasarkan seluruh pertarungan sosial kontemporer, berdasarkan Habermas, terletak terjadinya distorsi komunikasi yg diakibatkan sang akal rasionalitas fragmental didalam sistem birokrasi pemerintahan serta sistem ekonomi “merangsek” masuk kedalam dunia kehidupan yg seharusnya bersifat komunikatif".

2. Teori intervensi (Antonio Gramsci)
"Hegemoni merupakan bisa diartikan sebagai suatu syarat pada mana kelas yg berkuasa sanggup mengadakan kepemimpinan moral serta intelektual (moral and intellectual leadership). Hegemoni berlangsung secara ideologis (by ideology), Ideologi dalam pandangan Gramsci tidak hanya dilandasi sang sistem ekonomi saja namun tertanam secara pada dalam semua aktifitas warga . Sehingga, ideologi berartikulasi pada kehidupan menggunakan nir dipaksakan oleh satu grup tetapi merupakan menembus dan diluar pencerahan.gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses dominasi kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah pula aktif mendukung pandangan baru-pandangan baru kelas lebih banyak didominasi. Di sini penguasaan dilakukan tidak menggunakan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yg dikuasai.bentuk-bentuk persetujuan rakyat atas nilai-nilai rakyat lebih banyak didominasi dilakukan menggunakan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, serta kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui mufakat yang menggiring pencerahan masyarakat tentang perkara-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang dipengaruhi lewat birokrasi (warga lebih banyak didominasi). Di sini terlihat adanya usaha buat menaturalkan suatu bentuk serta makna gerombolan yg berkuasa .

3. Teori Ingatan serta Sejarah Masa Lalu Manusia, Walter Benjamin (1892-1940)
Menurut Benjamin, masa lalu serta masa sekarang mempunyai hubungan sekaligus berada dalam sebuah konstelasi, bukan demi memiliki dirinya sendiri. Masa lalu memiliki potensi sejarah di masa sekarang serta masa mendatang. Singkatnya, masa kemudian sendiri mempunyai arti bagi masa kini . Sehinga insan sekarang selalu wajib bisa merajut relasi yang bermakna menggunakan pergulatan historis masa lalu pada wujud sikap solidaritas, yakni kita berjalan maju dalam sejarah dengan "muka menghadap masa kemudian serta punggung membelakangi masa depan".

Paham atau pemikiran Benjamin demikian muncul berdasarkan refleksi dirinya atas sejarah kehidupan manusia dalam bentuk kritik dirinya terhadap paham historisisme, yang juga secara khusus beliau kenakan kepada diri Horkheimer yg berkata bahwa sejarah manusia merupakan tertutup-closed. Artinya, sejarah kemanusiaan masa kemudian sudah tertutup pada masa kemudian dan tidak memiliki relevansi apa pun dengan sejarah masa sekarang. 

4. Teori Keterpisahan Eksistensial (Erich Fromm)
"Fromm merumuskan keterpisahan eksistensial ini dalam kecemasan. Ia berusaha mengangkat perasaan cemas serta kekalutan yang dialami manusia bahwa mereka akan ditinggalkan oleh orang-orang yg mereka kasihi atau mereka akan lebih dulu meningglkan orang-orang terkasihnya. Kecemasan dampak keterpisahan eksistensial ini sama dengan sebuah kesendirian." 

Salah satu cara buat memenuhi kebutuhan mengatasi keterpisahan itu dengan menenggelamkan diri dalam keadaan orgiastik. Mereka menghendaki pengalaman trance buat melepaskan keterpisahan. Trance ini sendiri sanggup melalui pada diri insan yakni dalam apa yg disebutnya syarat terdalam kemanusiaan, spiritualitas, atau rohani. Bisa pula menggunakan bantuan alkohol serta obat bius namun sifatnya sementara. Cara lain merupakan melalui kegiatan seksual. 

5. Teori Tindakan komunikatif (Communicative Action Theory), J.hebermas
Teori tindakan komunikatif menyatakan adanya situasi ideal (ideal speech situation) yg memungkinkan manusia melakukan komunikasi secara terbuka serta setara sebagai basis bagi terciptanya kesungguhan (sincerity), kejujuran (truthfulness) serta hubungan yang intelektual (intelligibility).

6. Framing Analysis (Erving Goffman 1974)
"Goffman bergeser berdasarkan cara pandang interaksionisme simbolik menuju studi struktur kehidupan sosial berskala mini . Ia melakukan kajian atas sekian poly struktur yg tidak terlihat dalam masyarakat yg membentuk insiden atau tindakan insan yg bermakna. Kerangka (frame merupakan prinsip organisasi yang memberi definisi atas pengalaman kita. Frame menaruh kita asumsi terhadap apa yang kita lihat pada kehidupan sosial) "

7. Public Opinion Theory (Walter Lippmann 1922)
Istilah “komunikasi massa” yg secara umum kita kenal, dalam massa itu belum dikenal, yang digunakan adalah kata “public opinion”. Lippmann pula menyatakan bahwa peran media massa pada membentuk opini public. Yang sebagai konsen Lippman merupakan kebutuhan akan kebebasan media massa yang secara normative dan public yang terinformasikan.

8. Symbolik Interactionalism Theory (Mead)
Menurut perspektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di pahami berdasarkan sudut pandang subyek. Teori ini memandang bahwa kehidupan sosial dalam dasarnya merupakan hubungan manusia menggunakan memakai simbol-simbol. Inti pada penelitian ini merupakan mengungkap bagaimana cara insan memakai simbol-simbol yang merepresentasikan apa yg akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi menggunakan sesame. Makna yg mereka berikan kepada objek berasal menurut hubungan sosial serta dapat berubah selama interaksi itu berlangsung. Inti berdasarkan teori interaksi simbolik adalah “self” atau diri. Mead menduga konsep diri merupakan suatu proses yg berasal berdasarkan hubungan sosial individu menggunakan orang lain ( D. Mulyana, 2001:73 ). 

Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak inheren dalam objek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan lantaran insan sanggup menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa ( bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau insiden itu).(Arnold M Rose 1974:143 dalam D.mulyana 2001:72).

Terbentuknya makna dari sebuah simbol tidak tanggal lantaran peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu pada kehidupan sosial selalu merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yang lalu memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yg mereka hasilkan bukan asal dari faktor eksternal ataupun didapat berdasarkan proses mekanis, namun lebih bergantung menurut bagaimana individu tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yg dapat memberikan pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya.

Namun, makna yang adalah hasil interpretasi individu bisa berubah dari saat ke saat, sejalan dengan perubahan berdasarkan faktor-faktor yg berkaitan menggunakan bentuk fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tadi didukung juga menggunakan faktor bahwa individu bisa melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tadi dapat berwujud proses membayangkan atau merencanakan apa yg akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari serta memikirkan alternatif istilah yg akan ia ucapkan. 
9. Ideology and Communication Theory (Stuart Hall)
10. Dialectical Differentiation of Emansipathory
11. Dialctic of Enlightenment
12. Instrumentalisme Political Economy Theory (Gramsci & Adorno)

MAZHAB CHICAGO
a. Mazhab Chicago
Mazhab Chicago merupakan Mazhab atau genre yg bewrasal dari Amerika Serikat. Mazhab Chicago dengan positivisme empirik menitikberatkan penelitiannya pada pemecahan perkara kriminal, prostitusi, dan masalah-kasus lainnya yg muncul akibat industrialisasi dan urbanisasi yang berlangsung sangat cepat pada Amerika.

Pada masa puncaknya kejayaan Mazhab Chicago, penelitian komunikasi banyak dilakukan dengan metode kuantitatif, diantaranya sebagai dampak menurut pendanaan yang disediakan sang sponsor. Sebagai konsekuensinya, penelitian yg semula merupakan aktivitas kreatif perorangan sebagai pekerja secara borongan. Penelitan banyak dilakukan terhadap persuasi, propaganda, serta impak pribadi berdasarkan media massa dalam khalayak. Penelitian komunikasi dengan penekanan pada impak pribadi itu, adalah impak contoh linear dari Shannon dan Weaver.

Aliran tersebut menyadari bahwa media komunikasi mempunyai keperkasaan pada mempengaruhi rakyat. Oleh karenanya media massa perlu melakukan penyempurnaan secara sinambung supaya acaranya, pengolahannya, penyajiannya, serta penyebarannya menjadi lebih efektif serta efisien.

“aliran empirik menekankan pada pengaruh komunikasi pada khalayak dengan melakukan analisis isi (content analysis) dalam rangka menarik kesimpulan tentang dampak komunikasi,”

b. Tokoh-Tokoh pada Mazhab Chicago
Mazhab Chicago tokoh-tokohnya merupakan Robert Ezra Park, Harold D. Lasswell, Bernard Berelson, Robert K. Merton, Daniel Lener, Ithiel Da Sola Pool, Wilbur Schramm, Charles Wright, David Berlo, dan lain-lain.

c. Teori-Teori yang tergabung ke dalam Mazhab Chicago
a. Model Lasswell
Harold Lasswell, pada artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan contoh komunikasi yg sederhana serta acapkali dikutif poly orang yakni: Siapa (Who), berbicara apa (Says what), pada saluran yg mana (in which channel), pada siapa (to whom) serta efek misalnya apa (what that effect) (Littlejhon, 1996). 

b. Teori Komunikasi dua termin dan efek antar pribadi
Teori ini berawal menurut hasil penelitian Paul Lazarsfeld dkk tentang pengaruh media massa pada kampanye pemilihan umum tahun 1940. Studi ini dilakukan menggunakan asumsi bahwa proses stimulus bekerja pada menghasilkan imbas media massa. Namun hasil penelitian mengambarkan sebaliknya. Efek media massa ternyata rendah serta perkiraan stimulus respon nir cukup menggambarkan realitas audience media massa dalam penyebaran arus kabar dan menentukan pendapat umum.

Teori serta penelitian-penelitian komunikasi 2 termin memiliki perkiraan-asumsi sebagai berikut: 
1) Individu nir terisolasi menurut kehidupan sosial, namun merupakan anggota berdasarkan grup-grup sosial pada berinteraksi menggunakan orang lain.
2) Respon serta rekasi terhadap pesan dari media nir akan terjadi secara pribadi dan segera, namun melalui perantaraan dan dipengaruhi oleh interaksi-hubungan sosial tadi.
3) Ada dua proses yang pribadi, yang pertama mengenai penerima serta perhatian, yg ke 2 berkaitan dengan espon pada bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya mensugesti atau mengungkapkan warta.
4) Individu tidak bersikap sama terhadap pesan/kampanye media, melainkan mempunyai berbagai kiprah yang tidak sama dalam proses komunikasi, serta khususnya dapat dibagi atas mereka yang secara aktif menerima dan meneruskan/enyebaran gagasan menurut media, dan mereka yang sematamata hanya mengandalkan interaksi personil dengan orang lain menjadi penentunya.
5) individu-individu yg berperan lebih aktif (pemuka pendapat) ditandai sang penggunaan media massa yg lebih akbar, taraf pergaulan yg lebih tinggi, asumsi bahwa didinya berpengaruh terhadap orang lain, serta mempunyai peran sebagai sumber berita dan panutan.

c. Uses and Gratifications Theory (Teori Kegunaan serta Kepuasan)
Teori ini pertama kali diperkenalkan sang Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini menyampaikan bahwa pengguna media memainkan peran aktif buat menentukan serta menggunakan media tadi. Dengan istilah lain, pengguna media merupakan pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari asal media yang paling baik di dalam usaha memenhi kebutuhannya. Artinya pengguna media memiliki pilihan alternatif buat memuaskan kebutuhannya.

Elemen dasar yg mendasari pendekatan teori ini (Karl pada Bungin, 2007): (1) Kebutuhan dasar tertentu, pada interaksinya menggunakan (2) banyak sekali kombinasi antara intra dan ekstra individu, dan pula dengan (tiga) struktur warga , termasuk struktur media, menghasilkan (4) banyak sekali percampuran personal individu, dan (lima) persepsi mengenai solusi bagi dilema tadi, yang menghasilkan (6) berbagai motif buat mencari pemenuhan atau penyelesaian problem, yg menghasikan (7) disparitas pola konsumsi media dan (8) perbedaan pola perilaku lainnya, yg mengakibatkan (9) disparitas pola konsumsi, yang dapat memengaruhi (10) kombinasi karakteristik intra serta ekstra individu, sekaligus akan memengaruhi pula (11) struktur media dan aneka macam struktur politik, kultural, dan ekonomi pada masyarakat.

d. Uses and Effects Theory
Pertama kali dikemukakan Sven Windahl (1979), merupakan buatan antara pendekatan uses and gratifications serta teori tradisional tentang imbas. Konsep use (penggunaan) merupakan bagian yg sangat penting atau utama menurut pemikiran ini. Lantaran pengetahuan mengenai penggunaan media akan memberikan jalan bagi pemahaman serta perkiraan tentang hasil berdasarkan suatu proses komunikasi massa. Penggunaan media bisa memiliki banyak arti. Ini dapat berarti exposure yg semata-mata memilih dalam tindakan mempersepsi. Dalam konteks lain, pengertian tersebut bisa sebagai suatu proses yg lebih kompleks, dimana isi terkait asa-harapan tertentu untuk bisa dipenuhi, fokus berdasarkan teori ini lebih pada pengertian yg ke 2.

e. Teori Agenda Setting
Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs serta DL Shaw (1972). Asumsi teori ini adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu insiden, maka media itu akan menghipnotis khalayak buat menganggapnya krusial. Jadi apa yang dipercaya penting media, maka krusial jua bagi warga . Dalam hal ini media diasumsikan memiliki imbas yg sangat kuat, terutama karena perkiraan ini berkaitan menggunakan proses belajar bukan dengan perubahan perilaku dan pendapat.

f. Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa (Dependention of Mass Communication Effect Theory)
Teori ini dikembangkan sang Sandra Ball-Rokeachdan Melvin L. DeFluer (1976), yang memfokuskan dalam syarat struktural suatu masyarakat yg mengatur kesamaan terjadinya suatu impak media massa. Teori ini berangkat dari sifat rakyat modern, diamana media massa diangap sebagai sistem keterangan yang memiliki kiprah penting pada proses memelihara, perubahan, serta pertarungan pada tataran warga ,gerombolan , dan individu dalam aktivitas sosial. 

Secara ringkas kajian terhadap dampak tersebut bisa dirumuskan dapat dirumuskan sebagai berikut: 
1. Kognitif, menciptakan atau menghilangkan bermakna ganda, pembentukan perilaku, rencana-setting, ekspansi sistem keyakinan rakyat, penegasan/ penerangan nilai-nilai.
2. Afektif, menciptakan ketakutan atau kecemasan, serta meningkatkan atau menurunkan dukungan moral.
3. Behavioral, mengaktifkan atau menggerakkan atau meredakan, pembentukan berita tertentu atau penyelesaiannya, menjangkau atau menyediakan taktik buat suatu kegiatan serta mengakibatkan perilaku senang memberi.

g. The Spiral of Silence Theory (Teori Spiral Keheningan)
Teori the spiral of silence (spiral keheningan) dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neuman (1976), berkaitan menggunakan pertanyaan bagaimana terbentuknya pendapat umum. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya pendapat generik ditentukan sang suatu proses saling mensugesti antara komunikasi massa, komunikasi antar langsung, serta persepsi individu mengenai pendapatnya pada hubungannya dengan pendapat orang-orang lain pada rakyat. 

h. Stimulus – Respons Teory
Pada dasarnya adalah prinsip belajar yang sederhana, dimana dampak adalah reaksi terhadap stimulus eksklusif. Dengan demikian, seorang dapat menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media serta reaksi audience. Elemen-elemen utama teori ini dari McQuail (1996):
a. Pesan (stimulus)
b. Seorang penerima atau receiver
c. Efek (respons)

Dalam masyarakat massa, prinsip S- R mengansumsikan bahwa pesan fakta dipersiapkan sang media serta didistribusikan secara sistematis pada sekala yg luas. Sehingga secara serempak pesan tersebut dapat diterima oleh sejulah besar individu, bukan ditujukan pada orang per orang. Kemudian sejumlah besar individu itu akan merespons liputan itu.

i. Information Seeking Theory
Donohew serta Tipton (1973), mengungkapkan mengenai pencarian, penginderaan, dan pemrosesan informasi, diklaim memiliki akar dari pemikiran psikologi sosial mengenai perilaku. Salah satu perkiraan utamanya adalah bahwa orang cenderung buat menghindari fakta yang nir sinkron menggunakan image of reality-nya lantaran keterangan itu mampu saja membahayakan.

j. Information Gaps Theory
Dalam membahas pengaruh jangka panjang komunikasi massa, penting dikemukkan pokok bahasan tentang celah pengetahuan (information gaps). Latar belakang pemikiran ini terbentuk sang arus liputan yang terus semakin tinggi, yang sebagian besar dilakukan oleh media massa. Secara teoritis peningkatan ini akan menguntungkan setiap orang dalam masyrakat lantaran setiap individu memiliki kemungkinan buat mengetahui apa yg terjadi pada global buat memperluas wawasan.

k. Teori Konstruksi sosial media massa
Gagasan awal menurut teori ini merupakan buat mengoreki teori konstruksi sosial atas realitas yg dibangun sang Peter L Berrger serta Thomas Luckmann (1966, The social construction of reality. A Treatise in the sociology of knowledge. Tafsir sosial atas kenyataan: sebuah selebaran tentang sosisologi pengetahuan). Mereka menulis tentang konstruksi sosial atas realitas sosial dibangun secara simultan melalui tiga proses, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses simultan ini terjadi antara individu satu menggunakan lainnya di dalam masyrakat. Bangunan empiris yg tercipta lantaran proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, serta simbolis atau intersubjektif.

TEORI KRITIS DALAM HAZANAH SAINS MODERN

Teori Kritis Dalam Hazanah Sains Modern
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer pada tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan menggunakan logika serta kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan menggunakan mengungkap deviasi berdasarkan gagasan-gagasan ideal tadi pada bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, serta institusi politik borjuis.

Untuk memahami pendekatan teori kritis, tidak sanggup tidak, harus menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel menjadi orang terakhir pada tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang insan serta sejarah. Namun, lantaran beberapa hal, pemikiran Marx sanggup menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx membuahkan filsafat menjadi sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya menjadi cara berpikir (kerangka pikir) warga pada mewujudkan idealitasnya. Dengan berakibat nalar sebagai sesuatu yg ’sosial’ serta menyejarah, skeptisisme historis akan ada buat merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang kebiasaan serta logika sebagai ragam sejarah serta budaya forma-forma kehidupan.

Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara logika dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yg bersifat empiris serta interpretatif menggunakan klaim-klaim normatif mengenai kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan permanen memertahankan penekanan terhadap normativitas pada tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya pada konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yg dipakai buat memahami klaim normatif itu pada konteks kekinian.

Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan menurut sains. Locke menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, mempunyai dua peran. Pertama, menjadi ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah buat memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, pada perspektif Kantian, sains tidak diharapkan, lantaran hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yg berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis mengenai kebenaran serta universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar syarat sosial yg menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yg sudah dicapai oleh pengetahuan masa kemudian. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa seluruh pemikiran, sahih atau keliru, tergantung pada keadaan yg berubah sama sekali nir berpengaruh pada validitas sains”.

Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas serta majemuk. Ia bertujuan buat melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yg kita alami serta cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, serta dunia. Saat ini teori kritis menjadi galat satu indera epistemologis yg dibutuhkan pada studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yg alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yg bisa menyampaikan ilham-ide tanpa penyimpangan , sebaliknya beliau adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis wangsit serta pengalaman insan.

Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, serta insan diasosiasikan dengan makna-makna eksklusif, teori kritis memertanyakan legitimasi asumsi umum mengenai pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain serta alam, dalam kepala seorang selalu menyimpan seperangkat agama serta perkiraan yang terbentuk menurut pengalaman—pada arti luas—serta berpengaruh dalam cara pandang seorang, yg seringkali tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap serta memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan pandangan baru-pandangan baru menurut bidang lain buat tahu pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi menggunakan global. Hal ini mendorong keluarnya contoh pembacaan baru. Karenanya, keliru satu ciri spesial teori kritis merupakan pembacaan kritis menurut menurut berbagai segi serta luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yg, apabila diposisikan dengan sempurna dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak pada tesis Marx populer yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan global, tujuannya buat merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yg, dalam Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep mengenai objek berkecimpung yg, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada taraf kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sebagai akibatnya aktivitas atau tindakan menjadi momen pasti dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus pada filsafat Jerman tentang interaksi antara teori dan mudah, yakni bahwa kegiatan simpel insan bisa merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis dalam arti tradisional yang disertai pencerahan terhadap imbas yang mungkin terdapat pada bangunan ilmu, termasuk didalamnya imbas kepentingan.

Around of Critical Theory
Filsafat dan ilmu sosial abad 19 diwarnai sang empat pemikiran besar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis serta genre Neo Marxis (yang tak jarang mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yg diadaptasi menggunakan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan dalam grup yang terakhir. Meski pada perdebatan filosofis, terdapat yang menduga bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.

Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yg menolak penyempitan serta reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yg dicoba diinterpretasikan sang Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini merupakan versi interpretasi yang dipakai sang Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal menggunakan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels serta Lenin lantaran interpretasi tersebut merupakan interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dianggap sebagai galat satu bagian inti menurut pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme merupakan Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski serta Adam Schaff.

Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yg relatif ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial pada Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 sang seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seseorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba buat cuci dosa” mau melakukan sesuatu buat mengurangi penderitaan di global (termasuk pada skala mikro: penderitaan sosial menurut kerakusan kapitalisme).

Teori kritis merupakan anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yg paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt dianggap ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui serta merekonstruksi teori yang membebaskan manusia berdasarkan manipulasi teknokrasi modern. Ciri spesial berdasarkan teori kritik warga merupakan bahwa teori tadi bertitik tolak dari ilham pemikiran sosial Karl Marx, akan tetapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah rakyat industri maju secara baru dan kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama merupakan Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, pakar sastra, psikolog serta filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (pakar psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yg mencoba menggabungkan fenomenologi serta marxisme, yang pula selanjutnya Marcuse sebagai “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Teori Kritis sebagai diskusi publik pada kalangan filsafat sosial serta sosiologi dalam tahun 1961. Konfrontasi intelektual yg relatif populer adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - kerangka berpikir kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - kerangka berpikir neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yg berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.

Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein merupakan Teori Kritis sebagai ilham menurut gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori sang kaum muda yang dalam waktu itu secara historis sudah tidak jangan lupa lagi menggunakan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang global II. Generasi belia tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yg menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini merupakan generasi yang secara mendalam mewaspadai atau mencurigai kekenyangan kapitalisme serta salah tujuan nilai terbaru. 

Yang adalah ciri khas Teori Kritis merupakan bahwa teori ini tidak selaras dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis nir bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik eksklusif memandang dirinya menjadi pewaris ajaran Karl Marx, menjadi teori yg sebagai emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau mengungkapkan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial akan tetapi jua bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.

Teori Kritis tidak mau mengikuti jejak Karl Marx. Kelemahan marxisme dalam umumnya merupakan mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada warga modern. Oleh karena itu, umumnya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap rakyat yg dipahami menjadi “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi pada pemikiran Teori Kritis merupakan maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia berdasarkan segala belenggu penghisapan serta penindasan.

Pembebasan insan berdasarkan segala belenggu penghisapan serta penindasan berangkat menurut konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat asal) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx serta Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan serta kontradiksi yg merusak proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah insan. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yg didapatkan oeh hubungan kekuasaan dalam warga . Kritik pada pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi serta memanipulasi pencerahan. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Tokoh-Tokoh Penting Teori Kritis
Teori kritis adalah sebutan buat orientasi teoritis tertentu yang bersumber berdasarkan Hegel serta Marx, disistematisasi oleh Horkheimer serta sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan sang Habermas. Secara generik istilah ini merujuk dalam elemen kritik dalam filsafat Jerman yg dimulai menggunakan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi eksklusif terhadap filsafat yg ”dilahirkan” pada Frankfurt. Sekelompok orang yg lalu dikenal menjadi anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yg menyebarkan analisis tentang perubahan dalam warga kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan berdasarkan teori klasik Marx. Mereka yg bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Hokheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse serta Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan athun baru 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat lantaran tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara eksklusif budaya media yg mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi media hiburan dikontrol sang korporasi-korporasi besar tanpa terdapat campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang merupakan karakteristik rakyat kapitalis dan, lalu, sebagai penekanan studi budaya kritis. Horkheimer serta Adorno menyebarkan diskusi tentang apa yg dianggap ”industri kebudayaan” yg adalah sebutan buat industrialisasi serta komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.

Tokoh lain yang kemudian sebagai identik dengan teori kritis merupakan Jurgen Habermas. Dia bergabung dengan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yang didirikan balik oleh Horkheimer dan Adorno, dalam dekade pasca perang dunia kedua. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis menggunakan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yang ke 2 adalah penerus yg membaca serta mengkontekstualisasi ulang teori kritis pada zaman yg lazim di sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis pada konteks pemikiran filsafat.

Theodore Adorno Dalam Teori Kritis
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan di Frankfurt dalam tahun 1903. Dia merupakan seseorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial. Pada usia 5 belas, Adorno mengikuti pertemuan studi mingguan bersama Siegfried Kracauer, yang diakuinya jauh lebih berpengaruh dalam perkembangan intelektualnya daripada guru-gurunya di bangku kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar di universitas di Frankfkurt, memelajari filsafat, sosiologi, musik, serta psikologi. Di bangku kuliah, dia bertemu serta bersahabat dengan Max Hokheimer dan Walter Benjamin. Pada tahun 1924, Adorno menuntaskan doktoral pada bidang filsafat. Pada tahun 1927, beliau pulang ke Frankfurt, setelah sempat tinggal di Wina untuk belajar musik, dan bergabung menggunakan Horkheimer di Institut Penelitian Sosial yg didirikan pada tahun 1924, yang kemudian dirujuk menjadi Mazhab Frankfurt. Lembaga ini bertujuan menggabungkan filsafat serta ilmu sosial sebagai teori sosial kritis.

Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis serta meragukan apakah pemikiran yg sebenarnya dapat transparan. Hal ini dari menurut keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis serta pemikiran metodologis memiliki kecenderungan buat hingga dalam kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi perkiraan yang terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel dan, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis Hegel yg bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul berdasarkan kebutuhan terhadap adaptasi dan, karena itu, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, dominasi pada daerah materi tercermin dengan dominasi dalam tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel menggunakan totalitarian fasisme dan totalitarianisme pada industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian dan pemikiran sistematis secara generik juga kecenderungan apapun terhadap buatan final. Dia menekankan hak buat nir sama.

Dalam karyanya bersama Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha menaruh analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yg pada mulanya ditujukan buat mengamankan kebebasan menurut ketakutan dan otoritas insan, berubah sebagai beberapa bentuk penguasaan politik, sosial, dan budaya dimana insan kehilangan individualitas dan rakyat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan menggunakan penjelasan mengenai motif konseptual berdasarkan proses rasionalisasi masyarakat-pada konteks Weberian-dimana penguasaan kapitalis merupakan bahaya terbesar yg muncul darinya.

Konsep sosiologi yg diformulasikan Adorno dimulai dengan bisnis buat tahu kaitan antara musik serta warga . Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yg memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini krusial karena analisis musik adalah awal berdasarkan refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan buat menyingkap kandungan sosiologis pada tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa yg disebut mediasi sosial, yang berarti kesalingterpengaruhan antara yg universal serta partikular; rakyat serta individu.

Objek sentral dalam teori kritis Adorno merupakan hubungan saling keterpengaruhan antara kontradiksi-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam rakyat. Teori kritis diorientasikan pada inspirasi mengenai rakyat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah teori menjadi ”kritis” menggunakan menegasikan ketidakadilan, egoisme, serta alienasi yg dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.

Jurgen Habermas Dalam Teori Kritis
Jurgen Habermas dilahirkan dalam 18 Juni 1929 di Dusseldorf. Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya merupakan direktur seminari di Gummersbach. Belajar pada universitas Gottingen serta Zurich, Habermas meraih gelar doktor pada bidang filsafat menurut universitas Bonn pada tahun 1954 menggunakan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: tentang kontradiksi dalam pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat dan sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno pada Institut Penelitian Sosial Frankfurt. 

Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan dalam tahun 1947, Adorno serta Horkheimer menyatakan bahwa usaha buat mencapai nalar pencerahan serta kebebasan ternyata berdampak dalam munculnya bentuk baru irasionalitas serta represi. Pasca perang global, Adorno membuatkan cara berpikir yg disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung menggunakan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang global, memulai pemikirannya.

Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep akal yang lebih komprehensif, yakni akal yang nir tereduksi pada instrumen teknis berdasarkan subjek individu, pada pengertian monad, yg lalu memungkinkan terbentuknya warga emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan 3 kepentingan insan yg berakar. Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), mudah (practical), serta emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini merupakan kepentingan yang membangun pengetahuan pada kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi. Barat terkini menyaksikan bahwa asa menguasai alam berubah menjadi asa mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang melekat dalam kepentingan simpel serta emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional buat kehidupan beserta hanya bisa diraih ketika interaksi sosial diatur dari prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan yg dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi.

Konsepsi Habermas mengenai teori kritis mengalami kristalisasi dalam tahun 60-an pada karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences dan Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, menggunakan berkata bahwa kerangka berpikir positivistik sesuai buat ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), misalnya sejarah dan antropologi, lebih sinkron didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara mengenai ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis seperti dalam ilmu alam dan simpel misalnya dalam ilmu budaya seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yg harus dilakukan ilmuwan sosial merupakan, pertama, memahami situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis menurut individu atau kelompok; kedua, memahami kekuatan-kekuatan yg menyebabkan situasi tadi; dan ketiga, menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan ini bisa diatasi melalui kesadaran individu atau kelompok yang teropresi tentang kekuatan-kekuatan itu.

Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini berdasarkan atas dasar-dasar yg universal. Pencerahan, bagi Habermas, merupakan penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan insan menurut selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, lantaran imbas batas-batas bahasa serta institusi, hanya beberapa antara lain yg mencapai wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, diharapkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan mekanisme eksklusif untuk menyelesaikan pertarungan. Agar agar sanggup memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus berdasarkan dalam prinsip bahwa semua manusia wajib saling menghormati menjadi eksklusif yang merdeka dan setara. Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yg berarti bahwa dunia objektif, alih-alih kesepakatan ideal, merupakan penentu kebenaran. Apabila sebuah pernyataan, yang kita anggap sahih, ternyata sahih, hal itu karena pernyataan itu menggunakan tepat merujuk dalam objek yg terdapat atau dengan sempurna mewakili syarat sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan tentang metafisika dan lebih menentukan berbicara tentang hal-hal yang simpel serta implikasinya buat diskursus dan tindakan keseharian.

Paradigma Kritis Dan Media
Penelitian media massa lebih diletakkan dalam pencerahan bahwa teks atau wacana pada media massa memiliki dampak yg sedemikian rupa pada insan (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh aktivitas serta pemaknaan simbolik bisa dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran utama insan, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya sudah diambil sebagai empiris yg memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan buat memenangkan permasalahan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media dalam dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Pembahasan yang harus disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis akan tetapi terutama adalah kemampuan buat membedakan antara kuasa teks itu sendiri menggunakan kuasa struktur makro yg secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tadi (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen serta penghasil teks media punya opsi bagaimana teks wajib disimbolisasikan dan dimaknai permanen saja ada bingkai aktivitas serta opsi mereka yang terbentuk serta dipengaruhi oleh faktor yg berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau pembuat teks media.

Pengenalan dan pemahaman yang cukup komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas serta ideologi yg berada di pulang teks media yang bersangkutan sebagai hal yg penting. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang bisa menelanjangi, menggali serta mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yg kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).

Teori Kritis, Paradigma Dan Wacana Media
Ilmu komunikasi dapat mengkategorikan pada ilmu pengetahuan yg mempunyai aktivitas penelitian yg bersifat multi kerangka berpikir. Ini berarti, ilmu komunikasi adalah bidang ilmu yg menampilkan sejumlah kerangka berpikir atau perspektif dasar dalam ketika bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah kerangka berpikir sendiri bisa didefinisikan sebagai: 

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma adalah orientasi dasar buat teori dan riset. Pada umumnya suatu kerangka berpikir keilmuan merupakan sistem holistik berdasarkan berfikir. Paradigma terdiri berdasarkan perkiraan dasar, teknik riset yang digunakan, serta model misalnya apa seharusnya teknik riset yg baik (Newman, 1997:62-63).

Guba & Lincoln (1994:17-30) juga menyusun beberapa paradigma pada teori ilmu komunikasi. Paradigma yg dikemukakan itu terdiri menurut kerangka berpikir positivistik, paradigma pospositivistik, kerangka berpikir kritis, serta kerangka berpikir konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi pada bidang ilmu sosial berpendapat bahwa paradigma positivistik serta pospositivistik adalah kesatuan kerangka berpikir, yg seringkali dianggap menggunakan paradigma klasik. Implikasi metodologis dan teknis dari dua kerangka berpikir tadi, dalam prakteknya, tidak punya poly disparitas. Adanya konstelasi paradigma pada atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan pada 3 paradigma utama, yaitu kerangka berpikir klasik, kerangka berpikir kritis serta kerangka berpikir konstruktivisme. Jika terjadi 3 pembedaan paradigma pada ilmu sosial, maka terjadi disparitas pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.

Perbedaan antara ketiga paradigma ini juga dapat dibahas dari 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tadi adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis. 

Dimensi epistemologis berkaitan menggunakan asumsi tentang hubungan antara peneliti menggunakan yang diteliti pada proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan menggunakan teori pengetahuan (theory of knowledge) yg inheren pada perspektif teori serta metodologi.

Dimensi ontologis herbi asumsi tentang objek atau realitas sosial yg diteliti. Dimensi metodologis meliputi perkiraan-asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan tentang suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika serta pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yg meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa kerangka berpikir kritis yang diinspirasikan dari teori kritis nir bisa melepaskan diri berdasarkan warisan Marxisme pada seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis dalam satu pihak merupakan keliru satu genre ilmu sosial yang berbasis pada ide-inspirasi Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280). 

Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis menghipnotis filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi empiris yg dikemukakan oleh kerangka berpikir adalah asumsi empiris yang tidak netral tetapi ditentukan serta terikat sang nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh karena itu, proyek utama menurut kerangka berpikir kritis merupakan pembebasan nilai dominasi dari grup yang ditindas. Hal ini akan menghipnotis bagaimana kerangka berpikir kritis memcoba membedah empiris dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis mengenai teks media. 

Ada beberapa karakteristik utama pada semua filsafat pengetahuan paradigma kritis yang sanggup dipandang secara jelas. Ciri pertama merupakan karakteristik pemahaman kerangka berpikir kritis mengenai realitas. Realitas pada pandangan kritis acapkali disebut dengan empiris semu. Realitas ini tidak alami akan tetapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik serta ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada pada harmoni akan tetapi lebih dalam situasi permasalahan serta pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).

Ciri ke 2 merupakan ciri tujuan penelitian kerangka berpikir kritis. Karakteristik menyolok menurut tujuan paradigma kritis ada dan eksis merupakan kerangka berpikir yang merogoh perilaku untuk menaruh kritik, transformasi sosial, proses emansipasi serta penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian kerangka berpikir kritis adalah mengubah global yg tidak seimbang. Dengan demikian, seseorang peneliti pada kerangka berpikir kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yg nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga adalah karakteristik titik perhatian penelitian kerangka berpikir kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan empiris yg dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yg diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual pada kembali proses transformasi sosial. Dari proses tadi, bisa dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan sebagai bagian yg tidak terpisahkan menurut analisis penelitian yang dibuat.

Karakteristik keempat menurut kerangka berpikir kritis merupakan pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara serta metodologi penelitiannya. Paradigma kritis pada hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam semua penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan buat melihat secara lebih dalam fenomena sosial yg telah, sedang serta akan terjadi. 

Dengan demikian, ciri keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti buat melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, pada hal ini media massa berikut teks yg diproduksinya. Maka, pada paradigma kritis, penelitian yg bersangkutan nir mampu menghindari unsur subjektivitas peneliti, serta hal ini bisa menciptakan perbedaan penafsiran gejala sosial berdasarkan peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

Dalam konteks ciri yg keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan pula analisis yg menyeluruh, kontekstual serta multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness pada seluruh kejadian sosial yg ada (Denzin, 2000:170).

Perkembangan teori kritis semakin jelas saat Sekolah Frankfurt sebagai motor penggerak teori tadi. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan dengan perkembangan ilmu sosial kritis dalam saat itu, Sekolah tadi pula merefleksikan peran media massa pada masyarakat waktu itu. Tentu saja, konteks Jerman pada saat itu jua sangat dipengaruhi sang sejarah Jerman dalam ketika pemerintahan Hitler (Nazi). 

Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi indera pemerintah buat mengontrol publik, pada arti tertentu media sanggup sebagai bagian menurut ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan merupakan empiris yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi empiris yang rentan dikuasai sang kelompok yg lebih secara umum dikuasai serta berkuasa (Rogers, 1994:102-125). 

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan kabar pada atas merupakan keyakinan bahwa ada kekuatan laten pada masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi rakyat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses penguasaan dan marginalisasi grup tertentu pada seluruh proses komunikasi warga . Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran serta kegiatan komunikasi massa pula sangat dipengaruhi sang struktur ekonomi politik rakyat yang bersangkutan. 

Proses pemberitaan tidak mampu dipisahkan dengan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yg dimanfaatkan menjadi sumber daya. Ini merupakan proses interplay, pada mana proses ekonomi politik dalam media akan membentuk serta dibentuk melalui proses produksi, distribusi serta konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yg terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab kasus yg terdapat. Apa yg nampak menurut bagian atas harian belum tentu mewakili kebenaran empiris itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan serta cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri. 

Paradigma kritis tidak relatif puas pada jawaban, pola, struktur, simbol serta makna yang tersedia. Perlu ada pemaknaan yang lebih komprehensif serta kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis menjadi acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media pada konteks paradigma kritis. 

Teori kritis melihat bahwa media tidak tanggal kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik kapital, negara atau kelompok yg menindas lainnya. Dalam artian ini, media sebagai indera dominasi serta hegemoni rakyat. Konsekuensi logisnya adalah empiris yang didapatkan oleh media bersifat dalam dirinya bias atau terdistorsi.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media merupakan pembentuk kesadaran. Representasi yg dilakukan sang media dalam sebuah struktur warga lebih dipahami sebagai media yang bisa memberikan konteks pengaruh pencerahan (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan pengaruh buat mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur eksklusif. Inilah sebabnya, media dalam kapasitasnya sebagai agen sosial seringkali mengandaikan juga praksis sosial serta politik.

Pendefinisian serta reproduksi empiris yang didapatkan sang media massa nir hanya ditinjau sebagai akumulasi fakta atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yg memiliki kepentingan yg tidak selaras satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan perannya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak bergerak maju pada proses rekonstruksi budaya akan tetapi media massa permanen sebagai realitas sosial yang bergerak maju.

Pertama, reproduksi empiris pada media pada dasarnya dan umumnya akan sangat ditentukan sang bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan serta politik penandaan. Bahasa di samping menjadi empiris sosial, tetap sanggup dipandang sebagai sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu empiris yg ingin mengindikasikan realitas lainnya (insiden atau pengalaman hidup manusia).

Dengan demikian, sebuah empiris dapat ditandakan secara berbeda pada insiden yang sama. Atau, bisa dikatakan bahwa pemaknaan yg tidak sama sanggup dilekatkan kepda insiden yang sama. Masalah terjadi saat suatu makna yang ditafsirkan serta dikonstruksi ulang oleh kelompok eksklusif menurut peristiwa yang sama tadi cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna eksklusif bisa lebih unggul serta lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ? 

Mengapa pemaknaan lain pada luar pemaknaan yang telah dipengaruhi justru dimarginalisasikan? Dengan istilah lain, bahwa sesungguhnya waktu kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita pula melihat ranah atau daerah permasalahan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tadi lebih konkret terbentuk dalam sebuah wacana dan terartikulasikan pada proses pembentukan dan praksis bahasa.

Kedua, bahasa pada konteks wacana - terutama dalam konteks wacana komunikasi - sebetulnya meliputi pengiriman pesan dari sistem syaraf satu orang kepada yang lain, dengan maksud buat menghasilkan sebuah makna sama dengan yang terdapat pada benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan mulut selalu menggunakan istilah. Kata selalu merujuk pada keberadaan sebuah bahasa. Ini berarti kita sepakat bahwa kita menggunakan simbol bahasa pada kegiatan komunikasi. 

Dalam perkembangan ilmu komunikasi terbaru, bahasa adalah kombinasi istilah yang diatur serta dikelola secara sistematis dan logis sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata adalah bagian integral berdasarkan keseluruhan simbol yang dibentuk oleh suatu grup eksklusif. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol bisa diartikan menjadi empiris yg mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan insan yg dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh karena itu, tidak terdapat interaksi yang berlaku secara alamiah serta selalu bersifat koresponden antara simbol dengan empiris yg disimbolkan.

Ketiga, politik penandaan lebih poly bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna eksklusif. Peran media massa pada praksis sosial penentuan indikasi dan makna tidak melepaskan diri menurut proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses dalam tataran aparatur kelompok lebih banyak didominasi saja akan tetapi jua melalui produksi serta reproduksi kekuasaan yg berada dalam ruang budaya - loka pada mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana menggunakan dimensi politik ruang (M.shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya pada ruang tertentu saja praksis ihwal yg lahir dari sejarah dominasi serta kompetisi kultur yg panjang sampai dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling mayoritas serta hegemonis yang pada gilirannya memilih rekayasa politik tentang.