Pengembanagn Ilmu-ilmu Keislaman
Epistemologi Ushul Fiqh
Agama (al-dien) adalah ide murni, atau system ide dan kepercayaan yang bersifat Ilahiyah, berkenaan dengan ketaatan dalam Tuhan, dan disampaikan pada nabi-nabi. Dalam Islam, ilham murni itu berbentuk wahyu yg termuat pada al-Qur’an serta al-Sunnah. Ide ini nir mampu diletakkan dalam konteks humanisme. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi) yg seluruhnya merupakan produk insan dan sangat berkaitan menggunakan masyarakat. Konsep ini tidak mampu dipisahkan menurut empiris tertentu serta sejarah warga . Lantaran itu, Islamologi inilah gagasan inspirasi Ilahiah yang bisa diletakkan pada konteks humanisme. Dengan istilah lain, kita wajib membedakan antara Agama dan pemikiran Agama. Salah satu pemikiran Agama merupakan Ushul-Fiqh. Ilmu metodologi ini mempunyai susunan yang dalam umumnya terjadi kontroversi antara proposisi-proposisi dengan akal serta bahasa. Meskipun begitu, secara ontologis ilmu ini dapat dikelompokkan menjadi empat point yaitu (1) nilai-nilai anggaran hokum (dua) dasar-dasar anggaran hokum (al-adillah al-syar’iah) (tiga) cara atau metoda menganalogikan dalil menjadi hokum, dan (4) ketentuan ijtihad, taqlid, dialektika kontradiktif, dan tarjih.
Ushul-fiqh adalah khazanah kekayaan ilmu yg secara eksklusif atau tidak eksklusif, turut memperkaya contoh keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah andai saja ilmu ini tidak terdapat, karena ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang adalah jawaban bagi kehidupan kita. Ilmu ini bisa menjawab beberapa masalah yang diajukan, maka agar kita bisa memanfaatkan, kita harus mengetahui jawaban apa yg perlu dibawakan oleh ilmu ini, selesainya kita mengajukan pertanyaan. Di sini kita memerlukan jawaban yg sahih, dan bukan debat kusir atau jawaban plintiran (safsathah). Lalu timbul pertanyaan, bagaimana kita mencari jawaban yang benar? Masalah ini, sang kajian filsafat disebut epistemology, dan landasan epistemo-logi ilmu disebut metoda ilmiah. Dengan istilah lain, metoda ilmiah merupakan cara yg dilakukan itu dalam menyusun pengetahuan yg oleh filsafat ilmu dianggap teori kebenaran.
Ushul-fiqh memiliki karakteristik khusus yang tersusun tentang apa (ontology), bagaimana (epistemology) serta buat apa (aksiologi). Ketika landasan ini saling berkaitan, maka ontology ushul-fiqh terkait dengan epistemologinya, epistemology ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, serta begitulah seterusnya. Jadi jikalau kita ingin mengungkapkan epistemilogi ushul-fiqh, maka kita wajib mengaitkannya menggunakan ontology, serta aksiologi. Tetapi dalam tulisan ini, kita hanya membahas mengenai epistemology, serta itu pun memakai kerangka berfikir penelitian ilmu social.
1. Pendekatan Humanistik
Permasalahan yang tak jarang ada merupakan bahwa kerja ushul-fiqh itu objektif atau subjektif. Demikian lantaran poly sekali materi fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh, beda pendapat antara satu tokoh menggunakan tokoh yg lain. Cara berfikir ushuliyun selalu memakai pendekatan kwalitatif, maka oleh sebagian ilmuan dipercaya nir objektif. Berbeda dengan kerangka berpikir ilmu yg menggunakan pendekatan kwantitatif, yg serba ilmiah serta terkontrol. Hal ini diakui sang ushuliyun sendiri, dan nir akan menolak.
Memang kerja ushul-fiqh sedikit mengabaikan prinsip objektifitas, apabila kata objektif menjadi anggaran ilmu yg wajib terukur, ada keberulangan, serta perilaku yang dapat diramalkan. Hampir seluruh ushuliyun tidak berfikir misalnya itu, karena ushul-fiqh berhubungan dengan perilaku manusia (af’al mukallafin), maka subjektivitas permanen memiliki kiprah tersendiri. Ushul-fiqh yang selalu menekankan pada pendekatan subjektivitas, umumnya diklaim studi humanistik. Paham ini berpandangan bahwa fiqh yg dikelola oleh ushul-fiqh bukan harga tewas, tetapi wilayah interpretative.
Menurut pandangan pakar-ahli rasional, teratur, atau sistematik, perilaku manusia bersifat kontektual dari makna yg diberikan di lingkungannya. Kalau ilmu pada luar humaniora lebih ditekankan pada ‘kedisiplinan’, humaniora justru kearah interpretasi cara lain . Posisi ilmu humaniora, termasuk ushul-fiqh adalah dalam ‘siapa’ dan menentukan ‘apa yang ditinjau’. Menurut paham ini empiris perbuatan insan termasuk fenomena yang cair serta gampang berubah. Fenomena ini bersifat polisemik yg memerlukan penafsiran. Jadi kerja ushul-fiqh selalu berkecimpung pada ‘koma-koma’ bukan berhenti pada satu titik.
Persoalan objective ilmiah dan subjektivitas tidak ilmiah, memang telah usang ditujukan pada seluruh ilmu agama, termasuk ushul-fiqh. Apalagi ilmu ini menyajikan penafsiran dan hermeunitika. Tentu saja penafsiran semacam ini keberatan jika dikait-kan menggunakan evaluasi objektif dan subjektif. Namun muncullah beberapa tokoh sosio-log yg mengatakan bahwa objektivitas itu hanya berlaku bagi ilmu alam. Dengan kata lain, ilmu agama mempunyai kateristik tersendiri. Lantaran itu subjektivitas interpre-ter yang tak jarang memasukkan resepsi, kepekaan, logika sehat, dan pendapat yg terbuka, mestinya nir harus sama persis dengan “self-understanding”. Itulah maka objektivitas pada ilmu social, ilmu budaya, termasuk ushul-fiqh tidak mampu absolut.
Ketika ushul-fiqh dipercaya menjadi karya pemikiran pada Islam (tsaqafah Islamiah), muncullah dilematis apakah ushul-fiqh itu menjadi ilmu atau sebagai seni berdebat. Begitu pula saat para ilmuan melihat perdebatan pada Islam antara ahli hadits serta pakar rakyu, pada memecahkan konsep syari’ah, mereka bertanya, apakah ushul-fiqh itu Agama atau ilmu kepercayaan . Kalau ushul-fiqh ditinjau menjadi Agama, (bukan ilmu agama) lalu sampai dimana kita memperlakukannya sebagi asal data buat membentuk teori yg dipercaya objective. Kenyataan ini membutuhkan kesadaran baru yg menjadi karakteristik postmodernisme. Yaitu bahwa representasi, suatu penyajian pada perbandingan mazhab contohnya, tentang suatu aliran ushul-fiqh, pada dasarnya nir pernah menyajikan citra sebagaimana adanya. Penyajian atau uraian itu sudah dibungkus pada bungkus eksklusif. Ushul-fiqh menjadi teks nir bisa diuraikan apa adanya namun mengalami ‘penyimpangan ’ tertentu setelah melalui proses penafsiran (syarah).
Ushul-fiqh selalu timbul dalam kerangka berfikir tertentu serta tidak bisa bebas begitu saja. Tetapi dalam penyajiannya selalu timbul nilai subjektivitas pada dalamnya. Karena itu, meskipun mulanya ushul-fiqh itu gagasan al-Syafi’iy untuk menciptakan mazhabnya, namun dalam perkembangannya, mucullah Ushl-fiqh Zaidiyah, Ushul-fiqh Mu’tazilah, Ushul-Fiqh Syi’ah, Ushul-fiqh Hanafiyah, Ushul-fiqh Zhahiri, dan sebagainya. Lalu apa artinya kebenaran ilmiah ? Kebenaran ilmiah bersifat relatif, kondisional, dan tergantung konsensus atau konvensi. Tidak terdapat kebenaran absolut dalam ilmu soasial atau budaya termasuk ushul-fiqh. Lantaran itu, setiap ushuliyyun wajib siap menerima kritik atas kekurang tepatan analisanya. Dalam kaitan ini, Abdulwahhab al-Sya’rani mengungkapkan : Mazhab kami adalah sahih, namun mungkin jua keliru. Mazhab pada luar kami adalah galat, tetapi mungkin juga sahih. Demikian ini tertuang pada buku klasik berjudul Mizan al-Kubra, maka nilai pluralis ini termasuk ciri postmodernism.
Perkembangan selanjutnya, bahwa ahli-pakar perbandingan mazhab dapat menyusun kesadaran ‘subjektivitas’ yang selanjutnya diarahkan dalam penulisan biog-rafi individu (tokoh).
Dalam konteks modernis yang kaku, ushuliyyun berpandangan harus objektif, memiliki otoritas, netral berdasarkan mazhab, serta selalu memasak teks menggunakan objektif. Padahal fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh selalu berubah lantaran perubahan ketika dan tempat, akibatnya makna teks bisa plural serta sanggup berkembang. Jadi pemikiran semacam itu wajib ditata ulang jikalau dia akan mengusut ilmu ushul-fiqh.
Memahami pendapat tokoh memang sangat menarik, sama seperti menariknya mempelajari perbedaan subjective dan objective bagi orang yg beropini dan pendukung. Konflik ini akan terkait juga menggunakan soal ilmiah atau tidak ilmiah, ilmuan atau propagandis, akademis atau idiologis, dan begitulah seterusnya. Padahal uraian yang dinilai seperti itu tergantung bagaimana tokoh itu menguraikan.
Pada saat positivisme menjadi idola setiap ilmuan, seluruh pemikiran yg tidak objective dinilai lemah, termasuk kerangka kerja ushul-fiqh. Namun selesainya ada strukturalisme, serta teori ini sanggup diterapkan dalam ekskavasi fiqih yang ijtihadnya ditata rapih, maka bisa ditemukan objektivitas. Terutama bila strukturalis itu berupaya menemukan kasus penting pada setiap uraian fiqh yg disajikan, seperti kesimpulan: lebih manfaat, lebih maslahat, lebih adil serta semacamnya. Lebih lagi apabila seluruh itu tidak terjebak dalam alam khayal realis, melainkan selalu berpegang dalam bahasa menjadi indera pemikiran.
Disitu jelaslah bahwa ushul-fiqh yang sanggup dilihat bernilai subjective, nir ilmiah, terlalu keagama-agamaan itu sebenarnya nir sahih. Disiplin ilmu ushul-fiqh permanen mengedepankan aspek kebenaran tertentu sejalan menggunakan tujuan, metoda, hubungan antara dalil dan mad-lul, serta analisis yg berwawasan lain menggunakan pendekatan objective. Perbedaan ini tidak berarti bahwa kerja ushul-fiqh itu hanya asal-asalan, melainkan berusaha tahu fenomena liwat subjective yang tidak mungkin terfahami melalui objektivitas.
Mushawwibah dan Mukhaththiah
Di dalam Islam, seluruh teks (al-Qur’an serta al-Hadits) yg berbentuk zhanni (dugaan) maka makna yang timbul menurut teks itu selalu dirumuskan pada konklusi yg bhineka (mukhtalaf fih). Bagi pengikut teori mushawwibah akan mengungkapkan bahwa seluruh kesimpulan yang beda-beda itu, yg benar tidak satu, bahkan sanggup jua semuanya benar. Demikian apabila semua mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yg sejalan menggunakan jalur ushul-fiqh. Sedangkan pengikut mukhath-thiah akan berpendapat bahwa seluruh kesimpilan yg poly itu, yang sahih cuma satu saja, apalagi bila beberapa konklusi tersebut terdapat nilai kontradiktif.
Penilaian semacam itu muncul karena ushul-fiqh atau kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjective dan kerangka berpikir kwalitative. Penalaran semacam ini kurang mempunyai kebenaran dalam taraf eksklusif. Kebenaran ushul-fiqh dianggap mengada-terdapat serta spekulasi yang merancang. Tentu saja asumsi seperti itu nir selalu sahih. Meskipun begitu, pengembangan ushul-fiqh seyogyanya berusaha keras buat meyakinkan orang lain, bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki kadar logika serta kebenaran.
Logika serta kebenaran pada ushul-fiqh tidak berbeda dengan metoda penelitian ilmu social atau ilmu budaya. Logika permanen menjadi wahana buat mencari kebenaran. Meskipun begitu, poly sekali macam-macam logika yg digunakan buat mencapai kebenaran itu. Tetapi nir semuanya relevan bagi pengembangan ushul-fiqh. Macam-macam nalar itu diantaranya : (a) nalar formal. Logika ini berusaha mencari kebenaran dengan mencari rekanan antar muqaddimah shugra serta kubra menggunakan tujuan untuk menggeneralisasikan natijah yg terdapat pada setiap syakal (qiyas manthiqi). Logika ini tidak mampu diterapkan dalam ushul-fiqh. Lantaran ushul-fiqh tidak mengejar qiyas-qiyas manthiqi seperti itu, tetapi transferabilitas. (b) akal matematik. Logika ini pencarian kebenaran dengan mencari relasi proposisi berdasarkan kebenaran materiil seperti 3 kali 3 itu sembilan. Logika ini didukung sang rerata yg niscaya serta terukur. Andalan nalar ini merupakan adanya dalil, anggaran, dan rumus-rumus pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan oleh statistika serta sanggup berlaku bagi penelitian ilmu social, ilmu budaya, termasuk ilmu kepercayaan yg penganut faham posistivistik. (c) Logika reflektif, yaitu cara berfikir menggunakan sangat cepat, buat mengabstraksikan serta klasifikasi. Logika ini berlangsung cepat dan sanggup memanfaatkan daya intuisi. Dalam ilmu tasawwuf, nalar ini dianggap pendekatan dzauqi yang mampu berkembang sampai laduni. (d) nalar kwalitatif, yakni pencarian kebenaran berdasarkan gambaran naratif data di lapangan atau di perpustakaan. Kwalitas kebenarannya didasarkan dalam empiris yg terdapat. (e) logika linguistik, yaitu pencarian kebenaran menurut pemakaian bahasa. Logika ini poly diminati sang penelitian al-Qur’an dan semacam penelitian yang memerlukan penafsiran.
Dari macam-macam logika di atas, ushul-fiqh cenderung memanfaatkan logika kwalitatif serta akal linguistik. Suatu ketika akal reflektif pun dipakai juga, terutama buat membuatkan dalil metodologis seperti istihsan dan mashalih mursalah. Logika kwalitatif poly dipergunakan buat membuatkan dalil sosiologis misalnya ijma’, qaul shahabi, dan lain-lain. Sedangkan akal linguistik dipergunakan buat berbagi dalil normative, yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits.
Dari segi lain, logika kwalitatif umumnya digunakan buat lingkup kebenaran yg terbatas. Artinya, kebenaran yang dicapai bukan sebuah ihwal yang berlaku universal, melainkan hanya dalam taraf local, atau kasus tertentu saja. Karena itu, kebenaran kwalitatif bersifat lebih spesifik serta nir menghendaki adanya regualitas. Oleh karena itu teks atau masalah yang dikelola memakai logika kwalitatif akan membuat kesimpulan yg berbeda-beda. Hal ini bukan berarti kebenaran semacam itu lemah, tetapi tetap memakai dalil berdasarkan realitas. Itulah suatu kenyataan yang oleh Islam disebut rahmatan lil’alamin.
Dulu, penelitian ilmu social serta ilmu budaya diarahkan dalam pemikiran objektif serta matematis. Tetapi sehabis mereka mulai meninggalkan logika tradisi, serta ingin mencari kebenaran baru yg lebih orisinil, mereka mengejar perkembangan yang dianggap postmodernisme. Kalau perkembangan ilmu itu misalnya itu, maka akan berte-mu dengan ushul-fiqh yang kebenarannya didasarkan pada argumentasi, khayalan, serta common sense (logika sehat).
Kebenaran pada ushul-fiqh merupakan nisbi (zhanni) dan relative (mukhtalaf fih), serta menganut hokum probabilitas (ijtihadiah). Titik tolak ushuliyun semacam itu merupakan kebenaran kreatif cerdas, dan tidak menyalahkan orang lain seperti meng-hakimi keliru, bid’ah, jumud, dan sebagainya. Tentu saja pendirian ushuliyun seperti itu tidak disetujui sang agamawan yg taat dalam kebenaran matematis.di antara mereka ada yang mengungkapkan : Allah itu satu. Nabi Muhammad itu satu, serta Al-Qur’an jua satu, maka seharusnya pemikiran Islam pun satu jua (manunggal). Padahal sulit dipungkiri bahwa kebenaran kreatif pun akan bisa mewadahi aspirasi kebenaran yang kecil-kecil, yaitu kebenaran yang jarang teradopsi oleh ilmuan yg selalu berfikir global.
Perlu dipertimbangkan, baik oleh pengikut mushawwibah atau mukhaththiah bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) merupakan unik, dan inilah yang menjadi objek pembahasan ushul-fiqh. Oleh karena itu tuntutan kebenaran serta atau objek-tivitas ushul-fiqh hendaknya dicari bukan misalnya kenyataan alam. Apabila kenyataan alam terdapat hal-hal yg secara fisik teramati, terulang, serta teratur, maka konduite insan nir selamanya berkiprah misalnya itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias ini hanya sanggup diolah menjadi objective jika dilukiskan secara verstehen (mudah terfahami). Apabila fiqh yang diproduksi melalui ushul-fiqh tersebut dapat diterima oleh rakyat, berarti dalam ushul-fiqh tersebut terdapat kejelasan. Kejelasan inilah yang dianggap kebenaran.
Jadi jikalau kebenaran ilmuan objective lebih menyukai penerangan logis, maka ushul-fiqh menyajikan penerangan yg berisi penafsiran. Kalau kebenaran objective ingin melihat pembakuan pengamatan yang teratur, maka penglolaan ushul-fiqh bersifat humanistic yg kreatif. Dengan istilah lain kebenaran ushul-fiqh lebih menitik beratkan pada aspek humanistic humanisme. Itulah sebabnya, ushul fiqh dievaluasi unik yg memandang bahwa konduite manusia satu sama lain nir selalu sama. Dengan demikian, orang yg beropini bahwa Ushul-fiqh al-Syafi’iy itu mirip dengan Manthiq Plato atau Aristotales, itu nir sahih. Karena kebenaran Manthiq memiliki hubungan kausalitas yang jelas dan harus relasional yang memungkinkan kontrol proposisi. Sedangkan kebenaran Ushul-Fiqh ditekankan pada penafsiran logic yg kadang-kadang bercampur menggunakan bisikan hati, imajinasi, dan kreativitas. Oleh karena itu, melalui penafsiran semacam ini, Ushul-Fqh lebih bisa memasuki sisi-sisi perso-alan aturan yang berkaitan menggunakan perilaku umat (af’al al-mukallafin).
Lebih menurut itu, kebenaran ushul-fiqh bukan hal yg dibuat terdapat, tetapi harus dicari dalam konteks. Ushuliyun hanya bertugas menghimpun, mengorganisasi, mengklasifikasi, dan menglola dalil-dalil fiqhiyah buat keperluan fiqih.
Ushul-fiqh aliran Rakyu serta aliran Mutakallimin
Penerapan ushul-fiqh tak jarang direpotkan ketika ushuliyun akan menciptakan fiqh, terutama saat mencari bentuk aliran, apakah ushul-fiqh aliran rakyu atau aliran mutakallimin. Dua aliran ini, secara etimologis memang bertolak belakang. Keduanya memiliki implikasi metodologis yang tidak sinkron. Padahal keduanya sama-sama dimanfaatkan oleh imam-imam mujtahid.
Rakyu adalah genre dalam ushul-fiqh yg teori-teorinya dibangun atau disusun sesudah fiqh terbentuk. Artinya, mujtahid ini mengamati perilaku orang-orang mukallaf yang terdapat dalam masyarakat, lalu beliau memproduk fiqh secara induktif. Setelah itu disusunlah ushul-fiqh buat dasar-dasar pengembangannya, pada samping kaidah fiqhnya pula. Karena itu, uruf (tradisi), mashalih al-mursalah, dan istihsan di-ambil sebagai dasar aturan fiqh. Ushul-fiqh aliran ini digunakan oleh Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mu’tazilah. Dalil-dalil ini, umumnya dirumuskan menurut istiqra (penelitian) buat mencari bentuk fiqh.
Sebaliknya, bila mujtahid itu menyusun ushul-fiqh dulu, kemudian memproduki fiqh berdasarkan ushul-fiqh tadi, berati ushul fiqh ini dianggap aliran mutakallimin. Aliran ini berfikir deduktif, dengan menyesuaikan perilaku umat (af’al al-mukallafin), pada teori-teori ushul-fiqh tadi. Aliran ini dipakai diantaranya oleh Mazhab Syafi’iy, Mazhab Hanbali, Mazhab Zhahiri, serta Mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah. Aliran ini nir mau menggunakan ‘uruf, mashalih al-mursalah, serta istihsan, karena semua dalil ini mampu bertentangan menggunakan qiyas ‘am. Aliran ini, tambahan dalil pokoknya adalah istish-hab, yaitu dalil yang memandang problem hokum, selama nir ada dalil yang mengganti maka tetap berlaku sampai sekarang serta masa depan.
Ushul fiqh contoh ini agak sempit serta seperti membatasi diri dalam syarat lapangan tertentu, terutama jika kita melihat perkembangan kehidupan yang cepat berubah. Akibatnya, teori-teori ushul-fiqh hanya terpaku pada pemahaman dasar (al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas) dan beberapa dalil yang berorientasi ke belakang misalnya istishhab, dan syara’ man qablana. Dengan istilah lain, ada kelemahan bagi aliran ini, yaitu kurang menghargai kenyataan serta empiris. Berbeda menggunakan genre rakyu yg memakai dalil ‘uruf dan istihsan, bisa masuk ke dalam rangka (a) Ushuliyun sanggup memasak semua perseteruan yg timbul di tengah masyara-kat, menggunakan teori-teori ushul-fiqhnya. (b) Ushuliyun mampu bekerjasama langsung secara akrab menggunakan warga yang menggunakan mazhab tertentu (c) Ushuliyun bisa menguraikan latar belakang secara penuh, sehingga uraian fiqhnya bisa mengangkat dalil-dalil kulli dengan meninggalkan dalil jus’iy yang sama-sama zhanni.
2. Pendekatan Emik dan Etik
Ada dua cara pandang (pendekatan) yang saling bertolak belakang. Dua pendekatan ini diklaim pendekatan emik (fonemik) serta pendekatan etik (fonetik). Awalnya, pendekatan ini timbul menurut kata linguistik, yg dalam ilmu budaya dipopulerkan oleh Kenneth Pike. Dalam Kitab Klasik, teori ini pernah dikembangan oleh Ibn Jinni serta al-Jurjani. Menurut Ja’far Dikki, teori Ibn Jinni dan teori Al-Jurjani saling melengkapi buat menciptakan teori linguistik yang baru. Penggabungan 2 teori tadi adalah (a) Penggabungan antara studi diakronik Al-Jurjani serta singkronik Ibn Jinni adalah hal yang signifikan (b) Teori Ibn Jinni yang mengatakan bahwa bahasa tidak terbentuk seketika, namun berproses, dan teori Al-Jurjani tentang hubungan antara bahasa serta pertumbuhan pemikiran, adalah hal yang saling terkait. Dengan demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh serta berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia. Teori 2 tokoh tersebut berbagi genre linguistik Abu Ali al-Farisi, yg kateristik biasanya adalah (a) Bahasa dalam dasarnya terbetuk secara system. (b) Bahasa adalah kenyataan social dan strukturnya terkait dengan fungsi transmisi yg inheren pada bahasa tadi. (c) Adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran. Dari segi lain, ahli-pakar linguistik menilik kamus Maqayis al-Lughat karya Ibn Faris. Tokoh ini meng-embangakan teori gurunya, yaitu Sa’lab yang membedakan antara kata benda sebagai subjek (ism dzat) dan kata benda sebagai sifat (ism shifat). Tampaknya, menurut teori semacam inilah muncul gagasan mengenai emik serta etik buat berbagi ilmu sosial dan ilmu budaya, dan sekarang dicoba buat menyebarkan ushul-fiqh.
Secara epistemologis, pendekatan etik dan emik memiliki implikasi yang berbe-da. Apabila ushuliyun berusaha mengembangkan ushul-fiqh dari mazhab universal menggunakan menggunakan cara-cara yang ditentukan sebelumnya, maka cara ini, sang teori linguistik dianggap etik. Sebaliknya, jika pengembangan ushul-fiqh itu berdasar-kan mazhab regional (mazhab Syafi’iy saja misalnya) maka berarti ushuliyun sudah menyebarkan ushul-fiqh dengan pendekatan emik. Bagi ushuliyun bisa pula menggunakan keliru satu pendekatan, serta atau menggunakan keduanya. Yang krusial mereka memperhatikan konsistensi pemanfaatan keduanya, supaya nir terjadi campur aduk rata. Kedua pendekatan ini memiliki kelemahan masing-masing serta sekaligus mempunyai kekuatan tertentu.
Menurut Marvin Harris, istilah etik dan emik akan berhubungan dengan perkara objektif dan subjektif. Etik bersifat sangat tertutup dalam hal makna, seperti prinsip objektif. Namun emik nir sanggup disejajarkan menggunakan subjektif saja tetapi sanggup juga disejajarkan menggunakan objektif serta subjektif sekali gus. Kalau teori ini diterapkan pada ushul-fiqh universal serta ushul-fiqh regional, maka bisa herbi objektif dan subjektif dalam penerapan. Artinya, apabila pada ushul-fiqh tadi ushuliyun mengo-lah dalil normative (tsk al-Qur’an serta teks al-Hadits), maka bisa menemukan objektif dan subjektif. Namun bila mereka memasak dalil metodologis misalnya istihsan maka beliau akan terjadi subjektif. Jadi perbedaan antara objektif serta subjektif dan penyebutan ushul-fiqh regional dan universal, tergantung penggunaannya.
Jelasnya, pendekatan etik serta emik merupakan landasan norma pengembangan penelitian yg berusaha tahu tingkah laris manusia. Tingkah laku tersebut penuh menggunakan makna, lantaran di dalamnya masih ada banyak sekali symbol aksi. Begitu pula ushul-fiqh yang mengambil istilah mazhab regional serta mazhab universal, meru-pakan landasan pengembangan ushul-fiqh itu sendiri, yang berusaha tahu tingkah laris insan (af’al al-mukallafin). Tingkah laku ini penuh menggunakan makna (penilaian), karena pada dalamnya masih ada aneka macam aksi (akidah, niat, ucapan, gerakan dan perbuatan).
Pendekatan mazhab regional serta mazhab universal pada dasarnya merefer dalam sudut pengembangan ushul fiqh itu sendiri. Apabila ushuliyun itu mendasarkan pengem-bangannya dalam mazhabnya sendiri, berarti beliau menyebarkan ushul-fiqh regional. Dan apabila beliau menggunakan sudut pandang beberapa mazhab, berarti beliau menggunakan ushul-fiqh seksama apabila dia sanggup menangkap persamaan dan perbedaan pendapat beberapa tokohnya, selanjutnya mengkategorikan serta dicari signifikasi teori secara penuh. Berarti pengambilan mazhab regional lebih memperhatikan teori yang lebih aspiratif. Sebaliknya, pemaparan ushul-fiqh universal lebih tergantung pada kejelian ushuliyun itu sendiri, dalam menampilkan suatu teori secara ilmiah.
Jika ushuliyun itu pengembangannya memilih ushul-fiqh mazhab universal, dalam akhirnya dia harus melakukan generalisasi. Pada ketika itu dia harus melakukan beberapa hal. (a) beliau harus mengelompokkan secara sistematis semua pendapat atau teori ushul-fiqh yg ada, ke pada system tunggal. (b) dia menyediakan ukuran atau kriteria buat klasifikasi setiap dalil yang menunjang teori-teori ushul-fiqhnya. (c) dia mengorganisasikan teori yg sudah diklasifikasikan ke dalam type-type eksklusif. (d) menganalisa, menemukan, serta menguraikan setiap teori (qaul) dan argumentasinya ke dalam kerangka system yg sudah dibuat, sebelum beliau mempelajari ushul-fiqh.
Sebaliknya, pendekatan ushul-fiqh mazhab regional termasuk ushul-fiqh mazhabnya sendiri, merupakan esensi yg shahih buat kenyataan fiqh pada suatu waktu tertentu. Pendekatan ini relevan menjadi usaha buat mengungkap pola-pola fiqh menurut persepsi mazhabnya. Pendekatan ini menegaskan bahwa konsepnya ada menurut ushuliyun sendiri. Berbeda menggunakan pengembangan ushul-fiqh universal, ushuliyun berdiri di luar mazhabnya sendiri. Pendekatan pertama (regional) akan terkait dengan holistik teori mazhabnya, dan akan menekankan pada kenisbian. Pendekatan ini lebih natural dalam mereprosentasikan teori ushul-fiqh dan sejalan menggunakan konsep ushul-fiqh secara operasional. Sedangkan ushul-fiqh universal ditekankan pada perilaku mutlak. Dari satu segi, pendekatan ini kurang natural, dan sejajar dengan teori ushul-fiqh secara kognitif.
Jika kedua pendekatan itu diperbandingkan maka akan tergambar dalam karakte-ristik sebagai berikut.
Pendekatan ushul-fiqh regional adalah (a) Ushuliyun akan memeriksa perilaku masyarakat (af’al al-mukallafin) yang mengikuti mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun hanya menilik ushul-fiqh dari mazhabnya sendiri, yaitu ushul-fiqh al-Syafi’iy contohnya, yang ditulis sang beberapa tokoh mazhab itu. (c) Struktur ushul-fiqh diten-tukan sang kondisi serta situasi jama’ah yg mengamalkan fiqhnya. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat nisbi dan terbatas.
Sedangkan ushul-fiqh universal merupakan (a) Ushuliyun akan menilik konduite insan (af’al al-mukallafin) berdasarkan luar mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun akan menyelidiki ushul-fiqh dari banyak sekali mazhab serta membandingkannya satu sama lain. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh ushuliyun itu sendiri menggunakan menciptakan konseptual. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat absolut, terdapat generalisasi serta berlaku universal.
Dari karakteristik seperti itu, tampak bahwa ushuliyun regional akan membuahkan dirinya sebagai bagian utuh menurut mazhab itu. Ushuliyun ini empati serta bertindak menjadi partisipan penuh. Kehadiran ushuliyun seperti ini memilih ke-berhasilan. Tentu saja subjektivitas pun tetap sulit dihindarkan. Apalagi ushuliyun tersebut pendukung mazhabnya. Jika beliau nir sanggup mengambil jeda, bisa terjadi bias. Sedangkan pengembang ushul-fiqh universal, otoritas ushuliyun sangat memilih. Kemampuan mereka menciptakan konsep yang akan diterapkan, amat menentukan keberhasilan.
3. Pendekatan Positivistis serta Naturalistis
Dulu, gagasan positivistic itu dicetuskan sang Ibn Taymia. Tetapi lantaran dia wafat pada tahanan serta buku-bukunya baru tersebar setelah lima ratus tahun, maka gagasan semacam itu mandeg, kata Nurcholis Madjid. Setelah muncul falsafat Agust Comte (1798-1875) dan goresan pena Emil Durkheim (1858-1917) banyak ilmuan yang mengambil falsafat ini sebagai pendekatan penelitian. Filsafat ini berfikir statistik serta umumnya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan faham ini tak jarang manganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu primitif serta kurang rasional. Begitu pula Ibn Taymia mengembangkan pemikiran tekstualis, realistis, serta nir mendapat ta’wil. Ia pula tidak menerima berfikir teologis, terutama pemikiran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dalam kitabnya, Al-Radd ‘alal Manthiqiyin, Ibn Taymia menolak berfikir falsafati yg menciptakan konsep-konsep yg tak berbentuk serta subjektif. Dalam kitab itu, goresan pena yang berfikir manthiqi misalnya konsep definisi, silogisme serta lain-lain ditolak, yg kadang-kadang dikuatkan menggunakan menampilkan dalil al-Qur’an. Terhadap pemikiran tasawwuf falsafi, misalnya pemikiran al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, serta Ibn Arabi, seluruh itu berfikir subjektif dan khayalis, bahkan semua itu dievaluasi ‘kafir’. Dengan kata lain positifistik lebih berusaha ke arah mencari berita atau sebab-karena terjadinya fenomena secara objektif, terlepas dari pandangan eksklusif yang bersifat subjektif.
Dalam pandangan Durkheim, dasar pendekatan positivistic merupakan logika mate-matis yg penuh teori akal deduktif. Kevalidan karya positivisme dengan cara mengandalkan fakta empiri. Generalisasi diperoleh menurut rerata pada lapangan. Kalau konsep semacam ini diterapkan pada pemikiran Ibn Taymia, maka terdapat 2 dasar, yaitu (a) teks al-Qur’an serta teks al-Hadits dinilai sebagai pusat, dan pemahaman yang diluar teks adalah sebagai global yg gelap. Maka buat mengetahui yg gelap itu, ilmuan wajib masuk dalam tingkat hakikat, yaitu makna empirik (tektualis), bukan ta’-wil atau kinayah serta sebagianya. (b) teks nir dipandang sebagai pusat, namun sebagi satu titik berdasarkan gugusan titik yang diklaim fenomena. Karena kedudukan misalnya ini, maka teks tidak wajib mengetahui hukum (yang gelap) yg berlaku dalam dunia lebih kurang, namun yg gelap-gelap itulah yang lebih menserasikan diri dengan teks.
Biasanya, positivistic lebih menekankan pembahasan singkat dan menolak pem-bahasan yg penuh pelukisan cerita, atau ta’wil, pada kata Ibn Taymia. Karena itu, bila ushuliyun akan memakai positivistic, otomatis harus menciptakan teori-teori atau konsep dasar, kemudian diadaptasi menggunakan kondisi mazhab yg meng-amalkan ushul-fiqh itu. Ushuliyun lebih poly berfikir induktif supaya membuat sebuah verifikatif sebuah bentuk ushul-fiqh yang ingin dibangun.
Ciri-ciri positivistic dapat dilihat menurut 3 pilar keilmuan, yaitu (a) aspek ontolo-gis, positivistic menghendaki bahwa konduite insan (af’al al-mukallafin) bisa di-pelajari secara independen, bisa dieliminasikan dari subjek lain, serta dapat dikontrol. (b) secara epistemologis, yaitu upaya buat mencari generalisasi terhadap peng-amalan fiqh dalam rakyat. (c) secara aksiologis, menghendaki agar pengem-bangan ushul-fiqh bebas nilai. Artinya, ushuliyun pada menyusun ushul-fiqhnya mengejar objektivitas agar bisa ditampilkan prediksi meyakinkan yg berlaku bebas ketika dan tempat.
Positivistik berbeda dengan naturalistic yang cenderung mengungkapkan peng-amalan fiqh pada suatu loka. Paham ini ditentukan oleh teknik berfikir induktif un-tuk mermperoleh ushul-fiqh yang diambil berdasarkan pengamalan fiqh di daerah itu. Demikian ini difahami melalui analisis yg netral atau lingkungan alamiah pada mazhabnya. Dengan istilah lain, ushul-fiqh yang dipelajari menggunakan pendekatan naturalistrik adalah ushul-fiqh yang berangkat dari realita komunitas mazhab fiqh yang diamalkan oleh rakyat itu.
Posisi ushuliyun yg menyelidiki fiqh menggunakan pendekatan ini misalnya orang asing yang belum memahami gambaran ushul-fiqh yang sanggup dirumuskan berdasarkan daerah itu. Oleh karenanya, di samping beliau menyelidiki dan mengamati warga , beliau jua mengadakan pemetaan lokasi serta merekam apa yg terjadi pada mazhab itu. Ada sebagian ilmuan yang berkata bahwa ushuliyun yg menyelidiki norma-norma ushul-fiqh di suatu daerah dengan pendekatan ini sama misalnya mengguanakan metoda fenomenologi.
Selain menggunakan instrumen perilaku umat (af’al al-mukallafin), pendekatan naturalistic juga memiliki cirri, diantaranya (a) empiris umat dapat dipisahkan dari konteksnya, serta tidak selamanya mereka berada pada konteks itu. (b) penggunaan pengetahuan yang tersembunyi seperti bisikan hati, itu mampu dibenarkan, lantaran hubungan insan pun sering demikian. (c) rancangan ushul-fiqh yang dinegosiasikan merupakan krusial karena konstruksi mazhab itu akan dikonstruksi sang ushuliyun yang sedang mencari ushul-fiqh itu. (d) rumusan ushul-fiqh bersifat ideografis atau berlaku spesifik bukan bersifat nomotetis atau mencari generalisasi. Karena interpretasi yg tidak selaras akan lebih bermanfaat bagi realitas yg tidak sinkron pula, lantaran perbedaan konteksnya. (e) citra ushul-fiqh bersifat tentatis, serta belum tentu bisa digeneralisasikan.
Dari cirri-ciri tadi bisa dinyatakan bahwa penulisan ushul-fiqh dengan pen-dekatan naturalistic adalah lebih membumi. Ushul-fiqh contoh ini akan bisa memecahkan perilaku umat yang dipelajari, serta sanggup membantu keinginan tokoh-tokoh yang menyajikan Mazhab Jogja, atau Fiqh Indonesia, serta sebagainya.
4. Pendekatan Fenomenologis
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa positivisme memerlukan penyusu-nan teori. Sedangkan fenomenologi justru tidak menunggu-nunggu teori bahkan alergi dengan teori. Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas peng-amalan fiqh pada tengah masyarakat. Hal ini sejalan menggunakan penelitian etnografis yg menitik beratkan dalam pilihan dan pandangan pegangan mazhab setempat. Realitas merupakan lebih krusial serta mayoritas dibanding teori dan rerata.
Fenomenologi berusaha memahami pengamalan mazhab liwat pandangan serta konduite pengamal mazhab itu. Menurut faham fenomenologi, ilmu bukanlah bebas nilai berdasarkan apa pun, tetapi memiliki interaksi dengan nilai. Aksioma fenomenologis adalah (a) fenomena ada dalam diri insan, baik selaku individu atau kelompok, selalu bersifat majmuk atau ganda yg tersusun secara kompleks. Oleh karena itu pengamalan mazhab Syafi’iy atau mazhab Hanafi atau lainnya yang tersebar pada bebe-rapa daerah, hanya bisa dipelajari secara holistic serta tidak terlepas-lepas. (b) interaksi antara ushuliyun menggunakan pengikut mazhab di daerah itu saling mempenga-ruhi, mungkin karena diskusi atau saling memberikan komentar.(c) lebih mengarah kepada kasus-masalah fiqhiyah bukan buat menggeneralisasi karangan atau materi buat ushul-fiqhnya. (d) ushuliyun akan kesulitan dalam membedakan karena serta akibat, lantaran situasi berlangsung secara simultan, (e) inkuiri terkait nilai, bukan bebas nilai, sebagaimana disebutkan pada atas.
Fenomenologi merupakan istilah generic yg merujuk pada semua pandangan ilmu social yang menganggap bahwa pencerahan insan dan makna subjektif sebagai penekanan buat memahami tindakan social. Dalam pandangan ushul-fiqh, pandangan subjektif berdasarkan pengikut mazhab yg dikembangkan ushul-fiqhnya, sangat diharapkan. Subjektivitas akan menjadi shahih bila ada proses intersubjektivitas antara ushuliyun menggunakan pengikut mazhab yang dipelajari ushul-fiqhnya itu.
Dalam pengembangan ushul-fiqh, pendekatan fenomenologi tidak dipengaruhi secara pribadi oleh filsafat fenomenologi, tetapi sang perkembangan dalam pende-finisian konsep fiqh atau ushul-fiqhnya, termasuk pendefinisian tafsir al-Qur’an atau ilmu budaya lainnya. Dalam fenomenologi, objek ilmu tidak terbatas dalam yg empirik (sensual), melainkan mencakup juga fenomena berikutnya yg terdiri berdasarkan persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan si subjek yang menuntut pendekatan holistic, menundukkan objek pengembangan ushul-fiqh pada suatu konstruksi ganda melihat objeknya pada satu konteks netral, serta bukan parsial. Karena itu pada fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logic berdasarkan dalam sekedar linier kausal. Tujuan pengembangan ushul-fiqh dengan pendekatan fenomenologi merupakan buat menciptakan ilmu-ilmu agama, termasuk ushul-fiqh itu sendiri.
Metoda kwalitatif fenomenologi, menurut dalam empat kebenaran, yaitu kebe-naran empirik sensual, kebenaran empirik logic, kebenaran empirik etik, dan kebenar-an empirik transenden. Atas dasar cara pencapaian kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara ushuliyun dengan rakyat pengamal mazhab. Keterlibatan ushuliyun dengan umat yang dikembangkan ushul-fiqhnya itu menjadi keliru satu cirri utama.
Pendekatan fenomenologi berusaha memahami arti pengamalan fiqh serta kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi eksklusif. Ilmuan fenomenologi nir berasumsi bahwa mereka mengetahui makna tindakan bagi orang-orang yg sedang dipejalari. Oleh karenanya inkuiri dimulai dengan membisu. Diam adalah tindakan buat menangkap pengertian sesuatu yang dipelajari. Yang ditekankan merupakan aspek subjek (pengamal fiqh) berdasarkan perilakunya. Mereka berusaha buat masuk ke global konseptual para subjek yg dipelajari sedemikian rupa, sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yg mereka kembangkan di lebih kurang peristiwa pada kehidupannya sehari-hari.
Mulanya ilmuan tahu berdasarkan pengakuan masyarakatnya, bahwa mereka pengamal fiqh Syafi’iy, dari segi ibadah, mu’amalah, mawarits, munakahat, serta sebagainya. Tetapi ilmuan tahu pula bahwa mazhab al-Syafi’iy didukung sang banyak komentator (ash-hab) terhadap ushul-fiqhnya, sehingga terjadi antara satu konsep dengan konsep lainnya tidak sama. Maka ilmuan fenomenologi ingin mengetahui praktek pengamalan fiqh, dikaitkan menggunakan pola kehidupan bermazhabnya.
Penekanan ilmuan fenomenologi adalah pada aspek subjektif menurut pengamal fiqh. Ushuliyun berusaha masuk ke pada global subjek yang dipelajarinya, sebagai akibatnya ushuliyun mengerti apa serta bagaimana satu konsep yang dikembangkan. Pengamal fiqh dipercayai mempunyai kemampuan untuk menfsirkan pengamalannya melalui interaksi. Ushuliyun fenomenologis tidak menggarap data secara mentah. Dia cukup pintar menggunakan cara memberikan “tekanan” dalam pengamal fiqh buat menaruh makna dalam tindakan fiqihnya, tanpa mengabaikan empiris.
Demikian bisa difahami, karena kata fenomenologi itu berkaitan dengan suatu persepsi, yaitu kesadaran. Fenomenologi akan berupaya mendeskripsikan fenomena pencerahan serta bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan adanya pencerahan ini, nir mengherankan apabila ushuliyun serta pengamal fiqh mempunyai kesadaran eksklusif terhdap pengamalannya masing-masing. Pengamalan yang ditentukan oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan pada antaranya akan terkait menggunakan pola-pola pengamalan fiqh itu tadi.
Perkembangan pencerahan yg diketahui oleh ushuliyun yang memakai fenomenologi akan dihadapkan dalam sejumlah pertarungan fiqh dan ushul-fiqhnya. Paling tidak ada 3 permasalahan pokok, yaitu (a) Ketidak samaan data yang dihimpun sang ushuliyun, karena disparitas minat di kalangan mereka terhadap perilaku suatu mazhab di daerah yg sama (b) Masalah sifat data itu sendiri. Artinya seberapa jauh data tersebut bisa diperbandingkan, atau seberapa jauh data tersebut benar-benar bisa melukiskan tanda-tanda yg sama dari pengamal mazhab yang tidak sinkron (c) Menyangkut perkara penjabaran data yg pada antara ushuliyun masih tidak selaras kriterianya.
Melihat 3 hal tersebut, studi fenomenologi mampu dibantu menggunakan pendekatan etno-sains sebagai keliru satu alternatif. Pendekatan ini dicermati lebih fenomenologis karena menggunakan menerapkan model linguistik yang dikenal menggunakan deskripsi secara etik serta emik, pemaknaan ushul fiqh menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini pende-finisian ushul-fiqh adalah akumulasi menurut system wangsit, pada istilah “makna” yg diberikan sang pendukung mazhab pun turut diperhitungkan.
Pendekatan fenomenologi, ada yg mengkritik lagi dan diarahkan pada penglo-laan secara etnografis. Pendekatan ini mengkritik pandangan empirisisme radikal, naturalisme, serta fenomenologi murni. Kalau pendekatan ini diterapkan dalam ushul-fiqh, maka (a) Persyaratan ‘illat (alasan hokum) dari Hanafiyah harus berjangka luas, sampai memungkinkan buat dijadikan dasar qiyas. Menurut Syafi’iyah ‘illat jangkauannya terbatas, lantaran aturan itu mengikuti ‘illat. Sedangkan berdasarkan teori etnografis, bahwa ‘illat yg dirasakan sang pengikut Mazhab Syafi’iy misalnya, belum tentu sejalan menggunakan konsep ‘illat yg dirumuskan sang Ushulyun Syafi’iy yang menyusun ushul-fiqhnya. (b) Mengembangkan ushul-fiqh fenomenologis yang memperhatikan ‘global moral lokal’ terhadap masalah ekologi yang mengkaji situasi serta lingkungan. Situasi dan lingkungan merupakan bagian dari hidup insan (af’al al-mukallafin) yg akan menciptakan serta dibentuk sang lingkungan setempat serta atau oleh budaya keagamaan setempat. (c) Arahan baru ushul-fiqh diarahkan dalam fisik, karena subjektivitas merupakan kehidupan fisik di global, bahkan sikap simpati serta empati merupakan sifat dasar kehidupan fisik jua. Karena itu, pemahaman fenomenologi perlu mendasarkan fisik ini. Lantaran fisik merupakan aspek primordial berdasarkan sebjek-tivitas manusia sebagai makhluk social. (d) Ushul-fiqh yg diarahkan pada histeo-grafi, yaitu memandang kenyataan dalam kaitannya pada kehidupan serta sejarah.
Demikian pengembangan ushul-fiqh, sebenarnya masih mampu dicapai lagi menggunakan pendekatan yang lain, seperti pendekatan praktek, dan pendekatan emansipatoris. Meskipun begitu, pendekatan-pendekatan yang telah disajikan di atas, telah mencukupi buat menyebarkan ushul-fiqh kita. Wallahu a’lam.