PENGERTIAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN MENURUT AHLI

Pengertian Nilai Tambah Produk Pertanian 
Nilai tambah (value added) merupakan pertambahan nilai suatu komoditas lantaran mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan pada suatu produksi. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan menjadi selisih antara nilai produk dengan nilai porto bahan standar serta input lainnya, nir termasuk tenaga kerja. Sedangkan marjin merupakan selisih antara nilai produk menggunakan harga bahan bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yang dipakai yaitu tenaga kerja, input lainnya serta balas jasa pengusaha pengolahan (Hayami et al, 1987).

Berdasarkan pengertian tersebut, perubahan nilai bahan baku yg telah mengalami perlakuan pengolahan besar nilainya dapat diperkirakan. Dengan demikian, atas dasar nilai tambah yg diperoleh, marjin dapat dihitung dan selanjutnya imbalan bagi faktor produksi bisa diketahui. Nilai tambah yang semakin akbar atas produk pertanian khususnya kelapa sawit dan karet tentunya bisa berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang besar tentu saja berdampak bagi peningkatan lapangan usaha serta pendapatan masyarakat yang muara akhirnya adalah menaikkan kesejahteraan masyarakat. Akan namun kondisi yg terus berlangsung ketika ini produk kelapa sawit serta karet pada jumlah yang signifikan diekspor tanpa mengalami pengolahan lebih lanjut di dalam negeri. Akhirnya laba nilai tambah atas kedua produk pertanian tadi hanya dinikmati oleh pihak asing.

Industri dan Pengembangan Produk Kelapa Sawit dan Turunannya
Komoditas agroindustri merupakan subsektor pertanian yang diharapkan dapat berperan krusial terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, serta pemerataan pembangunan daerah. Ditinjau menurut cakupan komoditasnya, masih ada ratusan jenis tumbuhan tahunan serta tanaman musiman dapat tumbuh subur pada Indonesia, sehingga pembangunan agroindustri akan dapat menjangkau banyak sekali tipe komoditas yg sinkron dikembangkan di masingmasing daerah di Indonesia. Dilihat berdasarkan hasil produksinya, komoditas perkebunan adalah bahan baku industri serta barang ekspor, sebagai akibatnya telah inheren adanya kebutuhan keterkaitan aktivitas bisnis dengan aneka macam sektor serta subsektor lainnya. Di samping itu, apabila diamati berdasarkan sisi pengusahaannya, sekitar 85 % komoditas agro merupakan usaha perkebunan rakyat yg beredar di berbagai wilayah. Dengan demikian pembangunan industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama melalui perannya dalam membangun lapangan kerja serta distribusi pemerataan pendapatan. 

Bisnis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia berkembang pesat pada dasa warsa 1990–2000an dengan daya saing yg relatif mengagumkan. Areal kelapa sawit tumbuh menggunakan laju sekitar 11% berdasarkan 1.126 juta ha pada tahun 1991 sebagai tiga.584 pada tahun 2001 (Susila, 2004b). Perkembangan berikutnya (2000–2005) pertumbuhan ekspor CPO Indonesia serta dunia selalu positif. Pada periode ini, Malaysia masih lebih secara umum dikuasai daripada Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi. Pangsa ekspor CPO Malaysia rata-homogen mencapai lebih berdasarkan 50% ekspor CPO global, sementara pangsa ekspor Indonesia belum mencapai 40% (Nuryanti, 2008).

Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula yaitu tahun 2010. Dalam 5 tahun terakhir, kiprah Indonesia menjadi pembuat CPO dunia meningkat tajam sebagai 44,3% dalam 2008, sejalan menggunakan pesatnya pertumbuhan produksi yg tumbuh rata-homogen 9,1 % per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 49,8% pada tahun 2000 menjadi 40,9% dalam tahun 2008 (Miranti, 2010). Minat buat terus membuka lahan kebun sawit baru, pada tahuntahun mendatang masih akan sangat besar . Ini ditimbulkan oleh harga CPO pada pasar dunia yang masih akan terus naik, mengikuti kenaikan harga minyak mentah pada pasar internasional (Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak botani, terutama CPO akan terus diincar sebagai bahan biodiesel karena harganya jauh lebih murah (Tanet al., 2009). 

Konsistensi peningkatan ekspor ini berdasarkan kajian INDEF (2007) memberitahuakn bahwa: 
a. Serapan CPO sang industri domestik masih rendah karena industri hilir kelapa sawit yg nir berkembang. 
b. Nilai tambah tertinggi diperoleh dari produksi CPO, bukan berdasarkan produk turunannya. 

Pengusaha masih lebih tertarik dalam industri primer (CPO) yg cenderung padat energi kerja, bukan padat kapital karena buat memproduksi produk turunan dibutuhkan dana investasi yang tinggi. 

c. Tersedianya pangsa pasar global atas minyak sawit menggunakan pengembangan industri hilir dan asal tenaga alternalif (biodiesel)

Kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu flora perkebunan yang memiliki kiprah penting bagi subsektor perkebunan. Hilirisasi kelapa sawit diantaranya memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan petani serta warga , membangun nilai tambah pada pada negeri, penyerapan energi kerja, pengembangan wilayah industri, proses alih teknologi, dan buat ekspor sebagai penghasil devisa. Di luar itu, dari sisi upaya pelestarian lingkungan hayati, flora kelapa sawit yg adalah tanaman tahunan berbentuk pohon (tree crops) dapat berperan pada penyerapan efek gas tempat tinggal kaca, misalnya CO2, dan sanggup menghasilkan O2 atau jasa lingkungan lainnya, seperti perlindungan biodiversity atau eko-wisata (Kementan, 2007). Tanaman kelapa sawit jua sebagai asal pangan dan gizi primer penduduk dalam negeri, sebagai akibatnya keberadaannya berpengaruh sangat nyata dalam perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Komoditas kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor Indonesia dalam sub-sektor perkebunan serta adalah galat satu industri pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan sang peningkatan produksi yang sejalan dengan tingkat permintaannya. Kelapa sawit jua merupakan salah satu berdasarkan sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang memiliki daya saing di pasar Internasional . 

Meskipun memiliki industri bahan standar yang melimpah, namun perkembangan industri ini masih kalah dibandingkan menggunakan Malaysia yang kapasitas produksinya mencapai 2 kali lipat menurut Indonesia. Sebagai citra, Indonesia menguasai sekitar 12 persen permintaan oleochemical global yang mencapai enam juta metrik ton per tahun, ad interim Malaysia mencapai 18,6 persen. Industri hilir Malaysia sanggup mengolah CPO sebagai lebih menurut 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk. Industri oleokimia adalah industri yang strategis lantaran selain keunggulan komparatif yakni ketersediaan bahan standar yang melimpah jua memberikan nilai tambah produksi yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen berdasarkan nilai bahan bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010).

Industri oleokimia adalah industri antara yang berbasis minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari ke 2 jenis produk ini dapat didapatkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan menjadi bahan standar bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan ataupun non pangan. Di antara grup industri antara sawit tersebut galat satunya merupakan oleokimia dasar (fatty acid, fatty , fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri misalnya farmasi, toiletries, dan kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id, 2010 ). 

Menurut Didu (2003), berdasarkan segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yg sangat signifikan. Produk level pertama kelapa sawit berupa CPO akan menaruh nilai tambah lebih kurang 30 % dari nilai TBS. Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-masing nilai tambah berbasis TBS menjadi berikut: minyak goreng (50 persen), asam lemak/fatty acid (100persen), ester (150–200 %), surfaktan atau pengemulsi (300–400 %), serta kosmetik (600–1000 %).

Gambar  Pohon Industri Kelapa Sawit

Sumber : Fadhil Hasan, Nilai Tambah Kelapa Sawit (2011)

Produksi serta Konsumsi Minyak Nabati Dunia 
Produksi CPO dunia mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup mengesankan pada beberapa tahun terakhir, yakni berdasarkan 33,5 juta ton pada 2004 menjadi 43,tiga juta ton pada 2008 atau tumbuh homogen-homogen 6,63 % per tahun. Lonjakan pertumbuhan ini terutama ditimbulkan produksi CPO Indonesia yg semakin tinggi 5,9 juta ton pada periode yg sama yakni berdasarkan 13,6 juta ton sebagai 19,2 juta ton atau bertumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Produksi CPO dunia diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 45,1 juta ton dalam 2009 serta 47,1 juta ton dalam 2010 yang dipicu oleh semakin meningkatnya permintaan China dan India, konsumen CPO terbesar global (Miranti, 2010).

Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak botani dunia mencapai 160 juta ton, 10 dimana 48 juta ton (30 persen) antara lain berasal menurut minyak kelapa sawit, disusul oleh minyak kedelai (23 persen). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit ini terjadi karena banyaknya produk yang dihasilkan dengan memakai bahan baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) di samping harga CPO yang jauh lebih murah hingga mencapai 200 USD/ton kekamibang rapeseed oil (Tan et al., 2009). 

Konsumsi CPO global semakin tinggi pesat menurut 29,dua juta ton dalam 2004 menjadi 43,tiga juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-homogen 9,9 % per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya 6,6 % per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO global akan terus bertumbuh sebagai 45,3 juta ton dalam 2009 dan 47,5 juta ton dalam 2010, sejalan menggunakan meningkat pesatnya permintaan CPO pada negara-negara konsumen khususnya China, India, serta Uni Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan produksi dan konsumsi CPO dunia tersaji dalam tabel berikut :

Tabel Perkembangan Produksi dan Konsumsi CPO

Potensi Produksi Nasional 
Produksi CPO Indonesia tumbuh signifikan rata-rata 13,4 persen selama satu dasawarsa terakhir, yang didukung sang pertumbuhan areal tanam homogen-rata 6,7 % per tahun. Pangsa produksi CPO Indonesia di pasar internasional senantiasa menerangkan tren peningkatan. Total produksi Minyak Sawit (CPO serta CPKO) dunia pada 2010 sebanyak 47,1 juta ton, pada mana Indonesia serta Malaysia menguasai lebih menurut 80 persen produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia sebesar 47,0 % sedangkan Malaysia sebanyak 38,2 %, sisanya sebesar 14,8 % merupakan sharesejumlah negara-negara lain.

Peningkatan pangsa produksi CPO nir tanggal dari dukungan bertambahnya luas areal kebun kelapa sawit. Wilayah Pulau Sumatera merupakan kontributor terbesar produksi kelapa sawit Indonesia menggunakan luas huma sekitar 70 persen dari total lahan kelapa sawit nasional.nanggroe Aceh Darussalam memiliki luas areal 454,4 ribu ha, Sumatera Utara 258,6 ribu ha, Sumatera Barat 47,7 ribu ha, Riau 1,5 juta ha, Jambi 511,4 ribu ha, Sumatera Selatan 1,3 juta ha, Kalimantan Barat 1,dua juta ha, Kalimantan Tengah 1,4 juta ha, Kalimantan Kamiur dua,8 juta ha, Kalimantan Selatan 965,lima ribu ha, Papua 1,5 juta ha, dan Sulawesi Tengah 215,7 ribu ha.

Tabel Pertumbuhan Luas Areal Kelapa Sawit

Market Share
Ekspor minyak sawit Indonesia semester I 2011 sebesar 8,20 juta metrik ton, meningkat 730 ribu metrik ton menurut tahun sebelumnya (semakin tinggi 8,9 %). Ekspor dalam semester I 2010 sebesar 7,47 juta ton metrik. Ekspor minyak kelapa sawit terdiri menurut minyak sawit dan minyak kernel, dan dalam bentuk minyak mentah dan diproses. Pangsa ekspor minyak sawit pada Indonesia dalam semester I 2011 sebesar 92,07 % (7,55 juta metrik ton), sedangkan pangsa minyak kernel hanya 7,97 persen (652 ribu metrik ton) [GAPKI, 2011].

Dari kedua jenis minyak sawit tersebut Indonesia mengekspor lebih poly minyak mentah dibandingkan dengan minyak olahan. Berdasarkan data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) semester I 2011 ekspor minyak sawit mentah mencapai 56,02 %, sementara minyak sawit diproses hanya 43,98 %. Namun, bila dibandingkan menggunakan ekspor 2010, persentase minyak sawit olahan mengalami penurunan, pada sisi lain persentase minyak sawit mentah sudah meningkat. Pada 2010, ekspor minyak sawit olahan 46,19 persen dari ekspor total minyak sawit serta minyak sawit mentah 53,81 persen. 

Kondisi kebalikannya terjadi pada ekspor minyak kernel, di mana ada peningkatan ekspor minyak kernel yang telah diproses, ad interim minyak kernel mentah menurun. 

Dari 96 ribu metrik ton minyak kernel diproses (14,93 persen) dalam semester I 2010 meningkat sebagai 107 ribu metrik ton (16,42 %) dalam semester I 2011. Untuk ekspor minyak kernel mentah, menurun berdasarkan 552 ribu metrik ton (85,06 persen) dalam semester I 2010 menjadi 546 ribu metrik ton (83,58 persen) dalam semester I 2011 (GAPKI, 2011). Peningkatan minyak kelapa sawit Indonesia didorong sang kenaikan impor ke India dan China, India membeli 1/2 impor minyak sawit berdasarkan Indonesia dan Malaysia. India sudah melampaui China menjadi pembeli terbesar pada global minyak sawit.

Nilai Tambah Bisnis
Dilihat berdasarkan nilai tambah bisnis, industri pengolahan CPO menjadi keliru satu industri yang prospektif buat dikembangkan ke depan. Selain buat industri minyak makanan dan industri oleokimia, kelapa sawit dapat jua sebagai asal energi cara lain . 

Kementerian Pertanian (2005) mencatat konsumsi minyak sawit domestik mencapai 50-60 % dari produksi. Sebagian akbar penggunaannya, hampir 85 %, buat pangan sedangkan buat industri oleokomia hanya lebih kurang 15 persen. Nilai tambah ekonomi (baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah teknis) produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung berdasarkan harga bahan baku, taraf kesulitan pada ekstraksi produk, dan harga produk turunan pada pasar. Tetapi, satu hal yg niscaya, semakin bisa dimanfaatkan/dibutuhkan produk turunan tersebut, nilai tambahnya meningkat. CPO yg diolah sebagai sabun mandi saja sudah membuat nilai tambah sebesar 300 persen, terlebih lagi jika bisa dijadikan kosmetik yg nilai tambahnya mencapai 600 %. Nilai tambah CPO bila diolah menjadi minyak goreng sawit sebesar 60 persen, sedangkan apabila menjadi margarin mencapai 180 persen (Kementerian Perindustrian, 2011).

Oleh karenanya, pemerintah terus berusaha mendorong pengembangan produk turunan CPO, baik untuk keperluan bahan standar industri pangan juga non pangan. Produk pangan yg dapat didapatkan menurut CPO dan CPKO, misalnya emulsifier, margarin, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri, yogurt, dan lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang dihasilkan berdasarkan CPO dan CPKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas, fatty alcohol, biodiesel, serta lain-lain.

Di luar itu,jua masih ada produk samping/limbah, misalnya tandan kosong untuk bahan kertas (pulp), pupuk hijau (kompos), karbon, rayon; cangkang biji buat bahan bakar serta karbon; serat buat fibre board dan bahan bakar; batang pohon serta pelepah buat mebel pulp paper serta makanan ternak; limbah kernel dan sludge dapat dipakai buat makanan ternak (Kementerian Pertanian, 2011). Dengan demikian, poly nilai tambah yang dapat dihasilkan berdasarkan sebuah flora bernama kelapa sawit, akan sangat disayangkan bila hanya diekspor pada bentuk mentah. 

Nilai Tambah Teknis 
Nilai tambah CPO dapat diperoleh berdasarkan pengembangannya dalam industri minyak, makanan maupun industri oleokimia (Gambar 4.dua). Sayangnya, sejauh ini produk hilir CPO di Indonesia belum poly berkembang dibandingkan Malaysia, ketika ini Indonesia baru memproduksi kurang lebih 40 jenis, ad interim Malaysia sudah menghasilkan lebih menurut 100 Jenis (Kemenperin, 2011). Beberapa produk hilir CPO yang sudah diproduksi pada Indonesia diantaranya: (a) minyak goreng, margarin, vegetable gee (minyak samin), cocoa butter substitute (CBS), cocoa butter equivalent (CBE); (b) soap chip, sabun; (c) fatty acid, fatty alkohol, glycerin; dan (d) biodiesel.

Melihat banyaknya produk turunan yg bisa dikembangkan berdasarkan komoditas CPO di atas dan nilai tambah ekonomi yg bisa didapatkan, maka upaya hilirisasi CPO perlu disikapi secara positif. 

Forward-backward Linkage
Berdasarkan model serta data Input-Output 2008 dapat dipakai buat mengetahui inter-industry connectivity CPO, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Gambar di bawah ini memperlihatkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi merupakan industri minyak serta lemak, lalu kelapa sawit, industri kimia, dan industri makanan lainnya. Sedangkan sektor yg mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi merupakan sektor industri pupuk serta pestisida, disusul forum keuangan, kelapa sawit, bangunan, dan jasa lainnya.

Potensi Permintaan
Siering peningkatan harga CPO di pasar internasional, harga produk hilirnya pun tentu pula mengalami peningkatan. Sekadar gambaran, buat produk hilirisasi minyak goreng, harga homogen-homogen minyak goreng curah serta minyak goreng kemasan pada 2 tahun terakhir mengalami peningkatan cukup signifikan. 

Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan 
Pengembangan agroindustri akan sangat strategis jika dijalankan secara terpadu serta berkelanjutan. Terpadu ialah ada keterkaitan usaha sektor hulu serta hilir secara sinergis serta produktif dan terdapat keterkaitan antarwilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Berkelanjutan, sebagaimana dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, adalah “Pembangunan yang sesuai menggunakan kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya buat memenuhi kebutuhannya” (Plummer, 2005).

Saat ini kasus yg dihadapi oleh industri CPO nasional terutama infrastruktur termasuk akses jalan dan konektivitasnya menggunakan pengangkutan di pelabuhan buat mendukung industri pengolahan CPO. Masalah lain yang dihadapi merupakan tidak selaras menggunakan pertumbuhan industri turunannya. Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya diikuti pertumbuhan industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine, methyl esther. Sampai ketika ini CPO belum dimanfaatkan secara opkamial buat pengembangan industri hilir. Produk industri hilir hasil olahan CPO yang pengembangannya masih minim seperti surfactant, farmasi, kosmetik, serta produk kimia dasar organik. Padahal menggunakan menyebarkan industri hilir, maka nilai mata rantai serta nilai tambah produk CPO akan meningkat. Apalagi, produk turunan CPO mempunyai interaksi menggunakan sektor bisnis dan kebutuhan warga pada bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif makanan, pengawet kuliner, penyedap kuliner, bungkus plastik (Afifuddin dan Kusuma, 2007; Dou, 2009; ICN, 2009a). 

Pengembangan Karet dan Industri Karet Nasional 
Karet adalah galat satu komoditi perkebunan penting, baik buat asal pendapatan, kesempatan kerja, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-pusat baru pada wilayah sekitar perkebunan karet, maupun pelestarian lingkungan serta sumber daya biologi. Tanaman karet adalah tumbuhan perkebunan yang tumbuh subur di Indonesia. 

Tanaman ini menghasilkan getah karet (lateks) yg bisa diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya,produk-produk tadi dipakai menjadi bahan standar pabrik crumb rubber (karet remah), yang membuat aneka macam bahan baku buat aneka macam industri hilir, misalnya ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan menurut karet, dan aneka macam produk hilir lainnya. Tersedianya huma yg luas memberikan peluang buat membuat produksi karet alam dalam jumlah besar . Di sisi lain, produksi karet alam jua bisa ditingkatkan menggunakan perbaikan teknologi pengolahan karet untuk mempertinggi efisiensi, sebagai akibatnya lateks yg didapatkan berdasarkan getah sanggup lebih banyak serta membuat material residu yang semakin sedikit.

Potensi Produksi
Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara produsen karet alam terbesar pada global dalam 2010 dengan pangsa lebih kurang 28 % menurut produksi karet alam dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand menggunakan pangsa produksi sekitar 30 persen dari produksi karet alam dunia. Posisi ini tidak berubah dibanding tahun sebelumnya, di mana produksi karet Indonesia pada 2009 sebesar dua,4 juta ton berada pada urutan ke 2 dunia, sementara Thailand menempati urutan pertama menggunakan tiga,1 juta ton, dan Malaysia pada urutan ketiga menggunakan 951 ribu ton (Kina, 2010). Padahal kebun karet Indonesia merupakan yg terluas di dunia, yaitu mencapai tiga,40 juta ha, disusul Thailand dengan dua,67 juta ha serta Malaysia menggunakan 1,02 juta ha (Kementerian Pertanian, 2009). Ini menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan karet Indonesia masih tertinggal dibanding pesaing primer, Thailand.

Pemerintah sudah tetapkan sasaran peningkatan produksi karet alam Indonesia sebanyak tiga-4 juta ton per tahun dalam 2020. Upaya peningkatan produksi ini selain membutuhkan peningkatan produktivitas huma tentunya juga membutuhkan bonus harga produk karet yg menguntungkan. Dari sisi harga ini, dalam pertengahan 2006, karet alam global mencapai harga US$2,lima per kg. Harga tersebut sangat menarik bagi petani serta pelaku usaha karet lainnya. Tren peningkatan terus terjadi hingga 2008, harga karet global mencapai US$3,4 per kg. Ini adalah harga karet alam tertinggi selama 50 tahun terakhir (MediaData, 2009). Sementara dari segi areal perkebunannya, Indonesia memilik hamparan kebun karet terluas di global. Menurut catatan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, sampai 2008 lalu luas areal perkebunan karet Indonesia mencapai lebih kurang 3,47 juta ha menggunakan total produksi karet alam sebanyak dua,9 juta ton. Pada 2009, luas areal perkebunan karet bertambah menjadi 3,52 juta ha menggunakan produksi sebesar 3,0 juta ton (Media Data, 2009).

Market Share
Karet alam termasuk sepuluh komoditas ekspor terbesar Indonesia dari 2008-2010, menggunakan nilai ekspor US$7.329,1 juta pada 2010 (UN Comtrade, 2011). Sementara dicermati dari negara tujuan ekspor, sepanjang 2005-2009 ekspor karet Indonesia pada bentuk remah sebagian akbar tertuju ke Amerika Serikat dengan homogen-homogen pangsa 28 persen, disusul China 16 %, Jepang 14 persen, serta Singapura 6 %. Dengan pangsa ekspor ke Amerika Serikat yg relatif besar tersebut, maka masuk akal saat krisis dunia melanda Amerika Serikat ekspor Indonesia ke negara tadi menurun tajam. Padahal ekspor karet alam Indonesia sempat mencapai nomor tertinggi dalam 2007 sebanyak dua,4 juta ton, namun karena krisis tersebut ekspor menurun pada 2008 menjadi 2,dua juta ton dan turun lagi pada2009 menjadi 1,9 juta ton.

Ekspor karet alam Indonesia didominasi sang jenis SIR/TSR (Standard Indonesia Rubber/Technically Specified Rubber) yangmencapai 93,6persen dari total ekspor. Di antara karet alam jenis SIR itu, jenis karet alam yg paling poly diminta oleh kalangan industri ban adalah SIR 20.sementara itu, ekspor produk karet masih relatif kecil kendati terus menampakan peningkatan. Pada 2004 nilai ekspor produk karet Indonesia mencapai US$774,9 juta dan naik menjadi US$1,lima miliar pada 2008. Produk karet yang diekspor terutama berupa ban, sarung tangan karet serta produk karet lainnya. Pada 2008 ekspor ban Indonesia mencapai US$ 934 juta, sedangkan nilai ekspor sarung tangan karet mencapai US$ 175,9 juta.

Konsumsi karet alam pada dalam negeri sejauh ini masih nisbi kecil. Pada 2009 volume karet alam yg dikonsumsi pada pada negeri hanya sekitar 15persen (422ributon) berdasarkan total produksi karet alam nasional(Gambar 4.9).dari jumlah konsumsi domestik itu, sekitar 55persendi antaranya dari menurut konsumsi industri ban. Konsumsi domestik lainnya dari menurut industri vulkanisir, industri sepatu serta alas kaki, sarung tangan dan benang, produk karet industri lainnya, alat-alat rumah tangga,serta peralatan olahraga.

Nilai Tambah Bisnis
Prospek usaha pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan permanen menarik, karena marjin laba yang diperoleh pabrik nisbi pasti. Marjin pemasaran berkisar antara 3,7-32,lima % menurut harga FOB (Free On Board), tergantung pada taraf harga yg berlaku (Kementerian Pertanian, 2007). Tingkat harga FOB itu sendiri sangat ditentukan sang harga global yang mencerminkan permintaan serta penawaran karet alam, serta harga beli pabrik dipengaruhi kontrak pabrik menggunakan pembeli/buyer (umumnya pabrik ban) yg wajib dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan semakin akbar apabila harga meningkat. 

Pemanfaatan karet alam pada luar industri ban tunggangan di Indonesia masih relative mini , mengingat industri karet di luar ban umumnya dalam skala mini atau menengah. 

Sementara itu, industri berbasis lateks pada ketika ini belum berkembang lantaran poly menghadapi hambatan. Kendala utama adalah rendahnya daya saing produk-produkindustri lateks Indonesia bila dibandingkan dengan pembuat lain, terutama Malaysia.

Selain itu, produktivitas karet Indonesia juga lebih rendah dibanding India, hanya kurang lebih 50 % saja menurut produktivitas karet pada India (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Meskipun demikian, di kembali tantangan inilah sesungguhnya letak peluang bisnis hilirisasi industri karet alam mengingat pasar yang cukup potensial serta kompetisi antarprodusen di Indonesia yg nisbi masih terbatas.

Nilai Tambah Teknis
Indonesia belum sanggup memanfaatkan produk karet alam secara opkamial. Dari lebih kurang 2,9 juta ton produk karet nasional, sebanyak 85 persen diekspor pada bentuk bahan baku (crumb rubber, sheet, lateks, serta sebagainya). Hanya sekitar 15 % produk karet alam yg diserap oleh industri rekayasa pada dalam negeri (Media Data, 2009). Kondisi ini jauh tidak selaras dibandingkan menggunakan Malaysia, dimana industri hilir dalam negeri bisa menyerap lebih kurang 70 persen menurut total produksi negara tersebut (Kementerian Pertanian, 2007). Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yg berbasis karet alam. Hal ini menyebabkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih nisbi rendah. 

Pohon Industri Karet
Banyak produk turunan yg dapat dikembangkan dari karet alam. Hasil primer dari pohon karet adalah lateks, yang bisa dijual atau diperdagangkan dimasyarakat berupa lateks segar, slab (koagulasi), ataupun sit asap (sit angin). Selanjutnya, produkproduk tadi akan digunakan menjadi bahan standar pabrik crumb rubber, yang membuat aneka macam bahan standar untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet busa ,sarung tangan, mainan dari karet, dan banyak sekali produk hilir lainnya.

Forward-backward Linkage
Berdasarkan contoh dan data Input-Output 2008 bisa digunakan buat mengetahui inter industry connectivity karet, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Sektor yg mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi merupakan industri barang karet dan plastik, kemudian karet, industri tekstil, sandang serta kulit, dan industri kimia. Sedangkan sektor yg mempunyai keterkaitan pribadi ke belakang tertinggi adalah sektor karet, disusul industri pupuk dan pestisida, industri kimia, perdagangan, dan bangunan.

Potensi Permintaan
Permintaan karet alam global cenderung meningkat berdasarkan periode 2008-2011. 
Peningkatan permintaan terutama menurut China, India, Brazil serta negara-negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia Pasifik. Bahkan dalam tahun 2008 dan 2010 sempat terjadi defisit permintaan karet masing-masing sebanyak 47 ribu ton dan 377 ribu ton, terutama lantaran meningkatnya permintaan dari Asia Pasifik. Menurut IRSG (International Rubber Studi Group) diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam 2 dasa warsa ke depan (Kementerian Perindustrian, 2007).

Tren peningkatan permintaan karet alam global mendorong kenaikan harga. Hal ini adalah insentif bagi penghasil karet buat menaikkan produksinya. Pada akhir 2008, harga karet alam di pasar dunia sempat turun sampai ke level terendah senilai US$1,2 per kg. Hal ini disebabkan turunnya harga minyak mentah dunia dan terjadinya krisis keuangan pada Amerika Serikat. Padahal, selama ini Amerika Serikat merupakan importir karet alam terbesar global beserta China serta Jepang. Tetapi, tren peningkatan harga balik terjadi baik buat karet TSR20 maupun RSS3 sejak triwulan I 2009 sampai triwulan I 2011.

Lokasi Penyebaran
Sejumlah lokasi pada Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok buat penanaman karet, sebagian besar berada pada wilayah Sumatera dan Kalimantan. Dengan adanya penyebaran huma‐lahan penanaman pohon karet hampir pada semua provinsi yg ada pada Indonesia saat ini akan membantu dalam pemenuhan kebutuhan karet alami serta pemenuhan industri pengolahan hasil berdasarkan pengolahan pohon karet.

Pengembangan industri karet di wilayah Sumatera adalah hal yg cukup realistis buat segera diwujudkan. Dengan pangsa produksi karet alam sebanyak 65 persen dari total produksi nasional ketersediaan bahan baku di wilayah ini relatif lebih terjamin (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Lebih dari itu, menggunakan semakin meningkatnya industri otomotif pada dunia dibutuhkan permintaan karet alami akan semakin semakin tinggi ke depan.

PENGERTIAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN MENURUT AHLI

Pengertian Nilai Tambah Produk Pertanian 
Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas lantaran mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan menjadi selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk energi kerja. Sedangkan marjin merupakan selisih antara nilai produk dengan harga bahan bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yg digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya dan balas jasa pengusaha pengolahan (Hayami et al, 1987).

Berdasarkan pengertian tersebut, perubahan nilai bahan standar yang telah mengalami perlakuan pengolahan besar nilainya dapat diperkirakan. Dengan demikian, atas dasar nilai tambah yg diperoleh, marjin bisa dihitung serta selanjutnya imbalan bagi faktor produksi bisa diketahui. Nilai tambah yang semakin besar atas produk pertanian khususnya kelapa sawit dan karet tentunya bisa berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang akbar tentu saja berdampak bagi peningkatan lapangan usaha dan pendapatan warga yang muara akhirnya merupakan menaikkan kesejahteraan warga . Akan tetapi syarat yg terus berlangsung waktu ini produk kelapa sawit dan karet dalam jumlah yang signifikan diekspor tanpa mengalami pengolahan lebih lanjut pada pada negeri. Akhirnya laba nilai tambah atas kedua produk pertanian tersebut hanya dinikmati oleh pihak asing.

Industri serta Pengembangan Produk Kelapa Sawit serta Turunannya
Komoditas agroindustri adalah subsektor pertanian yang dibutuhkan bisa berperan krusial terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, serta pemerataan pembangunan wilayah. Ditinjau menurut cakupan komoditasnya, masih ada ratusan jenis tumbuhan tahunan serta tanaman musiman bisa tumbuh subur pada Indonesia, sebagai akibatnya pembangunan agroindustri akan dapat menjangkau aneka macam tipe komoditas yg sesuai dikembangkan di masingmasing wilayah di Indonesia. Dilihat menurut hasil produksinya, komoditas perkebunan merupakan bahan standar industri dan barang ekspor, sebagai akibatnya sudah melekat adanya kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan subsektor lainnya. Di samping itu, apabila diamati dari sisi pengusahaannya, lebih kurang 85 % komoditas agro merupakan bisnis perkebunan rakyat yg beredar di aneka macam daerah. Dengan demikian pembangunan industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama melalui kiprahnya dalam membentuk lapangan kerja dan distribusi pemerataan pendapatan. 

Bisnis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia berkembang pesat pada dekade 1990–2000an dengan daya saing yang relatif mengagumkan. Areal kelapa sawit tumbuh menggunakan laju lebih kurang 11% berdasarkan 1.126 juta ha pada tahun 1991 sebagai 3.584 pada tahun 2001 (Susila, 2004b). Perkembangan berikutnya (2000–2005) pertumbuhan ekspor CPO Indonesia serta dunia selalu positif. Pada periode ini, Malaysia masih lebih dominan daripada Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi. Pangsa ekspor CPO Malaysia rata-homogen mencapai lebih berdasarkan 50% ekspor CPO global, sementara pangsa ekspor Indonesia belum mencapai 40% (Nuryanti, 2008).

Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia menjadi penghasil serta eksportir CPO terbesar pada dunia, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula yaitu tahun 2010. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai pembuat CPO global meningkat tajam menjadi 44,3% dalam 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yg tumbuh rata-homogen 9,1 % per tahun. Sebaliknya kiprah Malaysia turun secara tajam menurut 49,8% dalam tahun 2000 menjadi 40,9% pada tahun 2008 (Miranti, 2010). Minat buat terus membuka lahan kebun sawit baru, dalam tahuntahun mendatang masih akan sangat akbar. Ini disebabkan oleh harga CPO pada pasar global yang masih akan terus naik, mengikuti kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional (Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak nabati, terutama CPO akan terus diincar sebagai bahan biodiesel karena harganya jauh lebih murah (Tanet al., 2009). 

Konsistensi peningkatan ekspor ini menurut kajian INDEF (2007) memberitahuakn bahwa: 
a. Serapan CPO oleh industri domestik masih rendah karena industri hilir kelapa sawit yang nir berkembang. 
b. Nilai tambah tertinggi diperoleh berdasarkan produksi CPO, bukan berdasarkan produk turunannya. 

Pengusaha masih lebih tertarik dalam industri utama (CPO) yg cenderung padat energi kerja, bukan padat kapital karena buat menghasilkan produk turunan dibutuhkan dana investasi yang tinggi. 

c. Tersedianya pangsa pasar dunia atas minyak sawit menggunakan pengembangan industri hilir serta sumber tenaga alternalif (biodiesel)

Kelapa sawit (CPO) adalah galat satu tumbuhan perkebunan yg memiliki kiprah krusial bagi subsektor perkebunan. Hilirisasi kelapa sawit diantaranya memberi manfaat pada peningkatan pendapatan petani dan rakyat, membentuk nilai tambah pada dalam negeri, penyerapan energi kerja, pengembangan wilayah industri, proses alih teknologi, serta buat ekspor sebagai pembuat devisa. Di luar itu, berdasarkan sisi upaya pelestarian lingkungan hidup, tanaman kelapa sawit yang adalah tumbuhan tahunan berbentuk pohon (tree crops) bisa berperan pada penyerapan imbas gas rumah kaca, misalnya CO2, dan bisa membuat O2 atau jasa lingkungan lainnya, seperti konservasi biodiversity atau eko-wisata (Kementan, 2007). Tanaman kelapa sawit juga sebagai asal pangan serta gizi primer penduduk pada negeri, sebagai akibatnya keberadaannya berpengaruh sangat konkret pada perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Komoditas kelapa sawit adalah primadona perdagangan ekspor Indonesia dalam sub-sektor perkebunan dan adalah keliru satu industri pertanian yg strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang sejalan dengan taraf permintaannya. Kelapa sawit pula adalah galat satu berdasarkan sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang mempunyai daya saing pada pasar Internasional . 

Meskipun mempunyai industri bahan standar yang melimpah, namun perkembangan industri ini masih kalah dibandingkan menggunakan Malaysia yang kapasitas produksinya mencapai dua kali lipat berdasarkan Indonesia. Sebagai gambaran, Indonesia menguasai kurang lebih 12 % permintaan oleochemical global yang mencapai enam juta metrik ton per tahun, sementara Malaysia mencapai 18,6 %. Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO sebagai lebih berdasarkan 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk. Industri oleokimia merupakan industri yang strategis lantaran selain keunggulan komparatif yakni ketersediaan bahan standar yang melimpah juga memberikan nilai tambah produksi yg cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010).

Industri oleokimia merupakan industri antara yang berbasis minyak kelapa sawit (CPO) serta minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk ini dapat didapatkan aneka macam jenis produk antara sawit yg dipakai sebagai bahan standar bagi industri hilirnya baik buat kategori pangan ataupun non pangan. Di antara grup industri antara sawit tadi keliru satunya adalah oleokimia dasar (fatty acid, fatty , fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tadi menjadi bahan baku bagi beberapa industri misalnya farmasi, toiletries, dan kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id, 2010 ). 

Menurut Didu (2003), dari segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi produk dilakukan akan menaruh nilai tambah yg sangat signifikan. Produk level pertama kelapa sawit berupa CPO akan menaruh nilai tambah kurang lebih 30 % berdasarkan nilai TBS. Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-masing nilai tambah berbasis TBS menjadi berikut: minyak goreng (50 persen), asam lemak/fatty acid (100persen), ester (150–200 %), surfaktan atau pengemulsi (300–400 %), serta kosmetik (600–1000 %).

Gambar  Pohon Industri Kelapa Sawit

Sumber : Fadhil Hasan, Nilai Tambah Kelapa Sawit (2011)

Produksi serta Konsumsi Minyak Nabati Dunia 
Produksi CPO dunia mengalami lonjakan pertumbuhan yg relatif mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari 33,5 juta ton pada 2004 sebagai 43,tiga juta ton pada 2008 atau tumbuh homogen-homogen 6,63 persen per tahun. Lonjakan pertumbuhan ini terutama ditimbulkan produksi CPO Indonesia yg meningkat 5,9 juta ton dalam periode yg sama yakni menurut 13,6 juta ton sebagai 19,2 juta ton atau bertumbuh homogen-rata 9,1 % per tahun. Produksi CPO dunia diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 45,1 juta ton dalam 2009 serta 47,1 juta ton pada 2010 yg dipicu sang semakin meningkatnya permintaan China serta India, konsumen CPO terbesar global (Miranti, 2010).

Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak nabati global mencapai 160 juta ton, 10 dimana 48 juta ton (30 %) diantaranya dari menurut minyak kelapa sawit, disusul sang minyak kedelai (23 %). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit ini terjadi karena banyaknya produk yang didapatkan menggunakan memakai bahan baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) pada samping harga CPO yg jauh lebih murah hingga mencapai 200 USD/ton kekamibang rapeseed oil (Tan et al., 2009). 

Konsumsi CPO dunia meningkat pesat menurut 29,2 juta ton dalam 2004 menjadi 43,3 juta ton dalam 2008 atau bertumbuh homogen-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yg hanya 6,6 % per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton dalam 2009 dan 47,lima juta ton dalam 2010, sejalan dengan semakin tinggi pesatnya permintaan CPO di negara-negara konsumen khususnya China, India, serta Uni Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan produksi dan konsumsi CPO dunia tersaji dalam tabel berikut :

Tabel Perkembangan Produksi dan Konsumsi CPO

Potensi Produksi Nasional 
Produksi CPO Indonesia tumbuh signifikan homogen-rata 13,4 persen selama satu dasawarsa terakhir, yang didukung sang pertumbuhan areal tanam homogen-homogen 6,7 persen per tahun. Pangsa produksi CPO Indonesia pada pasar internasional senantiasa memperlihatkan tren peningkatan. Total produksi Minyak Sawit (CPO dan CPKO) dunia dalam 2010 sebanyak 47,1 juta ton, di mana Indonesia dan Malaysia menguasai lebih menurut 80 persen produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia sebesar 47,0 persen sedangkan Malaysia sebesar 38,2 persen, sisanya sebanyak 14,8 persen merupakan sharesejumlah negara-negara lain.

Peningkatan pangsa produksi CPO nir lepas dari dukungan bertambahnya luas areal kebun kelapa sawit. Wilayah Pulau Sumatera adalah kontributor terbesar produksi kelapa sawit Indonesia dengan luas huma sekitar 70 persen dari total lahan kelapa sawit nasional.nanggroe Aceh Darussalam memiliki luas areal 454,4 ribu ha, Sumatera Utara 258,6 ribu ha, Sumatera Barat 47,7 ribu ha, Riau 1,5 juta ha, Jambi 511,4 ribu ha, Sumatera Selatan 1,tiga juta ha, Kalimantan Barat 1,dua juta ha, Kalimantan Tengah 1,4 juta ha, Kalimantan Kamiur dua,8 juta ha, Kalimantan Selatan 965,5 ribu ha, Papua 1,lima juta ha, serta Sulawesi Tengah 215,7 ribu ha.

Tabel Pertumbuhan Luas Areal Kelapa Sawit

Market Share
Ekspor minyak sawit Indonesia semester I 2011 sebanyak 8,20 juta metrik ton, meningkat 730 ribu metrik ton menurut tahun sebelumnya (meningkat 8,9 persen). Ekspor pada semester I 2010 sebesar 7,47 juta ton metrik. Ekspor minyak kelapa sawit terdiri berdasarkan minyak sawit dan minyak kernel, dan pada bentuk minyak mentah dan diproses. Pangsa ekspor minyak sawit pada Indonesia dalam semester I 2011 sebesar 92,07 % (7,55 juta metrik ton), sedangkan pangsa minyak kernel hanya 7,97 % (652 ribu metrik ton) [GAPKI, 2011].

Dari kedua jenis minyak sawit tadi Indonesia mengekspor lebih poly minyak mentah dibandingkan menggunakan minyak olahan. Berdasarkan data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) semester I 2011 ekspor minyak sawit mentah mencapai 56,02 %, ad interim minyak sawit diproses hanya 43,98 persen. Tetapi, apabila dibandingkan menggunakan ekspor 2010, persentase minyak sawit olahan mengalami penurunan, di sisi lain persentase minyak sawit mentah telah meningkat. Pada 2010, ekspor minyak sawit olahan 46,19 persen berdasarkan ekspor total minyak sawit serta minyak sawit mentah 53,81 persen. 

Kondisi sebaliknya terjadi dalam ekspor minyak kernel, di mana terdapat peningkatan ekspor minyak kernel yg sudah diproses, ad interim minyak kernel mentah menurun. 

Dari 96 ribu metrik ton minyak kernel diproses (14,93 %) dalam semester I 2010 semakin tinggi sebagai 107 ribu metrik ton (16,42 %) dalam semester I 2011. Untuk ekspor minyak kernel mentah, menurun menurut 552 ribu metrik ton (85,06 persen) pada semester I 2010 sebagai 546 ribu metrik ton (83,58 persen) pada semester I 2011 (GAPKI, 2011). Peningkatan minyak kelapa sawit Indonesia didorong sang kenaikan impor ke India dan China, India membeli 1/2 impor minyak sawit menurut Indonesia serta Malaysia. India sudah melampaui China menjadi pembeli terbesar di global minyak sawit.

Nilai Tambah Bisnis
Dilihat menurut nilai tambah usaha, industri pengolahan CPO sebagai salah satu industri yg prospektif buat dikembangkan ke depan. Selain buat industri minyak makanan serta industri oleokimia, kelapa sawit dapat jua sebagai asal energi alternatif. 

Kementerian Pertanian (2005) mencatat konsumsi minyak sawit domestik mencapai 50-60 persen berdasarkan produksi. Sebagian besar penggunaannya, hampir 85 %, buat pangan sedangkan buat industri oleokomia hanya kurang lebih 15 persen. Nilai tambah ekonomi (baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah teknis) produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung berdasarkan harga bahan baku, taraf kesulitan pada ekstraksi produk, dan harga produk turunan pada pasar. Tetapi, satu hal yg pasti, semakin bisa dimanfaatkan/diperlukan produk turunan tersebut, nilai tambahnya semakin tinggi. CPO yang diolah sebagai sabun mandi saja telah membentuk nilai tambah sebanyak 300 %, terlebih lagi bila dapat dijadikan kosmetik yg nilai tambahnya mencapai 600 persen. Nilai tambah CPO jika diolah menjadi minyak goreng sawit sebesar 60 persen, sedangkan bila menjadi margarin mencapai 180 % (Kementerian Perindustrian, 2011).

Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha mendorong pengembangan produk turunan CPO, baik untuk keperluan bahan standar industri pangan juga non pangan. Produk pangan yg bisa didapatkan menurut CPO dan CPKO, seperti emulsifier, margarin, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri, yogurt, serta lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang didapatkan menurut CPO serta CPKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas, fatty alcohol, biodiesel, serta lain-lain.

Di luar itu,juga terdapat produk samping/limbah, seperti tandan kosong buat bahan kertas (pulp), pupuk hijau (kompos), karbon, rayon; cangkang biji buat bahan bakar serta karbon; serat buat fibre board serta bahan bakar; btg pohon serta pelepah buat mebel pulp paper dan kuliner ternak; limbah kernel serta sludge dapat dipakai buat makanan ternak (Kementerian Pertanian, 2011). Dengan demikian, banyak nilai tambah yang bisa didapatkan dari sebuah tumbuhan bernama kelapa sawit, akan sangat disayangkan bila hanya diekspor dalam bentuk mentah. 

Nilai Tambah Teknis 
Nilai tambah CPO dapat diperoleh dari pengembangannya pada industri minyak, kuliner juga industri oleokimia (Gambar 4.dua). Sayangnya, sejauh ini produk hilir CPO pada Indonesia belum banyak berkembang dibandingkan Malaysia, saat ini Indonesia baru menghasilkan sekitar 40 jenis, sementara Malaysia sudah memproduksi lebih dari 100 Jenis (Kemenperin, 2011). Beberapa produk hilir CPO yang sudah diproduksi di Indonesia diantaranya: (a) minyak goreng, margarin, vegetable gee (minyak samin), cocoa butter substitute (CBS), cocoa butter equivalent (CBE); (b) soap chip, sabun; (c) fatty acid, fatty alkohol, glycerin; serta (d) biodiesel.

Melihat banyaknya produk turunan yang dapat dikembangkan berdasarkan komoditas CPO pada atas dan nilai tambah ekonomi yang dapat didapatkan, maka upaya hilirisasi CPO perlu disikapi secara positif. 

Forward-backward Linkage
Berdasarkan model serta data Input-Output 2008 dapat digunakan buat mengetahui inter-industry connectivity CPO, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Gambar pada bawah ini memberitahuakn sektor yg memiliki keterkaitan ke depan tertinggi adalah industri minyak serta lemak, kemudian kelapa sawit, industri kimia, serta industri kuliner lainnya. Sedangkan sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang tertinggi merupakan sektor industri pupuk dan pestisida, disusul lembaga keuangan, kelapa sawit, bangunan, serta jasa lainnya.

Potensi Permintaan
Siering peningkatan harga CPO pada pasar internasional, harga produk hilirnya pun tentu jua mengalami peningkatan. Sekadar gambaran, buat produk hilirisasi minyak goreng, harga rata-rata minyak goreng curah serta minyak goreng bungkus pada 2 tahun terakhir mengalami peningkatan relatif signifikan. 

Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan 
Pengembangan agroindustri akan sangat strategis bila dijalankan secara terpadu dan berkelanjutan. Terpadu merupakan ada keterkaitan bisnis sektor hulu serta hilir secara sinergis serta produktif dan terdapat keterkaitan antarwilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Berkelanjutan, sebagaimana dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, adalah “Pembangunan yg sesuai dengan kebutuhan kini tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya buat memenuhi kebutuhannya” (Plummer, 2005).

Saat ini perkara yg dihadapi oleh industri CPO nasional terutama infrastruktur termasuk akses jalan dan konektivitasnya menggunakan pengangkutan pada pelabuhan buat mendukung industri pengolahan CPO. Masalah lain yang dihadapi adalah tidak selaras menggunakan pertumbuhan industri turunannya. Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya diikuti pertumbuhan industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine, methyl esther. Sampai ketika ini CPO belum dimanfaatkan secara opkamial buat pengembangan industri hilir. Produk industri hilir output olahan CPO yg pengembangannya masih minim seperti surfactant, farmasi, kosmetik, dan produk kimia dasar organik. Padahal dengan menyebarkan industri hilir, maka nilai mata rantai dan nilai tambah produk CPO akan meningkat. Apalagi, produk turunan CPO memiliki hubungan menggunakan sektor usaha serta kebutuhan rakyat pada bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif makanan, pengawet kuliner, penyedap makanan, kemasan plastik (Afifuddin serta Kusuma, 2007; Dou, 2009; ICN, 2009a). 

Pengembangan Karet serta Industri Karet Nasional 
Karet merupakan galat satu komoditi perkebunan krusial, baik buat sumber pendapatan, kesempatan kerja, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-pusat baru pada daerah sekitar perkebunan karet, maupun pelestarian lingkungan serta asal daya biologi. Tanaman karet merupakan flora perkebunan yg tumbuh fertile di Indonesia. 

Tanaman ini membuat getah karet (lateks) yang bisa diperdagangkan pada masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya,produk-produk tadi dipakai menjadi bahan baku pabrik crumb rubber (karet remah), yg menghasilkan aneka macam bahan baku buat berbagai industri hilir, seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan berdasarkan karet, dan aneka macam produk hilir lainnya. Tersedianya huma yang luas memberikan peluang buat membentuk produksi karet alam pada jumlah besar . Di sisi lain, produksi karet alam jua bisa ditingkatkan menggunakan pemugaran teknologi pengolahan karet buat menaikkan efisiensi, sehingga lateks yg didapatkan berdasarkan getah bisa lebih banyak dan menghasilkan material sisa yg semakin sedikit.

Potensi Produksi
Indonesia berada pada peringkat kedua sebagai negara produsen karet alam terbesar pada global pada 2010 dengan pangsa lebih kurang 28 persen berdasarkan produksi karet alam dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand dengan pangsa produksi sekitar 30 % berdasarkan produksi karet alam global. Posisi ini nir berubah dibanding tahun sebelumnya, pada mana produksi karet Indonesia pada 2009 sebanyak 2,4 juta ton berada di urutan kedua global, sementara Thailand menempati urutan pertama menggunakan 3,1 juta ton, serta Malaysia di urutan ketiga dengan 951 ribu ton (Kina, 2010). Padahal kebun karet Indonesia adalah yg terluas di dunia, yaitu mencapai tiga,40 juta ha, disusul Thailand menggunakan 2,67 juta ha serta Malaysia dengan 1,02 juta ha (Kementerian Pertanian, 2009). Ini menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan karet Indonesia masih tertinggal dibanding pesaing primer, Thailand.

Pemerintah telah memutuskan target peningkatan produksi karet alam Indonesia sebesar tiga-4 juta ton per tahun dalam 2020. Upaya peningkatan produksi ini selain membutuhkan peningkatan produktivitas huma tentunya pula membutuhkan bonus harga produk karet yg menguntungkan. Dari sisi harga ini, dalam pertengahan 2006, karet alam global mencapai harga US$2,5 per kg. Harga tersebut sangat menarik bagi petani dan pelaku bisnis karet lainnya. Tren peningkatan terus terjadi sampai 2008, harga karet dunia mencapai US$tiga,4 per kg. Ini adalah harga karet alam tertinggi selama 50 tahun terakhir (MediaData, 2009). Sementara dari segi areal perkebunannya, Indonesia memilik hamparan kebun karet terluas pada global. Menurut catatan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, hingga 2008 lalu luas areal perkebunan karet Indonesia mencapai kurang lebih 3,47 juta ha dengan total produksi karet alam sebesar dua,9 juta ton. Pada 2009, luas areal perkebunan karet bertambah menjadi 3,52 juta ha dengan produksi sebanyak tiga,0 juta ton (Media Data, 2009).

Market Share
Karet alam termasuk sepuluh komoditas ekspor terbesar Indonesia berdasarkan 2008-2010, menggunakan nilai ekspor US$7.329,1 juta pada 2010 (UN Comtrade, 2011). Sementara dipandang berdasarkan negara tujuan ekspor, sepanjang 2005-2009 ekspor karet Indonesia pada bentuk remah sebagian besar tertuju ke Amerika Serikat menggunakan rata-homogen pangsa 28 %, disusul China 16 %, Jepang 14 persen, dan Singapura 6 %. Dengan pangsa ekspor ke Amerika Serikat yang cukup akbar tadi, maka wajar saat krisis dunia melanda Amerika Serikat ekspor Indonesia ke negara tadi menurun tajam. Padahal ekspor karet alam Indonesia sempat mencapai angka tertinggi pada 2007 sebesar 2,4 juta ton, namun lantaran krisis tadi ekspor menurun pada 2008 menjadi 2,dua juta ton dan turun lagi pada2009 sebagai 1,9 juta ton.

Ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh jenis SIR/TSR (Standard Indonesia Rubber/Technically Specified Rubber) yangmencapai 93,6persen dari total ekspor. Di antara karet alam jenis SIR itu, jenis karet alam yang paling banyak diminta sang kalangan industri ban adalah SIR 20.sementara itu, ekspor produk karet masih nisbi mini kendati terus menunjukkan peningkatan. Pada 2004 nilai ekspor produk karet Indonesia mencapai US$774,9 juta dan naik menjadi US$1,5 miliar pada 2008. Produk karet yang diekspor terutama berupa ban, sarung tangan karet dan produk karet lainnya. Pada 2008 ekspor ban Indonesia mencapai US$ 934 juta, sedangkan nilai ekspor sarung tangan karet mencapai US$ 175,9 juta.

Konsumsi karet alam pada dalam negeri sejauh ini masih nisbi mini . Pada 2009 volume karet alam yang dikonsumsi pada pada negeri hanya lebih kurang 15persen (422ributon) berdasarkan total produksi karet alam nasional(Gambar 4.9).dari jumlah konsumsi domestik itu, sekitar 55persendi antaranya dari menurut konsumsi industri ban. Konsumsi domestik lainnya dari menurut industri vulkanisir, industri sepatu dan alas kaki, sarung tangan dan benang, produk karet industri lainnya, peralatan rumah tangga,dan peralatan olahraga.

Nilai Tambah Bisnis
Prospek bisnis pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan tetap menarik, karena marjin laba yang diperoleh pabrik relatif pasti. Marjin pemasaran berkisar antara 3,7-32,5 persen menurut harga FOB (Free On Board), tergantung pada tingkat harga yang berlaku (Kementerian Pertanian, 2007). Tingkat harga FOB itu sendiri sangat dipengaruhi oleh harga global yg mencerminkan permintaan dan penawaran karet alam, serta harga beli pabrik ditentukan kontrak pabrik dengan pembeli/buyer (biasanya pabrik ban) yg wajib dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan semakin akbar bila harga semakin tinggi. 

Pemanfaatan karet alam pada luar industri ban kendaraan di Indonesia masih relative mini , mengingat industri karet pada luar ban umumnya dalam skala mini atau menengah. 

Sementara itu, industri berbasis lateks dalam waktu ini belum berkembang karena poly menghadapi kendala. Kendala utama adalah rendahnya daya saing produk-produkindustri lateks Indonesia jika dibandingkan menggunakan produsen lain, terutama Malaysia.

Selain itu, produktivitas karet Indonesia juga lebih rendah dibanding India, hanya kurang lebih 50 % saja dari produktivitas karet di India (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Meskipun demikian, di pulang tantangan inilah sesungguhnya letak peluang bisnis hilirisasi industri karet alam mengingat pasar yg relatif potensial dan kompetisi antarprodusen di Indonesia yg nisbi masih terbatas.

Nilai Tambah Teknis
Indonesia belum bisa memanfaatkan produk karet alam secara opkamial. Dari lebih kurang 2,9 juta ton produk karet nasional, sebanyak 85 % diekspor pada bentuk bahan standar (crumb rubber, sheet, lateks, dan sebagainya). Hanya kurang lebih 15 persen produk karet alam yang diserap oleh industri rekayasa di pada negeri (Media Data, 2009). Kondisi ini jauh tidak selaras dibandingkan menggunakan Malaysia, dimana industri hilir pada negeri bisa menyerap lebih kurang 70 persen berdasarkan total produksi negara tadi (Kementerian Pertanian, 2007). Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yg berbasis karet alam. Hal ini menyebabkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih relatif rendah. 

Pohon Industri Karet
Banyak produk turunan yang dapat dikembangkan dari karet alam. Hasil primer dari pohon karet merupakan lateks, yg dapat dijual atau diperdagangkan dimasyarakat berupa lateks segar, slab (koagulasi), ataupun sit asap (sit angin). Selanjutnya, produkproduk tadi akan digunakan sebagai bahan standar pabrik crumb rubber, yg membentuk berbagai bahan standar buat berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet busa ,sarung tangan, mainan berdasarkan karet, dan banyak sekali produk hilir lainnya.

Forward-backward Linkage
Berdasarkan contoh dan data Input-Output 2008 dapat dipakai buat mengetahui inter industry connectivity karet, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi adalah industri barang karet serta plastik, lalu karet, industri tekstil, pakaian serta kulit, dan industri kimia. Sedangkan sektor yg mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor karet, disusul industri pupuk serta pestisida, industri kimia, perdagangan, serta bangunan.

Potensi Permintaan
Permintaan karet alam dunia cenderung meningkat menurut periode 2008-2011. 
Peningkatan permintaan terutama dari China, India, Brazil serta negara-negara yg memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia Pasifik. Bahkan pada tahun 2008 dan 2010 sempat terjadi defisit permintaan karet masing-masing sebesar 47 ribu ton dan 377 ribu ton, terutama karena meningkatnya permintaan menurut Asia Pasifik. Menurut IRSG (International Rubber Studi Group) diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam dua dasa warsa ke depan (Kementerian Perindustrian, 2007).

Tren peningkatan permintaan karet alam global mendorong kenaikan harga. Hal ini adalah bonus bagi pembuat karet untuk menaikkan produksinya. Pada akhir 2008, harga karet alam di pasar global sempat turun hingga ke level terendah senilai US$1,dua per kg. Hal ini ditimbulkan turunnya harga minyak mentah global serta terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat. Padahal, selama ini Amerika Serikat merupakan importir karet alam terbesar dunia beserta China serta Jepang. Tetapi, tren peningkatan harga pulang terjadi baik buat karet TSR20 juga RSS3 semenjak triwulan I 2009 sampai triwulan I 2011.

Lokasi Penyebaran
Sejumlah lokasi di Indonesia mempunyai keadaan huma yang cocok buat penanaman karet, sebagian akbar berada di daerah Sumatera dan Kalimantan. Dengan adanya penyebaran lahan‐huma penanaman pohon karet hampir di semua provinsi yang ada pada Indonesia saat ini akan membantu dalam pemenuhan kebutuhan karet alami dan pemenuhan industri pengolahan output menurut pengolahan pohon karet.

Pengembangan industri karet di wilayah Sumatera merupakan hal yg cukup realistis buat segera diwujudkan. Dengan pangsa produksi karet alam sebesar 65 persen menurut total produksi nasional ketersediaan bahan standar di daerah ini relatif lebih terjamin (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Lebih dari itu, menggunakan semakin meningkatnya industri otomotif di dunia dibutuhkan permintaan karet alami akan semakin meningkat ke depan.

PENGERTIAN DAN ANALISIS MANFAAT DAN NILAI TAMBAH

Pengertian serta Analisis Manfaat serta Nilai Tambah
Pengertiaan manfaat dan nilai tambah mungkin 2 hal yg nir bisa dibedakan, namun demikian pada analisis ini, pemahaman keduanya dibedakan menurut definisi menjadi berikut. Pengertian peningkatan manfaat merupakan bahwa ternak kado menjadi makluk biologis dapat a). Berfungsi  membarui hasil tanaman yang tidak berguna bagi manusia menjadi berguna serta b). Hasil ternak kado selain daging  yang selama ini nir bermanfaat  dapat dimanfaatkan. Sedangkan pengertian peningkatan nilai tambah adalah semua produk asal ternak baik kuliner dan bukan makanan yg kemudian diolah sebagai produk baru sehingga memiliki nilai lebih tinggi. 

Gambar 1 menampakan hubungan keterkatian bisnis ternak kado baik ke belakang maupun ke depan. Gambar 1 tadi menaruh gambaran umum bagaimana manfaat dan peningkatan nilai tambah yang seharusnya bisa diperoleh menurut bisnis ternak kado. Sehingga Gambar 1 tersebut dapat dijadikan bingkai buat analisis mengenai manfaat serta peningkatan nilai tambah. Analisis dilakukan menggunakan memperlakukan Gambar 1 sebagai bingkai yang seharusya sedangkan keadaan konkret adalah bingkai yang telah sudah terjadi.  Perbedaan kedua bingkai ini merupakan evaluasi analisis terhadap kinerja ternak kado secara holistik.


Gambar 1. Pohon Industri Produksi Agribisnis Kado

       Sumber: Hasil pengolahan data dan gambar menurut berbagai asal antara lain BPS (2004),  Dwiyanto (2005) serta Annex   (1990),                      




Pendekatan Agribisnis Wilayah (AW)

Usahaternak kado memiliki karaterisitk antara lain selalu diusahakan oleh peternak masyarakat pada suatu wilayah eksklusif di mana produksi tumbuhan pangan memainkan peran penting (Devendra, 1993). Dalam wilayah ini peternak  bergerombol serta membentuk grup-gerombolan informal. Kelompok informal ini sudah ada semenjak puluhan tahun yg kemudian serta permanen eksis selama faktor sosial budaya dan lingkungan memberikan dukungan. Hasil penelitian menerangkan bahwa bisnis ternak kado adalah bagian dari asal pendapatan rumah-tangga yang nir memiliki alasan buat dikomersialisasikan. Beberapa penyebabnya merupakan:bahwa  petani wajib memanfaatkan semua resource yang dimilikinya dengan membentuk diversifikasi usaha untuk mencapai kecukupan pendapatan. Selain itu, porto produksi serta investasi ternak kado dalam bentuk tunai mendekati nomor nol, walaupun peran energi kerja famili relatif besar . Dengan istilah lain, petani berusaha menggunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya untuk mendapatkan sejumlah pekerjaan. Petani beropini bahwa bila seluruh sumberdaya telah digunakan beliau akan menerima pendapatan maksimum.

Pola atau sistem produksi kado semacam itu bisa dikatakan menjadi suatu kearifan lokal dalam bentuk kelembagaan tradisional yg mestinya dapat menjadi media pengembangan kado. Kearifan lokal ini perlu mendapat sentuhan kebijakan yg arif buat mencapai perubahan tatanan dengan mempertahankan kearifan lokal tadi. Atas dasar itu, perlu terdapat pemahaman bagaimana sebenarnya agribisnis dalam suatu wilayah padat ternak kado berlangsung atau bagaimana sebenarnya hubungan struktural produksi kado terhadap agribisnis lain pada wilayah itu terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam, input dasar dan input intermediate. Pendekatan agribisnis daerah bertujuan mengidentifikasi kemungkinan mamadukan seluruh agribisnis berbagai komoditas yang terdapat dalam wilayah tersebut dengan basis ternak kado  hingga terjadi hubungan berlandaskan ekosystem yang menguntungkan. Metoda inilah yg diklaim dengan pendekatan agribisnis daerah (AW).

Pendekatan Analisis SWOT Wilayah 



Analisis SWOT (Anonym, 1999) tak lain merupakan melakukan evaluasi perusahaan baik yg sudah dikembangkan atau yang akan dikembangkan. SWOT adalah singkatan dari Strength, Weakness, Oppurtunity, Threat. Dalam hal ini perusahaan yang dimaksud merupakan daerah pengembangan agribisnis berbasis kado.  Analisis SWOT umum digunakan dalam mengevaluasi atau mengaudit syarat suatu bisnis utuk menjawab pertanyaan kebijakan apa yg wajib dilakukan buat memajukan usaha. Audit dilakukan terhadap faktor internal dan ekternal perusahaan. Faktor internal agribisnis terdiri atas Kekuatan (S), Kelemahan (W) sedangkan faktor eksternal terdiri atas Peluang (O) dan Ancaman (T). Analisis SWOT dibutuhkan dalam kerangka menciptakan rumusan kebijakan AW. Dengan demikian pendekatan SWOT melengkapi pendekatan AW.

Tujuan audit SWOT adalah memutuskan posisi perusahaan dalam diagram yg terlihat pada Gambar dua.  Sekali diketahui posisi tersebut maka dengan mudah dapat dirumuskan kebijakan yg dibutuhkan, menjadi berikut (Bradford et al. 2001).
  1. Strategi  S-O:    AW berada pada areal pertumbuhan. Perlu dilakukan bisnis-usaha mengejar peluang-peluang yg terbuka menggunakan kekuatan yang dimiliki.
  2. Strategi W-O:        AW mempunyai peluang akbar tetapi dia berada dalam kondisi lemah. Karena itu strategi yg dilakukan adalah membenahi kelemahan faktor internal.
  3. Strategi S-T:  AW berada pada ancaman sekalipun usaha memiliki kekuatan. Karena itu strategi yg diharapkan adalah melakukan identifikasi cara-cara bagaimana perusahaan dapat menggunakan kekuatannya buat mengurangi ancaman eksternal.
  4. Strategi W-T:  AW berada dalam syarat survival, yakni bertahan buat hayati. Strategi yg dibutuhkan untuk menyelamatkan AW adalah mencegah kelemahan-kelemahan AW dari ancaman tinggi faktor eksternal.        

Perencanaan Sampling                    

Pemilihan Lokasi
Pemilihan lokasi analisis tidak terlepas menurut pendekatan perkara  sebagaimana dibahas pada kerangka pemikiran. Pendekatan ini menuntut suatu wilayah yang memiliki karakteristik-ciri sebagai padat populasi kado rakyat, adalah pusat produksi buah-butiran palawija, hijauan kuliner ternak dan sayur-sayuran dan kacang-kacangan, berada dekat menggunakan  pusat-pusat konsumsi dan masih ada industri yang terkait dengan kado. Lokasi yang dipilih dari justifikasi tersebut di atas adalah Jawa Barat serta Jawa Timur.  Kedua provinsi model ini merupakan sentra produksi kado. Kecamatan terpilih sebagai daerah yg dipelajari dari ke 2 propinsi ini merupakan adalah Ciamis, Garut, Sukabumi dan Sumedang (Jabar); Majalengka, Bojongero, Malang  (Jatim).

Pemilihan Responden.
Sesuai dengan metoda pendekatan masalah maka struktur responden menyebar luas berdasarkan simpul-simpul analisis yg tercantum pada Gambar 1. Lebih konkrit sebaran jenis responden adalah menjadi berikut a) peternak kado, petani palawija dan sayur-sayuran (hortikultura)  dan kelembagaan Bagi Hasil serta Kemitraan, b) pedagang  besar serta desa dan c industri. Namun demikian seluruh responden diusahakan berada dalam satu daerah penelitian.


Data dan Analisis Data

Data serta kerangka analisis dilakukan sinkron menggunakan penekanan primer analisis yakni bagaimana opsi kebijakan pengembangan AW buat tujuan meningkatkan manfaat serta nilai tambah ternak kado. Rincian data analisis merupakan sebagai berikut.

Analisis Agribisnis Wilayah

Data yang dikumpulkan adalah kabar seluruh subsistem agribisnis kado mencakup subsistem budidaya, pengadaan sarana produksi, pemasaran hasil, pengolahan serta kelembagaan peternakan.  Data yg dikumpulkan adalah data teknis serta sosial ekonomi budidaya, rantai pengadaan input terutama hmt, bentuk serta sistem pasar, penanganan pasca panen, keratan interaksi produksi dengan industri  yang menggunakan bahan baku ternak kado dan kelembagaan yg berkembang. Data dianalisis secara diskrptif, karena sebagian akbar data serta berita yang dikumpulkan bersifat kualitatif.

Analisis Pasca Panen dan Pohon Indutri

Data yang dikumpulkan adalah informasi kualitatif yg memberi sketsa pemanfaatan semua hasil yg dapat diberikan sang ternak kado buat kebutuhan industri. Analisis data menggunakan Gambar 1 sebagai bingkai ideal pada membuat sketsa warta pada lapang.  apabila output sketsa menunjukkan keadaan yang sama menggunakan Gambar 1 maka dikatakan bawa hasil ternak kado telah dimanfaatkan secara penuh. Apabila belum sesuai maka perlu dirumuskan penyebabnya serta jalan keluar bagaimana opsi kebijakan untuk mencapai keadaan ideal dalam Gambar 1 tadi.

Analisis Kebijakan Pengembangan AW

Pendekatan audit  SWOT akan digunakan buat analisis kebijakan pengembangan. Untuk keperluan ini dikumpulkan data wilayah penelitian yang diperlakukan menjadi sebuah perusahaan, menggunakan Dinas Peternakan/Aparat Desa/Aparat Camat menjadi manajer pengelola. Data yang digunakan buat analisis ini merupakan hasil pengolahan dari tujuan 1 serta dua.  Pelaksanaan audit internal serta ekternal dengan metoda  SWOT menggunakan terlebih dahulu memberikan bobot hirarki kepentingan terhadap setiap variabel dan subvariabel. Pemberian bobot tentu bersifat subjektif namun menurut justifikasi pakar serta dari dukungan data.  Kerangka analisis SWOT merupakan sebagai berikut.

1. Penilaian faktor internal
Penilaian faktor internal dilakukan terhadap lima faktor yakni SDA (Sumberdaya Alam), SDM (Sumberdaya Manusia), BB (Ketersediaan Bahan Baku), MT (Manejemn dan Teknologi) serta PR (Profitabilitas). Kelima faktor ini memiliki peran dan kepentingan yang tidak sinkron, karenanya pada evaluasi perlu diberi perbedaan bobot. Besar bobot  dilakukan secara subjektivitas tetapi menggunakan dukungan informasi dan liputan pada lapang. Pemberian bobot adalah menjadi berikut:
  1. Faktor SDA menerima bobot 25 %. Dasar pertimbangannya merupakan faktor lahan, air serta lingkungan adalah keputusan awal yg sangat memilih keberhasilan usaha. Faktor SDA dibagi atas beberapa unsur yakni kesesuaian lingkungan (kepadatan penduduk dan kerusakan lingkungan), ketersediaan lahan (untuk penggembalaan serta penanaman hmt) dan ketersediaan air (bagi penduduk dan ternak).
  2. Faktor SDM mendapat bobot 20 %.  Faktor ini memiliki kepentingan ke 2 sesudah SDA yakni sebagai pengelola usaha secara langsung. Faktor SDM ini diberlakukan bagi peternak yang terdapat. Faktor SDM dibagi atas beberapa unsur yakni  pendidikan peternak,  pengalaman peternak dan kemampuan herbi pasar (tergantung atau  bebas)
  3. Faktor BB mendapat bobot 20 persen. Ketersediaan bahan standar merupakan kondisi primer dalam proses produksi. Ketersediaan  BB perlu buat mengklaim bisnis bisa berlangsung dengan stabil serta lama . Faktor BB dibagi atas beberapa unsur evaluasi yakni ketersediaan serta kemudahan mendapatkan BB dalam musim hujan, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan BB dalam ekspresi dominan kemarau serta  akses menerima BB dari daerah lain.
  4. Faktor MT menerima bobot 10 persen. Bobot ini relatif rendah karena bentuk bisnis tradisional, di mana MT memiliki peran yg mini . MT akan memiliki peran yg lebih akbar jika agribisnis sudah berjalan pada garis pertumbuhan. Pada tahap syarat sekarang, bisnis ternak kado lebih cenderung dalam pembenahan buat mencapai garis pertumbuhan tadi. Faktor BB dibagi atas beberapa unsur evaluasi yakni  ukuran skala bisnis, pola budidaya (intensif, semi intensif serta ekstensif) serta  sifat ekonomi bibit ternak  
  5. Bobot PR diberi 25 %. Pemberian bobot buat Profitabilitas relatif tinggi lantaran merupakan kondisi primer bagi pengembangan agribisnis wilayah dengan asa para peternak bersedia melakukan usaha secara komersil sekalipun dalam skala kecil.  Faktor PR dibagi atas beberapa unsur evaluasi yakni keuntungan finansial (B/C rasio, NPV, IRR), keuntungan ekonomi (Kesempatan kerja) serta pengaruh  Peraturan Pemerintah Daerah
Penilaian setiap faktor internal bertujuan buat mengetahui apakah suatu faktor memiliki taraf S/W yg tinggi, sedang atau rendah.  Katagori tinggi mewakili syarat  tingkat kempurna, sedangkan katagori sedang mewakili kondisi relatif sempurna dan katagori rendah mewakili keadaan tidak sempurna. Untuk membedakan ketiga kondisi itu, diharapkan pemberian nilai antara 1-10 dengan rincian menjadi berikut: a. Nilai paripurna antara 8-10, b. Nilai sedang antara 6-7 dan c. Nilai rendah antara 1-lima. Nilai akhir diperoleh dengan mengurangi nilai S terhadap W. 

2. Penilaian Faktor Ekternal OT

Penilaian faktor eksternal pada SWOT dilakukan terhadap 5 faktor yakni  PP (Permintaan Pasar), ALF (Akses Terhadap Lembaga Keuangan), PD (Persaingan Pasar Domestik),  PI (Permintaan Industri) dan PP (Peraturan Pemerintah Pusat) . Kelima faktor ini memiliki peran serta kepentingan yang tidak sinkron, karena itu pada penilaian perlu diberi bobot. Pemberian bobot berdasarkan justifikasi ahli namun ditunjang sang data dan informasi yg terdapat. Nilai bobot buat kelima faktor tadi merupakan sebagai berikut:
  1. Faktor PP menerima 30 persen. Dasar pertimbangannya adalah faktor permintaan misalnya kebutuhan, kesukaan, dan sifat komoditas serta sebagainya sangat menentukan keberhasilan usaha. Faktor PP dibagi atas tiga unsur evaluasi yakni Permintaan Pasar Domestik serta Permintaan Pasar Dunia Untuk Konsumsi.
  2. Faktor ALF mendapat bobot 20 persen.  Dalam hal ini adalah posisi pemerintah terhadap ALF, karena pemerintah adalah penjamin dana terhadap usaha rakyat. Dengan demikian kiprah faktor ini relatif tinggi. Faktor ALF dibagi atas  3 unsur evaluasi yakni kemampuan akses dalam Bank, kemampuan atas Dana Sendiri serta akses melakukan Kerjasama/Kemitraan.
  3. Faktor PD mendapat bobot 15 %. Persaingan pasar domestik dinilai memiliki bobot nisbi rendah, lantaran sifat pasar produk kambing yang nisbi luas. Faktor PD dibagi atas dua unsur penilaian yakni Bentuk Pasar dalam sentra Konsumsi serta Jumlah Wilayah Agribisnis Penghasil
  4. Faktor PI menerima bobot 25 %. Bobot ini relatif tinggi karena terkait menggunakan peningkatan nilai tambah. Faktor PI dibagi atas 3 unsur penilaian yakni Undang-Undang/Peraturan Nasional, Kebijakan Tarif Impor serta ekspor  dan Pengawasan Penyakit Hewan Nasional
Penilaian setiap faktor eksternal bertujuan buat mengetahui apakah suatu faktor memiliki taraf O/T yang tinggi, sedang atau rendah.  Kategori tinggi mewakili syarat  tingkat kesempurnaan, sedangkan katagori rendah mewakili syarat relatif sempurna sedangkan kategori rendah mewakili keadaan tidak sempurna. Sistem scoring sama dengan  evaluasi falktor internal. Nilai akhir diperoleh menggunakan mengurangi nilai O terhadap T. 

Pada termin akhir merupakan memilih titik kordinat AW menggunakan memadukan titik koordinat OT dipadukan dengan nilai kordinat SW. Dengan deretan titik terbut dapat ditentukan AW berada dalam diagram mana pada diagram Cartesian. Sekali bisa ditentukan bidang kuadran AW maka dapat ditentukan sterategi yang dibutuhkan buat mendorong pertumbuhan. AW.