PENGERTIAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN MENURUT AHLI

Pengertian Nilai Tambah Produk Pertanian 
Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas lantaran mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan menjadi selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk energi kerja. Sedangkan marjin merupakan selisih antara nilai produk dengan harga bahan bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yg digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya dan balas jasa pengusaha pengolahan (Hayami et al, 1987).

Berdasarkan pengertian tersebut, perubahan nilai bahan standar yang telah mengalami perlakuan pengolahan besar nilainya dapat diperkirakan. Dengan demikian, atas dasar nilai tambah yg diperoleh, marjin bisa dihitung serta selanjutnya imbalan bagi faktor produksi bisa diketahui. Nilai tambah yang semakin besar atas produk pertanian khususnya kelapa sawit dan karet tentunya bisa berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang akbar tentu saja berdampak bagi peningkatan lapangan usaha dan pendapatan warga yang muara akhirnya merupakan menaikkan kesejahteraan warga . Akan tetapi syarat yg terus berlangsung waktu ini produk kelapa sawit dan karet dalam jumlah yang signifikan diekspor tanpa mengalami pengolahan lebih lanjut pada pada negeri. Akhirnya laba nilai tambah atas kedua produk pertanian tersebut hanya dinikmati oleh pihak asing.

Industri serta Pengembangan Produk Kelapa Sawit serta Turunannya
Komoditas agroindustri adalah subsektor pertanian yang dibutuhkan bisa berperan krusial terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, serta pemerataan pembangunan wilayah. Ditinjau menurut cakupan komoditasnya, masih ada ratusan jenis tumbuhan tahunan serta tanaman musiman bisa tumbuh subur pada Indonesia, sebagai akibatnya pembangunan agroindustri akan dapat menjangkau aneka macam tipe komoditas yg sesuai dikembangkan di masingmasing wilayah di Indonesia. Dilihat menurut hasil produksinya, komoditas perkebunan merupakan bahan standar industri dan barang ekspor, sebagai akibatnya sudah melekat adanya kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan subsektor lainnya. Di samping itu, apabila diamati dari sisi pengusahaannya, lebih kurang 85 % komoditas agro merupakan bisnis perkebunan rakyat yg beredar di aneka macam daerah. Dengan demikian pembangunan industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama melalui kiprahnya dalam membentuk lapangan kerja dan distribusi pemerataan pendapatan. 

Bisnis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia berkembang pesat pada dekade 1990–2000an dengan daya saing yang relatif mengagumkan. Areal kelapa sawit tumbuh menggunakan laju lebih kurang 11% berdasarkan 1.126 juta ha pada tahun 1991 sebagai 3.584 pada tahun 2001 (Susila, 2004b). Perkembangan berikutnya (2000–2005) pertumbuhan ekspor CPO Indonesia serta dunia selalu positif. Pada periode ini, Malaysia masih lebih dominan daripada Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi. Pangsa ekspor CPO Malaysia rata-homogen mencapai lebih berdasarkan 50% ekspor CPO global, sementara pangsa ekspor Indonesia belum mencapai 40% (Nuryanti, 2008).

Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia menjadi penghasil serta eksportir CPO terbesar pada dunia, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula yaitu tahun 2010. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai pembuat CPO global meningkat tajam menjadi 44,3% dalam 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yg tumbuh rata-homogen 9,1 % per tahun. Sebaliknya kiprah Malaysia turun secara tajam menurut 49,8% dalam tahun 2000 menjadi 40,9% pada tahun 2008 (Miranti, 2010). Minat buat terus membuka lahan kebun sawit baru, dalam tahuntahun mendatang masih akan sangat akbar. Ini disebabkan oleh harga CPO pada pasar global yang masih akan terus naik, mengikuti kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional (Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak nabati, terutama CPO akan terus diincar sebagai bahan biodiesel karena harganya jauh lebih murah (Tanet al., 2009). 

Konsistensi peningkatan ekspor ini menurut kajian INDEF (2007) memberitahuakn bahwa: 
a. Serapan CPO oleh industri domestik masih rendah karena industri hilir kelapa sawit yang nir berkembang. 
b. Nilai tambah tertinggi diperoleh berdasarkan produksi CPO, bukan berdasarkan produk turunannya. 

Pengusaha masih lebih tertarik dalam industri utama (CPO) yg cenderung padat energi kerja, bukan padat kapital karena buat menghasilkan produk turunan dibutuhkan dana investasi yang tinggi. 

c. Tersedianya pangsa pasar dunia atas minyak sawit menggunakan pengembangan industri hilir serta sumber tenaga alternalif (biodiesel)

Kelapa sawit (CPO) adalah galat satu tumbuhan perkebunan yg memiliki kiprah krusial bagi subsektor perkebunan. Hilirisasi kelapa sawit diantaranya memberi manfaat pada peningkatan pendapatan petani dan rakyat, membentuk nilai tambah pada dalam negeri, penyerapan energi kerja, pengembangan wilayah industri, proses alih teknologi, serta buat ekspor sebagai pembuat devisa. Di luar itu, berdasarkan sisi upaya pelestarian lingkungan hidup, tanaman kelapa sawit yang adalah tumbuhan tahunan berbentuk pohon (tree crops) bisa berperan pada penyerapan imbas gas rumah kaca, misalnya CO2, dan bisa membuat O2 atau jasa lingkungan lainnya, seperti konservasi biodiversity atau eko-wisata (Kementan, 2007). Tanaman kelapa sawit juga sebagai asal pangan serta gizi primer penduduk pada negeri, sebagai akibatnya keberadaannya berpengaruh sangat konkret pada perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Komoditas kelapa sawit adalah primadona perdagangan ekspor Indonesia dalam sub-sektor perkebunan dan adalah keliru satu industri pertanian yg strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang sejalan dengan taraf permintaannya. Kelapa sawit pula adalah galat satu berdasarkan sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang mempunyai daya saing pada pasar Internasional . 

Meskipun mempunyai industri bahan standar yang melimpah, namun perkembangan industri ini masih kalah dibandingkan menggunakan Malaysia yang kapasitas produksinya mencapai dua kali lipat berdasarkan Indonesia. Sebagai gambaran, Indonesia menguasai kurang lebih 12 % permintaan oleochemical global yang mencapai enam juta metrik ton per tahun, sementara Malaysia mencapai 18,6 %. Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO sebagai lebih berdasarkan 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk. Industri oleokimia merupakan industri yang strategis lantaran selain keunggulan komparatif yakni ketersediaan bahan standar yang melimpah juga memberikan nilai tambah produksi yg cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010).

Industri oleokimia merupakan industri antara yang berbasis minyak kelapa sawit (CPO) serta minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk ini dapat didapatkan aneka macam jenis produk antara sawit yg dipakai sebagai bahan standar bagi industri hilirnya baik buat kategori pangan ataupun non pangan. Di antara grup industri antara sawit tadi keliru satunya adalah oleokimia dasar (fatty acid, fatty , fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tadi menjadi bahan baku bagi beberapa industri misalnya farmasi, toiletries, dan kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id, 2010 ). 

Menurut Didu (2003), dari segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi produk dilakukan akan menaruh nilai tambah yg sangat signifikan. Produk level pertama kelapa sawit berupa CPO akan menaruh nilai tambah kurang lebih 30 % berdasarkan nilai TBS. Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-masing nilai tambah berbasis TBS menjadi berikut: minyak goreng (50 persen), asam lemak/fatty acid (100persen), ester (150–200 %), surfaktan atau pengemulsi (300–400 %), serta kosmetik (600–1000 %).

Gambar  Pohon Industri Kelapa Sawit

Sumber : Fadhil Hasan, Nilai Tambah Kelapa Sawit (2011)

Produksi serta Konsumsi Minyak Nabati Dunia 
Produksi CPO dunia mengalami lonjakan pertumbuhan yg relatif mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari 33,5 juta ton pada 2004 sebagai 43,tiga juta ton pada 2008 atau tumbuh homogen-homogen 6,63 persen per tahun. Lonjakan pertumbuhan ini terutama ditimbulkan produksi CPO Indonesia yg meningkat 5,9 juta ton dalam periode yg sama yakni menurut 13,6 juta ton sebagai 19,2 juta ton atau bertumbuh homogen-rata 9,1 % per tahun. Produksi CPO dunia diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 45,1 juta ton dalam 2009 serta 47,1 juta ton pada 2010 yg dipicu sang semakin meningkatnya permintaan China serta India, konsumen CPO terbesar global (Miranti, 2010).

Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak nabati global mencapai 160 juta ton, 10 dimana 48 juta ton (30 %) diantaranya dari menurut minyak kelapa sawit, disusul sang minyak kedelai (23 %). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit ini terjadi karena banyaknya produk yang didapatkan menggunakan memakai bahan baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) pada samping harga CPO yg jauh lebih murah hingga mencapai 200 USD/ton kekamibang rapeseed oil (Tan et al., 2009). 

Konsumsi CPO dunia meningkat pesat menurut 29,2 juta ton dalam 2004 menjadi 43,3 juta ton dalam 2008 atau bertumbuh homogen-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yg hanya 6,6 % per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton dalam 2009 dan 47,lima juta ton dalam 2010, sejalan dengan semakin tinggi pesatnya permintaan CPO di negara-negara konsumen khususnya China, India, serta Uni Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan produksi dan konsumsi CPO dunia tersaji dalam tabel berikut :

Tabel Perkembangan Produksi dan Konsumsi CPO

Potensi Produksi Nasional 
Produksi CPO Indonesia tumbuh signifikan homogen-rata 13,4 persen selama satu dasawarsa terakhir, yang didukung sang pertumbuhan areal tanam homogen-homogen 6,7 persen per tahun. Pangsa produksi CPO Indonesia pada pasar internasional senantiasa memperlihatkan tren peningkatan. Total produksi Minyak Sawit (CPO dan CPKO) dunia dalam 2010 sebanyak 47,1 juta ton, di mana Indonesia dan Malaysia menguasai lebih menurut 80 persen produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia sebesar 47,0 persen sedangkan Malaysia sebesar 38,2 persen, sisanya sebanyak 14,8 persen merupakan sharesejumlah negara-negara lain.

Peningkatan pangsa produksi CPO nir lepas dari dukungan bertambahnya luas areal kebun kelapa sawit. Wilayah Pulau Sumatera adalah kontributor terbesar produksi kelapa sawit Indonesia dengan luas huma sekitar 70 persen dari total lahan kelapa sawit nasional.nanggroe Aceh Darussalam memiliki luas areal 454,4 ribu ha, Sumatera Utara 258,6 ribu ha, Sumatera Barat 47,7 ribu ha, Riau 1,5 juta ha, Jambi 511,4 ribu ha, Sumatera Selatan 1,tiga juta ha, Kalimantan Barat 1,dua juta ha, Kalimantan Tengah 1,4 juta ha, Kalimantan Kamiur dua,8 juta ha, Kalimantan Selatan 965,5 ribu ha, Papua 1,lima juta ha, serta Sulawesi Tengah 215,7 ribu ha.

Tabel Pertumbuhan Luas Areal Kelapa Sawit

Market Share
Ekspor minyak sawit Indonesia semester I 2011 sebanyak 8,20 juta metrik ton, meningkat 730 ribu metrik ton menurut tahun sebelumnya (meningkat 8,9 persen). Ekspor pada semester I 2010 sebesar 7,47 juta ton metrik. Ekspor minyak kelapa sawit terdiri berdasarkan minyak sawit dan minyak kernel, dan pada bentuk minyak mentah dan diproses. Pangsa ekspor minyak sawit pada Indonesia dalam semester I 2011 sebesar 92,07 % (7,55 juta metrik ton), sedangkan pangsa minyak kernel hanya 7,97 % (652 ribu metrik ton) [GAPKI, 2011].

Dari kedua jenis minyak sawit tadi Indonesia mengekspor lebih poly minyak mentah dibandingkan menggunakan minyak olahan. Berdasarkan data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) semester I 2011 ekspor minyak sawit mentah mencapai 56,02 %, ad interim minyak sawit diproses hanya 43,98 persen. Tetapi, apabila dibandingkan menggunakan ekspor 2010, persentase minyak sawit olahan mengalami penurunan, di sisi lain persentase minyak sawit mentah telah meningkat. Pada 2010, ekspor minyak sawit olahan 46,19 persen berdasarkan ekspor total minyak sawit serta minyak sawit mentah 53,81 persen. 

Kondisi sebaliknya terjadi dalam ekspor minyak kernel, di mana terdapat peningkatan ekspor minyak kernel yg sudah diproses, ad interim minyak kernel mentah menurun. 

Dari 96 ribu metrik ton minyak kernel diproses (14,93 %) dalam semester I 2010 semakin tinggi sebagai 107 ribu metrik ton (16,42 %) dalam semester I 2011. Untuk ekspor minyak kernel mentah, menurun menurut 552 ribu metrik ton (85,06 persen) pada semester I 2010 sebagai 546 ribu metrik ton (83,58 persen) pada semester I 2011 (GAPKI, 2011). Peningkatan minyak kelapa sawit Indonesia didorong sang kenaikan impor ke India dan China, India membeli 1/2 impor minyak sawit menurut Indonesia serta Malaysia. India sudah melampaui China menjadi pembeli terbesar di global minyak sawit.

Nilai Tambah Bisnis
Dilihat menurut nilai tambah usaha, industri pengolahan CPO sebagai salah satu industri yg prospektif buat dikembangkan ke depan. Selain buat industri minyak makanan serta industri oleokimia, kelapa sawit dapat jua sebagai asal energi alternatif. 

Kementerian Pertanian (2005) mencatat konsumsi minyak sawit domestik mencapai 50-60 persen berdasarkan produksi. Sebagian besar penggunaannya, hampir 85 %, buat pangan sedangkan buat industri oleokomia hanya kurang lebih 15 persen. Nilai tambah ekonomi (baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah teknis) produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung berdasarkan harga bahan baku, taraf kesulitan pada ekstraksi produk, dan harga produk turunan pada pasar. Tetapi, satu hal yg pasti, semakin bisa dimanfaatkan/diperlukan produk turunan tersebut, nilai tambahnya semakin tinggi. CPO yang diolah sebagai sabun mandi saja telah membentuk nilai tambah sebanyak 300 %, terlebih lagi bila dapat dijadikan kosmetik yg nilai tambahnya mencapai 600 persen. Nilai tambah CPO jika diolah menjadi minyak goreng sawit sebesar 60 persen, sedangkan bila menjadi margarin mencapai 180 % (Kementerian Perindustrian, 2011).

Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha mendorong pengembangan produk turunan CPO, baik untuk keperluan bahan standar industri pangan juga non pangan. Produk pangan yg bisa didapatkan menurut CPO dan CPKO, seperti emulsifier, margarin, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri, yogurt, serta lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang didapatkan menurut CPO serta CPKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas, fatty alcohol, biodiesel, serta lain-lain.

Di luar itu,juga terdapat produk samping/limbah, seperti tandan kosong buat bahan kertas (pulp), pupuk hijau (kompos), karbon, rayon; cangkang biji buat bahan bakar serta karbon; serat buat fibre board serta bahan bakar; btg pohon serta pelepah buat mebel pulp paper dan kuliner ternak; limbah kernel serta sludge dapat dipakai buat makanan ternak (Kementerian Pertanian, 2011). Dengan demikian, banyak nilai tambah yang bisa didapatkan dari sebuah tumbuhan bernama kelapa sawit, akan sangat disayangkan bila hanya diekspor dalam bentuk mentah. 

Nilai Tambah Teknis 
Nilai tambah CPO dapat diperoleh dari pengembangannya pada industri minyak, kuliner juga industri oleokimia (Gambar 4.dua). Sayangnya, sejauh ini produk hilir CPO pada Indonesia belum banyak berkembang dibandingkan Malaysia, saat ini Indonesia baru menghasilkan sekitar 40 jenis, sementara Malaysia sudah memproduksi lebih dari 100 Jenis (Kemenperin, 2011). Beberapa produk hilir CPO yang sudah diproduksi di Indonesia diantaranya: (a) minyak goreng, margarin, vegetable gee (minyak samin), cocoa butter substitute (CBS), cocoa butter equivalent (CBE); (b) soap chip, sabun; (c) fatty acid, fatty alkohol, glycerin; serta (d) biodiesel.

Melihat banyaknya produk turunan yang dapat dikembangkan berdasarkan komoditas CPO pada atas dan nilai tambah ekonomi yang dapat didapatkan, maka upaya hilirisasi CPO perlu disikapi secara positif. 

Forward-backward Linkage
Berdasarkan model serta data Input-Output 2008 dapat digunakan buat mengetahui inter-industry connectivity CPO, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Gambar pada bawah ini memberitahuakn sektor yg memiliki keterkaitan ke depan tertinggi adalah industri minyak serta lemak, kemudian kelapa sawit, industri kimia, serta industri kuliner lainnya. Sedangkan sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang tertinggi merupakan sektor industri pupuk dan pestisida, disusul lembaga keuangan, kelapa sawit, bangunan, serta jasa lainnya.

Potensi Permintaan
Siering peningkatan harga CPO pada pasar internasional, harga produk hilirnya pun tentu jua mengalami peningkatan. Sekadar gambaran, buat produk hilirisasi minyak goreng, harga rata-rata minyak goreng curah serta minyak goreng bungkus pada 2 tahun terakhir mengalami peningkatan relatif signifikan. 

Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan 
Pengembangan agroindustri akan sangat strategis bila dijalankan secara terpadu dan berkelanjutan. Terpadu merupakan ada keterkaitan bisnis sektor hulu serta hilir secara sinergis serta produktif dan terdapat keterkaitan antarwilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Berkelanjutan, sebagaimana dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, adalah “Pembangunan yg sesuai dengan kebutuhan kini tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya buat memenuhi kebutuhannya” (Plummer, 2005).

Saat ini perkara yg dihadapi oleh industri CPO nasional terutama infrastruktur termasuk akses jalan dan konektivitasnya menggunakan pengangkutan pada pelabuhan buat mendukung industri pengolahan CPO. Masalah lain yang dihadapi adalah tidak selaras menggunakan pertumbuhan industri turunannya. Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya diikuti pertumbuhan industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine, methyl esther. Sampai ketika ini CPO belum dimanfaatkan secara opkamial buat pengembangan industri hilir. Produk industri hilir output olahan CPO yg pengembangannya masih minim seperti surfactant, farmasi, kosmetik, dan produk kimia dasar organik. Padahal dengan menyebarkan industri hilir, maka nilai mata rantai dan nilai tambah produk CPO akan meningkat. Apalagi, produk turunan CPO memiliki hubungan menggunakan sektor usaha serta kebutuhan rakyat pada bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif makanan, pengawet kuliner, penyedap makanan, kemasan plastik (Afifuddin serta Kusuma, 2007; Dou, 2009; ICN, 2009a). 

Pengembangan Karet serta Industri Karet Nasional 
Karet merupakan galat satu komoditi perkebunan krusial, baik buat sumber pendapatan, kesempatan kerja, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-pusat baru pada daerah sekitar perkebunan karet, maupun pelestarian lingkungan serta asal daya biologi. Tanaman karet merupakan flora perkebunan yg tumbuh fertile di Indonesia. 

Tanaman ini membuat getah karet (lateks) yang bisa diperdagangkan pada masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya,produk-produk tadi dipakai menjadi bahan baku pabrik crumb rubber (karet remah), yg menghasilkan aneka macam bahan baku buat berbagai industri hilir, seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan berdasarkan karet, dan aneka macam produk hilir lainnya. Tersedianya huma yang luas memberikan peluang buat membentuk produksi karet alam pada jumlah besar . Di sisi lain, produksi karet alam jua bisa ditingkatkan menggunakan pemugaran teknologi pengolahan karet buat menaikkan efisiensi, sehingga lateks yg didapatkan berdasarkan getah bisa lebih banyak dan menghasilkan material sisa yg semakin sedikit.

Potensi Produksi
Indonesia berada pada peringkat kedua sebagai negara produsen karet alam terbesar pada global pada 2010 dengan pangsa lebih kurang 28 persen berdasarkan produksi karet alam dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand dengan pangsa produksi sekitar 30 % berdasarkan produksi karet alam global. Posisi ini nir berubah dibanding tahun sebelumnya, pada mana produksi karet Indonesia pada 2009 sebanyak 2,4 juta ton berada di urutan kedua global, sementara Thailand menempati urutan pertama menggunakan 3,1 juta ton, serta Malaysia di urutan ketiga dengan 951 ribu ton (Kina, 2010). Padahal kebun karet Indonesia adalah yg terluas di dunia, yaitu mencapai tiga,40 juta ha, disusul Thailand menggunakan 2,67 juta ha serta Malaysia dengan 1,02 juta ha (Kementerian Pertanian, 2009). Ini menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan karet Indonesia masih tertinggal dibanding pesaing primer, Thailand.

Pemerintah telah memutuskan target peningkatan produksi karet alam Indonesia sebesar tiga-4 juta ton per tahun dalam 2020. Upaya peningkatan produksi ini selain membutuhkan peningkatan produktivitas huma tentunya pula membutuhkan bonus harga produk karet yg menguntungkan. Dari sisi harga ini, dalam pertengahan 2006, karet alam global mencapai harga US$2,5 per kg. Harga tersebut sangat menarik bagi petani dan pelaku bisnis karet lainnya. Tren peningkatan terus terjadi sampai 2008, harga karet dunia mencapai US$tiga,4 per kg. Ini adalah harga karet alam tertinggi selama 50 tahun terakhir (MediaData, 2009). Sementara dari segi areal perkebunannya, Indonesia memilik hamparan kebun karet terluas pada global. Menurut catatan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, hingga 2008 lalu luas areal perkebunan karet Indonesia mencapai kurang lebih 3,47 juta ha dengan total produksi karet alam sebesar dua,9 juta ton. Pada 2009, luas areal perkebunan karet bertambah menjadi 3,52 juta ha dengan produksi sebanyak tiga,0 juta ton (Media Data, 2009).

Market Share
Karet alam termasuk sepuluh komoditas ekspor terbesar Indonesia berdasarkan 2008-2010, menggunakan nilai ekspor US$7.329,1 juta pada 2010 (UN Comtrade, 2011). Sementara dipandang berdasarkan negara tujuan ekspor, sepanjang 2005-2009 ekspor karet Indonesia pada bentuk remah sebagian besar tertuju ke Amerika Serikat menggunakan rata-homogen pangsa 28 %, disusul China 16 %, Jepang 14 persen, dan Singapura 6 %. Dengan pangsa ekspor ke Amerika Serikat yang cukup akbar tadi, maka wajar saat krisis dunia melanda Amerika Serikat ekspor Indonesia ke negara tadi menurun tajam. Padahal ekspor karet alam Indonesia sempat mencapai angka tertinggi pada 2007 sebesar 2,4 juta ton, namun lantaran krisis tadi ekspor menurun pada 2008 menjadi 2,dua juta ton dan turun lagi pada2009 sebagai 1,9 juta ton.

Ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh jenis SIR/TSR (Standard Indonesia Rubber/Technically Specified Rubber) yangmencapai 93,6persen dari total ekspor. Di antara karet alam jenis SIR itu, jenis karet alam yang paling banyak diminta sang kalangan industri ban adalah SIR 20.sementara itu, ekspor produk karet masih nisbi mini kendati terus menunjukkan peningkatan. Pada 2004 nilai ekspor produk karet Indonesia mencapai US$774,9 juta dan naik menjadi US$1,5 miliar pada 2008. Produk karet yang diekspor terutama berupa ban, sarung tangan karet dan produk karet lainnya. Pada 2008 ekspor ban Indonesia mencapai US$ 934 juta, sedangkan nilai ekspor sarung tangan karet mencapai US$ 175,9 juta.

Konsumsi karet alam pada dalam negeri sejauh ini masih nisbi mini . Pada 2009 volume karet alam yang dikonsumsi pada pada negeri hanya lebih kurang 15persen (422ributon) berdasarkan total produksi karet alam nasional(Gambar 4.9).dari jumlah konsumsi domestik itu, sekitar 55persendi antaranya dari menurut konsumsi industri ban. Konsumsi domestik lainnya dari menurut industri vulkanisir, industri sepatu dan alas kaki, sarung tangan dan benang, produk karet industri lainnya, peralatan rumah tangga,dan peralatan olahraga.

Nilai Tambah Bisnis
Prospek bisnis pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan tetap menarik, karena marjin laba yang diperoleh pabrik relatif pasti. Marjin pemasaran berkisar antara 3,7-32,5 persen menurut harga FOB (Free On Board), tergantung pada tingkat harga yang berlaku (Kementerian Pertanian, 2007). Tingkat harga FOB itu sendiri sangat dipengaruhi oleh harga global yg mencerminkan permintaan dan penawaran karet alam, serta harga beli pabrik ditentukan kontrak pabrik dengan pembeli/buyer (biasanya pabrik ban) yg wajib dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan semakin akbar bila harga semakin tinggi. 

Pemanfaatan karet alam pada luar industri ban kendaraan di Indonesia masih relative mini , mengingat industri karet pada luar ban umumnya dalam skala mini atau menengah. 

Sementara itu, industri berbasis lateks dalam waktu ini belum berkembang karena poly menghadapi kendala. Kendala utama adalah rendahnya daya saing produk-produkindustri lateks Indonesia jika dibandingkan menggunakan produsen lain, terutama Malaysia.

Selain itu, produktivitas karet Indonesia juga lebih rendah dibanding India, hanya kurang lebih 50 % saja dari produktivitas karet di India (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Meskipun demikian, di pulang tantangan inilah sesungguhnya letak peluang bisnis hilirisasi industri karet alam mengingat pasar yg relatif potensial dan kompetisi antarprodusen di Indonesia yg nisbi masih terbatas.

Nilai Tambah Teknis
Indonesia belum bisa memanfaatkan produk karet alam secara opkamial. Dari lebih kurang 2,9 juta ton produk karet nasional, sebanyak 85 % diekspor pada bentuk bahan standar (crumb rubber, sheet, lateks, dan sebagainya). Hanya kurang lebih 15 persen produk karet alam yang diserap oleh industri rekayasa di pada negeri (Media Data, 2009). Kondisi ini jauh tidak selaras dibandingkan menggunakan Malaysia, dimana industri hilir pada negeri bisa menyerap lebih kurang 70 persen berdasarkan total produksi negara tadi (Kementerian Pertanian, 2007). Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yg berbasis karet alam. Hal ini menyebabkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih relatif rendah. 

Pohon Industri Karet
Banyak produk turunan yang dapat dikembangkan dari karet alam. Hasil primer dari pohon karet merupakan lateks, yg dapat dijual atau diperdagangkan dimasyarakat berupa lateks segar, slab (koagulasi), ataupun sit asap (sit angin). Selanjutnya, produkproduk tadi akan digunakan sebagai bahan standar pabrik crumb rubber, yg membentuk berbagai bahan standar buat berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet busa ,sarung tangan, mainan berdasarkan karet, dan banyak sekali produk hilir lainnya.

Forward-backward Linkage
Berdasarkan contoh dan data Input-Output 2008 dapat dipakai buat mengetahui inter industry connectivity karet, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi adalah industri barang karet serta plastik, lalu karet, industri tekstil, pakaian serta kulit, dan industri kimia. Sedangkan sektor yg mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor karet, disusul industri pupuk serta pestisida, industri kimia, perdagangan, serta bangunan.

Potensi Permintaan
Permintaan karet alam dunia cenderung meningkat menurut periode 2008-2011. 
Peningkatan permintaan terutama dari China, India, Brazil serta negara-negara yg memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia Pasifik. Bahkan pada tahun 2008 dan 2010 sempat terjadi defisit permintaan karet masing-masing sebesar 47 ribu ton dan 377 ribu ton, terutama karena meningkatnya permintaan menurut Asia Pasifik. Menurut IRSG (International Rubber Studi Group) diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam dua dasa warsa ke depan (Kementerian Perindustrian, 2007).

Tren peningkatan permintaan karet alam global mendorong kenaikan harga. Hal ini adalah bonus bagi pembuat karet untuk menaikkan produksinya. Pada akhir 2008, harga karet alam di pasar global sempat turun hingga ke level terendah senilai US$1,dua per kg. Hal ini ditimbulkan turunnya harga minyak mentah global serta terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat. Padahal, selama ini Amerika Serikat merupakan importir karet alam terbesar dunia beserta China serta Jepang. Tetapi, tren peningkatan harga pulang terjadi baik buat karet TSR20 juga RSS3 semenjak triwulan I 2009 sampai triwulan I 2011.

Lokasi Penyebaran
Sejumlah lokasi di Indonesia mempunyai keadaan huma yang cocok buat penanaman karet, sebagian akbar berada di daerah Sumatera dan Kalimantan. Dengan adanya penyebaran lahan‐huma penanaman pohon karet hampir di semua provinsi yang ada pada Indonesia saat ini akan membantu dalam pemenuhan kebutuhan karet alami dan pemenuhan industri pengolahan output menurut pengolahan pohon karet.

Pengembangan industri karet di wilayah Sumatera merupakan hal yg cukup realistis buat segera diwujudkan. Dengan pangsa produksi karet alam sebesar 65 persen menurut total produksi nasional ketersediaan bahan standar di daerah ini relatif lebih terjamin (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Lebih dari itu, menggunakan semakin meningkatnya industri otomotif di dunia dibutuhkan permintaan karet alami akan semakin meningkat ke depan.

PENGERTIAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN MENURUT AHLI

Pengertian Nilai Tambah Produk Pertanian 
Nilai tambah (value added) merupakan pertambahan nilai suatu komoditas lantaran mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan pada suatu produksi. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan menjadi selisih antara nilai produk dengan nilai porto bahan standar serta input lainnya, nir termasuk tenaga kerja. Sedangkan marjin merupakan selisih antara nilai produk menggunakan harga bahan bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yang dipakai yaitu tenaga kerja, input lainnya serta balas jasa pengusaha pengolahan (Hayami et al, 1987).

Berdasarkan pengertian tersebut, perubahan nilai bahan baku yg telah mengalami perlakuan pengolahan besar nilainya dapat diperkirakan. Dengan demikian, atas dasar nilai tambah yg diperoleh, marjin dapat dihitung dan selanjutnya imbalan bagi faktor produksi bisa diketahui. Nilai tambah yang semakin akbar atas produk pertanian khususnya kelapa sawit dan karet tentunya bisa berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang besar tentu saja berdampak bagi peningkatan lapangan usaha serta pendapatan masyarakat yang muara akhirnya adalah menaikkan kesejahteraan masyarakat. Akan namun kondisi yg terus berlangsung ketika ini produk kelapa sawit serta karet pada jumlah yang signifikan diekspor tanpa mengalami pengolahan lebih lanjut di dalam negeri. Akhirnya laba nilai tambah atas kedua produk pertanian tadi hanya dinikmati oleh pihak asing.

Industri dan Pengembangan Produk Kelapa Sawit dan Turunannya
Komoditas agroindustri merupakan subsektor pertanian yang diharapkan dapat berperan krusial terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, serta pemerataan pembangunan daerah. Ditinjau menurut cakupan komoditasnya, masih ada ratusan jenis tumbuhan tahunan serta tanaman musiman dapat tumbuh subur pada Indonesia, sehingga pembangunan agroindustri akan dapat menjangkau banyak sekali tipe komoditas yg sinkron dikembangkan di masingmasing daerah di Indonesia. Dilihat berdasarkan hasil produksinya, komoditas perkebunan adalah bahan baku industri serta barang ekspor, sebagai akibatnya telah inheren adanya kebutuhan keterkaitan aktivitas bisnis dengan aneka macam sektor serta subsektor lainnya. Di samping itu, apabila diamati berdasarkan sisi pengusahaannya, sekitar 85 % komoditas agro merupakan usaha perkebunan rakyat yg beredar di berbagai wilayah. Dengan demikian pembangunan industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama melalui perannya dalam membangun lapangan kerja serta distribusi pemerataan pendapatan. 

Bisnis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia berkembang pesat pada dasa warsa 1990–2000an dengan daya saing yg relatif mengagumkan. Areal kelapa sawit tumbuh menggunakan laju sekitar 11% berdasarkan 1.126 juta ha pada tahun 1991 sebagai tiga.584 pada tahun 2001 (Susila, 2004b). Perkembangan berikutnya (2000–2005) pertumbuhan ekspor CPO Indonesia serta dunia selalu positif. Pada periode ini, Malaysia masih lebih secara umum dikuasai daripada Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi. Pangsa ekspor CPO Malaysia rata-homogen mencapai lebih berdasarkan 50% ekspor CPO global, sementara pangsa ekspor Indonesia belum mencapai 40% (Nuryanti, 2008).

Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula yaitu tahun 2010. Dalam 5 tahun terakhir, kiprah Indonesia menjadi pembuat CPO dunia meningkat tajam sebagai 44,3% dalam 2008, sejalan menggunakan pesatnya pertumbuhan produksi yg tumbuh rata-homogen 9,1 % per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 49,8% pada tahun 2000 menjadi 40,9% dalam tahun 2008 (Miranti, 2010). Minat buat terus membuka lahan kebun sawit baru, pada tahuntahun mendatang masih akan sangat besar . Ini ditimbulkan oleh harga CPO pada pasar dunia yang masih akan terus naik, mengikuti kenaikan harga minyak mentah pada pasar internasional (Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak botani, terutama CPO akan terus diincar sebagai bahan biodiesel karena harganya jauh lebih murah (Tanet al., 2009). 

Konsistensi peningkatan ekspor ini berdasarkan kajian INDEF (2007) memberitahuakn bahwa: 
a. Serapan CPO sang industri domestik masih rendah karena industri hilir kelapa sawit yg nir berkembang. 
b. Nilai tambah tertinggi diperoleh dari produksi CPO, bukan berdasarkan produk turunannya. 

Pengusaha masih lebih tertarik dalam industri primer (CPO) yg cenderung padat energi kerja, bukan padat kapital karena buat memproduksi produk turunan dibutuhkan dana investasi yang tinggi. 

c. Tersedianya pangsa pasar global atas minyak sawit menggunakan pengembangan industri hilir dan asal tenaga alternalif (biodiesel)

Kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu flora perkebunan yang memiliki kiprah penting bagi subsektor perkebunan. Hilirisasi kelapa sawit diantaranya memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan petani serta warga , membangun nilai tambah pada pada negeri, penyerapan energi kerja, pengembangan wilayah industri, proses alih teknologi, dan buat ekspor sebagai penghasil devisa. Di luar itu, dari sisi upaya pelestarian lingkungan hayati, flora kelapa sawit yg adalah tanaman tahunan berbentuk pohon (tree crops) dapat berperan pada penyerapan efek gas tempat tinggal kaca, misalnya CO2, dan sanggup menghasilkan O2 atau jasa lingkungan lainnya, seperti perlindungan biodiversity atau eko-wisata (Kementan, 2007). Tanaman kelapa sawit jua sebagai asal pangan dan gizi primer penduduk dalam negeri, sebagai akibatnya keberadaannya berpengaruh sangat nyata dalam perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Komoditas kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor Indonesia dalam sub-sektor perkebunan serta adalah galat satu industri pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan sang peningkatan produksi yang sejalan dengan tingkat permintaannya. Kelapa sawit jua merupakan salah satu berdasarkan sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang memiliki daya saing di pasar Internasional . 

Meskipun memiliki industri bahan standar yang melimpah, namun perkembangan industri ini masih kalah dibandingkan menggunakan Malaysia yang kapasitas produksinya mencapai 2 kali lipat menurut Indonesia. Sebagai citra, Indonesia menguasai sekitar 12 persen permintaan oleochemical global yang mencapai enam juta metrik ton per tahun, ad interim Malaysia mencapai 18,6 persen. Industri hilir Malaysia sanggup mengolah CPO sebagai lebih menurut 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk. Industri oleokimia adalah industri yang strategis lantaran selain keunggulan komparatif yakni ketersediaan bahan standar yang melimpah jua memberikan nilai tambah produksi yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen berdasarkan nilai bahan bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010).

Industri oleokimia adalah industri antara yang berbasis minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari ke 2 jenis produk ini dapat didapatkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan menjadi bahan standar bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan ataupun non pangan. Di antara grup industri antara sawit tersebut galat satunya merupakan oleokimia dasar (fatty acid, fatty , fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri misalnya farmasi, toiletries, dan kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id, 2010 ). 

Menurut Didu (2003), berdasarkan segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yg sangat signifikan. Produk level pertama kelapa sawit berupa CPO akan menaruh nilai tambah lebih kurang 30 % dari nilai TBS. Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-masing nilai tambah berbasis TBS menjadi berikut: minyak goreng (50 persen), asam lemak/fatty acid (100persen), ester (150–200 %), surfaktan atau pengemulsi (300–400 %), serta kosmetik (600–1000 %).

Gambar  Pohon Industri Kelapa Sawit

Sumber : Fadhil Hasan, Nilai Tambah Kelapa Sawit (2011)

Produksi serta Konsumsi Minyak Nabati Dunia 
Produksi CPO dunia mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup mengesankan pada beberapa tahun terakhir, yakni berdasarkan 33,5 juta ton pada 2004 menjadi 43,tiga juta ton pada 2008 atau tumbuh homogen-homogen 6,63 % per tahun. Lonjakan pertumbuhan ini terutama ditimbulkan produksi CPO Indonesia yg semakin tinggi 5,9 juta ton pada periode yg sama yakni berdasarkan 13,6 juta ton sebagai 19,2 juta ton atau bertumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Produksi CPO dunia diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 45,1 juta ton dalam 2009 serta 47,1 juta ton dalam 2010 yang dipicu oleh semakin meningkatnya permintaan China dan India, konsumen CPO terbesar global (Miranti, 2010).

Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak botani dunia mencapai 160 juta ton, 10 dimana 48 juta ton (30 persen) antara lain berasal menurut minyak kelapa sawit, disusul oleh minyak kedelai (23 persen). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit ini terjadi karena banyaknya produk yang dihasilkan dengan memakai bahan baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) di samping harga CPO yang jauh lebih murah hingga mencapai 200 USD/ton kekamibang rapeseed oil (Tan et al., 2009). 

Konsumsi CPO global semakin tinggi pesat menurut 29,dua juta ton dalam 2004 menjadi 43,tiga juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-homogen 9,9 % per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya 6,6 % per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO global akan terus bertumbuh sebagai 45,3 juta ton dalam 2009 dan 47,5 juta ton dalam 2010, sejalan menggunakan meningkat pesatnya permintaan CPO pada negara-negara konsumen khususnya China, India, serta Uni Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan produksi dan konsumsi CPO dunia tersaji dalam tabel berikut :

Tabel Perkembangan Produksi dan Konsumsi CPO

Potensi Produksi Nasional 
Produksi CPO Indonesia tumbuh signifikan rata-rata 13,4 persen selama satu dasawarsa terakhir, yang didukung sang pertumbuhan areal tanam homogen-rata 6,7 % per tahun. Pangsa produksi CPO Indonesia di pasar internasional senantiasa menerangkan tren peningkatan. Total produksi Minyak Sawit (CPO serta CPKO) dunia pada 2010 sebanyak 47,1 juta ton, pada mana Indonesia serta Malaysia menguasai lebih menurut 80 persen produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia sebesar 47,0 % sedangkan Malaysia sebanyak 38,2 %, sisanya sebesar 14,8 % merupakan sharesejumlah negara-negara lain.

Peningkatan pangsa produksi CPO nir tanggal dari dukungan bertambahnya luas areal kebun kelapa sawit. Wilayah Pulau Sumatera merupakan kontributor terbesar produksi kelapa sawit Indonesia menggunakan luas huma sekitar 70 persen dari total lahan kelapa sawit nasional.nanggroe Aceh Darussalam memiliki luas areal 454,4 ribu ha, Sumatera Utara 258,6 ribu ha, Sumatera Barat 47,7 ribu ha, Riau 1,5 juta ha, Jambi 511,4 ribu ha, Sumatera Selatan 1,3 juta ha, Kalimantan Barat 1,dua juta ha, Kalimantan Tengah 1,4 juta ha, Kalimantan Kamiur dua,8 juta ha, Kalimantan Selatan 965,lima ribu ha, Papua 1,5 juta ha, dan Sulawesi Tengah 215,7 ribu ha.

Tabel Pertumbuhan Luas Areal Kelapa Sawit

Market Share
Ekspor minyak sawit Indonesia semester I 2011 sebesar 8,20 juta metrik ton, meningkat 730 ribu metrik ton menurut tahun sebelumnya (semakin tinggi 8,9 %). Ekspor dalam semester I 2010 sebesar 7,47 juta ton metrik. Ekspor minyak kelapa sawit terdiri menurut minyak sawit dan minyak kernel, dan dalam bentuk minyak mentah dan diproses. Pangsa ekspor minyak sawit pada Indonesia dalam semester I 2011 sebesar 92,07 % (7,55 juta metrik ton), sedangkan pangsa minyak kernel hanya 7,97 persen (652 ribu metrik ton) [GAPKI, 2011].

Dari kedua jenis minyak sawit tersebut Indonesia mengekspor lebih poly minyak mentah dibandingkan dengan minyak olahan. Berdasarkan data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) semester I 2011 ekspor minyak sawit mentah mencapai 56,02 %, sementara minyak sawit diproses hanya 43,98 %. Namun, bila dibandingkan menggunakan ekspor 2010, persentase minyak sawit olahan mengalami penurunan, pada sisi lain persentase minyak sawit mentah sudah meningkat. Pada 2010, ekspor minyak sawit olahan 46,19 persen dari ekspor total minyak sawit serta minyak sawit mentah 53,81 persen. 

Kondisi kebalikannya terjadi pada ekspor minyak kernel, di mana ada peningkatan ekspor minyak kernel yang telah diproses, ad interim minyak kernel mentah menurun. 

Dari 96 ribu metrik ton minyak kernel diproses (14,93 persen) dalam semester I 2010 meningkat sebagai 107 ribu metrik ton (16,42 %) dalam semester I 2011. Untuk ekspor minyak kernel mentah, menurun berdasarkan 552 ribu metrik ton (85,06 persen) dalam semester I 2010 menjadi 546 ribu metrik ton (83,58 persen) dalam semester I 2011 (GAPKI, 2011). Peningkatan minyak kelapa sawit Indonesia didorong sang kenaikan impor ke India dan China, India membeli 1/2 impor minyak sawit berdasarkan Indonesia dan Malaysia. India sudah melampaui China menjadi pembeli terbesar pada global minyak sawit.

Nilai Tambah Bisnis
Dilihat berdasarkan nilai tambah bisnis, industri pengolahan CPO menjadi keliru satu industri yang prospektif buat dikembangkan ke depan. Selain buat industri minyak makanan dan industri oleokimia, kelapa sawit dapat jua sebagai asal energi cara lain . 

Kementerian Pertanian (2005) mencatat konsumsi minyak sawit domestik mencapai 50-60 % dari produksi. Sebagian akbar penggunaannya, hampir 85 %, buat pangan sedangkan buat industri oleokomia hanya lebih kurang 15 persen. Nilai tambah ekonomi (baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah teknis) produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung berdasarkan harga bahan baku, taraf kesulitan pada ekstraksi produk, dan harga produk turunan pada pasar. Tetapi, satu hal yg niscaya, semakin bisa dimanfaatkan/dibutuhkan produk turunan tersebut, nilai tambahnya meningkat. CPO yg diolah sebagai sabun mandi saja sudah membuat nilai tambah sebesar 300 persen, terlebih lagi jika bisa dijadikan kosmetik yg nilai tambahnya mencapai 600 %. Nilai tambah CPO bila diolah menjadi minyak goreng sawit sebesar 60 persen, sedangkan apabila menjadi margarin mencapai 180 persen (Kementerian Perindustrian, 2011).

Oleh karenanya, pemerintah terus berusaha mendorong pengembangan produk turunan CPO, baik untuk keperluan bahan standar industri pangan juga non pangan. Produk pangan yg dapat didapatkan menurut CPO dan CPKO, misalnya emulsifier, margarin, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri, yogurt, dan lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang dihasilkan berdasarkan CPO dan CPKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas, fatty alcohol, biodiesel, serta lain-lain.

Di luar itu,jua masih ada produk samping/limbah, misalnya tandan kosong untuk bahan kertas (pulp), pupuk hijau (kompos), karbon, rayon; cangkang biji buat bahan bakar serta karbon; serat buat fibre board dan bahan bakar; batang pohon serta pelepah buat mebel pulp paper serta makanan ternak; limbah kernel dan sludge dapat dipakai buat makanan ternak (Kementerian Pertanian, 2011). Dengan demikian, poly nilai tambah yang dapat dihasilkan berdasarkan sebuah flora bernama kelapa sawit, akan sangat disayangkan bila hanya diekspor pada bentuk mentah. 

Nilai Tambah Teknis 
Nilai tambah CPO dapat diperoleh berdasarkan pengembangannya dalam industri minyak, makanan maupun industri oleokimia (Gambar 4.dua). Sayangnya, sejauh ini produk hilir CPO di Indonesia belum poly berkembang dibandingkan Malaysia, ketika ini Indonesia baru memproduksi kurang lebih 40 jenis, ad interim Malaysia sudah menghasilkan lebih menurut 100 Jenis (Kemenperin, 2011). Beberapa produk hilir CPO yang sudah diproduksi pada Indonesia diantaranya: (a) minyak goreng, margarin, vegetable gee (minyak samin), cocoa butter substitute (CBS), cocoa butter equivalent (CBE); (b) soap chip, sabun; (c) fatty acid, fatty alkohol, glycerin; dan (d) biodiesel.

Melihat banyaknya produk turunan yg bisa dikembangkan berdasarkan komoditas CPO di atas dan nilai tambah ekonomi yg bisa didapatkan, maka upaya hilirisasi CPO perlu disikapi secara positif. 

Forward-backward Linkage
Berdasarkan model serta data Input-Output 2008 dapat dipakai buat mengetahui inter-industry connectivity CPO, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Gambar di bawah ini memperlihatkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi merupakan industri minyak serta lemak, lalu kelapa sawit, industri kimia, dan industri makanan lainnya. Sedangkan sektor yg mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi merupakan sektor industri pupuk serta pestisida, disusul forum keuangan, kelapa sawit, bangunan, dan jasa lainnya.

Potensi Permintaan
Siering peningkatan harga CPO di pasar internasional, harga produk hilirnya pun tentu pula mengalami peningkatan. Sekadar gambaran, buat produk hilirisasi minyak goreng, harga homogen-homogen minyak goreng curah serta minyak goreng kemasan pada 2 tahun terakhir mengalami peningkatan cukup signifikan. 

Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan 
Pengembangan agroindustri akan sangat strategis jika dijalankan secara terpadu serta berkelanjutan. Terpadu ialah ada keterkaitan usaha sektor hulu serta hilir secara sinergis serta produktif dan terdapat keterkaitan antarwilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Berkelanjutan, sebagaimana dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, adalah “Pembangunan yang sesuai menggunakan kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya buat memenuhi kebutuhannya” (Plummer, 2005).

Saat ini kasus yg dihadapi oleh industri CPO nasional terutama infrastruktur termasuk akses jalan dan konektivitasnya menggunakan pengangkutan di pelabuhan buat mendukung industri pengolahan CPO. Masalah lain yang dihadapi merupakan tidak selaras menggunakan pertumbuhan industri turunannya. Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya diikuti pertumbuhan industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine, methyl esther. Sampai ketika ini CPO belum dimanfaatkan secara opkamial buat pengembangan industri hilir. Produk industri hilir hasil olahan CPO yang pengembangannya masih minim seperti surfactant, farmasi, kosmetik, serta produk kimia dasar organik. Padahal menggunakan menyebarkan industri hilir, maka nilai mata rantai serta nilai tambah produk CPO akan meningkat. Apalagi, produk turunan CPO mempunyai interaksi menggunakan sektor bisnis dan kebutuhan warga pada bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif makanan, pengawet kuliner, penyedap kuliner, bungkus plastik (Afifuddin dan Kusuma, 2007; Dou, 2009; ICN, 2009a). 

Pengembangan Karet dan Industri Karet Nasional 
Karet adalah galat satu komoditi perkebunan penting, baik buat asal pendapatan, kesempatan kerja, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-pusat baru pada wilayah sekitar perkebunan karet, maupun pelestarian lingkungan serta sumber daya biologi. Tanaman karet adalah tumbuhan perkebunan yang tumbuh subur di Indonesia. 

Tanaman ini menghasilkan getah karet (lateks) yg bisa diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya,produk-produk tadi dipakai menjadi bahan standar pabrik crumb rubber (karet remah), yang membuat aneka macam bahan baku buat aneka macam industri hilir, misalnya ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan menurut karet, dan aneka macam produk hilir lainnya. Tersedianya huma yg luas memberikan peluang buat membuat produksi karet alam dalam jumlah besar . Di sisi lain, produksi karet alam jua bisa ditingkatkan menggunakan perbaikan teknologi pengolahan karet untuk mempertinggi efisiensi, sebagai akibatnya lateks yg didapatkan berdasarkan getah sanggup lebih banyak serta membuat material residu yang semakin sedikit.

Potensi Produksi
Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara produsen karet alam terbesar pada global dalam 2010 dengan pangsa lebih kurang 28 % menurut produksi karet alam dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand menggunakan pangsa produksi sekitar 30 persen dari produksi karet alam dunia. Posisi ini tidak berubah dibanding tahun sebelumnya, di mana produksi karet Indonesia pada 2009 sebesar dua,4 juta ton berada pada urutan ke 2 dunia, sementara Thailand menempati urutan pertama menggunakan tiga,1 juta ton, dan Malaysia pada urutan ketiga menggunakan 951 ribu ton (Kina, 2010). Padahal kebun karet Indonesia merupakan yg terluas di dunia, yaitu mencapai tiga,40 juta ha, disusul Thailand dengan dua,67 juta ha serta Malaysia menggunakan 1,02 juta ha (Kementerian Pertanian, 2009). Ini menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan karet Indonesia masih tertinggal dibanding pesaing primer, Thailand.

Pemerintah sudah tetapkan sasaran peningkatan produksi karet alam Indonesia sebanyak tiga-4 juta ton per tahun dalam 2020. Upaya peningkatan produksi ini selain membutuhkan peningkatan produktivitas huma tentunya juga membutuhkan bonus harga produk karet yg menguntungkan. Dari sisi harga ini, dalam pertengahan 2006, karet alam global mencapai harga US$2,lima per kg. Harga tersebut sangat menarik bagi petani serta pelaku usaha karet lainnya. Tren peningkatan terus terjadi hingga 2008, harga karet global mencapai US$3,4 per kg. Ini adalah harga karet alam tertinggi selama 50 tahun terakhir (MediaData, 2009). Sementara dari segi areal perkebunannya, Indonesia memilik hamparan kebun karet terluas di global. Menurut catatan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, sampai 2008 lalu luas areal perkebunan karet Indonesia mencapai lebih kurang 3,47 juta ha menggunakan total produksi karet alam sebanyak dua,9 juta ton. Pada 2009, luas areal perkebunan karet bertambah menjadi 3,52 juta ha menggunakan produksi sebesar 3,0 juta ton (Media Data, 2009).

Market Share
Karet alam termasuk sepuluh komoditas ekspor terbesar Indonesia dari 2008-2010, menggunakan nilai ekspor US$7.329,1 juta pada 2010 (UN Comtrade, 2011). Sementara dicermati dari negara tujuan ekspor, sepanjang 2005-2009 ekspor karet Indonesia pada bentuk remah sebagian akbar tertuju ke Amerika Serikat dengan homogen-homogen pangsa 28 persen, disusul China 16 %, Jepang 14 persen, serta Singapura 6 %. Dengan pangsa ekspor ke Amerika Serikat yg relatif besar tersebut, maka masuk akal saat krisis dunia melanda Amerika Serikat ekspor Indonesia ke negara tadi menurun tajam. Padahal ekspor karet alam Indonesia sempat mencapai nomor tertinggi dalam 2007 sebanyak dua,4 juta ton, namun karena krisis tersebut ekspor menurun pada 2008 menjadi 2,dua juta ton dan turun lagi pada2009 menjadi 1,9 juta ton.

Ekspor karet alam Indonesia didominasi sang jenis SIR/TSR (Standard Indonesia Rubber/Technically Specified Rubber) yangmencapai 93,6persen dari total ekspor. Di antara karet alam jenis SIR itu, jenis karet alam yg paling poly diminta oleh kalangan industri ban adalah SIR 20.sementara itu, ekspor produk karet masih relatif kecil kendati terus menampakan peningkatan. Pada 2004 nilai ekspor produk karet Indonesia mencapai US$774,9 juta dan naik menjadi US$1,lima miliar pada 2008. Produk karet yang diekspor terutama berupa ban, sarung tangan karet serta produk karet lainnya. Pada 2008 ekspor ban Indonesia mencapai US$ 934 juta, sedangkan nilai ekspor sarung tangan karet mencapai US$ 175,9 juta.

Konsumsi karet alam pada dalam negeri sejauh ini masih nisbi kecil. Pada 2009 volume karet alam yg dikonsumsi pada pada negeri hanya sekitar 15persen (422ributon) berdasarkan total produksi karet alam nasional(Gambar 4.9).dari jumlah konsumsi domestik itu, sekitar 55persendi antaranya dari menurut konsumsi industri ban. Konsumsi domestik lainnya dari menurut industri vulkanisir, industri sepatu serta alas kaki, sarung tangan dan benang, produk karet industri lainnya, alat-alat rumah tangga,serta peralatan olahraga.

Nilai Tambah Bisnis
Prospek usaha pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan permanen menarik, karena marjin laba yang diperoleh pabrik nisbi pasti. Marjin pemasaran berkisar antara 3,7-32,lima % menurut harga FOB (Free On Board), tergantung pada taraf harga yg berlaku (Kementerian Pertanian, 2007). Tingkat harga FOB itu sendiri sangat ditentukan sang harga global yang mencerminkan permintaan serta penawaran karet alam, serta harga beli pabrik dipengaruhi kontrak pabrik menggunakan pembeli/buyer (umumnya pabrik ban) yg wajib dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan semakin akbar apabila harga meningkat. 

Pemanfaatan karet alam pada luar industri ban tunggangan di Indonesia masih relative mini , mengingat industri karet di luar ban umumnya dalam skala mini atau menengah. 

Sementara itu, industri berbasis lateks pada ketika ini belum berkembang lantaran poly menghadapi hambatan. Kendala utama adalah rendahnya daya saing produk-produkindustri lateks Indonesia bila dibandingkan dengan pembuat lain, terutama Malaysia.

Selain itu, produktivitas karet Indonesia juga lebih rendah dibanding India, hanya kurang lebih 50 % saja menurut produktivitas karet pada India (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Meskipun demikian, di kembali tantangan inilah sesungguhnya letak peluang bisnis hilirisasi industri karet alam mengingat pasar yang cukup potensial serta kompetisi antarprodusen di Indonesia yg nisbi masih terbatas.

Nilai Tambah Teknis
Indonesia belum sanggup memanfaatkan produk karet alam secara opkamial. Dari lebih kurang 2,9 juta ton produk karet nasional, sebanyak 85 persen diekspor pada bentuk bahan baku (crumb rubber, sheet, lateks, serta sebagainya). Hanya sekitar 15 % produk karet alam yg diserap oleh industri rekayasa pada dalam negeri (Media Data, 2009). Kondisi ini jauh tidak selaras dibandingkan menggunakan Malaysia, dimana industri hilir dalam negeri bisa menyerap lebih kurang 70 persen menurut total produksi negara tersebut (Kementerian Pertanian, 2007). Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yg berbasis karet alam. Hal ini menyebabkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih nisbi rendah. 

Pohon Industri Karet
Banyak produk turunan yg dapat dikembangkan dari karet alam. Hasil primer dari pohon karet adalah lateks, yang bisa dijual atau diperdagangkan dimasyarakat berupa lateks segar, slab (koagulasi), ataupun sit asap (sit angin). Selanjutnya, produkproduk tadi akan digunakan menjadi bahan standar pabrik crumb rubber, yang membuat aneka macam bahan standar untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet busa ,sarung tangan, mainan dari karet, dan banyak sekali produk hilir lainnya.

Forward-backward Linkage
Berdasarkan contoh dan data Input-Output 2008 bisa digunakan buat mengetahui inter industry connectivity karet, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Sektor yg mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi merupakan industri barang karet dan plastik, kemudian karet, industri tekstil, sandang serta kulit, dan industri kimia. Sedangkan sektor yg mempunyai keterkaitan pribadi ke belakang tertinggi adalah sektor karet, disusul industri pupuk dan pestisida, industri kimia, perdagangan, dan bangunan.

Potensi Permintaan
Permintaan karet alam global cenderung meningkat berdasarkan periode 2008-2011. 
Peningkatan permintaan terutama menurut China, India, Brazil serta negara-negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia Pasifik. Bahkan dalam tahun 2008 dan 2010 sempat terjadi defisit permintaan karet masing-masing sebanyak 47 ribu ton dan 377 ribu ton, terutama lantaran meningkatnya permintaan dari Asia Pasifik. Menurut IRSG (International Rubber Studi Group) diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam 2 dasa warsa ke depan (Kementerian Perindustrian, 2007).

Tren peningkatan permintaan karet alam global mendorong kenaikan harga. Hal ini adalah insentif bagi penghasil karet buat menaikkan produksinya. Pada akhir 2008, harga karet alam di pasar dunia sempat turun sampai ke level terendah senilai US$1,2 per kg. Hal ini disebabkan turunnya harga minyak mentah dunia dan terjadinya krisis keuangan pada Amerika Serikat. Padahal, selama ini Amerika Serikat merupakan importir karet alam terbesar global beserta China serta Jepang. Tetapi, tren peningkatan harga balik terjadi baik buat karet TSR20 maupun RSS3 sejak triwulan I 2009 sampai triwulan I 2011.

Lokasi Penyebaran
Sejumlah lokasi pada Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok buat penanaman karet, sebagian besar berada pada wilayah Sumatera dan Kalimantan. Dengan adanya penyebaran huma‐lahan penanaman pohon karet hampir pada semua provinsi yg ada pada Indonesia saat ini akan membantu dalam pemenuhan kebutuhan karet alami serta pemenuhan industri pengolahan hasil berdasarkan pengolahan pohon karet.

Pengembangan industri karet di wilayah Sumatera adalah hal yg cukup realistis buat segera diwujudkan. Dengan pangsa produksi karet alam sebanyak 65 persen dari total produksi nasional ketersediaan bahan baku di wilayah ini relatif lebih terjamin (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Lebih dari itu, menggunakan semakin meningkatnya industri otomotif pada dunia dibutuhkan permintaan karet alami akan semakin semakin tinggi ke depan.

ANALISIS USAHA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KERIPIK PISANG AGUNG

Analisis Usaha serta Strategi Pengembangan Agroindustri Keripik Pisang Agung
Pengembangan agroindustri adalah keliru satu upaya buat menaikkan nilai tambah produk primer komoditas pertanian yg sekaligus dapat membarui sistem pertanian tradisional sebagai lebih maju (BPTP,2003). Kabupaten Lumajang memiliki potensi yang besar buat dikembangkan agibisnis keripik pisang agung mengingat pada kabupaten ini sebagai pusat tanaman pisang, dari  data menurut Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pertanian Kabupaten Lumajang.

Kelebihan Pisang agung menurut produk hortikultura lainnya yang terdapat di kabupaten Lumajang adalah selain adalah varietas orisinil Lumajang, pisang agung termasuk galat satu produk hortikultura yg paling banyak diperdagangkan dan termasuk komoditi “mewah” (luxury) dibandingkan dengan komoditi yang lain seperti nangka dan umbi-umbian. Kegunaam primer berdasarkan pisang agung adalah menjadi makanan ringan (snack) dan juga mampu sebagai campuran dalam industri tepung atau industri roti (baking industri).

Pengembangan agroindustri kripik pisang agung di Kabupaten Lumajang masih dihadapkan dalam beberapa kendala misalnya kapital yg masih terbatas, tingginya porto produksi, serta pemasaran yg masih terbatas di daerah kabupaten Lumajang serta teknologi yg digunakan masih tradisional. Hal itu mengakibatkan kuantitas produksi dan kontinyuitas produksi kripik pisang agung masih rendah sehingga keuntungan yang diperoleh belum optimal. Dengan melihat fenomena yg ada dimana agroindustri kripik pisang agung di Kabupaten Lumajang masih belum optimal maka perlu diadakan penelitian buat mngkaji sejauh mana efisiensi usaha dan taraf laba serta tentang prospek pembangunan agroindustri kripik pisang dengan kendala kendala yg terdapat dalam menjaga keuntungan, pertumbuhan serta kelangsungan bisnis melalui taktik yg tepat.

Berdasarkan Uraian diatas, tujuan berdasarkan penelitian ini merupakan Tujuan penelitian ini merupakan:(1) Menganalisis besarnya nilai tambah berdasarkan agroindusrti keripik pisang agung, (dua) Menganalisis tingkat laba serta efisiensi usaha berdasarkan agroindustri kripik pisang agung, (tiga) merumuskan taktik pengembangan pada upaya untuk pengembangan agroindustri kripik pisang agung.

Kegunaan peneltian ini adalah menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi pengusaha keripik pisang agung dalam mengembangkan usahanyadan menjadi bahan liputan bagi penelitian selanjutnya yg berkaitan menggunakan analisis usaha serta taktik pengembangan agroindustri keripik pisang.

Kerangka Pemikiran

Agroindutri kripik pisang agung adalah industri yg memasak buah dari pisang agung menjadi kripik pisang agung. Pengolahan tadi bisa dilakukan lantaran adanya potensi yg dimiliki sang komoditi pisang agung, dimana komoditi tadi bisa dimanfaatkan menjadi produk olahan seperti kudapan manis basah, sale pisang, dan kripik pisang.

Melihat berdasarkan potensi pisang yang ada, salah satu upaya dalam memberikannilai tambah, penerimaan dankeuntungan terhadap komoditi pisang merupakan melalui industrialisasi berbasis pertanian (agroindustri) dengan memanfaatkan teknologi serta kekuatan asal daya alam dan asal daya insan. Dengan pengembangan agroindustri diyakini akan berdampak pada penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus membangun pemerataan pembangunan (Hidayat, 2007). Banyak jenis makanan olahan berbahan baku pisang yg bisa kita jumpai, seperti sale pisang, keripik pisang, serta lain sebagainya. Salah satu makanan olahan berbahan standar pisang yg dapat kita jumpai pada Kabupaten Lumajang merupakan keripik pisang agung dimana poly masih ada agroindustri keripik pisang agung disana.

Agroindustri keripik pisang agung yg terdapat adalah agroindustri skala mini yg memiliki nilai tambah, hal ini sanggup dilihat menurut perbandingan  harga jual pisang agung tanpa olahan dengan pisang agung yg telah diolah menjadi keripik. Selain itu menjual pisang agung tanpa olahan diniliai belum efektif. Selain itu karakteriktik butir pisang yang nir mempunyai daya simpan yang lama . Nilai tambah tergantung dalam teknologi yg dipakai dalam proses pengolahan dan perlakuan produk tadi. Produk yg memberikan nilai tambah tinggi memberikan pengertian bahwa produk tersebut layak dikembangkan serta memberikan laba. Dimana laba adalah selisish antara penerimaan total dengan biaya yang dipakai buat mendapatkan keuntungan bisnis yang diinginkan. Selanjutnya, efisiensi usaha pengolahan keripik pisang bisa diukur menggunakan analisis R/C ratio. Pada R/C ratio = 1 bisa diartikan bahwa perusahaan tidak buat serta nir rugi atau menggunakan kata lain impas. R/C > 1 bisa dikatakan bahwa perusahaan telah efisien serta menguntungkan buat dikembangkan.

Namun tampaknya permintaan yg tinggi terhadap produk olahan, nir hanya direspon sang satu agroindustri saja, akan namun juga oleh pihak lain yang ingin menerima keuntungan dari proses pengolahan output pertanian sebagai akibatnya munculah banyak sekali agroindustri. Dengan makin banyaknya keberadaan agroindustri akan menyebabkan terjadinya persaingan pasar baik antar agroindustri homogen maupun agroindustri lain yang mana mereka berusaha menarik perhatian konsumen. Perusahaan tidak dapat bertahan hayati tanpa disertai menggunakan kerja keras supaya dapat berhasil di pasar. Dikarenakan saat ini konsumen/pembeli menghadapi poly pilihan dalam usaha memuaskan kebutuhan mereka, sehingga mereka mencari mutu yg terunggul dan biaya yang layak apabila melakukan pembelian produk.

Agar suatu agroindustri bisa permanen bertahan ditengah persaingan pasar yg makin ketat, maka diharapkan adanya taktik yg sempurna lantaran dengan adanya taktik bisa memberikan arah pada upaya pengembangan perusahaan. Strategi dapat dipakai menjadi indera/cara dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang sehingga tujuan perusahaan bisa tercapai secara aporisma. Dalam upaya pengembangan agroindustri perlu dilakukan analisis terhadap lingkungan perusahaan yang meliputi lingkungan internal dan eksternal perusahaan.selanjutnya berdasar analisis SWOT dapat ditentukan strategi yang tepat serta dibutuhkan bisa memperkuat posisi perusahaan sehingga kemajuan bisnis dapat tercapai. Berdasar uraian diatas maka bisa digambarkan menggunakan skema kerangka pemikiran sebagai berikut:

Metode Penentuan Lokasi serta Penentuan Responden

Penelitian ini dilakukan pada Kabupaten Lumajang. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive)lantaran Lumajang merupaka pusat komoditi pisang agung di Kabupaten Lumajang. Waktu penelitian dilaksanakan dalam bulan Maret  sampai April 2011. Penentuan responden dari penghasil digunakan metode random sampling. Sedangkan buat pengambilan responden yang asal berdasarkan konsumen dipakai metode “snow ball sampling”.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yg digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi secara langsung pada obyek penelitian. Pada penelitian ini memakai dua macam data, yaitu: (1). Data Primer. Untuk menerima data primer dalam penelitian ini, bisa dilakukan dengan melakukan observasi lapang dan wawancara eksklusif dengan pembuat serta konsumen menggunakan memakai daftar pertanyaan yg sudah disiapkan. (dua). Data Sekunder. Data sekunder pada penelitian ini dapat diperoleh berdasarkan literatur-literatur, Kantor Desa atau instansi yang terkait dalam hal ini Dinas Pertanian serta Perdagangan dan Badan Pusat Statistik,serta jurnal berdasarkan internet. Data sekunder yang didapat nantinya akan dipakai menjadi data pelengkap menurut data-data utama.

Metode Analisis Data

Metode Analisis data yg digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis nilai tambah menurut Hayami, analisis usaha dan efisiensi, serta analisis SWOT 

ANALISIS USAHA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KERIPIK PISANG AGUNG

Analisis Usaha dan Strategi Pengembangan Agroindustri Keripik Pisang Agung
Pengembangan agroindustri adalah keliru satu upaya buat menaikkan nilai tambah produk utama komoditas pertanian yg sekaligus bisa membarui sistem pertanian tradisional sebagai lebih maju (BPTP,2003). Kabupaten Lumajang mempunyai potensi yg besar buat dikembangkan agibisnis keripik pisang agung mengingat di kabupaten ini sebagai pusat tanaman pisang, berdasarkan  data menurut Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pertanian Kabupaten Lumajang.

Kelebihan Pisang agung menurut produk hortikultura lainnya yang ada di kabupaten Lumajang adalah selain merupakan varietas orisinil Lumajang, pisang agung termasuk galat satu produk hortikultura yang paling banyak diperdagangkan serta termasuk komoditi “mewah” (luxury) dibandingkan dengan komoditi yang lain seperti nangka dan umbi-umbian. Kegunaam utama berdasarkan pisang agung adalah menjadi kudapan (snack) serta jua sanggup menjadi campuran dalam industri tepung atau industri roti (baking industri).

Pengembangan agroindustri kripik pisang agung pada Kabupaten Lumajang masih dihadapkan pada beberapa kendala misalnya kapital yg masih terbatas, tingginya porto produksi, dan pemasaran yang masih terbatas pada daerah kabupaten Lumajang dan teknologi yang digunakan masih tradisional. Hal itu mengakibatkan kuantitas produksi dan kontinyuitas produksi kripik pisang agung masih rendah sehingga laba yg diperoleh belum optimal. Dengan melihat kenyataan yang ada dimana agroindustri kripik pisang agung pada Kabupaten Lumajang masih belum optimal maka perlu diadakan penelitian buat mngkaji sejauh mana efisiensi usaha dan taraf laba dan mengenai prospek pembangunan agroindustri kripik pisang menggunakan hambatan hambatan yg terdapat pada menjaga laba, pertumbuhan serta kelangsungan usaha melalui strategi yang sempurna.

Berdasarkan Uraian diatas, tujuan dari penelitian ini merupakan Tujuan penelitian ini merupakan:(1) Menganalisis besarnya nilai tambah menurut agroindusrti keripik pisang agung, (2) Menganalisis tingkat laba serta efisiensi bisnis dari agroindustri kripik pisang agung, (tiga) merumuskan taktik pengembangan dalam upaya buat pengembangan agroindustri kripik pisang agung.

Kegunaan peneltian ini merupakan sebagai bahan pertimbangan serta masukan bagi pengusaha keripik pisang agung pada membuatkan usahanyadan sebagai bahan liputan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan menggunakan analisis bisnis serta taktik pengembangan agroindustri keripik pisang.

Kerangka Pemikiran

Agroindutri kripik pisang agung merupakan industri yg memasak buah berdasarkan pisang agung menjadi kripik pisang agung. Pengolahan tersebut dapat dilakukan karena adanya potensi yang dimiliki oleh komoditi pisang agung, dimana komoditi tersebut dapat dimanfaatkan menjadi produk olahan seperti kudapan manis basah, sale pisang, dan kripik pisang.

Melihat berdasarkan potensi pisang yang terdapat, galat satu upaya dalam memberikannilai tambah, penerimaan dankeuntungan terhadap komoditi pisang adalah melalui industrialisasi berbasis pertanian (agroindustri) menggunakan memanfaatkan teknologi serta kekuatan asal daya alam serta sumber daya manusia. Dengan pengembangan agroindustri diyakini akan berdampak pada penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus menciptakan pemerataan pembangunan (Hidayat, 2007). Banyak jenis makanan olahan berbahan standar pisang yg bisa kita jumpai, seperti sale pisang, keripik pisang, dan lain sebagainya. Salah satu kuliner olahan berbahan standar pisang yg dapat kita jumpai pada Kabupaten Lumajang merupakan keripik pisang agung dimana poly masih ada agroindustri keripik pisang agung disana.

Agroindustri keripik pisang agung yg ada adalah agroindustri skala mini yg memiliki nilai tambah, hal ini sanggup dipandang menurut perbandingan  harga jual pisang agung tanpa olahan dengan pisang agung yg telah diolah menjadi keripik. Selain itu menjual pisang agung tanpa olahan diniliai belum efektif. Selain itu karakteriktik butir pisang yang nir memiliki daya simpan yg lama . Nilai tambah tergantung dalam teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan dan perlakuan produk tadi. Produk yang memberikan nilai tambah tinggi menaruh pengertian bahwa produk tadi layak dikembangkan dan memberikan laba. Dimana keuntungan adalah selisish antara penerimaan total menggunakan biaya yg dipakai buat menerima laba usaha yg diinginkan. Selanjutnya, efisiensi usaha pengolahan keripik pisang bisa diukur memakai analisis R/C ratio. Pada R/C ratio = 1 dapat diartikan bahwa perusahaan tidak buat dan nir rugi atau dengan istilah lain impas. R/C > 1 dapat dikatakan bahwa perusahaan telah efisien serta menguntungkan buat dikembangkan.

Namun sepertinya permintaan yg tinggi terhadap produk olahan, nir hanya direspon oleh satu agroindustri saja, akan namun jua sang pihak lain yang ingin mendapatkan laba menurut proses pengolahan hasil pertanian sebagai akibatnya munculah banyak sekali agroindustri. Dengan makin banyaknya eksistensi agroindustri akan menyebabkan terjadinya persaingan pasar baik antar agroindustri sejenis maupun agroindustri lain yang mana mereka berusaha menarik perhatian konsumen. Perusahaan nir dapat bertahan hayati tanpa disertai menggunakan kerja keras supaya dapat berhasil pada pasar. Dikarenakan ketika ini konsumen/pembeli menghadapi poly pilihan dalam bisnis memuaskan kebutuhan mereka, sebagai akibatnya mereka mencari mutu yg terunggul dan porto yg layak apabila melakukan pembelian produk.

Agar suatu agroindustri bisa permanen bertahan ditengah persaingan pasar yg makin ketat, maka dibutuhkan adanya taktik yang sempurna lantaran menggunakan adanya strategi dapat memberikan arah pada upaya pengembangan perusahaan. Strategi dapat digunakan sebagai indera/cara pada rangka pencapaian tujuan perusahaan baik tujuan jangka pendek juga jangka panjang sebagai akibatnya tujuan perusahaan dapat tercapai secara maksimal . Dalam upaya pengembangan agroindustri perlu dilakukan analisis terhadap lingkungan perusahaan yg meliputi lingkungan internal dan eksternal perusahaan.selanjutnya berdasar analisis SWOT bisa ditentukan strategi yang tepat serta dibutuhkan dapat memperkuat posisi perusahaan sehingga kemajuan usaha bisa tercapai. Berdasar uraian diatas maka dapat digambarkan dengan skema kerangka pemikiran menjadi berikut:

Metode Penentuan Lokasi serta Penentuan Responden

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lumajang. Lokasi penelitian ini dipengaruhi secara sengaja (purposive)lantaran Lumajang merupaka pusat komoditi pisang agung pada Kabupaten Lumajang. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret  hingga April 2011. Penentuan responden dari produsen dipakai metode random sampling. Sedangkan buat pengambilan responden yg berasal dari konsumen dipakai metode “snow ball sampling”.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini merupakan dengan melakukan studi secara langsung pada obyek penelitian. Pada penelitian ini menggunakan 2 macam data, yaitu: (1). Data Primer. Untuk mendapatkan data utama pada penelitian ini, bisa dilakukan menggunakan melakukan observasi lapang serta wawancara langsung menggunakan produsen serta konsumen dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan. (dua). Data Sekunder. Data sekunder pada penelitian ini dapat diperoleh berdasarkan literatur-literatur, Kantor Desa atau instansi yang terkait dalam hal ini Dinas Pertanian serta Perdagangan serta Badan Pusat Statistik,dan jurnal berdasarkan internet. Data sekunder yang didapat nantinya akan digunakan sebagai data pelengkap menurut data-data utama.

Metode Analisis Data

Metode Analisis data yg digunakan pada penelitian ini merupakan metode analisis nilai tambah menurut Hayami, analisis usaha serta efisiensi, dan analisis SWOT 

PEMBANGUNAN PERTANIAN

Pembangunan Pertanian 
Pembangunan pertanian dapat didefinisikan menjadi suatu proses perubahan sosial. Implementasinya nir hanya ditujukan buat menaikkan status serta kesejahteraan petani semata, namun sekaligus jua dimaksudkan buat menyebarkan potensi sumberdaya insan baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal serta Sudaryanto, 2008). 

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana serta gamblang mengenai kondisi pokok dan kondisi pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat utama pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar buat hasil-output usahatani, (2) teknologi yg senantiasa berkembang, (tiga) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, serta (5) tersedianya pengangkutan yg lancar dan kontinyu. Adapun kondisi pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) pemugaran serta ekspansi tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran serta langkah kebijakan yang disarankan sang Mosher. 

Pembangunan pertanian pada Indonesia dilaksanakan secara terpola dimulai semenjak Repelita I (1 April 1969), yaitu dalam masa pemerintahan Orde Baru, yg tertuang pada strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum 

Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yg semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut: 
1. Repelita I: titik berat dalam sektor pertanian serta industri pendukung sektor pertanian. 
2. Repelita II: titik berat dalam sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah sebagai bahan baku. 
3. Repelita III: titik berat dalam sektor pertanian menuju swasembada pangan dan menaikkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi. 
4. Repelita IV: titik berat dalam sektor pertanian buat melanjutkan bisnis menuju swasembada pangan dengan mempertinggi industri pembuat mesin-mesin. 
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV. 

Menurut Suhendra (2004) pada banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri serta jasa. Para perancang pembangunan Indonesia dalam awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari sahih hal tadi, sehingga pembangunan jangka panjang dibuat secara bertahap. Pada termin pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri produsen sarana produksi peratnian. Pada termin ke 2, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara sedikit demi sedikit dialihkan pada pembangunan industri mesin serta logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, dibutuhkan bisa menciptakan struktur perekonomian Indonesia yang harmonis dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal serta eksternal. 

Pada waktu Indonesia memulai proses pembangunan secara bersiklus dalam tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih berdasarkan 40 persen, ad interim itu serapan energi kerja dalam sektor pertanian mencapai lebih menurut 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, taktik serta kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. 

Kebijakan buat menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai menggunakan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang serta Syafa’at, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian adalah syarat mutlak bagi keberhasilan upaya membangun prakondisi tinggal landas. 

Pentingnya kiprah sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara pula dikemukakan oleh Meier (1995) menjadi berikut: (1) dengan mensuplai kuliner utama dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yg berkembang, (dua) dengan menyediakan surplus yg dapat diinvestasikan berdasarkan tabungan serta pajak buat mendukung investasi dalam sektor lain yg berkembang, (tiga) dengan membeli barang konsumsi berdasarkan sektor lain, sehingga akan menaikkan permintaan menurut penduduk perdesaan buat produk dari sektor yg berkembang, serta (4) menggunakan menghapuskan hambatan devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau menggunakan menabung devisa melalui substitusi impor. 

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru sudah membawabeberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya pada sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yg relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah menaikkan penerimaan devisa di satu pihak serta penghematan devisa pada lain pihak, sebagai akibatnya memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada taraf tertentu sektor pertanian sudah bisa menyediakan bahan-bahan standar industri sebagai akibatnya melahirkan agroindustri. 

Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian pada masa pemerintahan Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian sudah menimbulkan kesamaan menurunnya harga produkproduk pertanian yg membuahkan negatif pada pendapatan petani, seperti yang ditunjukkan oleh output penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28-10.08 persen serta akan menurunkan pendapatan rumah tangga perdesaan berkisar antara dua.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas serta produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti menggunakan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yg ditunjukkan oleh output penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil taraf kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan sang nilai tukar petani (NTP) yang memiliki kecenderungan (demam isu) yang menurun (negatif) sebesar –0.68 % per tahun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya mampu berkembang pada kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi serta menerima intervensi yang sangat mendalam, sehingga sektor pertanian dipercaya menjadi most-heavily regulated. 

Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar dalam terlalu berpihaknya pemerintah dalam sektor industri semenjak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menduga pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini menciptakan pemerintah mengacuhkan pertanian dalam taktik pembangunannya. Hal ini tidak terlepas berdasarkan imbas kerangka berpikir pembangunan ketika itu yg menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yg lalu diterjemahkan dalam berbagai kebijakan perlindungan yang sistematis. Akibatnya, perlindungan besar -besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada taraf petani. 

Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan menggunakan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh aplikasi pembangunan pertanian dari pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi dalam peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini memiliki beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) nir memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan pedoman horizontal, vertikal dan spatial berbagai aktivitas ekonomi, serta (tiga) kurang memperhatikan aspirasi serta pendapatan petani. 

Oleh karenanya, pengembangan komoditas tak jarang sangat tidak efisien serta keberhasilannya sangat tergantung dalam besarnya subsidi serta perlindungan pemerintah, dan kurang sanggup mendorong peningkatan pendapatan petani. 

Menyadari akan hal tersebut pada atas, maka pendekatan pembangunan pertanian wajib diubah berdasarkan pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan berdasarkan orientasi peningkatan produksi sebagai orientasi peningkatan pendapatan serta kesejahteraan petani. 

Memasuki era globalisasi yang dicirikan sang persaingan perdagangan internasional yg sangat ketat serta bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan aneka macam perlindungan lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien adalah pijakan utama bagi kelangsungan hayati usahatani. Sehubungan menggunakan hal tadi, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian. 

Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa imbas yg sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah serta kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, taktik pembangunan pertanian wajib lebih memfokuskan dalam peningkatan daya saing, mengandalkan kapital dan tenaga kerja terampil serta berbasis penemuan teknologi menggunakan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. 

Sejak awal 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian pada struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi serta kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan dalam sektor industri serta jasa, bahkan yg berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, saat krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yg menghasilkan kesengsaraan serta penderitaan masyarakat, maka Indonesia balik membuahkan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005). 

Peran penting sektor pertanian telah terbukti menurut keberhasilan sektor pertanian dalam waktu krisis ekonomi pada menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yg memadai serta tingkat pertumbuhannya yg positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini sebagai pertimbangan primer dirumuskannya kebijakan yang mempunyai keberpihakan terhadap sektor pertanian pada memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan serta mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005). 

Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan mengenai pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) menjadi berikut: 
1. Sektor pertanian masih permanen sebagai penyerap energi kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi perkara pengangguran. 
2. Sektor pertanian merupakan penopang primer perekonomian desa dimana sebagian akbar penduduk berada. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian paling sempurna buat mendorong perekonomian desa dalam rangka menaikkan pendapatan sebagian akbar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan. 
3. Sektor pertanian menjadi pembuat makanan pokok penduduk, sebagai akibatnya menggunakan percepatan pembangunan pertanian maka penyediaan pangan bisa terjamin. Langkah ini penting buat mengurangi ketergantungan pangan pada pasar global. 
4. Harga produk pertanian mempunyai bobot yang besar pada indeks harga konsumen, sebagai akibatnya dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. 
5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor serta mengurangi impor produk pertanian, sebagai akibatnya dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran. 
6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu mempertinggi kinerja sektor industri. Hal ini lantaran terdapat keterkaitan yg erat antara sektor pertanian menggunakan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi. 

Kabinet Indonesia Bersatu sudah memutuskan acara pembangunannya menggunakan memakai strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari taktik pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment serta pro-poor. 

Operasionalisasi konsep taktik tiga jalur tersebut dibuat melalui hal-hal sebagai berikut: 
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.lima % per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor. 
2. Pembenahan sektor riil buat mampu menyerap tambahan angkatan kerja serta membangun lapangan kerja baru. 
3. Revitalisasi pertanian serta perdesaan buat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. 

Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran buat menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian pada pembangunan nasional menggunakan tidak mengabaikan sektor lain. Sejalan menggunakan hal ini, Sudaryanto serta Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan buat menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengganti paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian nir hanya sekedar pembuat komoditas buat dikonsumsi. Pertanian harus ditinjau sebagai sektor yg multi-fungsi serta asal kehidupan sebagian besar warga Indonesia. 

Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui 3 program, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani. 

Operasionalisasi acara peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup kondusif dan halal di setiap wilayah setiap waktu, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi acara pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan perlindungan serta kenaikan pangkat lainnya (Departemen Pertanian, 2005c). 

Industrialisasi Pertanian 
Menurut Meier (1995), transformasi struktural dari ekonomi agraris perdesaan berpendapatan rendah ke ekonomi industri perkotaan menggunakan pendapatan per kapita lebih tinggi melibatkan kenyataan industrialisasi dan pembangunan pertanian. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian harus dicermati bukan sekedar sebagai asal surplus buat mendukung industrialisasi, namun juga menjadi asal dinamis pertumbuhan ekonomi, penyedia lapangan kerja, serta distribusipendapatan yg lebih baik. Selain itu, kemajuan pertanian adalah penting pada menyediakan pangan bagi tumbuhnya energi kerja non pertanian, bahan standar buat produksi sektor industri, tabungan serta penerimaan pajak buat mendukung pembangunan sektor ekonomi lainnya; buat menerima lebih banyak devisa (atau berhemat devisa bila produk utama diimpor); dan memberikan pertumbuhan pasar bagi industri domestik. Hubungan intersektoral antara pertanian serta industri akan menentukan transformasi struktural dalam perekonomian negara berkembang. 

Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi pertanian di berbagai negara dalam umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian. Langkah ini ditempuh melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian berskala mini ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian (Weisdorf, 2006). 

Arifin (2005) menyatakan bahwa definisi industrialisasi pertanian nir sesempit sekedar mekanisasi pertanian atau pengolahan output pertanian oleh sektor industri, namun jauh lebih luas menurut itu lantaran meliputi proses peningkatan nilai tambah, sampai pada koordinasi serta integrasi vertikal antara sektor hulu serta sektor hilir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terdapat pihak-pihak yang memperlakukan industrialisasi pertanian menjadi bagian berdasarkan semua rangkaian pembangunan sistem agribisnis, pada pihak lain ada pula yg beranggapan bahwa proses industrialisasi adalah suatu keniscayaan seiring menggunakan proses transformasi struktur ekonomi dan merupakan tuntutan efisiensi pada bidang usaha melalui integrasi vertikal dari hulu sampai hilir. 

Sudaryanto (2005) memberikan definisi industrialisasi pertanian menjadi suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam satu alur produk melalui prosedur non pasar, sehingga ciri produk akhir yang dipasarkan bisa dijamin dan diadaptasi menggunakan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, industrialisasi pertanian merupakan suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Lebih lanjut disebutkan bahwa berbeda menggunakan pola dispersal, pada agribisnis pola industrial setiap perusahaan tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung pada asosiasi horizontal namun memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yg berkiprah pada seluruh bidang bisnis yang ada dalam satu alur produk vertikal (berdasarkan hulu sampai hilir) dalam satu grup usaha. 

Kahn (1979) menyatakan bahwa pengalaman di hampir seluruh negara menerangkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian mini negara menggunakan jumlah penduduk yg sedikit serta kekayaan minyak atau asal daya alam (SDA) lainnya yg melimpah, misalnya Kuwait dan Libya, bisa berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yg tinggi tanpa melalui proses industrialisasi, hanya mengandalkan dalam sektor pertambangan (minyak). Fakta pada banyak negara menampakan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu dalam sektor-sektor utama (pertanian dan pertambangan) yg sanggup mencapai taraf pendapatan per kapita pada atas 500 US $ selama jangka panjang. 

Sektor industri diyakini bisa dijadikan sebagai sektor yg memimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya pada suatu perekonomian. Hal ini lantaran produk-produk yg dihasilkan oleh sektor industri mempunyai dasar tukar (term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan, dan sanggup membangun nilai tambah (value added) yg besar dibandingkan menggunakan produk-produk yang didapatkan sang sektor lainnya. Sektor industri memiliki variasi produk yang sangat majemuk dan sanggup memberikan manfaat marjinal yang tinggi pada pemakainya. Selain itu, sektor industri jua menaruh marjin laba yg lebih menarik bagi para pelaku usaha, serta proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia yang tidak terlalu bergantung dalam alam (musim atau keadaan cuaca). Karena kelebihan-kelebihan sektor industri inilah, maka industrialisasi dipercaya sebagai “obat mujarab” (panacea) buat mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. 

Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta stabil, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya adalah salah satu strategi yg wajib ditempuh buat mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai taraf pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi adalah tahapan logis dalam proses transformasi struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur pada permintaan konsumen, produksi, ekspor, serta kesempatan kerja (Chenery, 1992). Menurut Tambunan serta Priyanto (2005), penurunan share sektor pertanian pada pembentukan PDB dari saat ke waktu dan peningkatan penyerapan energi kerja sektor manufaktur, merupakan indikator bahwa ekonomi Indonesia sudah memasuki proses industrialisasi. 

Proses industrialisasi pada Indonesia sudah dimulai semenjak Pelita I, yg dimulai tahun 1969. Industrialisasi yang dilaksanakan semenjak Pelita I sampai krisis ekonomi tahun 1997, mengakibatkan pendapatan per kapita warga mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Jika hanya mengandalkan menurut sektor pertanian serta sektor pertambangan (migas), maka Indonesia menggunakan jumlah penduduk lebih berdasarkan 200 juta orang, tidak akan pernah mencapai laju pertumbuhan ekonomi homogen-rata sebanyak 7 persen per tahun serta taraf pendapatan per kapita pada atas 1.000 US $ pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan, 2001). 

Menurut Simatupang serta Syafaat (2000), pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru mengacu dalam kerangka berpikir transformasi struktural berimbang melalui industrialisasi bertahap berbasis sektor pertanian. Pembangunan ekonomi yg demikian ini dapat pula diklaim sebagai pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis. 

Definisi agribisnis menurut Badan Agribisnis (1995) merupakan suatu kesatuan sistem yg terdiri dari beberapa subsistem yg saling terkait erat, yaitu subsistem pengadaan dan penyaluran wahana produksi (subsistem agribisnis hulu), subsistem usahatani atau pertanian primer, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa serta penunjang. Subsistem agribisnis hulu adalah aktivitas ekonomi yg menyediakan sarana (input) pertanian seperti industri perbenihan serta pembibitan tumbuhan, industri pupuk serta pestisida (agro kimia), dan industri alat dan mesin pertanian (agro otomotif) bagi aktivitas pertanian utama. Subsistem usahatani merupakan aktivitas ekonomi yang membuat komoditas atau produk pertanian utama melalui pemanfaatan wahana produksi yg dihasilkan sang subsistem agribisnis hulu. Subsistem pengolahan adalah aktivitas ekonomi yang mengolah komoditas atau produk pertanian primer menjadi produk olahan. Termasuk dalam subsistem tersebut merupakan industri makanan, industri minuman, industri rokok, industri barang serat alam, industri biofarma, dan industri agrowisata serta keindahan. Subsistem pemasaran adalah aktivitas ekonomi yg berkaitan menggunakan kegiatan distribusi, promosi, warta pasar, kebijakan perdagangan dan struktur pasar. Adapun subsistem jasa serta penunjang merupakan aktivitas ekonomi yang menyediakan jasa atau layanan yang dibutuhkan untuk memperlancar pengembangan agribisnis. Termasuk dalam subsistem ini merupakan lembaga perkreditan serta premi, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan, dan transportasi dan pergudangan.

Hubungan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis tadi dapat dilihat pada Gambar.

Gambar Sistem Agribisnis 
Sumber: Badan Agribisnis (1995) 

Soekartawi (1993) menyatakan bahwa yg termasuk ke pada jenis agroindustri adalah: (a) industri pengolahan input pertanian yang dalam biasanya nir berlokasi pada perdesaan, padat modal, dan berskala besar seperti industri pupuk, industri pestisida, serta sebagainya, dan (b) industri pengolahan output pertanian, misalnya pengolahan pucuk teh hijau atau teh hitam, pengalengan butir, pengolahan minyak kelapa, serta lain-lain. 

Tambunan serta Priyanto (2005) menyatakan bahwa industrialisasi di Indonesia selalu dimulai menurut industri akbar, serta kurang memperhatikan usahausaha kecil. Akibatnya, sampai waktu ini Indonesia belum menampakan tandatanda sebagai Negara industri yg mandiri. Hal ini disinyalir lantaran para pemimpin pembangunan ekonomi terlalu mengandalkan peranan industri besar terbaru, yang dipercaya menjadi jalan paling pendek serta paling mungkin buat mengisi arti kemerdekaan. 

Senada menggunakan hal tadi pada atas, Simatupang dan Syafa’at (2000) menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi pada Indonesia merupakan lantaran kesalahan industrialisasi yg tidak berbasis pada pertanian. Selama krisis pula terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu mengalami laju pertumbuhan yg positif, walaupun pada persentase yang mini , sedangkan sektor industri manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negatif pada atas satu digit. Banyak pengalaman di negara-negara maju pada Eropa dan Jepang yg menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi selesainya atau bersamaan menggunakan pembangunan pada sektor pertanian. Sebagai contoh, Inggris mengalami revolusi industri dalam abad ke-18 sesudah diawali menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui introduksi teknologi turnip. Industrialisasi di Jepang berlangsung bersamaan menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui reformasi agraria (restorasi Meiji). Demikian pula di Taiwan dalam dasa warsa 1950-an, yg menampakan bahwa industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan industri berskala mini serta berlokasi pada perdesaan mampu membuat pertumbuhan ekonomi yg bertenaga serta merata serta struktur ekonomi yg tangguh. 

Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertanian yang kuat sangat esensial dalam suatu proses industrialisasi pertanian. Beberapa alasan tadi diantaranya menjadi berikut (Tambunan, 2001): 
1. Sektor pertanian yg kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini adalah keliru satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pertanian pada khususnya serta pembangunan ekonomi dalam umumnya sanggup berlangsung menggunakan baik. Ketahanan pangan berarti nir ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan sosial dan politik. 

2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yg bertenaga menciptakan tingkat pendapatan riil per kapita pada sektor tersebut tinggi yang adalah galat satu asal permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di Indonesia, dimana sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan mempunyai asal pendapatan eksklusif juga tidak pribadi menurut kegiatan pertanian, kentara sektor ini adalah motor utama penggerak industrialisasi. 

Selain melalui keterkaitan pendapatan, sektor pertanian pula berfungsi sebagai sumber pertumbuhan di sektor industri manufaktur melalui intermediate demand effect atau keterkaitan produksi: output berdasarkan industri sebagai input bagi pertanian. 

3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian adalah galat satu sumber input bagi sektor industri pertanian yang mana Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, contohnya industri makanan dan minuman, industri tekstil serta pakaian jadi, industri kulit, dan sebagainya. 

4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yg baik di sektor pertanian sanggup membuat surplus di sektor tersebut dan ini sanggup menjadi asal investasi di sektor industri, khususnya industri skala kecil di perdesaan (keterkaitan investasi). 

Menurut Dumairy (1997), hanya sedikit negara-negara berkembang yg menyadari bahwa usaha buat memajukan dan memperluas sektor industri haruslah sejajar menggunakan pembangunan serta pengembangan sektor-sektor lain, terutama sektor pertanian. Hal ini lantaran sektor pertanian yang lebih maju dibutuhkan sang sektor industri, baik sebagai penyedia bahan standar juga menjadi pasar yg potensial bagi produk-produk industri. Berkaitan menggunakan hal ini, Tambunan (2001) menyatakan bahwa sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitan tersebut terutama didominasi sang imbas keterkaitan pendapatan, keterkaitan produksi, dan keterkaitan investasi. Secara grafis, keterkaitan antara sektor pertanian serta sektor industri disajikan dalam Gambar. 

Pada Gambar, jumlah hasil berdasarkan sektor pertanian adalah OA, sedangkan Of adalah kuliner yg dikonsumsi pada pasar domestik dan Ox adalah bahan standar atau komoditas pertanian yg diekspor. Ekspor ini memungkinkan negara yang bersangkutan buat impor sebesar Om, menggunakan dasar tukar internasional (terms of trade) OT. Dengan adanya impor (Om) serta kuliner (Of) memungkinkan sektor industri di negara tersebut bisa menghasilkan hasil sebanyak Oi. Misalkan volume produksi di sektor industri semakin tinggi ke Of'. Untuk tujuan ini diharapkan lebih banyak input yang harus diimpor, yakni sebanyak Om'. Produksi semakin tinggi berarti jua kesempatan kerja dan pendapatan rakyat pada negara tadi pula meningkat, yg selanjutnya berarti permintaan akan kuliner jua meningkat, yakni ke Of'. Jika hasil di sektor pertanian tidak semakin tinggi, maka ekspor menurut sektor tersebut akan berkurang ke Oy dan ini berarti kebutuhan akan impor sebesar Om' nir bisa dipenuhi. Oleh sebab itu, pada bisnis menaikkan volume produksi di sektor industri (ke Oi'), maka output pada sektor pertanian jua wajib ditingkatkan ke OC. Ini akan menaikkan konsumsi makanan ke Om' dan berarti juga output di sektor industri bisa naik ke Oi'. 

Gambar  Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri
Sumber: Tambunan (2001) 

Ilustrasi pada atas menerangkan bahwa tanpa suatu peningkatan hasil atau produktivitas di sektor pertanian, maka industri pertanian (agroindustri) tidak bisa mempertinggi outputnya (atau pertumbuhan yang tinggi akan sulit tercapai). Oleh karenanya, sektor pertanian memainkan peranan yang sangat penting dalam proses industrialisasi pertanian. 

Kemiskinan serta Kemiskinan Perdesaan 
Konsep dan Ukuran Kemiskinan 
Konsep mengenai kemiskinan sangat majemuk, mulai berdasarkan sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, sampai pengertian yg lebih luas yg memasukkan aspek sosial dan moral. Bappenas (2002) mendefinisikan kemiskinan menjadi suatu situasi atau kondisi yg dialami seseorang atau gerombolan orang yg nir bisa menyelenggarakan hidupnya hingga suatu tingkat yg dipercaya manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004 pada Susanto, 2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu syarat dimana seseorang atau sekelompok orang, nir bisa memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan serta mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam serta lingkungan hayati, rasa kondusif dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak buat berpartisipasi dalam kehidupan social politik, baik bagi perempuan juga laki-laki . 

Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi serta akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait serta saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak mempunyai loka tinggal, jika sakit tidak mempunyai dana buat berobat. Orang miskin umumnya tidak bisa membaca karena nir mampu bersekolah, nir memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan merupakan ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. 

Beberapa definisi kemiskinan yang dirujuk sang Komite PenanggulanganKemiskinan (2002) merupakan menjadi berikut: 
1. BPS: Kemiskinan merupakan kondisi seseorang yg hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari. 
2. BKKBN: Kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, nir dapat melaksanakan ibadah berdasarkan agamanya, tidak bisa makan dua kali sehari, nir memiliki pakaian tidak sinkron buat di tempat tinggal , bekerja dan bepergian, bagian terluas tempat tinggal berlantai tanah dan tidak sanggup membawa anggota famili ke sarana kesehatan. Pengertian famili miskin ini didefinisikan lebih lanjut menjadi: (a) paling kurang sekali seminggu famili makan daging/ikan/telur, (b) setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel sandang baru, serta (c) luas lantai tempat tinggal paling kurang 8 m untuk tiap penghuni. Keluarga miskin sekali merupakan keluarga yang lantaran alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: 
(a) dalam umumnya semua anggota famili makan 2 kali sehari atau lebih, (b) anggota famili memiliki pakaian berbeda buat pada rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, dan (c) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. 
3. Bank Dunia: Kemiskinan merupakan nir tercapainya kehidupan yg layak menggunakan penghasilan US $ 1 per hari. 

Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan nisbi, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis serta kemiskinan ad interim. Kemiskinan absolut, adalah bila taraf pendapatan seorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau sejumlah pendapatannya tidak relatif buat memenuhi kebutuhan hayati minimum (basic needs), diantaranya kebutuhan pangan, pakaian, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang dibutuhkan buat hidup serta bekerja. Kemiskinan relatif, adalah apabila seorang memiliki penghasilan pada atas garis kemiskinan, tetapi relatif lebih rendah dibandingkan menggunakan pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan nisbi erat kaitannya menggunakan kasus pembangunan yg sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yg belum menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu dalam perilaku seorang atau warga yang disebabkan sang faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki taraf kehidupan meskipun ada usaha menurut pihak luar buat membantunya. Kemiskinan kronis, ditimbulkan oleh beberapa hal, yaitu: (a) kondisi sosial budaya yang mendorong perilaku serta norma hidup warga yg tidak produktif, (b) keterbatasan sumber daya serta keterisolasian (daerah-wilayah kritis asal daya alam dan wilayah terpencil), serta (c) rendahnya taraf pendidikan serta derajad perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja serta ketidak berdayaan warga dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya: (a) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (b) perubahan yg bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, serta (c) bencana alam atau efek berdasarkan suatu kebijakan tertentu yg mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. 

Menurut Darwis serta Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan bisa dihitung menggunakan memakai tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,pendapatan dan pengeluaran. Garis kemiskinan yang ditentukan menurut taraf produksi, contohnya produksi padi per kapita, hanya dapat menggambarkan aktivitas produksi tanpa memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup. Perhitungan garis kemiskinan menggunakan pendekatan pendapatan tempat tinggal tangga dinilai paling baik. Cara ini tidak mudah dilakukan lantaran kesulitan buat memperoleh data pendapatan rumah tangga yang seksama. Untuk mengatasi kesulitan tadi, maka garis kemiskinan dipengaruhi dengan pendekatan pengeluaran yg digunakan menjadi proksi atau asumsi pendapatan rumah tangga. 

Garis kemiskinan yang digunakan BPS dinyatakan sebagai jumlah rupiah yg dimuntahkan atau dibelanjakan buat memenuhi kebutuhan konsumsi yg setara menggunakan dua 100 kalori per kapita ditambah menggunakan pemenuhan kebutuhan minimum lainnya seperti pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori dengan pendekatan pengeluaran menjadi dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Sayogyo tahun 1977. Konsep ini dinilai lebih mendekati syarat kehidupan warga yang sesungguhnya karena pengeluaran utama pada luar kebutuhan pangan juga diperhitungkan (Yusdja et al., 2003). 

Berdasarkan garis kemiskinan yg dipergunakan, bisa dihitung jumlah penduduk miskin pada suatu daerah. Garis kemiskinan dibedakan antara wilayah perkotaan serta perdesaan, dimana garis kemiskinan pada perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sesuai menggunakan perbedaan indeks harga bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat di ke 2 daerah tersebut. Garis kemiskinan pula berubah berdasarkan tahun ke tahun, dikoreksi menurut perkembangan taraf harga kebutuhan pokok rakyat (Sumedi dan Supadi, 2004). 

Indikator yang biasa dipakai buat mengukur kemiskinan pada studistudi realitas adalah menjadi berikut (Yudhoyono serta Harniati, 2004; Nanga,2006; serta Foster et al., 1984): 
1. Incidence of poverty, yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam famili dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya diklaim poverty headcount index, yg merupakan ukuran kasar menurut kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa poly orang miskin yang terdapat pada pada perekonomian lalu dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yg sama besarnya, nir ada disparitas antara penduduk yg paling miskin dan penduduk yg paling kaya di antara orang-orang miskin. 

2. Depth of poverty, yg mendeskripsikan taraf kedalaman kemiskinan pada suatu daerah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jeda atau perbedaan homogen-rata pendapatan orang miskin berdasarkan garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. 

3. Severity of poverty, yang menerangkan kepelikan kemiskinan di suatu daerah, yang merupakan rata-rata dari kuadrad kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yg memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan jua ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini pula acapkali dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). 

Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara buat mengukur taraf kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yg dapat dibagi ke pada dua grup pendekatan yaitu asiomatic approach serta stochastic dominance. Pendekatan yang acapkali dipakai pada studi-studi realitas merupakan pendekatan pertama menggunakan 3 alat ukur yaitu: (1) the generalized entropy (GE), (2) the Atkinson measure, serta (tiga) Gini coefficient. 

Rumus GE bisa dituliskan sebagai berikut:

dimana: n merupakan jumlah individu (orang) di pada sampel, yi adalah pendapatan berdasarkan individu (1, 2, ....., n), serta y = (1/n) ∑ yi merupakan ukuran homogen-homogen pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 hingga ∞. Nilai GE nol berarti distribusi pendapatan merata (pendapatan menurut semua individu di dalam sampel sama) serta ∞ berarti kesenjangan yang sangat akbar. Parameter α mengukur besarnya disparitas antar pendapatan dari gerombolan yg tidak sama pada dalam distribusi tadi. 

Dari persamaan (2.1) di atas, bisa diturunkan cara mengukur ketimpangan dari Atkinson menjadi berikut:

dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), meningkat nilai ε maka semakin nir seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0 sampai 1. Nilai A sama dengan nol berarti tidak ada ketimpangan pada distribusi pendapatan. 

Alat ukur ketiga yang seringkali digunakan dalam setiap studi realitas mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan merupakan koefisien atau rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan menjadi berikut:

dimana: G merupakan nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi=1/n, F*(Yi) adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan seluruh sampel, serta F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada dalam selang 0 sampai 1. Jika rasio Gini = 0, berarti kemerataan yang paripurna (setiap orang mendapat porsi berdasarkan pendapatan yg sama). Jika rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan istilah lain, satu orang (satu kelompok pendapatan) pada suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut. 

Dengan memakai grafik, rasio Gini dapat digambarkan menggunakan Kurva Lorenz seperti yg disajikan pada Gambar 5. Koefisien Gini merupakan rasio antara wilayah pada dalam grafik yang terletak pada antara kurva Lorenz serta garis kemerataan paripurna (yg membangun sudut 45 berdasarkan titik 0 sumbu Y dan X) terhadap wilayah segitiga antara garis kemerataan serta sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz dari garis 45, semakin besar taraf ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Gambar Rasio Gini serta Kurva Lorenz 
Sumber: Tambunan (2001) 

Foster et al. (1984) mengemukakan suatu berukuran atau indikator yang bisa digunakan buat menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan. Ukuran atau indikator tersebut adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai α, dapat dipandang dalam Gambar 6, yang menggambarkan kontribusi total kemiskinan P(z;α) dari masing-masing individu menggunakan tingkat kemiskinan p yang tidak sinkron. 

Kontribusi tersebut ditunjukkan oleh (g(p;z)/z) α. Untuk α = 0, kontribusinya adalah 1 buat yg miskin serta 0 buat yg kaya (yg mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama dengan pendapatan Q(p) yang melebihi z). 

Headcount index adalah daerah empat persegi panjang. Untuk α =1 donasi seseorang dalam tingkat kemiskinan p, persis sama dengan poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yg dinormalkan merupakan yg berada dalam daerah pada bawah g(p;z)/z. Demikian jua buat nilai α yang lebih akbar, contohnya kontribusi buat P(z;α=tiga) menurut individu-individu dalam tingkat kemiskinan p merupakan (g(p;z)/z), sehingga homogen-homogen kemiskinan P(z;α=tiga) merupakan area yg berada di bawah kurva (g(p;z)/z).

Gambar  Poverty Gaps serta FGT Indeks 
Sumber: Foster et al. (1984) 

Duclos serta Araar (2004) memperkenalkan 2 pendekatan yang dapat dipakai buat mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan tersebut adalah: (1) equality distributed equivalent (EDE), yaitu baku hayati berdasarkan masyarakat dimana pendapatan sebagai acuan batas garis kemiskinan, dan (2) kombinasi antara pendapatan serta garis kemiskinan sebagai poverty gaps dan mengelompokkannya dalam kesejahteraan masyarakat. 

Kemiskinan Perdesaaan 
Desa sampai ketika ini tetap menjadi kantong primer kemiskinan. Pada tahun 1998 berdasarkan 49.lima juta jiwa penduduk miskin pada Indonesia lebih kurang 60 % (29.7 juta jiwa) tinggal di wilayah perdesaan. Pada tahun 1999, persentase angka kemiskinan mengalami penurunan berdasarkan 49.5 juta jiwa menjadi 37.lima juta jiwa. Persentase kemiskinan pada daerah perkotaan mengalami penurunan, namun persentase kemiskinan pada wilayah perdesaan justru mengalami peningkatan menurut 60 % tahun 1998 menjadi 67 % tahun 1999 yaitu sebanyak 25.1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12.4 juta jiwa (Susanto, 2005). Data tersebut diperkuat oleh laporan Kompas tahun 2004 yg menyajikan bahwa lebih dari 60 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di wilayah perdesaan. Dengan demikian, daerah perdesaan hingga waktu ini permanen sebagai kantong terbesar menurut pusat kemiskinan. 

Menurut Sumedi serta Supadi (2004), tingkat pendapatan rakyat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan lantaran sebagian akbar rakyat miskin pada perdesaan memiliki taraf pendapatan di lebih kurang batas garis kemiskinan, ad interim di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin mempunyai taraf pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya pemugaran struktur perekonomian yg berhasil menaikkan pendapatan warga , pengurangan jumlah penduduk miskin pada perdesaan lebih akbar daripada pada perkotaan. Sebaliknya, adanya krisis ekonomi yg menurunkan pendapatan rakyat, pertambahan jumlah penduduk miskin pada perdesaan pula lebih akbar. 

Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mensugesti indeks kemiskinan pada daerah perdesaan. Hasil penelitian Darwis serta Nurmanaf (2001) memperlihatkan bahwa lebih berdasarkan 70 persen ketua tempat tinggal tangga miskin pada perdesaan tidak tamat SD dan kurang dari 25 % yg menamatkan SD. Lebih lanjut disebutkan bahwa rumah tangga miskin memiliki homogen-homogen jumlah anggota rumah tangga yg lebih akbar dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yg tidak tergolong miskin. Dengan demikian, bila diasumsikan bahwa jumlah anggota tempat tinggal tangga merupakan beban tanggungan pengeluaran, maka dapat disimpulkan bahwa tempat tinggal tangga miskin memiliki beban yang lebih berat dalam mencukupi kebutuhan anggota keluarganya dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yang tidak tergolong miskin. 

Hasil penelitian Yusdja et al. (2003) menerangkan bahwa lebih berdasarkan 62 % angkatan kerja rumah tangga miskin bekerja pada sektor pertanian pada perdesaan, disusul pada aktivitas pada sektor perdagangan menjadi pedagang kecil (10 persen), industri rumah tangga (7 persen) serta jasa (6 persen). Pada biasanya sebagian besar anggota rumah tangga miskin bekerja pada kegiatan-aktivitas yang mempunyai produktivitas energi kerja rendah. Hal ini erat kaitannya menggunakan rendahnya aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi. 

Pada kenyataannya angkatan kerja tadi cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yg minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif serta permodalan.

Menurut Susanto (2005), penyebab kemiskinan di perdesaan umumnya bersumber berdasarkan sektor pertanian, yang ditimbulkan oleh ketimpangan kepemilikan huma pertanian. Kepemilikan huma pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3.8 % menurut 18.tiga juta ha. Di sisi lain, kesenjangan pada sektor pertanian juga ditimbulkan oleh ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yg terbatas jua menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian pada perdesaan menurun. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8 persen dari seluruh kredit perbankan, serta hanya naik dua % tahun 2000 menjadi 10 %. 

Kondisi tersebut di atas sesuai menggunakan pendapat Thorbecke serta Pluijm (1993), yg menyatakan bahwa kemiskinan poly dijumpai di perdesaan serta sangat berhubungan dengan: (a) pola kepemilikan lahan serta produktivitas lahan, (b) struktur kesempatan kerja, dan (c) operasi pasar tenaga kerja. Lebih lanjut disebutkan bahwa individu-individu dari banyak sekali golongan rumah tangga mempunyai perbedaan pada hal anugerah sumberdaya yang diterima, khususnya penguasaan huma (land endowment) dan kapital manusia (human capital). Hal ini berarti masih ada hubungan yg tinggi antara baku hayati dengan jumlah dan kualitas lahan yang dimiliki, serta korelasi antara baku hidup menggunakan taraf pendidikan serta keahlian anggota rumah tangga. Dengan demikian, suatu rumah tangga yg tergolong tidak memiliki huma dan dengan tingkat pendidikan serta keahlian yg terbatas, bila nir mendapat donasi dan transfer pendapatan berdasarkan pihak lain, maka rumah tangga tersebut akan cenderung terus karam dalam kemiskinannya. 

Model Keseimbangan Umum 
Dalam suatu sistem perekonomian, perubahan keseimbangan pada suatu pasar nir hanya berdampak terhadap sektor atau komoditas itu sendiri, tetapi juga berdampak terhadap sektor atau komoditas serta banyak sekali kegiatan ekonomi lainnya melalui keterkaitan input-hasil. Oleh karena itu, impak suatu kebijakan lebih tepat dianalisis berdasarkan teori ekuilibrium generik dibandingkan menggunakan teori keseimbangan parsial. 

Teori keseimbangan umum menyebutkan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar yg saling terkait. Keseimbangan umum terjadi bila permintaan serta penawaran pada masing-masing pasar dalam sistem tersebut berada dalam kondisi keseimbangan secara simultan. Tingkat harga ekuilibrium yg terwujud adalah solusi berdasarkan sistem persamaan simultan yg menggambarkan perilaku setiap pelaku ekonomi dan ekuilibrium pada setiap pasar. 

Menurut paham teori ekuilibrium umum, bila pada syarat ekuilibrium terjadi gangguan yg mengakibatkan ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam suatu pasar secara parsial, maka akan segera diikuti oleh penyesuaian pada pasar yg bersangkutan dan selanjutnya terjadi proses penyesuaian pada pasar lainnya (simultaneous adjustment) yang membawa perekonomian secara keseluruhan kembali dalam kondisi ekuilibrium yang baru. Mekanisme pencapaian keseimbangan pada seluruh jenis barang di seluruh pasar yang berlaku bagi pembuat dan konsumen disebut sebagai analisis ekuilibrium umum (general equilibrium analysis). 

Analisis ekuilibrium generik adalah landasan bagi perkembangan contoh ekuilibrium umum. Hulu (1997) mengemukakan bahwa formulasi teoritis model keseimbangan umum telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, diantaranya rumusan Gossen (1854), Jevons (1871), Walras (1874-1877), dan Menger (1871). Abraham Wald dan Gustav Cassel (1930-an), berhasil menyusun formulasi contoh ekuilibrium umum menjadi sebuah model simultan versi Walras, walaupun belum lengkap verifikasi eksistensi penyelesaiannya. John von Neuman selanjutnya berhasil mengambarkan adanya keseimbangan generik, menggunakan sebuah contoh dan menghasilkan solusi tunggal. John Hicks dan Oscar Lange, menyusun model ekuilibrium generik versi makroekonomi Keynesian, yaitu perekonomian yang terdiri dari empat pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja serta pasar kapital). Solusi keseimbangan generik contoh ini memakai asumsi Walras, yaitu andaikan ada n pasar, serta bila n-1 pasar telah berada dalam keseimbangan, maka seluruh n pasar akan berada dalam keseimbangan. 

Pembuktian Walras tentang adanya titik ekuilibrium umum tadi dilakukan dengan memakai matematika formal. Walras menyimpulkan bahwa sejumlah n fungsi excess demand nir tergantung dalam fungsi lainnya. 

Formula ini dapat dituliskan menjadi berikut:

Persamaan (2.5) pada atas adalah Hukum Walras, yg berarti bahwa total excess demand terjadi pada semua jenis barang atau komoditas yang diproduksi (Nicholson, 1994). Apabila nilai semua komoditas yang ditawarkan di pasar sama dengan nilai komoditas yg diminta di pasar, sedangkan harga-harga (pada hal ini harga nisbi) diketahui dalam saat pasar ke-1 ada keseimbangan, maka dalam pasar yg ke-k akan ada ekuilibrium pula. 

Fondasi yg kokoh dari contoh keseimbangan umum berhasil dibangun sang Arrow dan Debreu (1954) dan McKenzie (1959) yg pertanda bahwa model keseimbangan umum secara teoritis “ada, mempunyai solusi tunggal, dan stabil”. Arrow dan Debreu (1954) mensyaratkan adanya ekuilibrium umum apabila perekonomian dalam keadaan kompetitif sempurna, dimana nir terdapat indivisibilitas serta tidak masih ada skala pengembalian yg meningkat (increasing return to scale). Dengan demikian, perekonomian yang nir kompetitif paripurna, titik keseimbangan generik nir selalu ada. 

Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan contoh ekuilibrium generik teoritis formulasi Arrow, Debreu dan McKenzie dianggap menjadi contoh Computable General Equilibrium (CGE). Menurut Ratnawati (1996), masih ada 3 ciri pengembangan contoh CGE. Pertama, formulasi CGE yg dikembangkan sang Johansen pada tahun 1960, yaitu contoh CGE disusun sebagai sebuah model linier simultan, dan menurut solusi model diperoleh harga dan kuantitas berdasarkan setiap barang yg diidentifikasi sebagai ekuilibrium umum. Kedua, Herbert Scarf dalam tahun 1970 merumuskan penyelesaian contoh CGE menggunakan “fixed point theorem”. Ketiga, Adelman dan Robinson dalam tahun 1978 merumuskan contoh CGE menjadi sebuah model simultan non linier (nonlinier programming solution), dan solusinya menghasilkan harga bayangan (shadow prices) yang diinterpretasikan sebagai harga dalam syarat ekuilibrium generik. 

Uraian tersebut pada atas memberitahuakn bahwa contoh CGE adalah sebuah pendekatan komprehensif yang merangkum contoh multimarket serta memakai ekuilibrium pasar sebagai elemen dasar analisisnya. Sebuah model CGE menggambarkan agen-agen pelaku ekonomi dan perilakunya, sehingga membawa pasar-pasar yg tidak sama ke pada suatu keseimbangan. 

Pada formulasi model CGE, terdapat keterkaitan antar pelaku ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, rumah tangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar komoditas yang berbeda. Seluruh pasar berada pada keadaan ekuilibrium serta mempunyai struktur yang khusus buat mencapai ekuilibrium apabila masih ada guncangan dalam galat satu pasar (Oktaviani, 2001). 

Secara generik contoh CGE memuat persamaan-persamaan, variabel-variabel eksogen dan parameter, variabel-variabel endogen, serta bentuk-bentuk fungsi menurut persamaan. Sistem persamaan dibuat sang subsistem-subsistem persamaan yg secara umum mencakup produksi, pasar tenaga kerja, faktor renumerasi, pendapatan disposable, kelembagaan (tempat tinggal tangga dan pemerintah), tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, keseimbangan pasar produk, dan numeraire (Sadoulet serta de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yang membentuk contoh CGE umumnya dikelompokkan menjadi blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor-impor, blok investasi, dan blok kliring pasar. 

Lebih lanjut Sadoulet dan de Janvry (1995) mengemukakan bahwa menggunakan sitem persamaan yg komprehensif, contoh CGE memiliki keunggulan pada mengungkapkan impak produksi, konsumsi, perdagangan, investasi dan interaksi spasial secara holistik menurut suatu kebijakan (policy) atau guncangan (shock). Karena itu model ini telah diterapkan buat mensimulasikan efek sosial ekonomi berdasarkan sebuah skenario yang luas yg meliputi beberapa hal. 

Pertama, foreign shocks, seperti perubahan yang nir dibutuhkan dalam term of trade (contohnya kenaikan dalam harga impor minyak atau penurunan pada harga komoditas ekspor primer suatu negara) dan keharusan menurunkan pinjaman luar negeri. Kedua, perubahan dalam kebijakan ekonomi. Pajak dan subsidi merupakan instrumen kebijakan yg sangat lazim dianalisis, khususunya dalam sektor perdagangan. Model ini jua telah digunakan buat melihat perubahan berukuran serta komposisi dalam pengeluaran rutin serta investasi pemerintah. Ketiga, perubahan pada struktur sosial ekonomi domestik, misalnya perubahan teknologi pertanian, redistribusi aset-aset, serta pembentukan kapital sumberdaya insan. 

Buehrer dan Mauro (1995) mengemukakan bahwa contoh CGE dapat dipakai buat mensimulasi impak dari kebijakan perdagangan serta impak perubahan ekonomi berdasarkan berbagai paket kebijakan pemerintah. Adapun dari Yeah et al. (1994) bahwa penggunaan contoh CGE tidak hanya pada contoh perdagangan internasional namun pula dalam perencanaan pembangunan, keuangan, lingkungan, manajemen sumberdaya, serta perubahan transisi serta ekonomi pasar. 

Model tadi dapat menganalisis sensitivitas berdasarkan alokasi sumberdaya lantaran adanya perubahan dari sektor eksternal, ad interim analisis keseimbangan parsial mengasumsikan bahwa sumberdaya bersifat permanen. Selanjutnya, landasan teori ekonomi mikro yang digunakan mencakup parameter elastisitas serta input-hasil data, sebagai akibatnya model CGE merupakan indera analisis eksperimental untuk menganalisis perubahan ekonomi. 

Penggunaan aturan standar model CGE, keseimbangan ekonomi makro di masing-masing pasar bisa diilustrasikan misalnya pada Gambar, yang diadopsi menurut Devarajan, Lewis dan Robinson (1990), misalnya yang dikutip sang Sadoulet serta de Janvry (1995). 

Gambar Keseimbangan Ekonomi Makro dalam CGE 

Menurut Nicholson (1994), properties menurut kondisi ekuilibrium generik adalah terjadinya efisiensi pareto. Adapun menurut Just et al. (1982), kriteria pareto menyatakan bahwa sesuatu perubahan dianggap sebagai perubahan yang membawa kebaikan, apabila perubahan tadi menyebabkan beberapa orang menjadi lebih baik namun nir seorangpun sebagai lebih buruk. Dengan demikian, apabila sudah tercapai suatu kondisi dimana satu pihak tidak bisa meningkatkan kepuasannya tanpa mengurangi kepuasan pihak-pihak yg lainnya, maka syarat ini dianggap pareto optimum.

Efisiensi pareto terjadi pada waktu ekuilibrium umum tercapai melalui mekanisme pasar persaingan paripurna. Konsep efisiensi pareto mencakup tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi alokasi asal (ekuilibrium produksi), efisiensi distribusi komoditas (ekuilibrium konsumsi) serta efisiensi kombinasi produk (keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi). Di bawah ini dibahas masing-masing efisiensi tersebut pada perkara satu konsumen, 2 faktor produksi dan dua komoditas. 

Keseimbangan Produksi 
Nicholson (1994) beropini bahwa pembuat akan berada pada kondisi keseimbangan apabila marginal rate of technical substitution (MRTS) antara 2 faktor produksi yg digunakan sama menggunakan rasio harga menurut kedua faktor produksi tersebut. Dengan demikian, buat penggunaan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) serta kapital (K), maka ekuilibrium produksi akan tercapai pada waktu MRTSlk = w1/w2 pada mana w1 adalah harga faktor L dan w2 harga faktor K. 

Pada perkara 2 perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang tidak sama yaitu x1 dan x2, ekuilibrium simultan yg terjadi dapat dijelaskan melalui kotak Edgeworth (Gambar 8). 

Gambar Diagram Kotak Edgeworth dalam Kasus Dua Komoditas serta Dua Faktor Produksi 
Sumber: Nicholson (1994) 

Paga Gambar, nampak bahwa ekuilibrium simultan antara 2 produk x1 serta x2 tercapai dalam waktu isoquant x1 bersinggungan menggunakan isoquant x2 pada berbagai taraf output. Titik-titik singgung tadi membentuk kurva yg diklaim contract curve (CC). Pilihan taraf hasil yg akan diproduksi dipengaruhi sang rasio harga faktor. Secara matematis pertarungan pada atas dapat diformulasikan sebagai berikut:

dimana MRTS merupakan slope dari isoquant. Rumusan di atas adalah rumusan ekuilibrium umum pada sektor produksi, yang tercapai dalam ketika MRTS buat seluruh jenis hasil merupakan sama. Jika harga faktor diketahui, maka jumlah hasil x1 dan x2 yg wajib diproduksi agar tercapai laba maksimum, bisa dipengaruhi. 

Tingkat output x1 serta x2 yang diproduksi perusahaan harus sinkron menggunakan permintaan konsumen terhadap barang x1 serta x2. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif p1 serta p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran menggunakan permintaan, diperlukan konsep production posibility curve (PPC) (Gambar)

Gambar  Production Possibility Curve
Sumber: Nicholson (1994) 

PPC diderivasi berdasarkan CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC merupakan gugusan titik-titik yang menggambarkan banyak sekali tingkat produksi x1 dan x2 yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk lantaran mendeskripsikan transfomasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi faktor produksi (marginal rate of production transformation = MRPT). 

Berdasarkan definisi:


Keseimbangan Konsumsi 
Untuk mengetahui kondisi pareto optimum pada konsumen, maka wajib diketahui konsep taraf pertukaran marginal atau marginal rate of substitution (MRS), dimana MRS memberitahuakn kesediaan seorang konsumen buat menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang buat mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga nisbi ke 2 barang yang akan dikonsumsinya, yang secara matematis dapat dipengaruhi menjadi berikut: 

Fungsi kepuasan U = f(X) menggunakan pendapatan (I), sebagai akibatnya didapatkan:



Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi 
Keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi tercapai dalam waktu MRPT12 = MRS12 = p1/p2. MRPT menampakan bagaimana suatu produk ditransformasikan menjadi produk lain, sedangkan MRS menampakan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditas menggunakan komoditas lainnya. Keseimbangan terjadi apabila planning produksi sinkron dengan rencana konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi berdasarkan ekuilibrium simultan ini adalah bahwa kombinasi hasil x1 dan x2 wajib optimal baik menurut sudut produsen maupun konsumen. Secara grafis keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi dapat ditinjau dalam Gambar.

Gambar  Keseimbangan Simultan Sektor Produksi serta Konsumsi 
Sumber: Nicholson (1994)