Teori Kritis Dalam Hazanah Sains Modern
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer pada tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan menggunakan logika serta kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan menggunakan mengungkap deviasi berdasarkan gagasan-gagasan ideal tadi pada bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, serta institusi politik borjuis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, tidak sanggup tidak, harus menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel menjadi orang terakhir pada tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang insan serta sejarah. Namun, lantaran beberapa hal, pemikiran Marx sanggup menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx membuahkan filsafat menjadi sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya menjadi cara berpikir (kerangka pikir) warga pada mewujudkan idealitasnya. Dengan berakibat nalar sebagai sesuatu yg ’sosial’ serta menyejarah, skeptisisme historis akan ada buat merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang kebiasaan serta logika sebagai ragam sejarah serta budaya forma-forma kehidupan.
Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara logika dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yg bersifat empiris serta interpretatif menggunakan klaim-klaim normatif mengenai kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan permanen memertahankan penekanan terhadap normativitas pada tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya pada konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yg dipakai buat memahami klaim normatif itu pada konteks kekinian.
Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan menurut sains. Locke menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, mempunyai dua peran. Pertama, menjadi ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah buat memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, pada perspektif Kantian, sains tidak diharapkan, lantaran hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yg berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis mengenai kebenaran serta universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar syarat sosial yg menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yg sudah dicapai oleh pengetahuan masa kemudian. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa seluruh pemikiran, sahih atau keliru, tergantung pada keadaan yg berubah sama sekali nir berpengaruh pada validitas sains”.
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas serta majemuk. Ia bertujuan buat melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yg kita alami serta cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, serta dunia. Saat ini teori kritis menjadi galat satu indera epistemologis yg dibutuhkan pada studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yg alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yg bisa menyampaikan ilham-ide tanpa penyimpangan , sebaliknya beliau adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis wangsit serta pengalaman insan.
Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, serta insan diasosiasikan dengan makna-makna eksklusif, teori kritis memertanyakan legitimasi asumsi umum mengenai pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain serta alam, dalam kepala seorang selalu menyimpan seperangkat agama serta perkiraan yang terbentuk menurut pengalaman—pada arti luas—serta berpengaruh dalam cara pandang seorang, yg seringkali tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap serta memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan pandangan baru-pandangan baru menurut bidang lain buat tahu pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi menggunakan global. Hal ini mendorong keluarnya contoh pembacaan baru. Karenanya, keliru satu ciri spesial teori kritis merupakan pembacaan kritis menurut menurut berbagai segi serta luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yg, apabila diposisikan dengan sempurna dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak pada tesis Marx populer yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan global, tujuannya buat merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yg, dalam Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep mengenai objek berkecimpung yg, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada taraf kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sebagai akibatnya aktivitas atau tindakan menjadi momen pasti dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus pada filsafat Jerman tentang interaksi antara teori dan mudah, yakni bahwa kegiatan simpel insan bisa merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis dalam arti tradisional yang disertai pencerahan terhadap imbas yang mungkin terdapat pada bangunan ilmu, termasuk didalamnya imbas kepentingan.
Around of Critical Theory
Filsafat dan ilmu sosial abad 19 diwarnai sang empat pemikiran besar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis serta genre Neo Marxis (yang tak jarang mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yg diadaptasi menggunakan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan dalam grup yang terakhir. Meski pada perdebatan filosofis, terdapat yang menduga bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.
Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yg menolak penyempitan serta reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yg dicoba diinterpretasikan sang Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini merupakan versi interpretasi yang dipakai sang Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal menggunakan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels serta Lenin lantaran interpretasi tersebut merupakan interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dianggap sebagai galat satu bagian inti menurut pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme merupakan Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski serta Adam Schaff.
Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yg relatif ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial pada Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 sang seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seseorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba buat cuci dosa” mau melakukan sesuatu buat mengurangi penderitaan di global (termasuk pada skala mikro: penderitaan sosial menurut kerakusan kapitalisme).
Teori kritis merupakan anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yg paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt dianggap ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui serta merekonstruksi teori yang membebaskan manusia berdasarkan manipulasi teknokrasi modern. Ciri spesial berdasarkan teori kritik warga merupakan bahwa teori tadi bertitik tolak dari ilham pemikiran sosial Karl Marx, akan tetapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah rakyat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama merupakan Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, pakar sastra, psikolog serta filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (pakar psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yg mencoba menggabungkan fenomenologi serta marxisme, yang pula selanjutnya Marcuse sebagai “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Teori Kritis sebagai diskusi publik pada kalangan filsafat sosial serta sosiologi dalam tahun 1961. Konfrontasi intelektual yg relatif populer adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - kerangka berpikir kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - kerangka berpikir neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yg berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.
Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein merupakan Teori Kritis sebagai ilham menurut gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori sang kaum muda yang dalam waktu itu secara historis sudah tidak jangan lupa lagi menggunakan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang global II. Generasi belia tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yg menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini merupakan generasi yang secara mendalam mewaspadai atau mencurigai kekenyangan kapitalisme serta salah tujuan nilai terbaru.
Yang adalah ciri khas Teori Kritis merupakan bahwa teori ini tidak selaras dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis nir bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik eksklusif memandang dirinya menjadi pewaris ajaran Karl Marx, menjadi teori yg sebagai emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau mengungkapkan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial akan tetapi jua bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.
Teori Kritis tidak mau mengikuti jejak Karl Marx. Kelemahan marxisme dalam umumnya merupakan mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada warga modern. Oleh karena itu, umumnya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap rakyat yg dipahami menjadi “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi pada pemikiran Teori Kritis merupakan maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia berdasarkan segala belenggu penghisapan serta penindasan.
Pembebasan insan berdasarkan segala belenggu penghisapan serta penindasan berangkat menurut konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat asal) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx serta Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan serta kontradiksi yg merusak proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah insan. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yg didapatkan oeh hubungan kekuasaan dalam warga . Kritik pada pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi serta memanipulasi pencerahan. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.
Tokoh-Tokoh Penting Teori Kritis
Teori kritis adalah sebutan buat orientasi teoritis tertentu yang bersumber berdasarkan Hegel serta Marx, disistematisasi oleh Horkheimer serta sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan sang Habermas. Secara generik istilah ini merujuk dalam elemen kritik dalam filsafat Jerman yg dimulai menggunakan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi eksklusif terhadap filsafat yg ”dilahirkan” pada Frankfurt. Sekelompok orang yg lalu dikenal menjadi anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yg menyebarkan analisis tentang perubahan dalam warga kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan berdasarkan teori klasik Marx. Mereka yg bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Hokheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse serta Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan athun baru 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat lantaran tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara eksklusif budaya media yg mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi media hiburan dikontrol sang korporasi-korporasi besar tanpa terdapat campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang merupakan karakteristik rakyat kapitalis dan, lalu, sebagai penekanan studi budaya kritis. Horkheimer serta Adorno menyebarkan diskusi tentang apa yg dianggap ”industri kebudayaan” yg adalah sebutan buat industrialisasi serta komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.
Tokoh lain yang kemudian sebagai identik dengan teori kritis merupakan Jurgen Habermas. Dia bergabung dengan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yang didirikan balik oleh Horkheimer dan Adorno, dalam dekade pasca perang dunia kedua. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis menggunakan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yang ke 2 adalah penerus yg membaca serta mengkontekstualisasi ulang teori kritis pada zaman yg lazim di sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis pada konteks pemikiran filsafat.
Theodore Adorno Dalam Teori Kritis
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan di Frankfurt dalam tahun 1903. Dia merupakan seseorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial. Pada usia 5 belas, Adorno mengikuti pertemuan studi mingguan bersama Siegfried Kracauer, yang diakuinya jauh lebih berpengaruh dalam perkembangan intelektualnya daripada guru-gurunya di bangku kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar di universitas di Frankfkurt, memelajari filsafat, sosiologi, musik, serta psikologi. Di bangku kuliah, dia bertemu serta bersahabat dengan Max Hokheimer dan Walter Benjamin. Pada tahun 1924, Adorno menuntaskan doktoral pada bidang filsafat. Pada tahun 1927, beliau pulang ke Frankfurt, setelah sempat tinggal di Wina untuk belajar musik, dan bergabung menggunakan Horkheimer di Institut Penelitian Sosial yg didirikan pada tahun 1924, yang kemudian dirujuk menjadi Mazhab Frankfurt. Lembaga ini bertujuan menggabungkan filsafat serta ilmu sosial sebagai teori sosial kritis.
Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis serta meragukan apakah pemikiran yg sebenarnya dapat transparan. Hal ini dari menurut keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis serta pemikiran metodologis memiliki kecenderungan buat hingga dalam kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi perkiraan yang terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel dan, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis Hegel yg bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul berdasarkan kebutuhan terhadap adaptasi dan, karena itu, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, dominasi pada daerah materi tercermin dengan dominasi dalam tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel menggunakan totalitarian fasisme dan totalitarianisme pada industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian dan pemikiran sistematis secara generik juga kecenderungan apapun terhadap buatan final. Dia menekankan hak buat nir sama.
Dalam karyanya bersama Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha menaruh analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yg pada mulanya ditujukan buat mengamankan kebebasan menurut ketakutan dan otoritas insan, berubah sebagai beberapa bentuk penguasaan politik, sosial, dan budaya dimana insan kehilangan individualitas dan rakyat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan menggunakan penjelasan mengenai motif konseptual berdasarkan proses rasionalisasi masyarakat-pada konteks Weberian-dimana penguasaan kapitalis merupakan bahaya terbesar yg muncul darinya.
Konsep sosiologi yg diformulasikan Adorno dimulai dengan bisnis buat tahu kaitan antara musik serta warga . Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yg memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini krusial karena analisis musik adalah awal berdasarkan refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan buat menyingkap kandungan sosiologis pada tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa yg disebut mediasi sosial, yang berarti kesalingterpengaruhan antara yg universal serta partikular; rakyat serta individu.
Objek sentral dalam teori kritis Adorno merupakan hubungan saling keterpengaruhan antara kontradiksi-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam rakyat. Teori kritis diorientasikan pada inspirasi mengenai rakyat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah teori menjadi ”kritis” menggunakan menegasikan ketidakadilan, egoisme, serta alienasi yg dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.
Jurgen Habermas Dalam Teori Kritis
Jurgen Habermas dilahirkan dalam 18 Juni 1929 di Dusseldorf. Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya merupakan direktur seminari di Gummersbach. Belajar pada universitas Gottingen serta Zurich, Habermas meraih gelar doktor pada bidang filsafat menurut universitas Bonn pada tahun 1954 menggunakan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: tentang kontradiksi dalam pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat dan sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno pada Institut Penelitian Sosial Frankfurt.
Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan dalam tahun 1947, Adorno serta Horkheimer menyatakan bahwa usaha buat mencapai nalar pencerahan serta kebebasan ternyata berdampak dalam munculnya bentuk baru irasionalitas serta represi. Pasca perang global, Adorno membuatkan cara berpikir yg disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung menggunakan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang global, memulai pemikirannya.
Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep akal yang lebih komprehensif, yakni akal yang nir tereduksi pada instrumen teknis berdasarkan subjek individu, pada pengertian monad, yg lalu memungkinkan terbentuknya warga emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan 3 kepentingan insan yg berakar. Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), mudah (practical), serta emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini merupakan kepentingan yang membangun pengetahuan pada kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi. Barat terkini menyaksikan bahwa asa menguasai alam berubah menjadi asa mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang melekat dalam kepentingan simpel serta emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional buat kehidupan beserta hanya bisa diraih ketika interaksi sosial diatur dari prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan yg dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi.
Konsepsi Habermas mengenai teori kritis mengalami kristalisasi dalam tahun 60-an pada karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences dan Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, menggunakan berkata bahwa kerangka berpikir positivistik sesuai buat ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), misalnya sejarah dan antropologi, lebih sinkron didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara mengenai ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis seperti dalam ilmu alam dan simpel misalnya dalam ilmu budaya seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yg harus dilakukan ilmuwan sosial merupakan, pertama, memahami situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis menurut individu atau kelompok; kedua, memahami kekuatan-kekuatan yg menyebabkan situasi tadi; dan ketiga, menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan ini bisa diatasi melalui kesadaran individu atau kelompok yang teropresi tentang kekuatan-kekuatan itu.
Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini berdasarkan atas dasar-dasar yg universal. Pencerahan, bagi Habermas, merupakan penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan insan menurut selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, lantaran imbas batas-batas bahasa serta institusi, hanya beberapa antara lain yg mencapai wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, diharapkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan mekanisme eksklusif untuk menyelesaikan pertarungan. Agar agar sanggup memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus berdasarkan dalam prinsip bahwa semua manusia wajib saling menghormati menjadi eksklusif yang merdeka dan setara. Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yg berarti bahwa dunia objektif, alih-alih kesepakatan ideal, merupakan penentu kebenaran. Apabila sebuah pernyataan, yang kita anggap sahih, ternyata sahih, hal itu karena pernyataan itu menggunakan tepat merujuk dalam objek yg terdapat atau dengan sempurna mewakili syarat sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan tentang metafisika dan lebih menentukan berbicara tentang hal-hal yang simpel serta implikasinya buat diskursus dan tindakan keseharian.
Paradigma Kritis Dan Media
Penelitian media massa lebih diletakkan dalam pencerahan bahwa teks atau wacana pada media massa memiliki dampak yg sedemikian rupa pada insan (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh aktivitas serta pemaknaan simbolik bisa dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran utama insan, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya sudah diambil sebagai empiris yg memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan buat memenangkan permasalahan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media dalam dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).
Pembahasan yang harus disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis akan tetapi terutama adalah kemampuan buat membedakan antara kuasa teks itu sendiri menggunakan kuasa struktur makro yg secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tadi (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen serta penghasil teks media punya opsi bagaimana teks wajib disimbolisasikan dan dimaknai permanen saja ada bingkai aktivitas serta opsi mereka yang terbentuk serta dipengaruhi oleh faktor yg berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau pembuat teks media.
Pengenalan dan pemahaman yang cukup komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas serta ideologi yg berada di pulang teks media yang bersangkutan sebagai hal yg penting. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang bisa menelanjangi, menggali serta mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yg kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).
Teori Kritis, Paradigma Dan Wacana Media
Ilmu komunikasi dapat mengkategorikan pada ilmu pengetahuan yg mempunyai aktivitas penelitian yg bersifat multi kerangka berpikir. Ini berarti, ilmu komunikasi adalah bidang ilmu yg menampilkan sejumlah kerangka berpikir atau perspektif dasar dalam ketika bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah kerangka berpikir sendiri bisa didefinisikan sebagai:
“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).
Paradigma adalah orientasi dasar buat teori dan riset. Pada umumnya suatu kerangka berpikir keilmuan merupakan sistem holistik berdasarkan berfikir. Paradigma terdiri berdasarkan perkiraan dasar, teknik riset yang digunakan, serta model misalnya apa seharusnya teknik riset yg baik (Newman, 1997:62-63).
Guba & Lincoln (1994:17-30) juga menyusun beberapa paradigma pada teori ilmu komunikasi. Paradigma yg dikemukakan itu terdiri menurut kerangka berpikir positivistik, paradigma pospositivistik, kerangka berpikir kritis, serta kerangka berpikir konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi pada bidang ilmu sosial berpendapat bahwa paradigma positivistik serta pospositivistik adalah kesatuan kerangka berpikir, yg seringkali dianggap menggunakan paradigma klasik. Implikasi metodologis dan teknis dari dua kerangka berpikir tadi, dalam prakteknya, tidak punya poly disparitas. Adanya konstelasi paradigma pada atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan pada 3 paradigma utama, yaitu kerangka berpikir klasik, kerangka berpikir kritis serta kerangka berpikir konstruktivisme. Jika terjadi 3 pembedaan paradigma pada ilmu sosial, maka terjadi disparitas pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.
Perbedaan antara ketiga paradigma ini juga dapat dibahas dari 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tadi adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis.
Dimensi epistemologis berkaitan menggunakan asumsi tentang hubungan antara peneliti menggunakan yang diteliti pada proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan menggunakan teori pengetahuan (theory of knowledge) yg inheren pada perspektif teori serta metodologi.
Dimensi ontologis herbi asumsi tentang objek atau realitas sosial yg diteliti. Dimensi metodologis meliputi perkiraan-asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan tentang suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika serta pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.
Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yg meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa kerangka berpikir kritis yang diinspirasikan dari teori kritis nir bisa melepaskan diri berdasarkan warisan Marxisme pada seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis dalam satu pihak merupakan keliru satu genre ilmu sosial yang berbasis pada ide-inspirasi Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).
Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis menghipnotis filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi empiris yg dikemukakan oleh kerangka berpikir adalah asumsi empiris yang tidak netral tetapi ditentukan serta terikat sang nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh karena itu, proyek utama menurut kerangka berpikir kritis merupakan pembebasan nilai dominasi dari grup yang ditindas. Hal ini akan menghipnotis bagaimana kerangka berpikir kritis memcoba membedah empiris dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis mengenai teks media.
Ada beberapa karakteristik utama pada semua filsafat pengetahuan paradigma kritis yang sanggup dipandang secara jelas. Ciri pertama merupakan karakteristik pemahaman kerangka berpikir kritis mengenai realitas. Realitas pada pandangan kritis acapkali disebut dengan empiris semu. Realitas ini tidak alami akan tetapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik serta ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada pada harmoni akan tetapi lebih dalam situasi permasalahan serta pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).
Ciri ke 2 merupakan ciri tujuan penelitian kerangka berpikir kritis. Karakteristik menyolok menurut tujuan paradigma kritis ada dan eksis merupakan kerangka berpikir yang merogoh perilaku untuk menaruh kritik, transformasi sosial, proses emansipasi serta penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian kerangka berpikir kritis adalah mengubah global yg tidak seimbang. Dengan demikian, seseorang peneliti pada kerangka berpikir kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yg nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).
Ciri ketiga adalah karakteristik titik perhatian penelitian kerangka berpikir kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan empiris yg dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yg diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual pada kembali proses transformasi sosial. Dari proses tadi, bisa dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan sebagai bagian yg tidak terpisahkan menurut analisis penelitian yang dibuat.
Karakteristik keempat menurut kerangka berpikir kritis merupakan pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara serta metodologi penelitiannya. Paradigma kritis pada hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam semua penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan buat melihat secara lebih dalam fenomena sosial yg telah, sedang serta akan terjadi.
Dengan demikian, ciri keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti buat melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, pada hal ini media massa berikut teks yg diproduksinya. Maka, pada paradigma kritis, penelitian yg bersangkutan nir mampu menghindari unsur subjektivitas peneliti, serta hal ini bisa menciptakan perbedaan penafsiran gejala sosial berdasarkan peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).
Dalam konteks ciri yg keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan pula analisis yg menyeluruh, kontekstual serta multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness pada seluruh kejadian sosial yg ada (Denzin, 2000:170).
Perkembangan teori kritis semakin jelas saat Sekolah Frankfurt sebagai motor penggerak teori tadi. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan dengan perkembangan ilmu sosial kritis dalam saat itu, Sekolah tadi pula merefleksikan peran media massa pada masyarakat waktu itu. Tentu saja, konteks Jerman pada saat itu jua sangat dipengaruhi sang sejarah Jerman dalam ketika pemerintahan Hitler (Nazi).
Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi indera pemerintah buat mengontrol publik, pada arti tertentu media sanggup sebagai bagian menurut ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan merupakan empiris yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi empiris yang rentan dikuasai sang kelompok yg lebih secara umum dikuasai serta berkuasa (Rogers, 1994:102-125).
Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan kabar pada atas merupakan keyakinan bahwa ada kekuatan laten pada masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi rakyat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses penguasaan dan marginalisasi grup tertentu pada seluruh proses komunikasi warga . Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran serta kegiatan komunikasi massa pula sangat dipengaruhi sang struktur ekonomi politik rakyat yang bersangkutan.
Proses pemberitaan tidak mampu dipisahkan dengan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yg dimanfaatkan menjadi sumber daya. Ini merupakan proses interplay, pada mana proses ekonomi politik dalam media akan membentuk serta dibentuk melalui proses produksi, distribusi serta konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yg terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab kasus yg terdapat. Apa yg nampak menurut bagian atas harian belum tentu mewakili kebenaran empiris itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan serta cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri.
Paradigma kritis tidak relatif puas pada jawaban, pola, struktur, simbol serta makna yang tersedia. Perlu ada pemaknaan yang lebih komprehensif serta kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis menjadi acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media pada konteks paradigma kritis.
Teori kritis melihat bahwa media tidak tanggal kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik kapital, negara atau kelompok yg menindas lainnya. Dalam artian ini, media sebagai indera dominasi serta hegemoni rakyat. Konsekuensi logisnya adalah empiris yang didapatkan oleh media bersifat dalam dirinya bias atau terdistorsi.
Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media merupakan pembentuk kesadaran. Representasi yg dilakukan sang media dalam sebuah struktur warga lebih dipahami sebagai media yang bisa memberikan konteks pengaruh pencerahan (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan pengaruh buat mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur eksklusif. Inilah sebabnya, media dalam kapasitasnya sebagai agen sosial seringkali mengandaikan juga praksis sosial serta politik.
Pendefinisian serta reproduksi empiris yang didapatkan sang media massa nir hanya ditinjau sebagai akumulasi fakta atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yg memiliki kepentingan yg tidak selaras satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan perannya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak bergerak maju pada proses rekonstruksi budaya akan tetapi media massa permanen sebagai realitas sosial yang bergerak maju.
Pertama, reproduksi empiris pada media pada dasarnya dan umumnya akan sangat ditentukan sang bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan serta politik penandaan. Bahasa di samping menjadi empiris sosial, tetap sanggup dipandang sebagai sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu empiris yg ingin mengindikasikan realitas lainnya (insiden atau pengalaman hidup manusia).
Dengan demikian, sebuah empiris dapat ditandakan secara berbeda pada insiden yang sama. Atau, bisa dikatakan bahwa pemaknaan yg tidak sama sanggup dilekatkan kepda insiden yang sama. Masalah terjadi saat suatu makna yang ditafsirkan serta dikonstruksi ulang oleh kelompok eksklusif menurut peristiwa yang sama tadi cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna eksklusif bisa lebih unggul serta lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ?
Mengapa pemaknaan lain pada luar pemaknaan yang telah dipengaruhi justru dimarginalisasikan? Dengan istilah lain, bahwa sesungguhnya waktu kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita pula melihat ranah atau daerah permasalahan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tadi lebih konkret terbentuk dalam sebuah wacana dan terartikulasikan pada proses pembentukan dan praksis bahasa.
Kedua, bahasa pada konteks wacana - terutama dalam konteks wacana komunikasi - sebetulnya meliputi pengiriman pesan dari sistem syaraf satu orang kepada yang lain, dengan maksud buat menghasilkan sebuah makna sama dengan yang terdapat pada benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan mulut selalu menggunakan istilah. Kata selalu merujuk pada keberadaan sebuah bahasa. Ini berarti kita sepakat bahwa kita menggunakan simbol bahasa pada kegiatan komunikasi.
Dalam perkembangan ilmu komunikasi terbaru, bahasa adalah kombinasi istilah yang diatur serta dikelola secara sistematis dan logis sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata adalah bagian integral berdasarkan keseluruhan simbol yang dibentuk oleh suatu grup eksklusif. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol bisa diartikan menjadi empiris yg mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan insan yg dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh karena itu, tidak terdapat interaksi yang berlaku secara alamiah serta selalu bersifat koresponden antara simbol dengan empiris yg disimbolkan.
Ketiga, politik penandaan lebih poly bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna eksklusif. Peran media massa pada praksis sosial penentuan indikasi dan makna tidak melepaskan diri menurut proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses dalam tataran aparatur kelompok lebih banyak didominasi saja akan tetapi jua melalui produksi serta reproduksi kekuasaan yg berada dalam ruang budaya - loka pada mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana menggunakan dimensi politik ruang (M.shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya pada ruang tertentu saja praksis ihwal yg lahir dari sejarah dominasi serta kompetisi kultur yg panjang sampai dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling mayoritas serta hegemonis yang pada gilirannya memilih rekayasa politik tentang.