CONTOH PROGRAM KERJA KEPALA SEKOLAH SD SMP SMA SMK TERLENGKAP


Contoh Program Kerja Kepala Sekolah Sekolah Dasar SMP SMA SMK Terlengkap


Contoh Program Kerja Kepala Sekolah Sekolah Dasar SMP SMA SMK Terlengkap - Contoh Program Rencana Kerja Kepala Sekolah merupakan sebuah acara yang disusun serta dibentuk sang ketua sekolah selama masa jabatannay dalam menjalankan tugas serta kinerjanya. Program Kerja Kepala Sekolah ini biasa pada singkat menggunakan nama lain RKKS serta Format File berextensi/berbasis microsoft Words.doc agar gampang buat diedit pulang diadaptasi dengan sekolah masing-masing.

Dalam acara kerja ini mendasarkan dalam tugas serta fungsi kepala sekolah yang terbagi atas beberapa bidang yaitu Tugas Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan, Bidang Sarana Prasarana, Bidang Tata Usaha, dan Bidang Kesiswaan.

Sedikit arsip ini yang bisa saya bagikan kepada bapak/mak pengajar semua serta semoga bisa memberikan manfaat pada menyusun adminitrasi kelas. Jika bapak/bunda guru kesulitan dalam mendownload silahkan tinggalkan pesan di blog ini supaya nanti saya bisa memberi tahu cara download yang sahih.

Link Download :

CONTOH RENCANA KERJA JANGKA MENENGAH SD TAHUN 2018

Contoh Rencana Kerja Jangka Menengah Sekolah Dasar Tahun 2018 ini merupakan file terbaru yang bisa anda unduh menggunakan perdeo pada postingan kali ini. Seperti yg sudah saya bahas dalam postingan sebelumnya bahwa RKJM yg mempunyai perencanaan 4 Tahun adalah bagian berdasarkan RKT untuk 1 Tahun sebagai turunan menurut RKJM, dimana keduanya disebut RKAS/M. 



Dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan, Sekolah menciptakan Rencana Kerja Jangka Menengah (RKJM) 4 tahun, Rencana Kerja Tahunan (RKT) dinyatakan pada Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah / Madrasah (RKAS/M).

Bagi sekolah yang akan menghadapi akreditasi, file ini sekaligus menjadi pelengkap pada memenuhi Bukti Fisik Akreditasi SD/MI Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) khususnya dalam Instrumen No.49 (Poin 1).



Download Juga !!!

PENDIDIKAN KARAKTER APA MENGAPA DAN BAGAIMANA IMPLEMENTASINYA DI SATUAN PENDIDIKAN

Pendidikan Karakter : Apa, Mengapa, dan Bagaimana Implementasinya di Satuan Pendidikan 
Pendidikan sesungguhnya adalah transformasi budaya, sehingga problem budaya dan karakter bangsa yang kurang baik akan menjadi sorotan tajam warga terhadap pelaksanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sorotan itu mengenai aneka macam aspek kehidupan, tertuang dalam aneka macam goresan pena di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara pada media elektronika. Selain pada media masa, para pemuka rakyat, para pakar, dan para pengamat pendidikan, serta pengamat sosial berbicara tentang masalah budaya dan karakter bangsa pada banyak sekali lembaga seminar, baik pada taraf lokal, nasional, juga internasional. Persoalan yang timbul pada rakyat misalnya korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yg konsumtif, kehidupn politik yg nir produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di aneka macam kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan misalnya peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan serta penerapan hukum yg lebih bertenaga. 

Alternatif lain yang poly dikemukakan buat mengatasi, paling nir mengurangi, masalah budaya serta karakter bangsa yang dibicarakan itu merupakan pendidikan. Pendidikan dianggap menjadi alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yg lebih baik. Sebagai cara lain yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan bisa mengembangkan kualitas generasi muda bangsa pada aneka macam aspek yang bisa memperkecil serta mengurangi penyebab berbagai kasus budaya dan karakter bangsa, mengapa tidak lantaran pendidikan sesungguhnya merupakan transformasi budaya. Memang diakui bahwa hasil menurut pendidikan akan terlihat dampaknya pada ketika yg nir segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang bertenaga di masyarakat dalam saat yang relatif usang sehingga menciptakan pendidikan sesungguhnya investasi jangka panjang.

Kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), saat ini, menaruh perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya serta karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya, bepergian kurikulum pada Indonesia menurut tahun 1947 sampai dengan tahun 2004 (sebelum KTSP) adalah:

(1) pada tahun 1947 
• Perubahan terali pendidikan dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional 
• Asas Pendidikan ditetapkan: Panca Sila 
• Baru dilaksanakan pada sekolah-sekolah tahun 1950
• Memuat 2 hal pokok: 
1. Daftar mata pelajaran; 
2. Garis-garis pedagogi 
• Mengurangi pendidikan pikiran, mengutamakan pendidikan watak, pencerahan bernegara serta bermasyarakat, mteri pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian thd kesenian serta pendidikan jasmani.

(2) Tahun 1952 : 
• Lebih merinci setiap mata pelajaran 
• Silabus lebih kentara, satu guru mengajar satu mapel 

(3) Tahun 1954 (kurikulum gaya usang):
• Tujuan Pembelajaran tidak dinyatakan secara jelas 

(4) Tahun 1962 (kurikulum gaya baru 
• Mempercepat pembangunan nasional 
• Membangun interaksi dengan bangsa-bangsa lain
• Menjalankan kebijakan luar negeri negara 

(5) Tahun 1964 
• Fokus dalam pengembangan daya, cipta, rasa, karsa, serta moral (pancawardhana)
• Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 5 gerombolan bidang studi: 
1. Moral; 
2. Kecerdasan; 
3. Emosional/artistik; 
4. Keprigelan (ketrampilan); 
5. Jasmaniah 
• Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan aktivitas fungsional praktis 

(6) Tahun 1968 
• Merupakan revisi Kurikulum 1964, yang dicitrakan sebgai produk orde usang 
• Tujuan: membentuk insan Panca Sila seutuhnya. 
• Menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: grup training Panca Sila, Pengetahuan Dasar, dan Kecakapan Khusus 
• Jumlah mata pelajaran : 9. 
• Muatan materi bersifat teoritis, tdk mengaitkan dengan perseteruan faktual di lapangan 
• Titik berat: materi apa saja yg sempurna diberikan pada anak didik di tiap jenjang pendidikan

(7) Tahun 1975 
• Menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif 
• Dipengaruhi sang konsep di bidang manajemen, yaitu MBO (Management by Objective)
• Metode, materi, dan tujuan pedagogi dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)
• Lahir istilah Satpel (Satuan pelajaran), yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan 
• Setiap satpel dirinci lagi: Tujuan Instruksional Umum, Tujuan Instruksional Khusus, Materi Pelajaran, Alat pelajaran, Kegiatan Belajar-Mengajar, serta Evaluasi 
• Banyak dikritik lantaran pengajar poly dibentuk sibuk menulis rincian berdasarkan setiap aktivitas pembelajaran 

(8) Tahun 1984 
• Mengusung process skill approach (pendekatan ketrampilan proses), dg permanen menganggap krusial faktor tujuan 
• Sering jua diklaim ‘Kurikulum 1975 yg disempurnakan’
• Siswa diposisikan menjadi subyek belajar (mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, sampai melaporkan). 
• Model pembelajaran ini diklaim CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), atau SAL (Student Active Learning). 
• Tokoh penting dibalik lahirnya Kur. 1984 merupakan Prof. Conny R. Semiawan (Kepala Puskur1980-1986), pula Rektor IKIP Jakarta (1984-1992).
• Konsep CBSA yang indah secara teori dan indah hasilnya ketika di sekolah-sekolah yang dujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi ketika dilaksanakan secara nasional.
• Yang menonjol hanyalah kegaduhan saat diskusi, dan di sana-sini ada tempelan gambar-gambar , pengajar tidak lagi mengajar contoh ceramah. 
• Banyak bermunculan penolakan thd CBSA

(9) Tahun 1994 Suplemen tqhun 1999 
• Merupakan upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya (Kur. 1975 & Kur. 1984), yaitu pendekatan tujuan dan proses.
• Banyak mendapatkan kritik lantaran beban belajar anak didik terlalu berat, dari muatan nasional hingga muatan lokal. 
• Berbagai kepentingan grup-kelompok masyarakat mendesakkan agar info-berita tertentu masuk dalam kurikulum. 
• Menjelma menjadi kurikulum super padat 
• Diterbitkan Suplemen Kurikulum 1999, berisi pengaturan pada materi yg di Kur. 1994 diserahkan pengurutannya kepada para guru

(10) Tahun 2004 
• Juga dikenal menggunakan KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi).
• Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apa yang mesti dicapai. 
• Muncul kerancuan apabila dikaitkan dengan indera ukur kompetensi anak didik, yaitu ujian!, baik yang berupa ujian nasional maupun ujian akhir sekolah menggunakan soal pilihan ganda. 
• Mestinya lebih poly pada praktek serta soal uraian terbuka buat mengukur tingkat kompetensi anak didik.
• Banyak pengajar juga belum memahami esensi menurut KBK
• Sampai akhirnya diganti, Kurikulum 2004 masih dalam tingkat uji coba 

(11)KTSP 
• Ditinjau dari segi isi dan proses pencapaian taget kompetensi pelajaran oleh anak didik dan teknis penilaiannya tidaklah (banyak) berbeda dengan Kurikulum 2004. 
• Perbedaan dengan Kurikulum 2004 yang paling tampak adalah bahwa guru lebih diberikan kebebasan utk merencanakan pembelajaran sinkron dg kondisi murid dan syarat sekolah berada. 
• Pemerintah- dalam hal ini Depdiknas, hanya tetapkan kerangka dasar, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi & Kompetensi Dasar tiap mata pelajaran. 
• Selebihnya, (indikator, materi, juga penilaiannya) diserahkan pada para guru & satuan pendidikan pada bawah koordinasi serta pengawasan pemerintah kab./kota. 

Uraian di atas menampakan bahwa penyusunan KTSP sebagai landasan pengelolaan pembelajaran pada satuan pendidikan yg bisa merespon pendidikan sebagai transformasi budaya yang pada akhirnya membuat luaran pendidikan yang beriptek dan berimtaq dapat tewujud dengan cataan asal daya manusia pengelolah satuan pendidikan mempunyai kualitas yg memadai.

Pengawas sekolah yang merupakan Jabatan fungsional Pengawas Sekolah adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab serta kewenangan buat melaksanakan aktivitas pengawasan akademik dan manajerial dalam satuan pendidikan (Permenpan serta RB no. 21 Th 2010). Oleh sebab itu maka pengawas sekolah memegang kiprah yg stragis untuk membantu satuan pendidikan pada pengelolaan buat mewujudkan luaran satuan pendidikan yg berkarakter. Olehyang itu bagaimana implementasi pendidikan karatek bangsa kedalam KTSP 

Pengertian Pendidikan Budaya serta Karakter Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi serta tujuan pendidikan nasional yang harus dipakai dalam mengembangkan upaya pendidikan pada Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas mengungkapkan, “Pendidikan nasional berfungsi berbagi serta membentuk tabiat dan peradaban bangsa yg bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman serta bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, dan sebagai rakyat negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu adalah rumusan tentang kualitas insan Indonesia yg wajib dikembangkan sang setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya serta karakter bangsa.

Untuk mendapatkan wawasan tentang arti pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian kata budaya, karakter bangsa, serta pendidikan. Pengertian yg dikemukakan pada sini dikemukakan secara teknis serta digunakan dalam membuatkan panduan ini. Pengajar-guru Antropologi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang kata-istilah itu sebagai pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, permanen mempunyai kebebasan sepenuhnya membahas serta berargumentasi mengenai kata-istilah tadi secara akademik.

Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, kebiasaan, dan keyakinan (belief) insan yang didapatkan rakyat. Sistem berpikir, nilai, moral, kebiasaan, serta keyakinan itu merupakan hasil berdasarkan hubungan manusia menggunakan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan pada kehidupan manusia dan membuat sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan , sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia menjadi makhluk sosial sebagai produsen sistem berpikir, nilai, moral, kebiasaan, serta keyakinan; akan namun juga pada hubungan dengan sesama insan serta alam kehidupan, manusia diatur sang sistem berpikir, nilai, moral, kebiasaan, dan keyakinan yg sudah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yg berkembang sesungguhnya merupakan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem agama, ilmu, teknologi, dan seni. Pendidikan adalah upaya bersiklus dalam mengembangkan potensi siswa, sebagai akibatnya mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yg diwariskan masyarakatnya dan menyebarkan warisan tersebut ke arah yg sesuai buat kehidupan masa kini dan masa mendatang.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi aneka macam kebajikan (virtues) yang diyakini dan dipakai sebagai landasan buat cara pandang, berpikir, bersikap, serta bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, serta kebiasaan, seperti amanah, berani bertindak, dapat dipercaya, serta hormat pada orang lain. Interaksi seseorang menggunakan orang lain menumbuhkan karakter rakyat dan karakter bangsa. Oleh karenanya, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hayati pada ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya bisa dilakukan dalam lingkungan sosial serta budaya yg berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya bisa dilakukan pada suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, serta budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa merupakan Pancasila; jadi pendidikan budaya serta karakter bangsa haruslah menurut nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya serta karakter bangsa merupakan berbagi nilai-nilai Pancasila pada diri siswa melalui pendidikan hati, otak, serta fisik. 

Pendidikan merupakan suatu bisnis yang sadar serta sistematis dalam membuatkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu bisnis warga serta bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan rakyat serta bangsa yang lebih baik pada masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya serta karakter yang telah dimiliki masyarakat serta bangsa. Oleh karenanya, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda serta juga proses pengembangan budaya serta karakter bangsa buat peningkatan kualitas kehidupan warga dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif siswa membuatkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, serta penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka pada bergaul pada masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, dan membuatkan kehidupan bangsa yang bermartabat. 

Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa pada masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yg sesuai, serta metode belajar dan pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah bisnis beserta sekolah; oleh karena itu harus dilakukan secara bersama oleh seluruh guru dan pemimpin sekolah, melalui seluruh mata pelajaran, dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan berdasarkan budaya sekolah.

Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan adalah suatu upaya sadar buat membuatkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan berdasarkan lingkungan siswa berada, terutama dari lingkungan budayanya, lantaran peserta didik hidup tidak terpishkan dalam lingkungannya dan bertindak sinkron menggunakan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yg nir dilandasi oleh prinsip itu akan mengakibatkan siswa tercerabut berdasarkan akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka nir akan mengenal budayanya dengan baik sehingga beliau menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain sebagai orang asing, yg lebih mengkhawatirkan merupakan dia sebagai orang yang nir menyukai budayanya.

Budaya, yg mengakibatkan peserta didik tumbuh serta berkembang, dimulai berdasarkan budaya pada lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yg lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yg dianut sang ummat manusia. Jika peserta didik menjadi asing berdasarkan budaya terdekat maka beliau nir mengenal menggunakan baik budaya bangsa serta dia nir mengenal dirinya menjadi anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap impak budaya luar serta bahkan cenderung buat mendapat budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena beliau nir memiliki kebiasaan serta nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing). 

Semakin kuat seorang mempunyai dasar pertimbangan, semakin kuat juga kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat negara yg baik. Pada titik kulminasinya, kebiasaan dan nilai budaya secara kolektif pada taraf makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi masyarakat negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, serta cara menuntaskan perkara sinkron dengan kebiasaan serta nilai ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai menggunakan fungsi utama pendidikan yg diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan menciptakan watak serta peradaban bangsa yg bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yg mengatur pendidikan nasional (Undang-Undang Dasar 1945 serta UU Sisdiknas) telah memberikan landasan yg kokoh buat berbagi keseluruhan potensi diri seorang sebagai anggota rakyat serta bangsa.

Pendidikan merupakan suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai serta prestasi itu merupakan pujian bangsa serta berakibat bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga mempunyai fungsi untuk menyebarkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu sebagai nilai-nilai budaya bangsa yg sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yg akan datang, serta berbagi prestasi baru yang sebagai karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya serta karakter bangsa adalah inti menurut suatu proses pendidikan. 

Proses pengembangan nilai-nilai yang sebagai landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan yg terintegrasi disetiap mata pelajaran yg ada pada satuan pendidikan sehingga wajib ditegaskan implentasinya pada kurikulum taraf satuan pendidikan yg selanjutnya dituangkan dalam silabus serta rencana palaksanaan pembelajaran disetiap mata pelajaran. Pendidikan budaya serta karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang sebagai nilai dasar budaya serta karakter bangsa. Kebajikan yg sebagai atribut suatu karakter dalam dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yg asal menurut etos atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, serta nilai-nilai yg terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. 

Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya serta karakter bangsa adalah:
1. Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik buat menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi siswa yg telah memiliki perilaku dan perilaku yang mencerminkan budaya serta karakter bangsa; 
2. Pemugaran: memperkuat peran pendidikan nasional buat bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
3. Penyaring: buat menyaring budaya bangsa sendiri serta budaya bangsa lain yg tidak sesuai menggunakan nilai-nilai budaya serta karakter bangsa yg bermartabat.

Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan pendidikan budaya serta karakter bangsa adalah:
1. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai insan dan warganegara yg memiliki nilai-nilai budaya serta karakter bangsa;
2. Menyebarkan norma dan konduite peserta didik yang terpuji dan sejalan menggunakan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 
3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
4. Berbagi kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
5. Berbagi lingkungan kehidupan sekolah menjadi lingkungan belajar yg aman, amanah, penuh kreativitas serta persahabatan, dan menggunakan rasa kebangsaan yg tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan pada pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut adalah.
1. Agama: rakyat Indonesia adalah rakyat beragama. Oleh karenanya, kehidupan individu, warga , serta bangsa selalu didasari pada ajaran kepercayaan serta kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yg asal menurut agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya serta karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yg berasal berdasarkan agama.

2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan serta kenegaraan yg disebut Pancasila. Pancasila masih ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yg masih ada pada UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik sebagai rakyat negara yg lebih baik, yaitu rakyat negara yang mempunyai kemampuan, kemauan, serta menerapkan nilai-nilai Pancasila pada kehidupannya sebagai rakyat negara.

3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak terdapat manusia yang hidup bermasyarakat yg nir didasari oleh nilai-nilai budaya yg diakui rakyat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar pada anugerah makna terhadap suatu konsep dan arti pada komunikasi antaranggota warga itu. Posisi budaya yg demikian krusial pada kehidupan rakyat mengharuskan budaya menjadi asal nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang wajib dimiliki setiap masyarakat negara Indonesia, dikembangkan sang aneka macam satuan pendidikan pada aneka macam jenjang serta jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat banyak sekali nilai humanisme yang wajib dimiliki rakyat negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional merupakan asal yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya serta karakter bangsa. 

Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai buat pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai ini dia. 

Tabel Nilai serta Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya serta Karakter Bangsa
NILAI
DESKRIPSI
1. Religius
Sikap dan konduite yang patuh pada melaksanakan ajaran agama  yg dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah kepercayaan lain, serta hidup rukun menggunakan pemeluk kepercayaan lain.
2. Jujur
Perilaku yang berdasarkan pada upaya berakibat dirinya menjadi orang yang selalu bonafide dalam perkataan, tindakan, serta pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan  tindakan yg menghargai disparitas agama, suku, etnis, pendapat, perilaku, serta tindakan orang lain yang tidak selaras berdasarkan dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yg memperlihatkan perilaku tertib serta patuh pada berbagai ketentuan serta peraturan.
5. Kerja Keras
Perilaku yg memberitahuakn upaya sungguh-benar-benar pada mengatasi aneka macam hambatan belajar dan tugas, dan merampungkan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu buat menghasilkan cara atau hasil baru berdasarkan  sesuatu yg telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap serta perilaku yang nir mudah tergantung dalam orang lain dalam merampungkan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, serta bertindak yg menilai sama  hak dan kewajiban dirinya serta orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya buat mengetahui lebih mendalam dan meluas berdasarkan sesuatu yang dipelajarinya, dicermati, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yg menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri serta kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yg menerangkan kesetiaan, kepedulian, serta penghargaan  yang tinggi terhadap bahasa,  lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi
Sikap serta tindakan yg mendorong dirinya buat membuat sesuatu yang bermanfaat bagi warga , serta mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/
       Komuniktif
Tindakan yang menunjukkan rasa bahagia berbicara, bergaul, serta bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yg menyebabkan orang lain merasa bahagia dan kondusif atas kehadiran dirinya.
15.  Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan ketika buat membaca berbagai bacaan yg memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan dalam lingkungan alam pada sekitarnya, dan membuatkan upaya-upaya buat memperbaiki kerusakan alam yang telah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap serta tindakan yang selalu ingin memberi donasi dalam orang lain dan rakyat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab
Sikap serta perilaku seorang buat melaksanakan tugas serta kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial serta budaya), negara serta Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip serta Pendekatan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa 
Pada prinsipnya, pengembangan budaya serta karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan namun terintegrasi ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran, pengembangan diri, serta budaya sekolah. Oleh karena itu, guru serta sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yg dikembangkan pada pendidikan budaya dan karakter bangsa ke pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus serta Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. 

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan supaya siswa mengenal serta mendapat nilai-nilai budaya serta karakter bangsa sebagai milik mereka serta bertanggung jawab atas keputusan yg diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, memilih pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai menggunakan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk menyebarkan kemampuan siswa dalam melakukan aktivitas sosial serta mendorong peserta didik buat melihat diri sendiri menjadi makhluk sosial. 

Berikut prinsip-prinsip yg dipakai dalam pengembangan pendidikan budaya serta karakter bangsa. 
1. Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal siswa masuk hingga terselesaikan berdasarkan suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama serta berlangsung paling nir sampai kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa pada SMA adalah kelanjutan dari proses yang sudah terjadi selama 9 tahun.

2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, serta budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, serta pada setiap kegiatan kurikuler serta ekstrakurikuler. Gambar 1 berikut ini menerangkan pengembangan nilai-nilai melalui jalur-jalur itu :

Gambar Pengembangan Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Pengembangan nilai budaya serta karakter bangsa melalui berbagai mata pelajaran yg sudah ditetapkan dalam Standar Isi (SI), digambarkan menjadi berikut ini.

Gambar Pengembangan Nilai Budaya dan Karakter Bangsa melalui Setiap Mata Pelajaran

3. Nilai nir diajarkan akan tetapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materi nilai budaya serta karakter bangsa bukanlah materi ajar biasa; adalah, nilai-nilai itu nir dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan misalnya halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun kabar seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani serta kesehatan, seni, dan ketrampilan.

Materi pelajaran biasa digunakan menjadi bahan atau media untuk berbagi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengajar tidak perlu mengganti pokok bahasan yg sudah ada, tetapi memakai materi utama bahasan itu buat menyebarkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Juga, guru nir wajib mengembangkan proses belajar khusus buat menyebarkan nilai. Suatu hal yg selalu wajib diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat dipakai untuk menyebarkan kemampuan pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. 

Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya serta karakter bangsa tidak ditanyakan pada ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian berdasarkan suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan dalam diri mereka. Mereka tidak boleh berada dalam posisi nir tahu dan nir paham makna nilai itu.

4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya serta karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan sang guru. Pengajar menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap konduite yg ditunjukkan siswa. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan pada suasana belajar yang menimbulkan rasa bahagia serta tidak indoktrinatif.

Diawali menggunakan perkenalan terhadap pengertian nilai yg dikembangkan maka pengajar menuntun peserta didik agar secara aktif. Hal ini dilakukan tanpa pengajar berkata kepada siswa bahwa mereka harus aktif, tapi pengajar merencanakan aktivitas belajar yang mengakibatkan siswa aktif merumuskan pertanyaan, mencari asal kabar, dan mengumpulkan kabar dari sumber, memasak kabar yg telah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan output rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter dalam diri mereka melalui aneka macam kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, serta tugas-tugas pada luar sekolah.

Perencanaan Pengembangan Pendidikan Budaya serta Karakter Bangsa
Perencanaan serta aplikasi pendidikan budaya serta karakter bangsa dilakukan sang kepala sekolah, pengajar, tenaga kependidikan (konselor) secara beserta-sama menjadi suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui hal-hal ini dia.

1. Program Pengembangan Diri
Dalam acara pengembngan diri, perencanaan dan aplikasi pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pengintegrasian ke pada kegiatan sehari-hari sekolah yaitu melalui hal-hal berikut.

a. Kegiatan rutin sekolah
Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus serta konsisten setiap waktu. Contoh kegiatan ini adalah upacara dalam hari akbar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut, dan lain-lain) setiap hari Senin, beribadah beserta atau shalat beserta setiap dhuhur (bagi yang beragama Islam), berdoa ketika mulai serta terselesaikan pelajaran, mengucap salam bila bertemu pengajar, energi kependidikan, atau teman.

b. Kegiatan spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yg dilakukan secara impulsif pada ketika itu juga. Kegiatan ini dilakukan umumnya pada waktu pengajar serta tenaga kependidikan yg lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik berdasarkan peserta didik yg harus dikoreksi pada saat itu jua. Apabila guru mengetahui adanya konduite serta sikap yang kurang baik maka dalam ketika itu juga guru wajib melakukan koreksi sebagai akibatnya siswa nir akan melakukan tindakan yg buruk itu. Contoh kegiatan itu: membuang sampah nir pada tempatnya, berteriak-teriak sebagai akibatnya mengganggu pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh.

Kegiatan impulsif berlaku buat konduite dan perilaku siswa yg jelek dan yg baik sebagai akibatnya perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olah raga atau kesenian, berani menentang atau mengkoreksi konduite teman yg tidak terpuji.

c. Keteladanan
Keteladanan adalah perilaku serta perilaku guru dan energi kependidikan yang lain pada menaruh contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diperlukan menjadi panutan bagi peserta didik buat mencontohnya. Jika pengajar serta tenaga kependidikan yg lain menghendaki supaya siswa berperilaku dan bersikap sinkron dengan nilai-nilai budaya serta karakter bangsa maka pengajar dan tenaga kependidikan yg lain adalah orang yg pertama serta primer memberikan contoh berperilaku serta bersikap sesuai menggunakan nilai-nilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, tiba tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap siswa, jujur, menjaga kebersihan.

d. Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya serta karakter bangsa maka sekolah wajib dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu. Sekolah harus mencerminkan kehidupan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diinginkan. Misalnya, toilet yg selalu bersih, bak sampah terdapat pada banyak sekali tempat serta selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi serta alat belajar ditempatkan teratur.

2. Pengintegrasian pada mata pelajaran
Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan pada setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan pada silabus dan RPP. Pengembangan nilai-nilai itu dalam silabus ditempuh melalui cara-cara ini dia:
a. Menelaah Standar Komptensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam Standar Isi (SI) buat memilih apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yg tercantum itu telah tercakup di dalamnya;
b. Memakai tabel 1 yg memberitahuakn keterkaitan antara SK serta KD dengan nilai dan indikator buat menentukan nilai yg akan dikembangkan;
c. Mencantumkankan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam tabel 1 itu ke dalam silabus; 
d. Mencantumkan nilai-nilai yg telah tertera dalam silabus ke pada RPP; 
e. Mengembangkan proses pembelajaran siswa secara aktif yg memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya pada perilaku yang sesuai; dan memberikan donasi pada peserta didik, baik yang mengalami kesulitan untuk menginternalisasi nilai juga buat menunjukkannya dalam konduite.

3. Budaya Sekolah
Budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, aktivitas kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses merogoh keputusan, kebijakan juga interaksi sosial antarkomponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat siswa berinteraksi dengan sesamanya, guru menggunakan guru, konselor menggunakan sesamanya, pegawai administrasi menggunakan sesamanya, serta antaranggota grup masyarakat sekolah. Interaksi internal gerombolan dan antarkelompok terikat oleh banyak sekali aturan, norma, moral dan etika beserta yang berlaku pada suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan pada budaya sekolah.

Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya serta karakter bangsa dalam budaya sekolah meliputi kegiatan-aktivitas yang dilakukan kepala sekolah, pengajar, konselor, energi administrasi saat berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.

Pengembangan Proses Pembelajaran
Pembelajaran pendidikan budaya serta karakter bangsa memakai pendekatan proses belajar peserta didik secara aktif dan berpusat dalam anak; dilakukan melalui aneka macam aktivitas pada kelas, sekolah, dan masyarakat.
1. Kelas, melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau aktivitas yang didesain sedemikian rupa. Setiap aktivitas belajar menyebarkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu, tidak selalu diperlukan aktivitas belajar spesifik buat mengembangkan nilai-nilai dalam pendidikan budaya serta karakter bangsa. Meskipun demikian, untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, amanah, toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, serta gemar membaca bisa melalui aktivitas belajar yang biasa dilakukan guru. Untuk pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin memahami, dan kreatif memerlukan upaya pengkondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan buat memunculkan perilaku yang menampakan nilai-nilai itu.

2. Sekolah, melalui berbagai kegiatan sekolah yg diikuti semua siswa, guru, ketua sekolah, serta energi administrasi pada sekolah itu, direncanakan semenjak awal tahun pelajaran, dimasukkan ke Kalender Akademik serta yg dilakukan sehari-hari menjadi bagian berdasarkan budaya sekolah. Contoh kegiatan yang dapat dimasukkan ke pada program sekolah merupakan lomba vocal group antarkelas tentang lagu-lagu bertema cinta tanah air, pagelaran seni, lomba pidato bertema budaya serta karakter bangsa, pagelaran bertema budaya serta karakter bangsa, lomba olah raga antarkelas, lomba kesenian antarkelas, pameran output karya peserta didik bertema budaya serta karakter bangsa, pameran foto hasil karya siswa bertema budaya serta karakter bangsa, lomba menciptakan goresan pena, lomba mengarang lagu, melakukan wawancara kepada tokoh yang berkaitan menggunakan budaya serta karakter bangsa, mengundang banyak sekali narasumber buat berdiskusi, gelar wicara, atau berceramah yang herbi budaya dan karakter bangsa.

3. Luar sekolah, melalui aktivitas ekstrakurikuler serta kegiatan lain yg diikuti sang semua atau sebagian siswa, dirancang sekolah sejak awal tahun pelajaran, dan dimasukkan ke dalam Kalender Akademik. Misalnya, kunjungan ke loka-loka yg menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, menumbuhkan semangat kebangsaan, melakukan pengabdian warga buat menumbuhkan kepedulian serta kesetiakawanan sosial (membantu mereka yang tertimpa musibah banjir, memperbaiki atau membersihkan loka-tempat umum, membantu membersihkan atau mengatur barang di tempat ibadah tertentu).

Penilaian Hasil Belajar 
Penilaian pencapaian pendidikan nilai budaya serta karakter didasarkan pada indikator. Sebagai model, indikator buat nilai amanah pada suatu semester dirumuskan dengan “mengatakan menggunakan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang ditinjau, diamati, dipelajari, atau dirasakan” maka pengajar mengamati (melalui aneka macam cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu amanah mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan perasaannya itu secara ekspresi tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja mempunyai gradasi menurut perasaan yg tidak berbeda dengan perasaan generik teman sekelasnya hingga bahkan kepada yg bertentangan dengan perasaan generik teman sekelasnya.

Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap waktu guru berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotal record (catatan yang dibuat pengajar saat melihat adanya konduite yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu bisa dipakai guru. Selain itu, pengajar bisa pula menaruh tugas yg berisikan suatu dilema atau peristiwa yg menaruh kesempatan pada peserta didik buat memperlihatkan nilai yang dimilikinya. Sebagai model, peserta didik dimintakan menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan donasi terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial hingga pada hal yang dapat mengundang permasalahan dalam dirinya.

PEMBANGUNAN PERTANIAN

Pembangunan Pertanian 
Pembangunan pertanian dapat didefinisikan menjadi suatu proses perubahan sosial. Implementasinya nir hanya ditujukan buat menaikkan status serta kesejahteraan petani semata, namun sekaligus jua dimaksudkan buat menyebarkan potensi sumberdaya insan baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal serta Sudaryanto, 2008). 

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana serta gamblang mengenai kondisi pokok dan kondisi pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat utama pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar buat hasil-output usahatani, (2) teknologi yg senantiasa berkembang, (tiga) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, serta (5) tersedianya pengangkutan yg lancar dan kontinyu. Adapun kondisi pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) pemugaran serta ekspansi tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran serta langkah kebijakan yang disarankan sang Mosher. 

Pembangunan pertanian pada Indonesia dilaksanakan secara terpola dimulai semenjak Repelita I (1 April 1969), yaitu dalam masa pemerintahan Orde Baru, yg tertuang pada strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum 

Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yg semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut: 
1. Repelita I: titik berat dalam sektor pertanian serta industri pendukung sektor pertanian. 
2. Repelita II: titik berat dalam sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah sebagai bahan baku. 
3. Repelita III: titik berat dalam sektor pertanian menuju swasembada pangan dan menaikkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi. 
4. Repelita IV: titik berat dalam sektor pertanian buat melanjutkan bisnis menuju swasembada pangan dengan mempertinggi industri pembuat mesin-mesin. 
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV. 

Menurut Suhendra (2004) pada banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri serta jasa. Para perancang pembangunan Indonesia dalam awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari sahih hal tadi, sehingga pembangunan jangka panjang dibuat secara bertahap. Pada termin pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri produsen sarana produksi peratnian. Pada termin ke 2, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara sedikit demi sedikit dialihkan pada pembangunan industri mesin serta logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, dibutuhkan bisa menciptakan struktur perekonomian Indonesia yang harmonis dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal serta eksternal. 

Pada waktu Indonesia memulai proses pembangunan secara bersiklus dalam tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih berdasarkan 40 persen, ad interim itu serapan energi kerja dalam sektor pertanian mencapai lebih menurut 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, taktik serta kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. 

Kebijakan buat menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai menggunakan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang serta Syafa’at, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian adalah syarat mutlak bagi keberhasilan upaya membangun prakondisi tinggal landas. 

Pentingnya kiprah sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara pula dikemukakan oleh Meier (1995) menjadi berikut: (1) dengan mensuplai kuliner utama dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yg berkembang, (dua) dengan menyediakan surplus yg dapat diinvestasikan berdasarkan tabungan serta pajak buat mendukung investasi dalam sektor lain yg berkembang, (tiga) dengan membeli barang konsumsi berdasarkan sektor lain, sehingga akan menaikkan permintaan menurut penduduk perdesaan buat produk dari sektor yg berkembang, serta (4) menggunakan menghapuskan hambatan devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau menggunakan menabung devisa melalui substitusi impor. 

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru sudah membawabeberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya pada sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yg relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah menaikkan penerimaan devisa di satu pihak serta penghematan devisa pada lain pihak, sebagai akibatnya memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada taraf tertentu sektor pertanian sudah bisa menyediakan bahan-bahan standar industri sebagai akibatnya melahirkan agroindustri. 

Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian pada masa pemerintahan Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian sudah menimbulkan kesamaan menurunnya harga produkproduk pertanian yg membuahkan negatif pada pendapatan petani, seperti yang ditunjukkan oleh output penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28-10.08 persen serta akan menurunkan pendapatan rumah tangga perdesaan berkisar antara dua.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas serta produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti menggunakan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yg ditunjukkan oleh output penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil taraf kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan sang nilai tukar petani (NTP) yang memiliki kecenderungan (demam isu) yang menurun (negatif) sebesar –0.68 % per tahun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya mampu berkembang pada kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi serta menerima intervensi yang sangat mendalam, sehingga sektor pertanian dipercaya menjadi most-heavily regulated. 

Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar dalam terlalu berpihaknya pemerintah dalam sektor industri semenjak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menduga pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini menciptakan pemerintah mengacuhkan pertanian dalam taktik pembangunannya. Hal ini tidak terlepas berdasarkan imbas kerangka berpikir pembangunan ketika itu yg menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yg lalu diterjemahkan dalam berbagai kebijakan perlindungan yang sistematis. Akibatnya, perlindungan besar -besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada taraf petani. 

Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan menggunakan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh aplikasi pembangunan pertanian dari pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi dalam peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini memiliki beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) nir memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan pedoman horizontal, vertikal dan spatial berbagai aktivitas ekonomi, serta (tiga) kurang memperhatikan aspirasi serta pendapatan petani. 

Oleh karenanya, pengembangan komoditas tak jarang sangat tidak efisien serta keberhasilannya sangat tergantung dalam besarnya subsidi serta perlindungan pemerintah, dan kurang sanggup mendorong peningkatan pendapatan petani. 

Menyadari akan hal tersebut pada atas, maka pendekatan pembangunan pertanian wajib diubah berdasarkan pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan berdasarkan orientasi peningkatan produksi sebagai orientasi peningkatan pendapatan serta kesejahteraan petani. 

Memasuki era globalisasi yang dicirikan sang persaingan perdagangan internasional yg sangat ketat serta bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan aneka macam perlindungan lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien adalah pijakan utama bagi kelangsungan hayati usahatani. Sehubungan menggunakan hal tadi, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian. 

Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa imbas yg sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah serta kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, taktik pembangunan pertanian wajib lebih memfokuskan dalam peningkatan daya saing, mengandalkan kapital dan tenaga kerja terampil serta berbasis penemuan teknologi menggunakan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. 

Sejak awal 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian pada struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi serta kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan dalam sektor industri serta jasa, bahkan yg berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, saat krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yg menghasilkan kesengsaraan serta penderitaan masyarakat, maka Indonesia balik membuahkan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005). 

Peran penting sektor pertanian telah terbukti menurut keberhasilan sektor pertanian dalam waktu krisis ekonomi pada menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yg memadai serta tingkat pertumbuhannya yg positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini sebagai pertimbangan primer dirumuskannya kebijakan yang mempunyai keberpihakan terhadap sektor pertanian pada memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan serta mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005). 

Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan mengenai pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) menjadi berikut: 
1. Sektor pertanian masih permanen sebagai penyerap energi kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi perkara pengangguran. 
2. Sektor pertanian merupakan penopang primer perekonomian desa dimana sebagian akbar penduduk berada. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian paling sempurna buat mendorong perekonomian desa dalam rangka menaikkan pendapatan sebagian akbar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan. 
3. Sektor pertanian menjadi pembuat makanan pokok penduduk, sebagai akibatnya menggunakan percepatan pembangunan pertanian maka penyediaan pangan bisa terjamin. Langkah ini penting buat mengurangi ketergantungan pangan pada pasar global. 
4. Harga produk pertanian mempunyai bobot yang besar pada indeks harga konsumen, sebagai akibatnya dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. 
5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor serta mengurangi impor produk pertanian, sebagai akibatnya dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran. 
6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu mempertinggi kinerja sektor industri. Hal ini lantaran terdapat keterkaitan yg erat antara sektor pertanian menggunakan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi. 

Kabinet Indonesia Bersatu sudah memutuskan acara pembangunannya menggunakan memakai strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari taktik pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment serta pro-poor. 

Operasionalisasi konsep taktik tiga jalur tersebut dibuat melalui hal-hal sebagai berikut: 
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.lima % per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor. 
2. Pembenahan sektor riil buat mampu menyerap tambahan angkatan kerja serta membangun lapangan kerja baru. 
3. Revitalisasi pertanian serta perdesaan buat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. 

Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran buat menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian pada pembangunan nasional menggunakan tidak mengabaikan sektor lain. Sejalan menggunakan hal ini, Sudaryanto serta Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan buat menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengganti paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian nir hanya sekedar pembuat komoditas buat dikonsumsi. Pertanian harus ditinjau sebagai sektor yg multi-fungsi serta asal kehidupan sebagian besar warga Indonesia. 

Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui 3 program, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani. 

Operasionalisasi acara peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup kondusif dan halal di setiap wilayah setiap waktu, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi acara pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan perlindungan serta kenaikan pangkat lainnya (Departemen Pertanian, 2005c). 

Industrialisasi Pertanian 
Menurut Meier (1995), transformasi struktural dari ekonomi agraris perdesaan berpendapatan rendah ke ekonomi industri perkotaan menggunakan pendapatan per kapita lebih tinggi melibatkan kenyataan industrialisasi dan pembangunan pertanian. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian harus dicermati bukan sekedar sebagai asal surplus buat mendukung industrialisasi, namun juga menjadi asal dinamis pertumbuhan ekonomi, penyedia lapangan kerja, serta distribusipendapatan yg lebih baik. Selain itu, kemajuan pertanian adalah penting pada menyediakan pangan bagi tumbuhnya energi kerja non pertanian, bahan standar buat produksi sektor industri, tabungan serta penerimaan pajak buat mendukung pembangunan sektor ekonomi lainnya; buat menerima lebih banyak devisa (atau berhemat devisa bila produk utama diimpor); dan memberikan pertumbuhan pasar bagi industri domestik. Hubungan intersektoral antara pertanian serta industri akan menentukan transformasi struktural dalam perekonomian negara berkembang. 

Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi pertanian di berbagai negara dalam umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian. Langkah ini ditempuh melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian berskala mini ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian (Weisdorf, 2006). 

Arifin (2005) menyatakan bahwa definisi industrialisasi pertanian nir sesempit sekedar mekanisasi pertanian atau pengolahan output pertanian oleh sektor industri, namun jauh lebih luas menurut itu lantaran meliputi proses peningkatan nilai tambah, sampai pada koordinasi serta integrasi vertikal antara sektor hulu serta sektor hilir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terdapat pihak-pihak yang memperlakukan industrialisasi pertanian menjadi bagian berdasarkan semua rangkaian pembangunan sistem agribisnis, pada pihak lain ada pula yg beranggapan bahwa proses industrialisasi adalah suatu keniscayaan seiring menggunakan proses transformasi struktur ekonomi dan merupakan tuntutan efisiensi pada bidang usaha melalui integrasi vertikal dari hulu sampai hilir. 

Sudaryanto (2005) memberikan definisi industrialisasi pertanian menjadi suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam satu alur produk melalui prosedur non pasar, sehingga ciri produk akhir yang dipasarkan bisa dijamin dan diadaptasi menggunakan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, industrialisasi pertanian merupakan suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Lebih lanjut disebutkan bahwa berbeda menggunakan pola dispersal, pada agribisnis pola industrial setiap perusahaan tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung pada asosiasi horizontal namun memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yg berkiprah pada seluruh bidang bisnis yang ada dalam satu alur produk vertikal (berdasarkan hulu sampai hilir) dalam satu grup usaha. 

Kahn (1979) menyatakan bahwa pengalaman di hampir seluruh negara menerangkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian mini negara menggunakan jumlah penduduk yg sedikit serta kekayaan minyak atau asal daya alam (SDA) lainnya yg melimpah, misalnya Kuwait dan Libya, bisa berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yg tinggi tanpa melalui proses industrialisasi, hanya mengandalkan dalam sektor pertambangan (minyak). Fakta pada banyak negara menampakan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu dalam sektor-sektor utama (pertanian dan pertambangan) yg sanggup mencapai taraf pendapatan per kapita pada atas 500 US $ selama jangka panjang. 

Sektor industri diyakini bisa dijadikan sebagai sektor yg memimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya pada suatu perekonomian. Hal ini lantaran produk-produk yg dihasilkan oleh sektor industri mempunyai dasar tukar (term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan, dan sanggup membangun nilai tambah (value added) yg besar dibandingkan menggunakan produk-produk yang didapatkan sang sektor lainnya. Sektor industri memiliki variasi produk yang sangat majemuk dan sanggup memberikan manfaat marjinal yang tinggi pada pemakainya. Selain itu, sektor industri jua menaruh marjin laba yg lebih menarik bagi para pelaku usaha, serta proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia yang tidak terlalu bergantung dalam alam (musim atau keadaan cuaca). Karena kelebihan-kelebihan sektor industri inilah, maka industrialisasi dipercaya sebagai “obat mujarab” (panacea) buat mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. 

Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta stabil, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya adalah salah satu strategi yg wajib ditempuh buat mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai taraf pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi adalah tahapan logis dalam proses transformasi struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur pada permintaan konsumen, produksi, ekspor, serta kesempatan kerja (Chenery, 1992). Menurut Tambunan serta Priyanto (2005), penurunan share sektor pertanian pada pembentukan PDB dari saat ke waktu dan peningkatan penyerapan energi kerja sektor manufaktur, merupakan indikator bahwa ekonomi Indonesia sudah memasuki proses industrialisasi. 

Proses industrialisasi pada Indonesia sudah dimulai semenjak Pelita I, yg dimulai tahun 1969. Industrialisasi yang dilaksanakan semenjak Pelita I sampai krisis ekonomi tahun 1997, mengakibatkan pendapatan per kapita warga mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Jika hanya mengandalkan menurut sektor pertanian serta sektor pertambangan (migas), maka Indonesia menggunakan jumlah penduduk lebih berdasarkan 200 juta orang, tidak akan pernah mencapai laju pertumbuhan ekonomi homogen-rata sebanyak 7 persen per tahun serta taraf pendapatan per kapita pada atas 1.000 US $ pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan, 2001). 

Menurut Simatupang serta Syafaat (2000), pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru mengacu dalam kerangka berpikir transformasi struktural berimbang melalui industrialisasi bertahap berbasis sektor pertanian. Pembangunan ekonomi yg demikian ini dapat pula diklaim sebagai pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis. 

Definisi agribisnis menurut Badan Agribisnis (1995) merupakan suatu kesatuan sistem yg terdiri dari beberapa subsistem yg saling terkait erat, yaitu subsistem pengadaan dan penyaluran wahana produksi (subsistem agribisnis hulu), subsistem usahatani atau pertanian primer, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa serta penunjang. Subsistem agribisnis hulu adalah aktivitas ekonomi yg menyediakan sarana (input) pertanian seperti industri perbenihan serta pembibitan tumbuhan, industri pupuk serta pestisida (agro kimia), dan industri alat dan mesin pertanian (agro otomotif) bagi aktivitas pertanian utama. Subsistem usahatani merupakan aktivitas ekonomi yang membuat komoditas atau produk pertanian utama melalui pemanfaatan wahana produksi yg dihasilkan sang subsistem agribisnis hulu. Subsistem pengolahan adalah aktivitas ekonomi yang mengolah komoditas atau produk pertanian primer menjadi produk olahan. Termasuk dalam subsistem tersebut merupakan industri makanan, industri minuman, industri rokok, industri barang serat alam, industri biofarma, dan industri agrowisata serta keindahan. Subsistem pemasaran adalah aktivitas ekonomi yg berkaitan menggunakan kegiatan distribusi, promosi, warta pasar, kebijakan perdagangan dan struktur pasar. Adapun subsistem jasa serta penunjang merupakan aktivitas ekonomi yang menyediakan jasa atau layanan yang dibutuhkan untuk memperlancar pengembangan agribisnis. Termasuk dalam subsistem ini merupakan lembaga perkreditan serta premi, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan, dan transportasi dan pergudangan.

Hubungan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis tadi dapat dilihat pada Gambar.

Gambar Sistem Agribisnis 
Sumber: Badan Agribisnis (1995) 

Soekartawi (1993) menyatakan bahwa yg termasuk ke pada jenis agroindustri adalah: (a) industri pengolahan input pertanian yang dalam biasanya nir berlokasi pada perdesaan, padat modal, dan berskala besar seperti industri pupuk, industri pestisida, serta sebagainya, dan (b) industri pengolahan output pertanian, misalnya pengolahan pucuk teh hijau atau teh hitam, pengalengan butir, pengolahan minyak kelapa, serta lain-lain. 

Tambunan serta Priyanto (2005) menyatakan bahwa industrialisasi di Indonesia selalu dimulai menurut industri akbar, serta kurang memperhatikan usahausaha kecil. Akibatnya, sampai waktu ini Indonesia belum menampakan tandatanda sebagai Negara industri yg mandiri. Hal ini disinyalir lantaran para pemimpin pembangunan ekonomi terlalu mengandalkan peranan industri besar terbaru, yang dipercaya menjadi jalan paling pendek serta paling mungkin buat mengisi arti kemerdekaan. 

Senada menggunakan hal tadi pada atas, Simatupang dan Syafa’at (2000) menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi pada Indonesia merupakan lantaran kesalahan industrialisasi yg tidak berbasis pada pertanian. Selama krisis pula terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu mengalami laju pertumbuhan yg positif, walaupun pada persentase yang mini , sedangkan sektor industri manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negatif pada atas satu digit. Banyak pengalaman di negara-negara maju pada Eropa dan Jepang yg menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi selesainya atau bersamaan menggunakan pembangunan pada sektor pertanian. Sebagai contoh, Inggris mengalami revolusi industri dalam abad ke-18 sesudah diawali menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui introduksi teknologi turnip. Industrialisasi di Jepang berlangsung bersamaan menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui reformasi agraria (restorasi Meiji). Demikian pula di Taiwan dalam dasa warsa 1950-an, yg menampakan bahwa industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan industri berskala mini serta berlokasi pada perdesaan mampu membuat pertumbuhan ekonomi yg bertenaga serta merata serta struktur ekonomi yg tangguh. 

Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertanian yang kuat sangat esensial dalam suatu proses industrialisasi pertanian. Beberapa alasan tadi diantaranya menjadi berikut (Tambunan, 2001): 
1. Sektor pertanian yg kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini adalah keliru satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pertanian pada khususnya serta pembangunan ekonomi dalam umumnya sanggup berlangsung menggunakan baik. Ketahanan pangan berarti nir ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan sosial dan politik. 

2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yg bertenaga menciptakan tingkat pendapatan riil per kapita pada sektor tersebut tinggi yang adalah galat satu asal permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di Indonesia, dimana sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan mempunyai asal pendapatan eksklusif juga tidak pribadi menurut kegiatan pertanian, kentara sektor ini adalah motor utama penggerak industrialisasi. 

Selain melalui keterkaitan pendapatan, sektor pertanian pula berfungsi sebagai sumber pertumbuhan di sektor industri manufaktur melalui intermediate demand effect atau keterkaitan produksi: output berdasarkan industri sebagai input bagi pertanian. 

3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian adalah galat satu sumber input bagi sektor industri pertanian yang mana Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, contohnya industri makanan dan minuman, industri tekstil serta pakaian jadi, industri kulit, dan sebagainya. 

4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yg baik di sektor pertanian sanggup membuat surplus di sektor tersebut dan ini sanggup menjadi asal investasi di sektor industri, khususnya industri skala kecil di perdesaan (keterkaitan investasi). 

Menurut Dumairy (1997), hanya sedikit negara-negara berkembang yg menyadari bahwa usaha buat memajukan dan memperluas sektor industri haruslah sejajar menggunakan pembangunan serta pengembangan sektor-sektor lain, terutama sektor pertanian. Hal ini lantaran sektor pertanian yang lebih maju dibutuhkan sang sektor industri, baik sebagai penyedia bahan standar juga menjadi pasar yg potensial bagi produk-produk industri. Berkaitan menggunakan hal ini, Tambunan (2001) menyatakan bahwa sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitan tersebut terutama didominasi sang imbas keterkaitan pendapatan, keterkaitan produksi, dan keterkaitan investasi. Secara grafis, keterkaitan antara sektor pertanian serta sektor industri disajikan dalam Gambar. 

Pada Gambar, jumlah hasil berdasarkan sektor pertanian adalah OA, sedangkan Of adalah kuliner yg dikonsumsi pada pasar domestik dan Ox adalah bahan standar atau komoditas pertanian yg diekspor. Ekspor ini memungkinkan negara yang bersangkutan buat impor sebesar Om, menggunakan dasar tukar internasional (terms of trade) OT. Dengan adanya impor (Om) serta kuliner (Of) memungkinkan sektor industri di negara tersebut bisa menghasilkan hasil sebanyak Oi. Misalkan volume produksi di sektor industri semakin tinggi ke Of'. Untuk tujuan ini diharapkan lebih banyak input yang harus diimpor, yakni sebanyak Om'. Produksi semakin tinggi berarti jua kesempatan kerja dan pendapatan rakyat pada negara tadi pula meningkat, yg selanjutnya berarti permintaan akan kuliner jua meningkat, yakni ke Of'. Jika hasil di sektor pertanian tidak semakin tinggi, maka ekspor menurut sektor tersebut akan berkurang ke Oy dan ini berarti kebutuhan akan impor sebesar Om' nir bisa dipenuhi. Oleh sebab itu, pada bisnis menaikkan volume produksi di sektor industri (ke Oi'), maka output pada sektor pertanian jua wajib ditingkatkan ke OC. Ini akan menaikkan konsumsi makanan ke Om' dan berarti juga output di sektor industri bisa naik ke Oi'. 

Gambar  Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri
Sumber: Tambunan (2001) 

Ilustrasi pada atas menerangkan bahwa tanpa suatu peningkatan hasil atau produktivitas di sektor pertanian, maka industri pertanian (agroindustri) tidak bisa mempertinggi outputnya (atau pertumbuhan yang tinggi akan sulit tercapai). Oleh karenanya, sektor pertanian memainkan peranan yang sangat penting dalam proses industrialisasi pertanian. 

Kemiskinan serta Kemiskinan Perdesaan 
Konsep dan Ukuran Kemiskinan 
Konsep mengenai kemiskinan sangat majemuk, mulai berdasarkan sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, sampai pengertian yg lebih luas yg memasukkan aspek sosial dan moral. Bappenas (2002) mendefinisikan kemiskinan menjadi suatu situasi atau kondisi yg dialami seseorang atau gerombolan orang yg nir bisa menyelenggarakan hidupnya hingga suatu tingkat yg dipercaya manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004 pada Susanto, 2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu syarat dimana seseorang atau sekelompok orang, nir bisa memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan serta mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam serta lingkungan hayati, rasa kondusif dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak buat berpartisipasi dalam kehidupan social politik, baik bagi perempuan juga laki-laki . 

Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi serta akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait serta saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak mempunyai loka tinggal, jika sakit tidak mempunyai dana buat berobat. Orang miskin umumnya tidak bisa membaca karena nir mampu bersekolah, nir memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan merupakan ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. 

Beberapa definisi kemiskinan yang dirujuk sang Komite PenanggulanganKemiskinan (2002) merupakan menjadi berikut: 
1. BPS: Kemiskinan merupakan kondisi seseorang yg hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari. 
2. BKKBN: Kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, nir dapat melaksanakan ibadah berdasarkan agamanya, tidak bisa makan dua kali sehari, nir memiliki pakaian tidak sinkron buat di tempat tinggal , bekerja dan bepergian, bagian terluas tempat tinggal berlantai tanah dan tidak sanggup membawa anggota famili ke sarana kesehatan. Pengertian famili miskin ini didefinisikan lebih lanjut menjadi: (a) paling kurang sekali seminggu famili makan daging/ikan/telur, (b) setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel sandang baru, serta (c) luas lantai tempat tinggal paling kurang 8 m untuk tiap penghuni. Keluarga miskin sekali merupakan keluarga yang lantaran alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: 
(a) dalam umumnya semua anggota famili makan 2 kali sehari atau lebih, (b) anggota famili memiliki pakaian berbeda buat pada rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, dan (c) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. 
3. Bank Dunia: Kemiskinan merupakan nir tercapainya kehidupan yg layak menggunakan penghasilan US $ 1 per hari. 

Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan nisbi, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis serta kemiskinan ad interim. Kemiskinan absolut, adalah bila taraf pendapatan seorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau sejumlah pendapatannya tidak relatif buat memenuhi kebutuhan hayati minimum (basic needs), diantaranya kebutuhan pangan, pakaian, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang dibutuhkan buat hidup serta bekerja. Kemiskinan relatif, adalah apabila seorang memiliki penghasilan pada atas garis kemiskinan, tetapi relatif lebih rendah dibandingkan menggunakan pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan nisbi erat kaitannya menggunakan kasus pembangunan yg sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yg belum menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu dalam perilaku seorang atau warga yang disebabkan sang faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki taraf kehidupan meskipun ada usaha menurut pihak luar buat membantunya. Kemiskinan kronis, ditimbulkan oleh beberapa hal, yaitu: (a) kondisi sosial budaya yang mendorong perilaku serta norma hidup warga yg tidak produktif, (b) keterbatasan sumber daya serta keterisolasian (daerah-wilayah kritis asal daya alam dan wilayah terpencil), serta (c) rendahnya taraf pendidikan serta derajad perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja serta ketidak berdayaan warga dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya: (a) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (b) perubahan yg bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, serta (c) bencana alam atau efek berdasarkan suatu kebijakan tertentu yg mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. 

Menurut Darwis serta Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan bisa dihitung menggunakan memakai tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,pendapatan dan pengeluaran. Garis kemiskinan yang ditentukan menurut taraf produksi, contohnya produksi padi per kapita, hanya dapat menggambarkan aktivitas produksi tanpa memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup. Perhitungan garis kemiskinan menggunakan pendekatan pendapatan tempat tinggal tangga dinilai paling baik. Cara ini tidak mudah dilakukan lantaran kesulitan buat memperoleh data pendapatan rumah tangga yang seksama. Untuk mengatasi kesulitan tadi, maka garis kemiskinan dipengaruhi dengan pendekatan pengeluaran yg digunakan menjadi proksi atau asumsi pendapatan rumah tangga. 

Garis kemiskinan yang digunakan BPS dinyatakan sebagai jumlah rupiah yg dimuntahkan atau dibelanjakan buat memenuhi kebutuhan konsumsi yg setara menggunakan dua 100 kalori per kapita ditambah menggunakan pemenuhan kebutuhan minimum lainnya seperti pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori dengan pendekatan pengeluaran menjadi dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Sayogyo tahun 1977. Konsep ini dinilai lebih mendekati syarat kehidupan warga yang sesungguhnya karena pengeluaran utama pada luar kebutuhan pangan juga diperhitungkan (Yusdja et al., 2003). 

Berdasarkan garis kemiskinan yg dipergunakan, bisa dihitung jumlah penduduk miskin pada suatu daerah. Garis kemiskinan dibedakan antara wilayah perkotaan serta perdesaan, dimana garis kemiskinan pada perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sesuai menggunakan perbedaan indeks harga bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat di ke 2 daerah tersebut. Garis kemiskinan pula berubah berdasarkan tahun ke tahun, dikoreksi menurut perkembangan taraf harga kebutuhan pokok rakyat (Sumedi dan Supadi, 2004). 

Indikator yang biasa dipakai buat mengukur kemiskinan pada studistudi realitas adalah menjadi berikut (Yudhoyono serta Harniati, 2004; Nanga,2006; serta Foster et al., 1984): 
1. Incidence of poverty, yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam famili dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya diklaim poverty headcount index, yg merupakan ukuran kasar menurut kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa poly orang miskin yang terdapat pada pada perekonomian lalu dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yg sama besarnya, nir ada disparitas antara penduduk yg paling miskin dan penduduk yg paling kaya di antara orang-orang miskin. 

2. Depth of poverty, yg mendeskripsikan taraf kedalaman kemiskinan pada suatu daerah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jeda atau perbedaan homogen-rata pendapatan orang miskin berdasarkan garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. 

3. Severity of poverty, yang menerangkan kepelikan kemiskinan di suatu daerah, yang merupakan rata-rata dari kuadrad kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yg memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan jua ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini pula acapkali dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). 

Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara buat mengukur taraf kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yg dapat dibagi ke pada dua grup pendekatan yaitu asiomatic approach serta stochastic dominance. Pendekatan yang acapkali dipakai pada studi-studi realitas merupakan pendekatan pertama menggunakan 3 alat ukur yaitu: (1) the generalized entropy (GE), (2) the Atkinson measure, serta (tiga) Gini coefficient. 

Rumus GE bisa dituliskan sebagai berikut:

dimana: n merupakan jumlah individu (orang) di pada sampel, yi adalah pendapatan berdasarkan individu (1, 2, ....., n), serta y = (1/n) ∑ yi merupakan ukuran homogen-homogen pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 hingga ∞. Nilai GE nol berarti distribusi pendapatan merata (pendapatan menurut semua individu di dalam sampel sama) serta ∞ berarti kesenjangan yang sangat akbar. Parameter α mengukur besarnya disparitas antar pendapatan dari gerombolan yg tidak sama pada dalam distribusi tadi. 

Dari persamaan (2.1) di atas, bisa diturunkan cara mengukur ketimpangan dari Atkinson menjadi berikut:

dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), meningkat nilai ε maka semakin nir seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0 sampai 1. Nilai A sama dengan nol berarti tidak ada ketimpangan pada distribusi pendapatan. 

Alat ukur ketiga yang seringkali digunakan dalam setiap studi realitas mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan merupakan koefisien atau rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan menjadi berikut:

dimana: G merupakan nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi=1/n, F*(Yi) adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan seluruh sampel, serta F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada dalam selang 0 sampai 1. Jika rasio Gini = 0, berarti kemerataan yang paripurna (setiap orang mendapat porsi berdasarkan pendapatan yg sama). Jika rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan istilah lain, satu orang (satu kelompok pendapatan) pada suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut. 

Dengan memakai grafik, rasio Gini dapat digambarkan menggunakan Kurva Lorenz seperti yg disajikan pada Gambar 5. Koefisien Gini merupakan rasio antara wilayah pada dalam grafik yang terletak pada antara kurva Lorenz serta garis kemerataan paripurna (yg membangun sudut 45 berdasarkan titik 0 sumbu Y dan X) terhadap wilayah segitiga antara garis kemerataan serta sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz dari garis 45, semakin besar taraf ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Gambar Rasio Gini serta Kurva Lorenz 
Sumber: Tambunan (2001) 

Foster et al. (1984) mengemukakan suatu berukuran atau indikator yang bisa digunakan buat menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan. Ukuran atau indikator tersebut adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai α, dapat dipandang dalam Gambar 6, yang menggambarkan kontribusi total kemiskinan P(z;α) dari masing-masing individu menggunakan tingkat kemiskinan p yang tidak sinkron. 

Kontribusi tersebut ditunjukkan oleh (g(p;z)/z) α. Untuk α = 0, kontribusinya adalah 1 buat yg miskin serta 0 buat yg kaya (yg mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama dengan pendapatan Q(p) yang melebihi z). 

Headcount index adalah daerah empat persegi panjang. Untuk α =1 donasi seseorang dalam tingkat kemiskinan p, persis sama dengan poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yg dinormalkan merupakan yg berada dalam daerah pada bawah g(p;z)/z. Demikian jua buat nilai α yang lebih akbar, contohnya kontribusi buat P(z;α=tiga) menurut individu-individu dalam tingkat kemiskinan p merupakan (g(p;z)/z), sehingga homogen-homogen kemiskinan P(z;α=tiga) merupakan area yg berada di bawah kurva (g(p;z)/z).

Gambar  Poverty Gaps serta FGT Indeks 
Sumber: Foster et al. (1984) 

Duclos serta Araar (2004) memperkenalkan 2 pendekatan yang dapat dipakai buat mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan tersebut adalah: (1) equality distributed equivalent (EDE), yaitu baku hayati berdasarkan masyarakat dimana pendapatan sebagai acuan batas garis kemiskinan, dan (2) kombinasi antara pendapatan serta garis kemiskinan sebagai poverty gaps dan mengelompokkannya dalam kesejahteraan masyarakat. 

Kemiskinan Perdesaaan 
Desa sampai ketika ini tetap menjadi kantong primer kemiskinan. Pada tahun 1998 berdasarkan 49.lima juta jiwa penduduk miskin pada Indonesia lebih kurang 60 % (29.7 juta jiwa) tinggal di wilayah perdesaan. Pada tahun 1999, persentase angka kemiskinan mengalami penurunan berdasarkan 49.5 juta jiwa menjadi 37.lima juta jiwa. Persentase kemiskinan pada daerah perkotaan mengalami penurunan, namun persentase kemiskinan pada wilayah perdesaan justru mengalami peningkatan menurut 60 % tahun 1998 menjadi 67 % tahun 1999 yaitu sebanyak 25.1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12.4 juta jiwa (Susanto, 2005). Data tersebut diperkuat oleh laporan Kompas tahun 2004 yg menyajikan bahwa lebih dari 60 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di wilayah perdesaan. Dengan demikian, daerah perdesaan hingga waktu ini permanen sebagai kantong terbesar menurut pusat kemiskinan. 

Menurut Sumedi serta Supadi (2004), tingkat pendapatan rakyat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan lantaran sebagian akbar rakyat miskin pada perdesaan memiliki taraf pendapatan di lebih kurang batas garis kemiskinan, ad interim di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin mempunyai taraf pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya pemugaran struktur perekonomian yg berhasil menaikkan pendapatan warga , pengurangan jumlah penduduk miskin pada perdesaan lebih akbar daripada pada perkotaan. Sebaliknya, adanya krisis ekonomi yg menurunkan pendapatan rakyat, pertambahan jumlah penduduk miskin pada perdesaan pula lebih akbar. 

Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mensugesti indeks kemiskinan pada daerah perdesaan. Hasil penelitian Darwis serta Nurmanaf (2001) memperlihatkan bahwa lebih berdasarkan 70 persen ketua tempat tinggal tangga miskin pada perdesaan tidak tamat SD dan kurang dari 25 % yg menamatkan SD. Lebih lanjut disebutkan bahwa rumah tangga miskin memiliki homogen-homogen jumlah anggota rumah tangga yg lebih akbar dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yg tidak tergolong miskin. Dengan demikian, bila diasumsikan bahwa jumlah anggota tempat tinggal tangga merupakan beban tanggungan pengeluaran, maka dapat disimpulkan bahwa tempat tinggal tangga miskin memiliki beban yang lebih berat dalam mencukupi kebutuhan anggota keluarganya dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yang tidak tergolong miskin. 

Hasil penelitian Yusdja et al. (2003) menerangkan bahwa lebih berdasarkan 62 % angkatan kerja rumah tangga miskin bekerja pada sektor pertanian pada perdesaan, disusul pada aktivitas pada sektor perdagangan menjadi pedagang kecil (10 persen), industri rumah tangga (7 persen) serta jasa (6 persen). Pada biasanya sebagian besar anggota rumah tangga miskin bekerja pada kegiatan-aktivitas yang mempunyai produktivitas energi kerja rendah. Hal ini erat kaitannya menggunakan rendahnya aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi. 

Pada kenyataannya angkatan kerja tadi cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yg minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif serta permodalan.

Menurut Susanto (2005), penyebab kemiskinan di perdesaan umumnya bersumber berdasarkan sektor pertanian, yang ditimbulkan oleh ketimpangan kepemilikan huma pertanian. Kepemilikan huma pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3.8 % menurut 18.tiga juta ha. Di sisi lain, kesenjangan pada sektor pertanian juga ditimbulkan oleh ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yg terbatas jua menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian pada perdesaan menurun. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8 persen dari seluruh kredit perbankan, serta hanya naik dua % tahun 2000 menjadi 10 %. 

Kondisi tersebut di atas sesuai menggunakan pendapat Thorbecke serta Pluijm (1993), yg menyatakan bahwa kemiskinan poly dijumpai di perdesaan serta sangat berhubungan dengan: (a) pola kepemilikan lahan serta produktivitas lahan, (b) struktur kesempatan kerja, dan (c) operasi pasar tenaga kerja. Lebih lanjut disebutkan bahwa individu-individu dari banyak sekali golongan rumah tangga mempunyai perbedaan pada hal anugerah sumberdaya yang diterima, khususnya penguasaan huma (land endowment) dan kapital manusia (human capital). Hal ini berarti masih ada hubungan yg tinggi antara baku hayati dengan jumlah dan kualitas lahan yang dimiliki, serta korelasi antara baku hidup menggunakan taraf pendidikan serta keahlian anggota rumah tangga. Dengan demikian, suatu rumah tangga yg tergolong tidak memiliki huma dan dengan tingkat pendidikan serta keahlian yg terbatas, bila nir mendapat donasi dan transfer pendapatan berdasarkan pihak lain, maka rumah tangga tersebut akan cenderung terus karam dalam kemiskinannya. 

Model Keseimbangan Umum 
Dalam suatu sistem perekonomian, perubahan keseimbangan pada suatu pasar nir hanya berdampak terhadap sektor atau komoditas itu sendiri, tetapi juga berdampak terhadap sektor atau komoditas serta banyak sekali kegiatan ekonomi lainnya melalui keterkaitan input-hasil. Oleh karena itu, impak suatu kebijakan lebih tepat dianalisis berdasarkan teori ekuilibrium generik dibandingkan menggunakan teori keseimbangan parsial. 

Teori keseimbangan umum menyebutkan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar yg saling terkait. Keseimbangan umum terjadi bila permintaan serta penawaran pada masing-masing pasar dalam sistem tersebut berada dalam kondisi keseimbangan secara simultan. Tingkat harga ekuilibrium yg terwujud adalah solusi berdasarkan sistem persamaan simultan yg menggambarkan perilaku setiap pelaku ekonomi dan ekuilibrium pada setiap pasar. 

Menurut paham teori ekuilibrium umum, bila pada syarat ekuilibrium terjadi gangguan yg mengakibatkan ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam suatu pasar secara parsial, maka akan segera diikuti oleh penyesuaian pada pasar yg bersangkutan dan selanjutnya terjadi proses penyesuaian pada pasar lainnya (simultaneous adjustment) yang membawa perekonomian secara keseluruhan kembali dalam kondisi ekuilibrium yang baru. Mekanisme pencapaian keseimbangan pada seluruh jenis barang di seluruh pasar yang berlaku bagi pembuat dan konsumen disebut sebagai analisis ekuilibrium umum (general equilibrium analysis). 

Analisis ekuilibrium generik adalah landasan bagi perkembangan contoh ekuilibrium umum. Hulu (1997) mengemukakan bahwa formulasi teoritis model keseimbangan umum telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, diantaranya rumusan Gossen (1854), Jevons (1871), Walras (1874-1877), dan Menger (1871). Abraham Wald dan Gustav Cassel (1930-an), berhasil menyusun formulasi contoh ekuilibrium umum menjadi sebuah model simultan versi Walras, walaupun belum lengkap verifikasi eksistensi penyelesaiannya. John von Neuman selanjutnya berhasil mengambarkan adanya keseimbangan generik, menggunakan sebuah contoh dan menghasilkan solusi tunggal. John Hicks dan Oscar Lange, menyusun model ekuilibrium generik versi makroekonomi Keynesian, yaitu perekonomian yang terdiri dari empat pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja serta pasar kapital). Solusi keseimbangan generik contoh ini memakai asumsi Walras, yaitu andaikan ada n pasar, serta bila n-1 pasar telah berada dalam keseimbangan, maka seluruh n pasar akan berada dalam keseimbangan. 

Pembuktian Walras tentang adanya titik ekuilibrium umum tadi dilakukan dengan memakai matematika formal. Walras menyimpulkan bahwa sejumlah n fungsi excess demand nir tergantung dalam fungsi lainnya. 

Formula ini dapat dituliskan menjadi berikut:

Persamaan (2.5) pada atas adalah Hukum Walras, yg berarti bahwa total excess demand terjadi pada semua jenis barang atau komoditas yang diproduksi (Nicholson, 1994). Apabila nilai semua komoditas yang ditawarkan di pasar sama dengan nilai komoditas yg diminta di pasar, sedangkan harga-harga (pada hal ini harga nisbi) diketahui dalam saat pasar ke-1 ada keseimbangan, maka dalam pasar yg ke-k akan ada ekuilibrium pula. 

Fondasi yg kokoh dari contoh keseimbangan umum berhasil dibangun sang Arrow dan Debreu (1954) dan McKenzie (1959) yg pertanda bahwa model keseimbangan umum secara teoritis “ada, mempunyai solusi tunggal, dan stabil”. Arrow dan Debreu (1954) mensyaratkan adanya ekuilibrium umum apabila perekonomian dalam keadaan kompetitif sempurna, dimana nir terdapat indivisibilitas serta tidak masih ada skala pengembalian yg meningkat (increasing return to scale). Dengan demikian, perekonomian yang nir kompetitif paripurna, titik keseimbangan generik nir selalu ada. 

Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan contoh ekuilibrium generik teoritis formulasi Arrow, Debreu dan McKenzie dianggap menjadi contoh Computable General Equilibrium (CGE). Menurut Ratnawati (1996), masih ada 3 ciri pengembangan contoh CGE. Pertama, formulasi CGE yg dikembangkan sang Johansen pada tahun 1960, yaitu contoh CGE disusun sebagai sebuah model linier simultan, dan menurut solusi model diperoleh harga dan kuantitas berdasarkan setiap barang yg diidentifikasi sebagai ekuilibrium umum. Kedua, Herbert Scarf dalam tahun 1970 merumuskan penyelesaian contoh CGE menggunakan “fixed point theorem”. Ketiga, Adelman dan Robinson dalam tahun 1978 merumuskan contoh CGE menjadi sebuah model simultan non linier (nonlinier programming solution), dan solusinya menghasilkan harga bayangan (shadow prices) yang diinterpretasikan sebagai harga dalam syarat ekuilibrium generik. 

Uraian tersebut pada atas memberitahuakn bahwa contoh CGE adalah sebuah pendekatan komprehensif yang merangkum contoh multimarket serta memakai ekuilibrium pasar sebagai elemen dasar analisisnya. Sebuah model CGE menggambarkan agen-agen pelaku ekonomi dan perilakunya, sehingga membawa pasar-pasar yg tidak sama ke pada suatu keseimbangan. 

Pada formulasi model CGE, terdapat keterkaitan antar pelaku ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, rumah tangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar komoditas yang berbeda. Seluruh pasar berada pada keadaan ekuilibrium serta mempunyai struktur yang khusus buat mencapai ekuilibrium apabila masih ada guncangan dalam galat satu pasar (Oktaviani, 2001). 

Secara generik contoh CGE memuat persamaan-persamaan, variabel-variabel eksogen dan parameter, variabel-variabel endogen, serta bentuk-bentuk fungsi menurut persamaan. Sistem persamaan dibuat sang subsistem-subsistem persamaan yg secara umum mencakup produksi, pasar tenaga kerja, faktor renumerasi, pendapatan disposable, kelembagaan (tempat tinggal tangga dan pemerintah), tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, keseimbangan pasar produk, dan numeraire (Sadoulet serta de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yang membentuk contoh CGE umumnya dikelompokkan menjadi blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor-impor, blok investasi, dan blok kliring pasar. 

Lebih lanjut Sadoulet dan de Janvry (1995) mengemukakan bahwa menggunakan sitem persamaan yg komprehensif, contoh CGE memiliki keunggulan pada mengungkapkan impak produksi, konsumsi, perdagangan, investasi dan interaksi spasial secara holistik menurut suatu kebijakan (policy) atau guncangan (shock). Karena itu model ini telah diterapkan buat mensimulasikan efek sosial ekonomi berdasarkan sebuah skenario yang luas yg meliputi beberapa hal. 

Pertama, foreign shocks, seperti perubahan yang nir dibutuhkan dalam term of trade (contohnya kenaikan dalam harga impor minyak atau penurunan pada harga komoditas ekspor primer suatu negara) dan keharusan menurunkan pinjaman luar negeri. Kedua, perubahan dalam kebijakan ekonomi. Pajak dan subsidi merupakan instrumen kebijakan yg sangat lazim dianalisis, khususunya dalam sektor perdagangan. Model ini jua telah digunakan buat melihat perubahan berukuran serta komposisi dalam pengeluaran rutin serta investasi pemerintah. Ketiga, perubahan pada struktur sosial ekonomi domestik, misalnya perubahan teknologi pertanian, redistribusi aset-aset, serta pembentukan kapital sumberdaya insan. 

Buehrer dan Mauro (1995) mengemukakan bahwa contoh CGE dapat dipakai buat mensimulasi impak dari kebijakan perdagangan serta impak perubahan ekonomi berdasarkan berbagai paket kebijakan pemerintah. Adapun dari Yeah et al. (1994) bahwa penggunaan contoh CGE tidak hanya pada contoh perdagangan internasional namun pula dalam perencanaan pembangunan, keuangan, lingkungan, manajemen sumberdaya, serta perubahan transisi serta ekonomi pasar. 

Model tadi dapat menganalisis sensitivitas berdasarkan alokasi sumberdaya lantaran adanya perubahan dari sektor eksternal, ad interim analisis keseimbangan parsial mengasumsikan bahwa sumberdaya bersifat permanen. Selanjutnya, landasan teori ekonomi mikro yang digunakan mencakup parameter elastisitas serta input-hasil data, sebagai akibatnya model CGE merupakan indera analisis eksperimental untuk menganalisis perubahan ekonomi. 

Penggunaan aturan standar model CGE, keseimbangan ekonomi makro di masing-masing pasar bisa diilustrasikan misalnya pada Gambar, yang diadopsi menurut Devarajan, Lewis dan Robinson (1990), misalnya yang dikutip sang Sadoulet serta de Janvry (1995). 

Gambar Keseimbangan Ekonomi Makro dalam CGE 

Menurut Nicholson (1994), properties menurut kondisi ekuilibrium generik adalah terjadinya efisiensi pareto. Adapun menurut Just et al. (1982), kriteria pareto menyatakan bahwa sesuatu perubahan dianggap sebagai perubahan yang membawa kebaikan, apabila perubahan tadi menyebabkan beberapa orang menjadi lebih baik namun nir seorangpun sebagai lebih buruk. Dengan demikian, apabila sudah tercapai suatu kondisi dimana satu pihak tidak bisa meningkatkan kepuasannya tanpa mengurangi kepuasan pihak-pihak yg lainnya, maka syarat ini dianggap pareto optimum.

Efisiensi pareto terjadi pada waktu ekuilibrium umum tercapai melalui mekanisme pasar persaingan paripurna. Konsep efisiensi pareto mencakup tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi alokasi asal (ekuilibrium produksi), efisiensi distribusi komoditas (ekuilibrium konsumsi) serta efisiensi kombinasi produk (keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi). Di bawah ini dibahas masing-masing efisiensi tersebut pada perkara satu konsumen, 2 faktor produksi dan dua komoditas. 

Keseimbangan Produksi 
Nicholson (1994) beropini bahwa pembuat akan berada pada kondisi keseimbangan apabila marginal rate of technical substitution (MRTS) antara 2 faktor produksi yg digunakan sama menggunakan rasio harga menurut kedua faktor produksi tersebut. Dengan demikian, buat penggunaan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) serta kapital (K), maka ekuilibrium produksi akan tercapai pada waktu MRTSlk = w1/w2 pada mana w1 adalah harga faktor L dan w2 harga faktor K. 

Pada perkara 2 perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang tidak sama yaitu x1 dan x2, ekuilibrium simultan yg terjadi dapat dijelaskan melalui kotak Edgeworth (Gambar 8). 

Gambar Diagram Kotak Edgeworth dalam Kasus Dua Komoditas serta Dua Faktor Produksi 
Sumber: Nicholson (1994) 

Paga Gambar, nampak bahwa ekuilibrium simultan antara 2 produk x1 serta x2 tercapai dalam waktu isoquant x1 bersinggungan menggunakan isoquant x2 pada berbagai taraf output. Titik-titik singgung tadi membentuk kurva yg diklaim contract curve (CC). Pilihan taraf hasil yg akan diproduksi dipengaruhi sang rasio harga faktor. Secara matematis pertarungan pada atas dapat diformulasikan sebagai berikut:

dimana MRTS merupakan slope dari isoquant. Rumusan di atas adalah rumusan ekuilibrium umum pada sektor produksi, yang tercapai dalam ketika MRTS buat seluruh jenis hasil merupakan sama. Jika harga faktor diketahui, maka jumlah hasil x1 dan x2 yg wajib diproduksi agar tercapai laba maksimum, bisa dipengaruhi. 

Tingkat output x1 serta x2 yang diproduksi perusahaan harus sinkron menggunakan permintaan konsumen terhadap barang x1 serta x2. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif p1 serta p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran menggunakan permintaan, diperlukan konsep production posibility curve (PPC) (Gambar)

Gambar  Production Possibility Curve
Sumber: Nicholson (1994) 

PPC diderivasi berdasarkan CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC merupakan gugusan titik-titik yang menggambarkan banyak sekali tingkat produksi x1 dan x2 yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk lantaran mendeskripsikan transfomasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi faktor produksi (marginal rate of production transformation = MRPT). 

Berdasarkan definisi:


Keseimbangan Konsumsi 
Untuk mengetahui kondisi pareto optimum pada konsumen, maka wajib diketahui konsep taraf pertukaran marginal atau marginal rate of substitution (MRS), dimana MRS memberitahuakn kesediaan seorang konsumen buat menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang buat mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga nisbi ke 2 barang yang akan dikonsumsinya, yang secara matematis dapat dipengaruhi menjadi berikut: 

Fungsi kepuasan U = f(X) menggunakan pendapatan (I), sebagai akibatnya didapatkan:



Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi 
Keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi tercapai dalam waktu MRPT12 = MRS12 = p1/p2. MRPT menampakan bagaimana suatu produk ditransformasikan menjadi produk lain, sedangkan MRS menampakan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditas menggunakan komoditas lainnya. Keseimbangan terjadi apabila planning produksi sinkron dengan rencana konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi berdasarkan ekuilibrium simultan ini adalah bahwa kombinasi hasil x1 dan x2 wajib optimal baik menurut sudut produsen maupun konsumen. Secara grafis keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi dapat ditinjau dalam Gambar.

Gambar  Keseimbangan Simultan Sektor Produksi serta Konsumsi 
Sumber: Nicholson (1994)