MAKNA BUDAYA DALAM KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya 
1. Definisi Model Komunikasi
Model komunikasi adalah citra yang sederhana dari proses komunikasi yg menerangkan kaitan antara satu komponen komunikasi menggunakan komponen lainnya. 

Menurut Sereno dan Mortensen, suatu model komunikasi merupakan deskripsi ideal tentang apa yang diharapkan buat terjadinya komunikasi. Suatu contoh merepresentasikan secara tak berbentuk karakteristik-ciri krusial serta menghilangkan rincian komunikasi yg nir perlu dalam “dunia konkret”. 

Aubrey Fisher mengatakan, contoh adalah analogi yg mengabstraksikan serta menentukan bagian berdasarkan fenomena yg dijadikan contoh. 

Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr. Mengungkapkan bahwa contoh membantu merumuskan suatu teori dan menyarankan hubungan. Oleh lantaran hubungan antara contoh dengan teori begitu erat, contoh seringkali dicampur dengan teori.

2. Model - Model Komunikasi
a. Model Stimulus - Respons
Model ini adalah model yang paling dasar pada ilmu komunikasi. Model ini menandakan komunikasi menjadi sebuah proses aksi reaksi. Model ini beranggapan bahwa istilah-kata ekspresi, pertanda-indikasi nonverbal, gambar-gambar, serta tindakan akan merangsang orang lain buat memberikan respon menggunakan cara tertentu. Kita bisa juga mengungkapkan bahwa proses ini merupakan perpindahan warta ataupun gagasan. Proses ini bisa berupa timbal kembali dan mempunyai efek yg poly. Setiap dampak bisa merubah perilaku berdasarkan komunikasi berikutnya.

Model ini mengabaikan komunikasi menjadi sebuah proses. Dengan istilah lain, komunikasi dipercaya menjadi hal yg statis. Manusia dipercaya berprilaku lantaran kekuatan berdasarkan luar ( stimulus ), bukan dari kehendak, hasrat, atau kemauan bebasnya. 

b. Model Aristoteles
Model ini adalah contoh yg paling klasik pada ilmu komunikasi. Bisa jua dianggap menjadi model retorikal. Model ini menciptakan rumusan tentang contoh komunikasi ekspresi yang petama. Komunikasi terjadi saat pembicara membicarakan pesannya pada khalayak menggunakan tujuan mengganti konduite mereka. Aristoteles menerangkan tentang model komunikasi dalam bukunya Rhetorica, bahwa setiap komunikasi akan berjalan jika terdapat 3 unsur primer : pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener). Model ini lebih berorientasi pada pidato. Terutama pidato buat mempengaruhi orang lain. 

Menurut Aristoteles, dampak dapat dicapai oleh seorang yg dipecaya sang publik, alasan, dan juga menggunakan memainkan emosi publik. Tapi model ini juga mempunyai poly kelemahan. Kelemahan yang pertama adalah, komunikasi dianggap menjadi fenomena yg statis. Kelemahan yg kedua merupakan, model ini tidak memperhitungkan komunikasi non ekspresi pada mensugesti orang lain. Meskipun contoh ini memiliki banyak kelemahan, akan tetapi contoh ini nantinya akan menjadi ilham bagi para ilmuwan komunikasi buat menyebarkan model komunikasi modern.

c. Model Lasswell
Model ini menggambarkan komunikasi pada ungkapan who, says what, in which channel, to whom, with what effect atau pada bahasa Indonesia merupakan, siapa, menyampaikan apa, menggunakan medium apa, pada siapa, dampak apa? Model ini menjelaskan tentang proses komunikasi dan fungsinya terhadap rakyat. Lasswell berpendapat bahwa di dalam komunikasi terdapat tiga fungsi. Yang pertama merupakan supervisi lingkungan, yang mengingatkan anggota-anggota warga akan bahaya serta peluang dalam lingkungan. Kedua adalah korelasi aneka macam bagian terpisah pada warga yang merespon lingkungan. Ketiga merupakan transmisi warisan sosial menurut suatu generasi ke generasi lainnya.

Model ini seringkali digunakan pada komunikasi massa. Who menjadi pihak yang mengeluarkan dan menyeleksi liputan, says what adalah bahan buat menganalisa pesan itu. In which channel merupakan media. To whom adalah khalayak. Dan with what effect merupakan imbas yang diciptakan pesan dari media massa pada pembaca, pendengar, serta pemirsa. Sama seperti model komunikasi lainnya, contoh ini jua menerima kritik. Hal itu dikarenakan contoh ini terkesan misalnya menduga bahwa komunikator serta pesan itu selalu mempunyai tujuan. Model ini juga dianggap terlalu sederhana. Tapi, sama misalnya contoh komunikasi yang baik lainnya, model ini hanya fokus dalam aspek-aspek krusial pada komunikasi.

d. Model Shannon serta Weaver
Model ini membahas mengenai masalah pada mengirim pesan berdasarkan tingkat kecermatannya. Model ini mengandaikan sebuah sumber daya fakta (source information) yang membangun sebuah pesan (message) dan mengirimnya dengan suatu saluran (channel) pada penerima (receiver) yg kemudian menciptakan ulang (recreate) pesan tersebut. Dengan istilah lain, contoh ini mengasumsikan bahwa asal daya informasi membangun pesan menurut seperangkat pesan yang tersedia. Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi frekuwensi yang sesuai menggunakan saluran yg dipakai. Sasaran (destination) merupakan orang yang sebagai tujuan pesan itu. Saluran merupakan media yg mengirim indikasi dari pemancar kepada penerima. Di pada dialog, asal kabar merupakan otak, pemancar adalah bunyi yg menciptakan tanda yang dipancarkan oleh udara. Penerima merupakan mekanisme pendengaran yg kemudian merekonstruksi pesan menurut pertanda itu. Tujuannya merupakan otak si penerima. Dan konsep penting pada contoh ini adalah gangguan.

Gambar  (1948) Model Shannon dari proses komunikasi.

Model ini menduga bahwa komunikasi merupakan fenomena tidak aktif serta satu arah. Dan jua, model ini terkesan terlalu rumit. Meskipun contoh ini sangat terkenal dalam penelitian komunikasi selama bertahun-tahun, tulisan-tulisan Shannon dan Weaver sulit dipahami. Misalnya, formula Shannon buat liputan (1948) adalah sebagai berikut : 

H = - [P1 log p1 + p2 log p2 + … = pn log pn],
Atau
H = - Σpi log pi

e. Model Schramm
Wilbur Scheram menciptakan serangkai model komunikasi, dimulai menggunakan contoh komunikasi manusia yang sederhana (1954), lalu model yg lebih rumit yang memperhitungkan pengalaman dua individu yang mencoba berkomunikasi, hingga ke model komunikasi yang dipercaya interaksi dua individu.

Model pertama mirip dengan model Shannon dan Weaver

Model yang ke 2 Schramm memperkenalkan gagasan bahwa kecenderungan dalam bidang pengalaman sumber serta sasaranlah yang sebenarnya dikomunikasikan, lantaran bagian sinyal itulah yang dianut sama oleh sumber serta sasaran.

Model yang ketiga Schramm menanggap komunikasi menjadi hubungan dengan kedua pihak yg menyandi (encode), menafsirkan (interpret), menyandi ulang (decode), mentransmisikan (transmit), dan menerima frekuwensi (signal). Schramm berpikir bahwa komunikasi selalu membutuhkan setidaknya 3 unsur : asal (source), pesan (message), dan tujuan (destination). Disini kita melihat umpan pulang dan bulat yang berkelanjutan buat mengembangkan kabar.

Sumber bisa menyandi pesan, serta tujuan dapat menyandi balik pesan, tergantung menurut pengalaman mereka masing-masing. Jika kedua lingkaran itu mempunyai daerah yg sama, maka komunikasi sebagai mudah. Makin besar wilayahnya akan berpengaruh dalam wilayah pengalaman (field of experience) yg dimiliki sang keduanya. Menurut Schramm, setiap orang pada dalam proses komunikasi sangat kentara sebagai encoder dan decoder. Kita secara konstant menyandi ulang indikasi berdasarkan lingkungan kita, menafsirkan indikasi itu, serta menyandi sesuatu sebagai hasilnya. Proses kembali di dalam model ini diklaim feedback, yg memainkan kiprah krusial pada komunikasi. Karena hal ini membuat kita tahu bagaimana pesan kita ditafsirkan.

f. Model Newcomb
Theodore Newcomb (1953) melihat komunikasi menurut pandangan sosial psokologi. Model ini pula dikenal menggunakan nama model ABX. Model ini menggambarkan bahwa seseorang (A) mengirim kabar kepada orang lain (B) mengenai sesuatu (X). Model ini mengasumsikan bahwa orientasi A ke B atau ke X tergantung menurut mereka masing-masing. Dan ketiganya mempunyai sistem yang berisi empat orientasi.
1. Orientasi A ke X
2. Orientasi A ke B
3. Orientasi B ke X
4. Orientasi B ke A

Dalam model ini, komunikasi adalah suatu hal yang wajar serta efektif yg menciptakan orang-orang bisa mengorientasikan diri mereka pada lingkungannya. Ini merupakan model tindakan komunikasi yg disengaja sang 2 orang.

g. Model Westley dan Maclean
Model ini berbicara dalam dua konteks, komunikasi interperonal dan massa.dan disparitas yang paling krusial diantara komunikasi interpersonal serta massa adalah dalam umpan kembali (feedback). Di interpersonal, umpan pulang berlangsung cepat dan eksklusif, sedang di komunikasi massa, umpan baliknya bersifat nir pribadi serta lambat. Dalam komunikasi interpersonal contoh ini, terdapat lima bagian : orientasi objek (object orientation), pesan (messages), asal (source), penerima (receiver), serta umpan kembali (feedback). Sumber (A) melihat objek atau aktivitas lainnya di lingkungannya (X). Yang lalu menciptakan pesan tentang hal itu (X') serta kemudian dikirimkan kepada penerima (B). Pada kesempatan itu, penerima akan memberikan umpan pulang pada sumber. Sedang komunikasi massa dalam model ini mempunyai bagian tambahan, yaitu penjaga gerbang (gate keeper) atau opinion leader (C) yg akan menerima pesan (X') berdasarkan asal (A)atau dengan melihat kejadian disekitarnya (X1, X2. Lalu opinion leader membuat pesannya sendiri (X") yang akan dikirim kepada penerima (B). Sehingga proses penyaringan telah terbentuk. Ada beberapa konsep yang krusial berdasarkan model ini: umpan pulang, perbedaan dan persamaan antara komunikasi interpersonal dan massa dan opinion leader yg sebagai hal krusial di komunikasi massa.model ini pula membedakan antara pesan yang bertujuan dan nir bertujuan.

h. Model Gerbner
Model ini merupakan ekspansi dari model komunikasi milik Lasswell, terdiri dari model lisan dan contoh diagramatik.

Model Verbal : Seseorang (sumber) mempersepsi insiden dan bereaksi dalam situasi melalui suatu indera (saluran, media, rekayasa fisik, fasilitas administrative, dan kelembagaanuntuk distribusidan control) untuk menyediakan materi dalam suatu bentuk dan konteks yg mengandung isi dengan konsekuensi yg ada.

Model Diagramatik : Seseorang mempersepsi kejadian serta mengirim beberapa pesan buat pemancar yg akan mengirim frekuwensi kepada penerima. Pada transmisi ini, frekuwensi akan menghadapi gangguan serta sebagai SSSE buat si tujuan.

i. Model Berlo
Model ini hanya menerangkan proses komunikasi satu arah dan hanya terdiri berdasarkan empat komponen yaitu sumber (Source), pesan (Message), saluran (Channel), dan penerima (Receiver). Sumber adalah pembuat pesan. Pesan merupakan gagasan yg diterjemahkan atau kode yg berupa simbol-simbol. Saluran merupakan media yang membawa pesan. Dan penerima merupakan target dari komunikasi itu sendiri. Menurut contoh ini, asal serta penerima dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut : kemampuan berkomunikasi, konduite, pengetahuan, sistem sosial, dan budaya. Pesan merupakan perluasan yang menurut elemen, struktur, isi, pemeliharaan, serta kode. Dan saluran adalah panca alat manusia. Hal yang positif berdasarkan contoh ini merupakan, contoh ini dapat mencakup perlakuan dari komunikasi massa, publik, interpersonal, serta komunikasi tertulis. Model ini pula bersifat heuristic. Tapi, contoh ini pula mempunyai kelemahan. Model ini menganggap komunikasi menjadi kenyataan yang statis. Tidak terdapat umpan kembali. Dan komunikasi nonverbal dipercaya menjadi hal yang tidak penting.

Model komunikasi Berlo menekankan komunikasi menjadi suatu proses. Disamping itu, jua menekankan wangsit bahwa meaning are in the people atau arti pesan yg dikirimkan pada orang yg menerima pesan bukan dalam kata – istilah itu sendiri. Melainkan dari arti atau makna kata pesan yg ditafsirkan si pengirim bukan pada apa yg terdapat pada komponen pesan itu sendiri. Berlo jua mengganti pandangan orang sebagai menginterpretasikan komunikasi.

j. Model Defleur
Model ini merupakan model komunikasi massa. Dengan menyisipkan perangkat media massa (mass medium device) dan perangkat umpan kembali (feedback device). Model ini menggambarkan asal (source), pemancar (transmitter), penerima (receiver), dan tujuan (destination) sebagai fase yang terpisah dalam proses komunikasi massa, serupa menggunakan fase – fase yg digambarkan Schramm. Fungsi berdasarkan penerima dalam model Defleur adalah mendapat fakta serta menyandikannya. Menurut Defleur, komunikasi bukanlah sebuah pemindahan makna. Komunikasi terjadi menggunakan seperangkat komponen operasi pada pada sistem teoritis, menggunakan konsekuensinya merupakan isomorpis diantara internal penerima kepada seperangkat simbol pada asal serta penerima.

k. Model Komunikasi Linear
Model komunikasi ini dikemukakan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver pada tahun 1949 pada kitab The Mathematical of Communication. Mereka menggambarkan komunikasi sebagai proses linear lantaran tertarik dalam teknologi radio dan telepon dan ingin membuatkan suatu contoh yg dapat mengungkapkan bagaimana berita melewati berbagai saluran (channel). Hasilnya merupakan konseptualisasi menurut komunikasi linear (linear communication model). Pendekatan ini terdiri atas beberapa elemen kunci: sumber (source), pesan (message) serta penerima (receiver). Model linear berasumsi bahwa seorang hanyalah pengirim atau penerima. Tentu saja hal ini merupakan pandangan yang sangat sempit terhadap partisipan-partisipan pada proses komunikasi.

l. Model Interaksional
Model interaksional dikembangkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954 yg menekankan dalam proses komunikasi dua arah pada antara para komunikator. Dengan istilah lain, komunikasi berlangsung 2 arah: berdasarkan pengirim dan kepada penerima serta menurut penerima pada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan bahwa komunikasi selalu berlangsung. Para peserta komunikasi dari model interaksional merupakan orang-orang yg menyebarkan potensi manusiawinya melalui hubungan sosial, tepatnya melalui pengambilan peran orang lain (role-taking). Patut dicatat bahwa contoh ini menempatkan asal dan penerima mempunyai kedudukan yg sederajat. Satu elemen yg krusial bagi model interkasional adalah umpan pulang (feedback), atau tanggapan terhadap suatu pesan.

m. Model Transaksional
Model komunikasi transaksional dikembangkan oleh Barnlund dalam tahun 1970. Model ini menggarisbawahi pengiriman dan penerimaan pesan yg berlangsung secara monoton pada sebuah episode komunikasi. Komunikasi bersifat transaksional merupakan proses kooperatif: pengirim serta penerima sama-sama bertanggungjawab terhadap efek serta efektivitas komunikasi yang terjadi. Model transaksional berasumsi bahwa ketika kita monoton mengirimkan serta menerima pesan, kita berurusan baik menggunakan elemen mulut serta nonverbal. Dengan istilah lain, peserta komunikasi (komunikator) melalukan proses perundingan makna.

3. Komunikasi sebagai Proses
Komunikasi sebagai suatu proses merupakan bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yg terjadi secara berurutan (terdapat tahapan atau konsekuensi) dan berkaitan satu sama lainnya pada kurun saat eksklusif.

Proses komunikasi merupakan bagaimana sang komunikator menyampaikan pesan kepada komunikannya, sehingga dapat bisa membentuk suatu persamaan makna antara komunikan dengan komunikatornya. Proses Komunikasi ini bertujuan untuk menciptakan komunikasi yag efektif (sesuai menggunakan tujuan komunikasi pada umumnya).

Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi mampu digambarkan misalnya berikut.
1. Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi menggunakan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yg disampaikan itu mampu berupa keterangan pada bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa dimengerti ke 2 pihak.
2. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara pribadi maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalu telepon, surat, e-mail, atau media lainnya.

Media (channel) alat yang sebagai penyampai pesan dari komunikator ke komunikan.
1. Komunikan (receiver) menerima pesan yg disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yg dimengerti oleh komunikan itu sendiri.
2. Komunikan (receiver) menaruh umpan pulang (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah beliau mengerti atau memahami pesan yg dimaksud sang si pengirim.

Proses komunikasi merupakan pedoman buat mewujudkan komunikasi yg efektif. Ini adalah melalui proses komunikasi yang mengembangkan makna umum antara pengirim dan penerima berlangsung. Individu yang mengikuti proses komunikasi akan mempunyai kesempatan buat sebagai lebih produktif dalam setiap aspek profesi mereka. Komunikasi yang efektif mengarah dalam pemahaman. 

Proses komunikasi terdiri dari empat komponen kunci. Komponen – komponen termasuk encoding, media transmisi, decoding, dan umpan balik . Ada jua dua faktor lain dalam proses, dan dua faktor yg hadir dalam bentuk pengirim dan penerima. Proses komunikasi dimulai dengan pengirim dan berakhir dengan penerima. 

Pengirim merupakan individu, grup, atau organisasi yang memulai komunikasi. Sumber ini awalnya bertanggung jawab untuk keberhasilan pesan. Pengalaman pengirim, sikap, pengetahuan, keterampilan, persepsi, dan budaya pengaruh pesan. "Kata-kata tertulis, kata yang diucapkan, serta bahasa nonverbal yang dipilih merupakan hal yang terpenting dalam memastikan penerima menafsirkan pesan sebagaimana dimaksud sang pengirim" (Burnett & Dollar, 1989). Semua komunikasi dimulai dengan pengirim. 

Langkah pertama pengirim dihadapkan menggunakan melibatkan proses encoding. Dalam rangka buat menyampaikan makna, pengirim harus mulai pengkodean, yg berarti menerjemahkan berita ke pada sebuah pesan dalam bentuk simbol-simbol yg mewakili ilham-pandangan baru atau konsep. Proses ini menerjemahkan ilham atau konsep ke pada pesan kode yang akan dikomunikasikan. Simbol bisa mengambil banyak sekali bentuk seperti, bahasa, istilah, atau isyarat. Simbol-simbol ini digunakan buat mengkodekan inspirasi menjadi pesan bahwa orang lain bisa mengerti. 

Saat penyandian pesan, pengirim harus dimulai menggunakan menetapkan apa yang dia / dia ingin mengirimkan. Keputusan ini oleh pengirim berdasarkan dalam apa yang beliau / dia percaya tentang pengetahuan penerima serta perkiraan, beserta dengan kabar tambahan apa yg beliau / dia ingin penerima buat memiliki. Hal ini penting bagi pengirim buat memakai simbol-simbol yang akrab bagi penerima yg dimaksudkan. Sebuah cara yg baik bagi pengirim buat mempertinggi pengkodean pesan mereka, merupakan buat memvisualisasikan mental komunikasi dari sudut pandang penerima. 

Untuk memulai transmisi pesan, pengirim menggunakan beberapa jenis saluran (pula disebut medium). Saluran adalah cara yang dipakai buat mengungkapkan pesan. Kebanyakan saluran baik mulut maupun tertulis, namun saluran visual yang waktu ini menjadi lebih generik sebagai teknologi mengembang. Saluran umum termasuk telepon serta berbagai bentuk tertulis misalnya memo, surat, serta laporan. Efektivitas dari berbagai saluran berfluktuasi tergantung dalam karakteristik komunikasi. Misalnya, waktu umpan balik segera diharapkan, saluran komunikasi ekspresi lebih efektif karena setiap ketidakpastian sanggup dibersihkan pada tempat. Dalam situasi di mana pesan harus dikirimkan ke lebih menurut sekelompok mini orang, saluran tertulis sering lebih efektif. Meskipun pada banyak perkara, kedua saluran ekspresi serta tertulis harus dipakai lantaran keliru satu suplemen yang lain. 

Jika pengirim pesan relay melalui saluran yg tidak sempurna, pesan yg mungkin tidak mencapai penerima yg sempurna. Itulah sebabnya pengirim perlu diingat bahwa memilih channel yang sesuai akan sangat membantu dalam efektivitas pemahaman penerima. Keputusan pengirim buat memanfaatkan baik lisan atau tertulis saluran buat berkomunikasi pesan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pengirim wajib bertanya dirinya sendiri pertanyaan yang berbeda, sebagai akibatnya mereka dapat memilih channel yg sesuai. Apakah pesan mendesak? Apakah umpan balik yang segera diperlukan? Apakah dokumentasi atau catatan tetap diperlukan? Apakah konten yg rumit, kontroversial, atau swasta? Apakah pesan akan seseorang pada pada atau pada luar organisasi? Apa keterampilan komunikasi ekspresi dan tertulis nir penerima miliki? Setelah pengirim telah menjawab semua pertanyaan ini, mereka akan bisa menentukan saluran yang efektif. 

Setelah channel yg sesuai atau saluran yg dipilih, pesan memasuki tahap decoding dari proses komunikasi. Decoding dilakukan sang penerima. Setelah pesan diterima serta diperiksa, stimulus dikirimkan ke otak buat menafsirkan, dalam rangka buat memutuskan beberapa jenis makna untuk itu. Ini merupakan tahap pengolahan yg merupakan decoding. Penerima mulai menafsirkan simbol-simbol yang dikirim oleh pengirim, menerjemahkan pesan ke set mereka sendiri pengalaman pada rangka buat menciptakan simbol-simbol bermakna. Komunikasi yg sukses terjadi ketika penerima dengan benar menafsirkan pesan pengirim. 

Penerima adalah individu atau individu-individu pada siapa pesan itu ditujukan. Sejauh mana orang ini memahami pesan akan tergantung pada sejumlah faktor, yang meliputi: berapa poly individu atau individu tahu tentang topik itu, penerimaan mereka ke pesan, dan interaksi serta kepercayaan yg ada antara pengirim serta penerima . Semua penafsiran oleh penerima dipengaruhi sang pengalaman mereka, sikap, pengetahuan, keterampilan, persepsi, serta budaya. Hal ini seperti dengan hubungan pengirim menggunakan encoding. 

Umpan pulang merupakan link terakhir dalam rantai proses komunikasi. Setelah mendapat pesan, penerima merespon dalam beberapa cara dan sinyal bahwa respon ke pengirim. Sinyal mampu merogoh bentuk komentar diucapkan, menghela napas panjang, sebuah pesan tertulis, tersenyum, atau beberapa tindakan lainnya. "Bahkan kurangnya respon, adalah dalam arti, suatu bentuk respon" (Bovee & Thill, 1992). Tanpa umpan pulang, pengirim nir bisa memastikan bahwa penerima sudah menafsirkan pesan dengan sahih. 

Umpan pulang adalah komponen kunci dalam proses komunikasi lantaran memungkinkan pengirim untuk mengevaluasi efektifitas pesan. Tanggapan akhirnya memberikan kesempatan bagi pengirim buat mengambil tindakan korektif buat memperjelas pesan disalahpahami. "Umpan kembali memainkan kiprah krusial dengan memperlihatkan hambatan komunikasi yang signifikan: perbedaan latar belakang, penafsiran istilah-istilah yg tidak sama, serta berbeda reaksi emosional" (Bovee & Thill, 1992). 

Proses komunikasi merupakan panduan yg paripurna buat mencapai komunikasi yg efektif. Ketika diikuti menggunakan baik, proses biasanya bisa menjamin bahwa pesan pengirim akan dimengerti sang penerima. Meskipun proses komunikasi sepertinya sederhana, dalam dasarnya tidak. Hambatan tertentu menampilkan diri selama proses berlangsung. Mereka kendala merupakan faktor yg memiliki imbas negatif dalam proses komunikasi. Beberapa hambatan generik termasuk penggunaan media yg tidak sempurna (saluran), rapikan bahasa keliru, kata inflamasi, istilah-istilah yang bertentangan dengan bahasa tubuh, dan jargon teknis. Kebisingan jua lain penghalang generik. Kebisingan bisa terjadi dalam setiap tahap proses. Kebisingan dalam dasarnya adalah segala sesuatu yg mendistorsi pesan menggunakan mengganggu proses komunikasi. Kebisingan bisa mengambil banyak bentuk, termasuk sebuah radio diputar di latar belakang, orang lain mencoba untuk memasukkan percakapan Anda, serta setiap gangguan lainnya yang mencegah penerima menurut membayar perhatian.

MAKNA BUDAYA DALAM KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya 
1. Definisi Model Komunikasi
Model komunikasi merupakan citra yg sederhana menurut proses komunikasi yang memberitahuakn kaitan antara satu komponen komunikasi menggunakan komponen lainnya. 

Menurut Sereno dan Mortensen, suatu contoh komunikasi adalah pelukisan ideal mengenai apa yang diperlukan buat terjadinya komunikasi. Suatu model merepresentasikan secara abstrak karakteristik-karakteristik krusial dan menghilangkan rincian komunikasi yang tidak perlu pada “global nyata”. 

Aubrey Fisher mengatakan, model adalah analogi yg mengabstraksikan serta memilih bagian dari kenyataan yg dijadikan contoh. 

Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr. Mengatakan bahwa contoh membantu merumuskan suatu teori dan menyarankan interaksi. Oleh lantaran interaksi antara contoh dengan teori begitu erat, contoh acapkali dicampur dengan teori.

2. Model - Model Komunikasi
a. Model Stimulus - Respons
Model ini adalah model yg paling dasar dalam ilmu komunikasi. Model ini pertanda komunikasi menjadi sebuah proses aksi reaksi. Model ini beranggapan bahwa istilah-istilah lisan, pertanda-tanda nonverbal, gambar-gambar, dan tindakan akan merangsang orang lain buat menaruh respon menggunakan cara eksklusif. Kita dapat juga berkata bahwa proses ini merupakan perpindahan kabar ataupun gagasan. Proses ini dapat berupa timbal kembali dan memiliki impak yg banyak. Setiap efek bisa merubah konduite menurut komunikasi berikutnya.

Model ini mengabaikan komunikasi menjadi sebuah proses. Dengan kata lain, komunikasi dianggap menjadi hal yg statis. Manusia dianggap berprilaku karena kekuatan menurut luar ( stimulus ), bukan dari kehendak, cita-cita, atau kemauan bebasnya. 

b. Model Aristoteles
Model ini adalah contoh yg paling klasik pada ilmu komunikasi. Bisa juga dianggap menjadi contoh retorikal. Model ini menciptakan rumusan mengenai model komunikasi verbal yang petama. Komunikasi terjadi saat pembicara membicarakan pesannya pada khalayak menggunakan tujuan mengubah perilaku mereka. Aristoteles menampakan mengenai model komunikasi dalam bukunya Rhetorica, bahwa setiap komunikasi akan berjalan apabila terdapat 3 unsur utama : pembicara (speaker), pesan (message), serta pendengar (listener). Model ini lebih berorientasi dalam pidato. Terutama pidato buat mempengaruhi orang lain. 

Menurut Aristoteles, imbas bisa dicapai sang seseorang yang dipecaya sang publik, alasan, dan jua dengan memainkan emosi publik. Tapi model ini pula memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yg pertama merupakan, komunikasi dianggap menjadi fenomena yang statis. Kelemahan yg ke 2 adalah, contoh ini tidak memperhitungkan komunikasi non lisan pada mensugesti orang lain. Meskipun model ini mempunyai poly kelemahan, akan tetapi model ini nantinya akan sebagai ilham bagi para ilmuwan komunikasi untuk mengembangkan contoh komunikasi terbaru.

c. Model Lasswell
Model ini mendeskripsikan komunikasi dalam ungkapan who, says what, in which channel, to whom, with what effect atau pada bahasa Indonesia adalah, siapa, mengungkapkan apa, menggunakan medium apa, pada siapa, efek apa? Model ini menyebutkan tentang proses komunikasi dan fungsinya terhadap rakyat. Lasswell berpendapat bahwa di pada komunikasi masih ada tiga fungsi. Yang pertama adalah pengawasan lingkungan, yang mengingatkan anggota-anggota rakyat akan bahaya serta peluang pada lingkungan. Kedua adalah hubungan berbagai bagian terpisah dalam warga yang merespon lingkungan. Ketiga merupakan transmisi warisan sosial menurut suatu generasi ke generasi lainnya.

Model ini seringkali dipakai pada komunikasi massa. Who menjadi pihak yang mengeluarkan dan menyeleksi liputan, says what adalah bahan buat menganalisa pesan itu. In which channel adalah media. To whom merupakan khalayak. Dan with what effect merupakan pengaruh yg diciptakan pesan berdasarkan media massa pada pembaca, pendengar, serta pemirsa. Sama seperti contoh komunikasi lainnya, model ini juga menerima kritik. Hal itu dikarenakan model ini terkesan seperti menganggap bahwa komunikator dan pesan itu selalu mempunyai tujuan. Model ini jua dianggap terlalu sederhana. Tapi, sama seperti model komunikasi yang baik lainnya, contoh ini hanya penekanan pada aspek-aspek krusial dalam komunikasi.

d. Model Shannon dan Weaver
Model ini membahas tentang masalah pada mengirim pesan menurut tingkat kecermatannya. Model ini mengandaikan sebuah sumber daya berita (source information) yg membangun sebuah pesan (message) serta mengirimnya dengan suatu saluran (channel) pada penerima (receiver) yang lalu membuat ulang (recreate) pesan tadi. Dengan istilah lain, contoh ini mengasumsikan bahwa sumber daya informasi menciptakan pesan berdasarkan seperangkat pesan yg tersedia. Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi sinyal yg sinkron menggunakan saluran yg dipakai. Sasaran (destination) merupakan orang yang sebagai tujuan pesan itu. Saluran merupakan media yang mengirim indikasi berdasarkan pemancar pada penerima. Di pada percakapan, asal fakta merupakan otak, pemancar adalah bunyi yg membentuk indikasi yg dipancarkan oleh udara. Penerima adalah mekanisme telinga yang kemudian merekonstruksi pesan menurut pertanda itu. Tujuannya adalah otak si penerima. Dan konsep krusial pada contoh ini merupakan gangguan.

Gambar  (1948) Model Shannon menurut proses komunikasi.

Model ini menganggap bahwa komunikasi adalah kenyataan statis dan satu arah. Dan jua, model ini terkesan terlalu rumit. Meskipun model ini sangat terkenal dalam penelitian komunikasi selama bertahun-tahun, tulisan-tulisan Shannon dan Weaver sulit dipahami. Misalnya, formula Shannon buat fakta (1948) merupakan menjadi berikut : 

H = - [P1 log p1 + p2 log p2 + … = pn log pn],
Atau
H = - Σpi log pi

e. Model Schramm
Wilbur Scheram menciptakan serangkai contoh komunikasi, dimulai menggunakan contoh komunikasi insan yg sederhana (1954), kemudian contoh yang lebih rumit yang memperhitungkan pengalaman dua individu yang mencoba berkomunikasi, sampai ke model komunikasi yg dipercaya interaksi dua individu.

Model pertama mirip dengan model Shannon dan Weaver

Model yang ke 2 Schramm memperkenalkan gagasan bahwa kesamaan dalam bidang pengalaman asal dan sasaranlah yg sebenarnya dikomunikasikan, karena bagian sinyal itulah yang dianut sama sang sumber dan target.

Model yg ketiga Schramm menanggap komunikasi sebagai interaksi dengan ke 2 pihak yg menyandi (encode), menafsirkan (interpret), menyandi ulang (decode), mentransmisikan (transmit), serta menerima frekuwensi (signal). Schramm berpikir bahwa komunikasi selalu membutuhkan setidaknya 3 unsur : sumber (source), pesan (message), dan tujuan (destination). Disini kita melihat umpan pulang serta bulat yang berkelanjutan buat mengembangkan keterangan.

Sumber bisa menyandi pesan, serta tujuan bisa menyandi kembali pesan, tergantung menurut pengalaman mereka masing-masing. Apabila ke 2 lingkaran itu mempunyai daerah yg sama, maka komunikasi menjadi mudah. Makin besar daerahnya akan berpengaruh dalam daerah pengalaman (field of experience) yg dimiliki oleh keduanya. Menurut Schramm, setiap orang di pada proses komunikasi sangat jelas sebagai encoder serta decoder. Kita secara konstant menyandi ulang pertanda menurut lingkungan kita, menafsirkan pertanda itu, serta menyandi sesuatu sebagai hasilnya. Proses pulang di dalam contoh ini dianggap feedback, yg memainkan peran krusial pada komunikasi. Karena hal ini menciptakan kita tahu bagaimana pesan kita ditafsirkan.

f. Model Newcomb
Theodore Newcomb (1953) melihat komunikasi dari pandangan sosial psokologi. Model ini jua dikenal dengan nama model ABX. Model ini mendeskripsikan bahwa seseorang (A) mengirim informasi kepada orang lain (B) mengenai sesuatu (X). Model ini mengasumsikan bahwa orientasi A ke B atau ke X tergantung berdasarkan mereka masing-masing. Dan ketiganya memiliki sistem yg berisi empat orientasi.
1. Orientasi A ke X
2. Orientasi A ke B
3. Orientasi B ke X
4. Orientasi B ke A

Dalam contoh ini, komunikasi merupakan suatu hal yg lumrah dan efektif yg membuat orang-orang bisa mengorientasikan diri mereka kepada lingkungannya. Ini merupakan model tindakan komunikasi yg disengaja oleh 2 orang.

g. Model Westley serta Maclean
Model ini berbicara dalam dua konteks, komunikasi interperonal serta massa.dan perbedaan yg paling penting diantara komunikasi interpersonal serta massa adalah pada umpan pulang (feedback). Di interpersonal, umpan balik berlangsung cepat dan eksklusif, sedang di komunikasi massa, umpan baliknya bersifat nir langsung serta lambat. Dalam komunikasi interpersonal model ini, terdapat 5 bagian : orientasi objek (object orientation), pesan (messages), asal (source), penerima (receiver), dan umpan pulang (feedback). Sumber (A) melihat objek atau aktivitas lainnya pada lingkungannya (X). Yang lalu membuat pesan mengenai hal itu (X') serta kemudian dikirimkan pada penerima (B). Pada kesempatan itu, penerima akan memberikan umpan pulang pada sumber. Sedang komunikasi massa dalam contoh ini mempunyai bagian tambahan, yaitu penjaga gerbang (gate keeper) atau opinion leader (C) yg akan menerima pesan (X') menurut asal (A)atau dengan melihat peristiwa disekitarnya (X1, X2. Lalu opinion leader membuat pesannya sendiri (X") yg akan dikirim kepada penerima (B). Sehingga proses penyaringan sudah terbentuk. Ada beberapa konsep yang krusial dari model ini: umpan kembali, disparitas dan persamaan antara komunikasi interpersonal dan massa dan opinion leader yg menjadi hal krusial pada komunikasi massa.model ini juga membedakan antara pesan yang bertujuan dan tidak bertujuan.

h. Model Gerbner
Model ini merupakan perluasan berdasarkan model komunikasi milik Lasswell, terdiri dari contoh lisan dan model diagramatik.

Model Verbal : Seseorang (asal) mempersepsi peristiwa dan bereaksi pada situasi melalui suatu alat (saluran, media, rekayasa fisik, fasilitas administrative, serta kelembagaanuntuk distribusidan control) buat menyediakan materi dalam suatu bentuk serta konteks yang mengandung isi dengan konsekuensi yang ada.

Model Diagramatik : Seseorang mempersepsi peristiwa dan mengirim beberapa pesan buat pemancar yg akan mengirim sinyal pada penerima. Pada transmisi ini, frekuwensi akan menghadapi gangguan dan sebagai SSSE buat si tujuan.

i. Model Berlo
Model ini hanya menerangkan proses komunikasi satu arah dan hanya terdiri berdasarkan empat komponen yaitu sumber (Source), pesan (Message), saluran (Channel), dan penerima (Receiver). Sumber adalah pembuat pesan. Pesan merupakan gagasan yg diterjemahkan atau kode yg berupa simbol-simbol. Saluran adalah media yg membawa pesan. Dan penerima merupakan target dari komunikasi itu sendiri. Menurut contoh ini, sumber serta penerima ditentukan oleh faktor-faktor berikut : kemampuan berkomunikasi, perilaku, pengetahuan, sistem sosial, dan budaya. Pesan merupakan perluasan yang menurut elemen, struktur, isi, pemeliharaan, dan kode. Dan saluran adalah panca indera manusia. Hal yg positif dari contoh ini adalah, model ini bisa mencakup perlakuan berdasarkan komunikasi massa, publik, interpersonal, dan komunikasi tertulis. Model ini jua bersifat heuristic. Tapi, contoh ini pula memiliki kelemahan. Model ini menduga komunikasi sebagai fenomena yg tidak aktif. Tidak terdapat umpan kembali. Dan komunikasi nonverbal dipercaya menjadi hal yg nir penting.

Model komunikasi Berlo menekankan komunikasi menjadi suatu proses. Disamping itu, juga menekankan inspirasi bahwa meaning are in the people atau arti pesan yang dikirimkan dalam orang yang menerima pesan bukan dalam kata – kata itu sendiri. Melainkan menurut arti atau makna kata pesan yg ditafsirkan si pengirim bukan pada apa yg ada pada komponen pesan itu sendiri. Berlo pula mengubah pandangan orang menjadi menginterpretasikan komunikasi.

j. Model Defleur
Model ini adalah model komunikasi massa. Dengan menyisipkan perangkat media massa (mass medium device) dan perangkat umpan kembali (feedback device). Model ini menggambarkan asal (source), pemancar (transmitter), penerima (receiver), dan tujuan (destination) sebagai fase yang terpisah dalam proses komunikasi massa, serupa dengan fase – fase yang digambarkan Schramm. Fungsi dari penerima pada contoh Defleur merupakan mendapat liputan dan menyandikannya. Menurut Defleur, komunikasi bukanlah sebuah pemindahan makna. Komunikasi terjadi dengan seperangkat komponen operasi pada pada sistem teoritis, menggunakan konsekuensinya merupakan isomorpis diantara internal penerima kepada seperangkat simbol pada sumber serta penerima.

k. Model Komunikasi Linear
Model komunikasi ini dikemukakan sang Claude Shannon serta Warren Weaver dalam tahun 1949 pada kitab The Mathematical of Communication. Mereka mendeskripsikan komunikasi menjadi proses linear lantaran tertarik dalam teknologi radio dan telepon dan ingin menyebarkan suatu contoh yg bisa mengungkapkan bagaimana fakta melewati berbagai saluran (channel). Hasilnya merupakan konseptualisasi menurut komunikasi linear (linear communication contoh). Pendekatan ini terdiri atas beberapa elemen kunci: sumber (source), pesan (message) serta penerima (receiver). Model linear berasumsi bahwa seseorang hanyalah pengirim atau penerima. Tentu saja hal ini merupakan pandangan yg sangat sempit terhadap partisipan-partisipan pada proses komunikasi.

l. Model Interaksional
Model interaksional dikembangkan sang Wilbur Schramm pada tahun 1954 yang menekankan dalam proses komunikasi dua arah di antara para komunikator. Dengan istilah lain, komunikasi berlangsung 2 arah: dari pengirim serta kepada penerima serta berdasarkan penerima kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan bahwa komunikasi selalu berlangsung. Para peserta komunikasi menurut contoh interaksional merupakan orang-orang yg menyebarkan potensi manusiawinya melalui hubungan sosial, tepatnya melalui pengambilan kiprah orang lain (role-taking). Patut dicatat bahwa model ini menempatkan asal dan penerima mempunyai kedudukan yang sederajat. Satu elemen yg penting bagi contoh interkasional merupakan umpan balik (feedback), atau tanggapan terhadap suatu pesan.

m. Model Transaksional
Model komunikasi transaksional dikembangkan oleh Barnlund dalam tahun 1970. Model ini menggarisbawahi pengiriman dan penerimaan pesan yg berlangsung secara terus-menerus dalam sebuah episode komunikasi. Komunikasi bersifat transaksional merupakan proses kooperatif: pengirim serta penerima sama-sama bertanggungjawab terhadap impak serta efektivitas komunikasi yang terjadi. Model transaksional berasumsi bahwa saat kita terus-menerus mengirimkan serta menerima pesan, kita berurusan baik menggunakan elemen mulut dan nonverbal. Dengan kata lain, peserta komunikasi (komunikator) melalukan proses perundingan makna.

3. Komunikasi menjadi Proses
Komunikasi menjadi suatu proses ialah bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan (ada tahapan atau konsekuensi) dan berkaitan satu sama lainnya dalam kurun saat eksklusif.

Proses komunikasi adalah bagaimana sang komunikator menyampaikan pesan kepada komunikannya, sebagai akibatnya bisa dapat membangun suatu persamaan makna antara komunikan dengan komunikatornya. Proses Komunikasi ini bertujuan buat membentuk komunikasi yag efektif (sesuai menggunakan tujuan komunikasi pada biasanya).

Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi sanggup digambarkan seperti berikut.
1. Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan pada orang yang dimaksud. Pesan yg disampaikan itu sanggup berupa kabar pada bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak.
2. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara pribadi juga nir pribadi. Contohnya berbicara langsung melalu telepon, surat, e-mail, atau media lainnya.

Media (channel) indera yang menjadi penyampai pesan menurut komunikator ke komunikan.
1. Komunikan (receiver) menerima pesan yg disampaikan serta menerjemahkan isi pesan yg diterimanya ke pada bahasa yang dimengerti sang komunikan itu sendiri.
2. Komunikan (receiver) menaruh umpan kembali (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah beliau mengerti atau tahu pesan yang dimaksud oleh si pengirim.

Proses komunikasi merupakan panduan buat mewujudkan komunikasi yang efektif. Ini adalah melalui proses komunikasi yg membuatkan makna umum antara pengirim serta penerima berlangsung. Individu yg mengikuti proses komunikasi akan mempunyai kesempatan buat menjadi lebih produktif pada setiap aspek profesi mereka. Komunikasi yg efektif mengarah pada pemahaman. 

Proses komunikasi terdiri menurut empat komponen kunci. Komponen – komponen termasuk encoding, media transmisi, decoding, serta umpan pulang. Ada juga 2 faktor lain pada proses, dan dua faktor yg hadir dalam bentuk pengirim serta penerima. Proses komunikasi dimulai dengan pengirim dan berakhir menggunakan penerima. 

Pengirim adalah individu, kelompok, atau organisasi yang memulai komunikasi. Sumber ini awalnya bertanggung jawab buat keberhasilan pesan. Pengalaman pengirim, perilaku, pengetahuan, keterampilan, persepsi, dan budaya efek pesan. "Kata-kata tertulis, istilah yang diucapkan, serta bahasa nonverbal yang dipilih adalah hal yang terpenting pada memastikan penerima menafsirkan pesan sebagaimana dimaksud sang pengirim" (Burnett & Dollar, 1989). Semua komunikasi dimulai menggunakan pengirim. 

Langkah pertama pengirim dihadapkan menggunakan melibatkan proses encoding. Dalam rangka buat mengungkapkan makna, pengirim wajib mulai pengkodean, yg berarti menerjemahkan fakta ke pada sebuah pesan dalam bentuk simbol-simbol yang mewakili ilham-ide atau konsep. Proses ini menerjemahkan ide atau konsep ke dalam pesan kode yang akan dikomunikasikan. Simbol bisa mengambil banyak sekali bentuk seperti, bahasa, kata, atau isyarat. Simbol-simbol ini digunakan buat mengkodekan ide menjadi pesan bahwa orang lain bisa mengerti. 

Saat penyandian pesan, pengirim harus dimulai dengan memutuskan apa yg beliau / beliau ingin mengirimkan. Keputusan ini oleh pengirim berdasarkan pada apa yang dia / beliau percaya mengenai pengetahuan penerima dan asumsi, bersama menggunakan keterangan tambahan apa yg beliau / dia ingin penerima buat memiliki. Hal ini penting bagi pengirim buat menggunakan simbol-simbol yang akrab bagi penerima yang dimaksudkan. Sebuah cara yang baik bagi pengirim buat menaikkan pengkodean pesan mereka, merupakan buat memvisualisasikan mental komunikasi berdasarkan sudut pandang penerima. 

Untuk memulai transmisi pesan, pengirim menggunakan beberapa jenis saluran (juga disebut medium). Saluran merupakan cara yg dipakai untuk menyampaikan pesan. Kebanyakan saluran baik mulut juga tertulis, namun saluran visual yg ketika ini menjadi lebih generik menjadi teknologi mekar. Saluran generik termasuk telepon dan banyak sekali bentuk tertulis seperti memo, surat, dan laporan. Efektivitas dari aneka macam saluran berfluktuasi tergantung pada ciri komunikasi. Misalnya, saat umpan pulang segera dibutuhkan, saluran komunikasi mulut lebih efektif karena setiap ketidakpastian mampu dibersihkan pada tempat. Dalam situasi di mana pesan harus dikirimkan ke lebih berdasarkan sekelompok mini orang, saluran tertulis seringkali lebih efektif. Meskipun dalam banyak perkara, kedua saluran mulut dan tertulis harus digunakan karena galat satu suplemen yang lain. 

Jika pengirim pesan relay melalui saluran yg tidak sempurna, pesan yg mungkin tidak mencapai penerima yang tepat. Itulah sebabnya pengirim perlu diingat bahwa menentukan channel yang sesuai akan sangat membantu pada efektivitas pemahaman penerima. Keputusan pengirim buat memanfaatkan baik verbal atau tertulis saluran buat berkomunikasi pesan ditentukan oleh beberapa faktor. Pengirim harus bertanya dirinya sendiri pertanyaan yang berbeda, sehingga mereka bisa menentukan channel yg sinkron. Apakah pesan mendesak? Apakah umpan kembali yang segera diharapkan? Apakah dokumentasi atau catatan permanen diperlukan? Apakah konten yang rumit, kontroversial, atau swasta? Apakah pesan akan seseorang pada pada atau pada luar organisasi? Apa keterampilan komunikasi verbal serta tertulis tidak penerima miliki? Setelah pengirim telah menjawab semua pertanyaan ini, mereka akan bisa memilih saluran yang efektif. 

Setelah channel yg sesuai atau saluran yg dipilih, pesan memasuki termin decoding dari proses komunikasi. Decoding dilakukan sang penerima. Setelah pesan diterima dan diperiksa, stimulus dikirimkan ke otak buat menafsirkan, pada rangka buat menetapkan beberapa jenis makna buat itu. Ini adalah termin pengolahan yang merupakan decoding. Penerima mulai menafsirkan simbol-simbol yg dikirim sang pengirim, menerjemahkan pesan ke set mereka sendiri pengalaman dalam rangka buat menciptakan simbol-simbol bermakna. Komunikasi yg sukses terjadi ketika penerima dengan benar menafsirkan pesan pengirim. 

Penerima merupakan individu atau individu-individu kepada siapa pesan itu ditujukan. Sejauh mana orang ini tahu pesan akan tergantung dalam sejumlah faktor, yang meliputi: berapa banyak individu atau individu memahami mengenai topik itu, penerimaan mereka ke pesan, serta hubungan serta agama yang terdapat antara pengirim serta penerima . Semua penafsiran oleh penerima ditentukan oleh pengalaman mereka, sikap, pengetahuan, keterampilan, persepsi, serta budaya. Hal ini seperti dengan interaksi pengirim menggunakan encoding. 

Umpan balik adalah link terakhir pada rantai proses komunikasi. Setelah menerima pesan, penerima merespon dalam beberapa cara dan sinyal bahwa respon ke pengirim. Sinyal sanggup mengambil bentuk komentar diucapkan, menghela napas panjang, sebuah pesan tertulis, tersenyum, atau beberapa tindakan lainnya. "Bahkan kurangnya respon, merupakan pada arti, suatu bentuk respon" (Bovee & Thill, 1992). Tanpa umpan kembali, pengirim tidak dapat memastikan bahwa penerima sudah menafsirkan pesan dengan sahih. 

Umpan balik adalah komponen kunci pada proses komunikasi karena memungkinkan pengirim buat mengevaluasi efektifitas pesan. Tanggapan akhirnya memberikan kesempatan bagi pengirim buat mengambil tindakan korektif untuk memperjelas pesan disalahpahami. "Umpan kembali memainkan kiprah penting menggunakan menampakan hambatan komunikasi yang signifikan: disparitas latar belakang, penafsiran istilah-kata yg berbeda, dan berbeda reaksi emosional" (Bovee & Thill, 1992). 

Proses komunikasi merupakan pedoman yg sempurna buat mencapai komunikasi yang efektif. Ketika diikuti dengan baik, proses biasanya dapat menjamin bahwa pesan pengirim akan dimengerti oleh penerima. Meskipun proses komunikasi tampaknya sederhana, pada dasarnya tidak. Hambatan eksklusif menampilkan diri selama proses berlangsung. Mereka kendala adalah faktor yang memiliki impak negatif dalam proses komunikasi. Beberapa hambatan generik termasuk penggunaan media yang tidak tepat (saluran), tata bahasa keliru, kata inflamasi, istilah-kata yang bertentangan menggunakan bahasa tubuh, dan slogan teknis. Kebisingan pula lain penghalang umum. Kebisingan bisa terjadi pada setiap termin proses. Kebisingan pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang mendistorsi pesan menggunakan mengganggu proses komunikasi. Kebisingan dapat mengambil poly bentuk, termasuk sebuah radio diputar pada latar belakang, orang lain mencoba buat memasukkan dialog Anda, dan setiap gangguan lainnya yang mencegah penerima berdasarkan membayar perhatian.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya memilih kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya mengganti mental pemimpin Indonesia berdasarkan norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan contoh pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok menggunakan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas warga pada pendidikan menjadi akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, serta penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan serta budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yg sudah maju, sebagai akibatnya dalam praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yg mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu serta pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg berdasarkan pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi interaksi komplementer menurut (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (tiga) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis pada praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yg nir sesuai menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara pengajar serta murid, siswa dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita mengenai pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yg sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para anak didik. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, namun guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yg diterima, dihafal, diulangi menggunakan patuh oleh para anak didik. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-manusia yg jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh pengaruh kurang menguntungkan masyarakat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara serta stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu adalah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan menggunakan tuntutan dan kebutuhan warga lokal yang majemuk, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi serta modernisasi pendidikan dengan penekanan dalam pemberian materi pengajaran yang lebih poly bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan harapan irit serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di pada utopi, dan kurang berpijak dalam realitas bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-wangsit utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yg bernafaskan kepribumian yg justru berfaedah bagi rakyat serta sesuai menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yang belum memenuhi harapan rakyat tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia menjadi bahan refleksi buat memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk ketika ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma usang, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yang kemudian. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi menurut pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yg populis yg banyak membuka kesempatan untuk semua anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan output dan layu sebelum berkembang.

Dalam bepergian pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (dua) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yg menjadi prioritas primer, pada samping asal-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul pada bidang asal daya alam, namun lemah dalam asal kabar iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, dan asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, ada juga kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yang bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang lalu sebagai 9 tahun. Krisis yang dirasakan menjadi dampak paradigma tadi merupakan terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari taraf keterampilan energi kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang asa buat menaikkan mutu serta standar pendidikan nasional, maka muncullah kerangka berpikir keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta banyak sekali peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-kebiasaan EBTANAS, serta banyak sekali tes baku. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, kerangka berpikir keseragaman pendidikan sudah menghasilkan percepatan pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, kerangka berpikir yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif serta kepandaian kritis anak didik dan rakyat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka selesainya kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yg terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yg semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan tenaga kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tersebut sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih pada kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya banyak sekali jenis program pendidikan dan training yang lebih berorientasi dalam aspek supply, menyebabkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara global pendidikan serta global kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan serta dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg tidak berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap menjadi state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi dalam aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yg sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hayati manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan buat menciptakan kehidupan beserta. Indonesia yg tengah berkembang adalah pencerminan menurut kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa dalam pandangan baru-ilham politiknya. Sekolah merupakan wahana penyuapan anak didik menggunakan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dianggap paling berguna sang para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan menjadi alat penguasa serta sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya bisa memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi supaya tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) sakralisasi ideologi nasional sebagai akibatnya terjadi penjinakan terhadap critical serta creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, bisa diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yg dialami sang pendidikan Indonesia ketika ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yg melanda semua segi kehidupan, beliau akan menampakkan wujud semakin hebat serta beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata global. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri berdasarkan krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan seluruh anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tadi niscaya akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa beserta pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban insan ke arah yang lebih baik, serta bisa berkiprah pada percaturan dunia.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi dalam empat indikator yang dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir usang, pula berorientasi dalam nilai-nilai orisinal yg bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber berdasarkan landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu dalam sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia serta masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting pada memilih tujuan pendidikan merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yg mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan menggunakan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat menciptakan wawasan pendidikan yg utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat serta prestise insan dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat pada bidang pendidikan berkaitan menggunakan kajian-kajian: (1) eksistensi dan kedudukan insan menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (dua) masyarakat serta kebudayaannya, (3) keterbatasan insan menjadi makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah nir mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hayati. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu merupakan pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan rakyat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yg membentuk pengetahuannya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan krusial pada proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan merupakan membina eksklusif-langsung yang bebas merumuskan pendapat serta menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang sebagai suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi perkara-masalah yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut misalnya bukti diri bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata warga berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal menurut budaya lokal yg berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, serta kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya meliputi seluruh jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk galat satu pendidikan luar sekolah adalah lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses pengenalan akan dimulai berdasarkan keluarga, pada mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.dua/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan perilaku yang bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola hubungan orang tua dengan anak dalam famili, komposisi keanggotaan pada famili, keberadaan orang tua, serta disparitas kelas sosial famili berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi sang berbagai grup sosial pada masyarakat, misalnya kelompok keagamaan, organisasi pemuda, serta organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yang datangnya bukan menurut orang dewasa, namun menurut anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yg mempunyai impak bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai forum sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yg jelas dan nir tetap. Namun kelompok sebaya dapat membangun solidaritas yang sangat bertenaga pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya bisa memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan buat lebih independen, menumbuhkan perilaku kolaborasi, serta membuka horizon anak sebagai lebih luas.

Di sisi lain, yg nir kalah pentingnya, adalah efek pendidikan terhadap rakyat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak buat hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan fokus pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub fokus tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, wajib didukung sang sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga dia bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi berdasarkan prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional pada warga , sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan pertarungan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki sang seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh pada memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi rakyat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya nir selalu terbaik serta juga tidak terburuk bagi masyarakat, tetapi gagasannya wajib siap memenuhi kebutuhan warga . Ketika gagasan tadi gagal menampakan keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap manusia selalu sebagai anggota rakyat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai interaksi timbal kembali, sebab kebudayaan dapat dikembangkan serta dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal juga formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, serta aplikasi pendidikan itu ikut dipengaruhi sang kebudayaan warga pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, serta teknologi yang dipelajari serta dimiliki sang seluruh anggota masyarakat eksklusif. Kebudayaan pada arti luas dapat berwujud (1) inspirasi, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (tiga) benda hasil karya insan. Kebudayaan baik pada wujud ide, prilaku, dan teknologi tadi bisa dibentuk, dilestarikan, serta dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, tidak sama menurut warga ke rakyat. Ada tiga cara umum yg dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi pada keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi dalam lembaga-forum pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku siswa. Masyarakat memegang peranan pada mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat jua berusaha melakukan perubahan-perubahan yang diadaptasi menggunakan syarat baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, norma-norma baru yg sinkron dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laris, nilai-nilai, dan norma-kebiasaan tersebut adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim digunakan sebagai indera transmisi serta transformasi kebudayaan adalah forum pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki peranan yang sangat krusial, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi pula mentransformasikannya agar sinkron menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang krusial dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya mengenai proses perkembangan serta proses belajar. Terdapat 3 pandangan tentang hakikat insan, yaitu taktik disposisional yg memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang insan sebagai makhluk pasif yg bergantung pada lingkungan, strategi fenomenologis memandang insan menjadi makhluk aktif yg bisa bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan mengenai pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan keliru satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu mempunyai talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik nir mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan banyak sekali aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan menggunakan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, perbedaan aspirasi serta impian, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya menggunakan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan pada situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan juga lantaran perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal menjadi dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran efek lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, serta media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah serta Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yg sangat erat. Iptek sebagai bagian primer isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi sang pendidikan, yakni dengan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan sang cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek dalam umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yg pesat; demikian juga menggunakan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang menelaah pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya keterangan realitas yg cepat serta tepat, serta dalam gilirannya, diterjemahkan menjadi program, indera, dan/atau mekanisme kerja yang akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yg makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh lantaran kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu wajib segera diadopsi ke pada penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan sang penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi dalam Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yang sebagai dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan juga aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu bisa dididik serta mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya serta sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik menurut kesamaan umum pendidikan di dunia maupun yg bersumber menurut pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan pada Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian pada belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani adalah inti berdasarkan asas pertama menurut tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada lepas tiga Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak buat mengatur dirinya menggunakan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yg hendak dicapai sang Taman Siswa adalah kehidupan yg tertib serta tenang. Kehidupan tertib dan hening hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengubah sistem pendidikan cara usang yg menggunakan perintah, paksaan, serta hukuman menggunakan sistem spesial Taman Siswa, yg berdasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, pada mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu menjadi pemimpin yang berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mensugesti dengan memberi kesempatan pada siswa untuk berjalan sendiri, serta nir terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri nir dapat menghindarkan diri berdasarkan aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang digunakan pada sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan nir melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, menjadi bagian tidak terpisahkan menurut Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak berdasarkan wawasan tentang anak yg sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yg dapat mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diharapkan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak juga pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu buat merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga slogan tadi sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas krusial pada pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) adalah sudut pandang menurut sisi lain terhadap pendidikan seumur hayati (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut inspirasi usang, tetapi secara universal definisi yang bisa diterima merupakan sulit. Oleh karenanya, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yg (1) meliputi semua hidup setiap individu, (dua) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, serta penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat meningkatkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan membuatkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) mempertinggi kemampuan dan motivasi buat belajar berdikari, (lima) mengakui kontribusi dari seluruh dampak pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua kata ini nir dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan kata “pendidikan” menekankan dalam usaha sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yg membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hayati, proses belajar mengajar pada sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yakni membelajarkan siswa dengan efisien serta efektif; dan meningkatkan kemauan serta kemampuan belajar berdikari menjadi basis menurut belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan 2 dimensi, yaitu dimensi vertikal serta horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah mencakup nir saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi siswa untuk dapat bersaing pada era dunia, maka dimensi tadi hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hayati (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, duduk perkara-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yg memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik menggunakan banyak sekali asal belajar yang terdapat pada sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yg memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang getol belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hayati seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yg sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul dari pada diri sendiri sebagai akibatnya cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan pengajar pada peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, pengajar diharapkan menyediakan dan mengatur aneka macam asal belajar sedemikian rupa sebagai akibatnya memudahkan siswa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa siswa buat memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang bisa menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut bisa terealisasi bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan datang, bisa diajukan gagasan bahwa buat mencapai warga yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar dalam pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat tetap survive pada kehidupan dunia dan buat mempertahankan dan menyebarkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi spesial masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan pada kerangka buat tetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang terdapat dan diakui oleh sebagian akbar penduduk global dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi serta trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat dalam anak. Pendidikan ini akan berbagi kemampuan individu kreatif berdikari, dan menyebarkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan rakyat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju warga industri. Ketiga, konsep eksperimentasi pada pendidikan. Konsep ini akan membuatkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi dari pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, duduk perkara solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut pada prinsip seleksi asimilasi menggunakan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tadi, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan membuat buatan berupa konvergensi nilai asing serta nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yg bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian juga konsep progresif mengenai fungsi pendidikan menjadi agen pembaharuan sosial seharusnya diadaptasi dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan menggunakan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, warga , dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka serta media massa.

Untuk mengantisipasi nir terjadinya perseteruan global antarbudaya, maka diharapkan kerangka berpikir pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai menggunakan empiris-empiris dan tuntutan internasional sekaligus dunia. Pendidikan antar budaya bisa berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yg relatif penting diajarkan pada sekolah serta pada perguruan tinggi. Di samping itu, acara pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga adalah sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui fakta, ulasan, feature, pandangan mata, serta sebagainya. Demikian juga, kitab -buku khususnya yg memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup norma adat, norma-norma, dan prilaku komunikasi mereka sangat krusial dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-insan antarbudaya tingkat nasional, kerangka berpikir pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-forum resmi: lembaga pendidikan, tempat kerja pemerintahan, kantor swasta. Juga di lembaga-lembaga tidak resmi yg melibatkan lebih menurut satu suku bangsa, bisnis yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu adalah tanda-tanda etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, hidangan kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan lembaga-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata pada forum-lembaga pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan swasta, dengan mendapat siswa atau mahasiswa dan pegawai yg cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, hubungan antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, pengajar, serta dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode eksklusif. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yg tidak sinkron suku tadi memiliki kecocokan dalam segi-segi penting, contohnya dalam kepercayaan . Keenam, pembangunan daerah yg merata sang pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan serta training dengan kebutuhan warga banyak seraya menaikkan mutunya, (2) menaikkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, serta evaluasi pendidikan, (3) mempertinggi investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-acara (1) menyebarkan serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan pengajar serta energi kependidikan yang bermutu, (tiga) menciptakan SDM pendidikan yang profesional menggunakan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi aplikasi penyaluran bantuan, serta (5) menaikkan kesejahteraan guru serta energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja pengajar serta tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diperlukan pula memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi swatantra yg luas, (2) menyebarkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg ada di Indonesia, (tiga) pembatasan program-acara pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan serta training pada wilayah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur menaruh otonomi seluas-luasnya pada forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka kini ini. Untuk menaikkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan serta implementasi acara training, media massa, dan media elektro, (dua) menjembatani global pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-tenaga kerja yg sesuai menggunakan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui acara-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi forum-lembaga pelatihan pada daerah menggunakan pelibatan pemimpin-pemimpin rakyat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) mempertinggi kuantitas serta kualitas lembaga-lembaga pendidkan pada daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yg berkualitas, (tiga) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik mempunyai interaksi yg sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi bisa mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan dalam mendidik insan Indonesia menjadi manusia politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya menjadi masyarakat negara yg bertanggung jawab, (dua) rakyat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, kerangka berpikir ini bisa diimplementasikan melalui program-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan menurut dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga program-acara pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka dibutuhkan kerangka berpikir pemberdayaan warga lokal, universitas-universitas di wilayah, forum pemerintah pada daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan warga pada pada penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (warga ) yang memiliki pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu warga supaya penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada daerah memiliki interaksi konsultatif menggunakan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah kabupaten. Hubungan tadi akan menciptakan peluang bagi universitas pada daerah buat menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik pada kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi dunia. Paradigma pengembangan kedua dimensi tadi sangat penting pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti pula membuatkan dimensi globalnya lantaran unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.