APA ITU MANGROVE

Asal kata “mangrove” tidak diketahui secara jelas serta terdapat berbagai pendapat tentang dari-usul katanya. Macnae (1968) menjelaskan kata mangrove merupakan deretan antara bahasa Portugis mangue serta bahasa Inggris grove.
Sementara itu, dari Mastaller (1997) kata mangrove berasal berdasarkan bahasa Melayu antik mangi-mangi yg digunakan buat menampakan marga Avicennia serta masih digunakan hingga ketika ini pada Indonesia bagian timur.

APA ITU MANGROVE?


Beberapa pakar mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun dalam dasarnya merujuk dalam hal yg sama. Tomlinson (1986) serta Wightman (1989) mendefinisikan mangrove baik menjadi tumbuhan yang terdapat di wilayah pasang surut juga sebagai komunitas. 

Mangrove jua didefinisikan menjadi gugusan flora wilayah litoral yang khas di pantai daerah tropis serta sub tropis yang terlindung (Saenger, dkk, 1983). 


Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial pada wilayah pantai dan muara sungai yg dipengaruhi pasang surut air bahari, dan terdiri atas jenis-jenis pohon
Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.

Sumber : Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.

Semoga Bermanfaat...

HUKUM LINGKUNGAN DAN KEBIJAKSAAN LINGKUNGAN NASIONAL

Hukum Lingkungan Dan Kebijaksaan Lingkungan Nasional
1. Pelaksanaan AMDAL Di Indonesia
Dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan, lingkungan perlu dijaga kerserasian hubungan antar aneka macam aktivitas. Salah satu instrumen pelaksanaan kebijaksanaan lingkungan merupakan AMDAL sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UULH. Sebagai pelaksanaan Pasal 16 UULH, pada lepas lima Juni 1986 sudah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yg mulai berlaku tanggal lima Juni 1987 menurut Pasal 40 PP tersebut.

Dalam upaya melestarikan kemampuan lingkungan, analisis tentang damapak lingkungan bertujuan untuk menjaga supaya syarat lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu eksklusif demi mengklaim transedental pembangunan. Peranan instansi yang berwenang menaruh keputusan mengenai proses analisis mengenai impak lingkungan sudah jelas sangat penting. Keputusan yang diambil aparatur pada proses administrasi yangditempuh pemrakarsa sifatnya sangat menentukan terhadap mutu lingkungan, karena AMDAL berfungsi menjadi instrumen pencegahan pencemaran lingkungan.

Pada saat berlakunya PP No. 29 Tahun 1986, pemerintah bermaksud menaruh waktu yang relatif memadai yaitu selama satu tahun buat mempersiapkan segala sesuatu yg berhubungan dengan efektifitas berlakunya PP tersebut. Hal ini erat hubungannya dengan persiapan tenaga ahli penyusun AMDAL. Di samping itu diperlukan jua ketika buat pembentukan Komisi Pusat dan Komisi Daerah yang adalah persyaratan esensial bagi aplikasi PP No. 29 Tahun 1986 tersebut. PP 29 Tahun 1986 lalu dicabut menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diberlakukan dalam lepas 23 Oktober 1993. Perbedaan primer antara PP tahun 1986 menggunakan PP tahun 1993 adalah ditiadakannya dokumen penyajian liputan lingkungan (PIL) serta dipersingkatnya tenggang waktu mekanisme (tata laksana) AMDAL dalam PP yang baru. PIL berfungsi menjadi filter buat menentukan apakah rencana aktivitas dapat menimbulkan imbas krusial terhadap lingkungan atau tidak. 

Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL wajib dibuat pada termin paling dini pada perencanaan kegiatan pembangunan. Dengan istilah lain, proses penyusunan serta ratifikasi AMDAL harus merupakan bagian berdasarkan proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini proyek-proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain, studi AMDAL jua bisa memberi masukan bagi upaya-upaya buat menaikkan imbas positif berdasarkan proyek tadi.

Instrumen AMDAL dikaitkan menggunakan sistem perizinan. Menurut Pasal 5 PP Nomor 51 Tahun 1993, keputusan mengenai hadiah biar usaha tetap oleh instansi yang membidangi jenis usaha atau aktivitas dapat diberikan sesudah adanya pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang sudah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab. 

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 dimaksudkan buat menyempurnakan kelemahan yg dirasakan dalam PP Nomor 29 Tahun 1986 mengenai AMDAL. Namun, upaya penyempurnaan itu ternyata nir tercapai, bahkan terdapat ketentuan baru yang menyangkut konsekuensi yuridis yg rancu (Pasal 11 ayat (1) PP AMDAL 1993). Meski demikian yang penting dalam PP AMDAL 1993 artinya Studi Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) bagi aktivitas yang sedang berjalan dalam saat berlakunya PP AMDAL 1986 sebagai ditiadakan., sehingga AMDAL semata-mata dibutuhkan bagi bisnis atau aktivitas yang masih direncanakan. Selanjutnya PP Nomor 51 Tahun 1993 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Dalam PP 27 tahun 1999 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu:
  1. AMDAL proyek, yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu aktivitas yang berada pada kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya planning kegiatan pabrik tekstil, yg mmpunyai kewenangan memberikan ijin serta mengevaluasi studi AMDALnya ada dalam Departemen Perindustrian.
  2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yg berlaku bagi suatu rencana kegiatan pembangunan yg bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan pada hal perencanaan, pengelolaan serta proses produksi, serta berada dalam satu kesatuan ekosistem serta melibatkan kewenangan lebih berdasarkan satu instansi. Sebagai contoh adalah galat satu aktivitas pabrik pulp serta kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk penyediaan bahan bakunya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk menyediakan tenaga, serta pelabuhan buat distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih menurut satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.
  3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yg ditujukan pada suatu rencana kegiatan pembangunan yang berlokasi pada satu kesatuan hamparan ekosistem serta menyangkut wewenang satu instansi. Contohnya adalah rencana aktivitas pembangunan daerah industri. Dalam kasus ini masing-masing kegiatan di pada tempat nir perlu lagi menciptakan AMDALnya lantaran telah tercakup dalam AMDAL semua daerah. 
  4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yg diperuntukan bagi planning aktivitas pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan ketika pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada pada satu kesatuan ekosistem, satu planning pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah pembangunan kota-kota baru.
Secara teknis instansi yang bertanggung jawab pada merumuskan dan memantau penyusunan AMDAL di Indonesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendali Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP No. 51 tahun 1993, wewenang ini juga dilimpahkan dalam instansi-instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I. Dengan istilah lain, BAPEDAL Pusat hanya menangani studi-studi AMDAL yg dianggap memiliki implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini merupakan menggunakan memberikan kewenangan proses penilaian AMDAL dalam wilayah. Materi baru pada PP ini adalah diberikannya kemungkinan partisipasi masyarakat pada pada proses penyusunan AMDAL. 

Dalam sebuah lokakarya regional koordinasi tata lingkungan wilayah Kalimantan, Ir Hermien Roosita MM, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa hanya 119 kabupaten/kota yang memiliki komisi penilai AMDAL berdasarkan 474 kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL. Sementara 75% dokumen AMDAL yang dihasilkan berkualitas jelek hingga sangat jelek.

Lebih lanjut disampaikannya bahwa selama ini AMDAL memerlukan waktu proses sangat cepat, nir terdapat penegakan aturan terhadap pelanggar AMDAL, donasi pengelolaan lingkungan yang masih rendah, sebagai beban porto, serta dilihat sebagai komoditas ekonomi sang (oknum) aparatur pemerintah, pemrakarsa atau konsultan. Lebih rusaknya, waktu AMDAL justru hanya sebagai alat retribusi, bukan sebagai bagian menurut sebuah studi kelayakan, sehingga sering kali ditemui poly AMDAL yg justru melanggar tata ruang. 

Jangka ketika pemrosesan dokumen AMDAL dari PP No. 29 Tahun 1986 merupakan 90 hari, namun dari Pasal 10 PP Nomor 51 Tahun 1993, bisa selambat-lambatnya 45 hari. Ketentuan mengenai jangka saat terasa maju, namun sudahkah sesuai menggunakan realita kemampuan aparatur? Sungguh mengejutkan ketentuan pada Pasal 10 ayat (tiga) tadi: “dinyatakan diberikan persetujuan atas kekuatan PP ini”. Tanpa diproses apakah konsekuensi yuridis ketentuan misalnya itu terhadap mekanisme AMDAL? Keruntuhan sistem AMDAL menjadi instrumen hukum lingkungan yg berfungsi sebagai wahana pencegahan pencemaran lingkungan. 

AMDAL waktu pertama kali dikeluarkan sebagai sebuah kebijakan yg merupakan bagian kegiatan studi kelayakan planning usaha serta/atau kegiatan. Hasil analisis mengenai impak lingkungan hayati dipakai sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. Tetapi dikarenakan minimnya pengetahuan berdasarkan pemerintah serta masyarakat dalam memahami AMDAL, menjadikan pemrakarsa serta konsultan memakai AMDAL menjadi sebuah dokumen berasal jadi, serta kesamaan mengutip dokumen AMDAL lainnya sangat tinggi. Sehingga AMDAL nir bisa menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah aktivitas berjalan.

Dalam proses penyusunan dokumen AMDAL, sangat seringkali ditemui konsultan (tim penyusun) AMDAL meninggalkan aneka macam prinsip pada AMDAL. Terutama posisi rakyat dalam proses penyusunan dokumen AMDAL. Proses keterbukaan keterangan dijamin oleh kebijakan, di mana Pasal 33 PP No. 27/1999 menegaskan kewajiban pemrakarsa buat mengumumkan pada publik serta saran, pendapat, masukan publik wajib buat dikaji serta dipertimbangkan pada AMDAL. Dan Pasal 34 menegaskan bagi kelompok rakyat yang berkepentingan harus dilibatkan pada proses penyusunan kerangka acuan, evaluasi kerangka acuan, analisis impak lingkungan hidup, planning pengelolaan lingkungan hayati serta rencana pemantauan lingkungan hayati.

Keterbukaan dan kiprah dan rakyat pada proses pengambilan keputusan yg bisa menyebabkan impak penting terhadap lingkungan (khusunya izin lingkungan) perlu dirumuskan pada peraturan perundang-undangan. Peran serta masyarakat sang seorang gerombolan orang (organisasi lingkungan hayati) atau badan hukum adalah konsekuensi dari “hak yang sama atas lingkungan hayati yg baik dan sehat” sebagaimana ditetapkan pada Pasal lima ayat (1) UUPLH

Maksud dan tujuan dilaksanakannya ketertibatan masyarakat pada keterbukaan warta pada proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini adalah buat:
  1. Melindungi kepentingan warga .
  2. Memberdayakan masyarakat pada mengambil keputusan atas planning usaha dan/atau aktivitas pembangunan yg berpotensi menyebabkan dampak besar serta penting terhadap lingkungan.
  3. Memastikan adanya transparansi pada keseluruhan proses AMDAL berdasarkan planning usaha serta atau kegiatan.
  4. Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara seluruh pihak yang berkepentingan, yaitu menggunakan menghormati hak-hak seluruh pihak buat mendapatkan liputan dan mewajibkan seluruh pihak buat mengungkapkan liputan yang wajib diketahui pihak lain yang terpengaruh. 
Akan namun, beberapa ketentuan mengenai mekanisme perizinan lingkungan nir membuka peluang bagi kiprah serta warga , sehingga saran dan pemikiran dalam proses pemngambilan keputusan mengenai izin yg mempunyai impak krusial terhadap lingkungan nir ditampung secara prosedural. 

Dokumen AMDAL (kelayakan lingkungan hidup) yg merupakan bagian menurut kelayakan teknis finansial-ekonomi (Pasal dua PP No. 27/1999) selanjutnya merupakan syarat yang wajib dipenuhi buat mendapatkan ijin melakukan bisnis dan/atau aktivitas yg diterbitkan sang pejabat yang berwenang (Pasal 7 PP No. 27/1999). Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yg menjadi acuan pada pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, serta dimungkinkan lintas teritorial administratif.

Namun, dari sisi proses, jika memeriksa Pasal 20 PP No. 27 Tahun 1999, maka terbuka kemungkinan terjadinya kongkalikong pada persetujuan AMDAL. Dalam ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa instansi yg bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hayati suatu bisnis dan/atau kegiatan, pada jangka ketika selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh 5) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis pengaruh lingkungan hayati, planning pengelolaan lingkungan hidup, serta rencana pemantauan lingkungan hayati. Dan pada ayat (dua) disebutkan bila instansi yg bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan pada jangka saat sebagaimana dimaksud, maka planning bisnis dan/atau kegiatan yg bersangkutan dianggap layak lingkungan. Kolusi kemudian sanggup terjadi disaat tidak adanya keputusan tentang persetujuan AMDAL dalam jangka saat 75 hari, maka secara otomatis suatu aktivitas dan/atau bisnis dipercaya layak secara lingkungan.

PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup ternyata permanen nir menyempurnakan PP Nomor 51 Tahun 1993. Kekeliruan perumusan dalam Pasal 10 ayat (tiga) PP Nomor 51 Tahun 1993 sepertinya diabadikan oleh Pasal 20 PP AMDAL 1999. 

PP yg menjabarkan UULH ini dalam akhirnya hanya sebagai pelengkap saja. Banyak orang berpendapat bahwa AMDAL seakan-akan sebagai penyelemat, namun sebenarnya AMDAL tidaklah selalu diharapkan lantaran AMDAL pula tidak berguna jikalau proyek telah jalan. AMDAL hanya bermanfaat bagi pembangunan fisik yg belum dilaksanakan. Kenyataannya sekarang pada Indonesia, AMDAL dilakukan tatkala pembangunan fisik sedang berjalan. Akhirnya AMDAL dijadikan alat pembenaran semata, tidak lebih dari itu. Oleh karna itu tak heran kalau masih saja ditemukan persoalan lingkungan padahal sudah dibuat AMDAL-nya.

Sejak dibubarkannya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, maka lalu Kementerian Lingkungan Hidup semakin mengecil perannya pada upaya pengendalian imbas lingkungan, termasuk pada pengawasan AMDAL pada berbagai strata. Terlebih lagi, pasca dikeluarkannya PP No. 25 tahun 2000, menjadikan hilangnya prosedur koordinasi antar wilayah, yg dalam akhirnya berakibat lingkungan hayati sebagai bagian yg sebagai tidak begitu krusial. Empat kelompok parameter yg masih ada di studi AMDAL , mencakup Fisik – kimia (Iklim, kualitas udara dan kebisingan; Demografi; Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan serta Tanah; dan Hidrologi), Biologi (Flora; Fauna), Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan), serta Kesehatan masyarakat, ternyata jua masih sangat menekankan pada kepentingan formal saja. Lalu kemudian, perseteruan sosial-budaya serta posisi masyarakat sebagai bagian yg dilupakan. 

Satu hal menurut proses pada Komisi Penilai AMDAL, ketika ternyata terjadi pembohongan pada dokumen AMDAL (pada hal ini saat penilaian dokumen AMDAL Pembangunan Bandara Udara Sungai Siring ), hanya dianggap sebagai kesalahan ketik. Permakluman kemudian terjadi dikarenakan kuatnya kepentingan politis dibalik sebuah planning aktivitas. Hal ini bukan hanya terjadi sekali. Dalam beberapa kali diskusi menggunakan para pihak yang dilibatkan pada Komisi Penilai AMDAL, sangat jelas terlihat kerancuan dalam proses penilaian AMDAL. Tidak adanya kriteria serta indikator penilaian, telah berakibat proses penilaian AMDAL sebagai sangat subyektif. Dan kemudian, evaluasi yang sepotong-sepotong pun pada akhirnya berakibat aspek impak lingkungan hayati (menjadi sebuah komponen yang komprehensif) menjadi bagian yg sengaja buat dilupakan.

Posisi kelayakan aktivitas dari AMDAL, sebenarnya sangat tergantung pada kelompok Akademisi atau para pakar yang dilibatkan pada Komisi Penilai AMDAL. Ketika kemudian independensi (kebebasan ikatan) menurut akademisi pada menilai dokumen diikat saat kelompok ini pun menjadi konsultan penyusun AMDAL, telah menjadikan grup akademisi atau para ahli tidak lagi profesional dalam mengambil keputusan. 

AMDAL yang dalam awalnya ingin mempertinggi posisi tawar lingkungan hayati pada berkehidupan, kemudian malah berkontribusi terhadap hilangnya hak lingkungan hayati. Setiap kali sebuah aktivitas serta/atau bisnis sangat terlihat jelas berdampak terhadap lingkungan hidup juga komunitas rakyat, maka AMDAL berada pada barisan terdepan buat mengeliminir gejolak yg terjadi. Dengan melihat kondisi ini, maka bukan nir mungkin AMDAL akan berkontribusi terhadap terjadinya ekosida/ecocide (tindakan pengrusakan seluruh atau sebagian dari sebuah ekosistem). Pemusnahan ekosistem semakin cepat terjadi dikarenakan nir adanya perangkat penyaring (filter) dari aktivitas pengrusakan lingkungan hayati.

Sebagaimana telah dinilai di atas, proses AMDAL di Indonesia memiliki poly kelemahan, yaitu:
  1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi pada proses perijinan suatu rencana kegiatan pembangunan, sebagai akibatnya nir terdapat kejelasan apakah Amdal dapat digunakan buat menolak atau menyetujui suatu rencana kegiatan pembangunan.
  2. Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM telah dilibatkan dalam sidang-sidang komisi AMDAL, akan tetapi suaranya belum sepenuhnya diterima di pada proses pengambilan keputusan. 
  3. Terdapatnya berbagai kelemahan pada dalam penerapan studi-studi AMDAL. Dengan istilah lain, nir ada agunan bahwa berbagai rekomendasi yang timbul pada studi AMDAL dan UKL serta UPL akan dilaksanakan sang pihak pemrakarsa. 
  4. Masih lemahnya metode-metode penyusunan AMDAL, khususnya aspek sosial budaya, sehingga aktivitas-aktivitas pembangunan yang implikasi sosial budayanya penting, kurang mendapat kajian yang akurat. 
Jadi, bisa dikatakan bahwa persoalan lingkungan hayati di Indonesia baru didekati secara kelembagaan serta baru berhasil pada tingkat politis, tetapi masih gagal pada taraf pelaksanaannya.

2. Contoh Kasus AMDAL di Indonesia
Di Indonesia poly sekali terdapat contoh masalah dari suatu usaha atau aktivitas yg tidak dilengkapi dengan AMDAL hingga bisa menimbulkan perkara. Berikut ini sebagian kecil dari contoh masalah tadi :
  1. Sebanyak 575 dari 719 perusahaan kapital asing (PMA) serta perusahaan kapital pada negeri (PMDN) di Pulau Batam tak memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seperti yang digariskan. Dari 274 industri penghasil limbah bahan berbahaya serta beracun (B3), hanya 54 perusahaan yg melakukan pengelolaan pembuangan limbahnya secara baik. Sisanya membuang limbahnya ke bahari lepas atau dialirkan ke sejumlah dam penghasil air higienis. Tragisnya, jumlah libah B3 yg didapatkan oleh 274 perusahaan industri di Pulau Batam yg mencapai tiga juta ton per tahun selama ini tak terkontrol. Salah satu industri berat serta terbesar di Pulau Batam penghasil limbah B3 yang tidak punya pengolahan limbah merupakan McDermot, kata Kepala Bagian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) kota Batam Zulfakkar pada Batam. Menurut Zulfakkar, menurut 24 tempat industri, hanya empat yg mempunyai AMDAL dan hanya satu yang mempunyai unit pengolahan limbah (UPL) secara terpadu, yaitu tempat industri Muka Kuning, Batamindo, Investment Cakrawala (BIC). Selain BIC, yg memliki AMDAL merupakan Panbil Industrial Estate, Semblong Citra Nusa, serta Kawasan Industri Kabil. Semua terjadi karena pembangunan pada Pulau Batam yg dikelola otorita Batam selama 32 tahun, tak pernah mempertimbangkan aspek lingkungan serta sosial kemasyarakatan. Seolah-olah investasi serta pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan segalanya. Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hayati serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 mengenai Analisa tentang Dampak Lingkungan (AMDAL), maka pengelolan sebuah tempat industri tanpa mengindahkan aspek lingkungan, kentara melanggar aturan. Semenjak Pemerintah Kota Batam serta Bapedalda terbentuk tahun 2000, barulah diketahui bahwa Pulau Batam ternyata syarat lingkungan serta alamnya telah rusak parah.
  2. Selama ini, sentra perbelanjaan diserahi tugas membuat studi analisis mengenai dampak lingkungan. Untuk keperluan itu mereka menggunakan jasa konsultan. Lantaran kebebasan itu, dokumen AMDAL umumnya baru diterima Badan Pengendali Dampak Lingkungan Hidup selesainya pusat perbelanjaan mengalami kasus, contohnya akan dijual ke bank serta membutuhkan rekomendasi AMDAL. Padahal, sesuai mekanisme, biar pembangunan pusat perbelanjaan baru diterbitkan sesudah rekomendasi menurut BPLHD. Namun yang terjadi, AMDAL baru diserahkan setelah pusat perbelanjaan itu berdiri dan mengalami perkara yang membutuhkan rekomendasi menurut BPLHD. Pembangunan sentra perbelanjaan seringkali menyebabkan kesemrawutan dan stagnasi lalu lintas disekitar tempat pusat perbelanjaan tersebut. 
  3. AMDAL pada Beberapa Negara Asia Tenggara
MALAYSIA
Di pada kebijaksanaan Pemerintahan Malaysia Periode 1986-1990 tercantum jelas taktik tentang lingkungan hayati yg meliputi penegakan hukum, peningkatan pencerahan lingkungan, perencanaan lingkungan pada pembangunan, acara lingkungan, aplikasi proyek yang disertai Environment Impact Assesment (EIA), kualitas udara, air, serta mengenai land use.

Malaysia tidak mempunyai undang-undang atau peraturan tersendiri mengenai kegiatan yg diharuskan memakai EIA dalam upaya mencegah pengrusakan atau penurunan kualitas lingkungan serta ekosistemnya. Ketentuan buat menggunakan EIA diatur dalam Environmental Quality (Prescribed Activities) tahun 1987 dan mulai berlaku dalam 1 April 1988.

Alasan tidak diaturnya EIA dalam Undang-undang atau peraturan tersendiri adalah lantaran EIA sebenarnya adalah upaya pencegahan serta suatu suplemen buat perencanaan lingkungan terhadap proyek-proyek baru atau ekspansi menurut proyek yang sudah terdapat. Ia dibuat menurut dalam bukti serta prakiraan pengaruh krusial terhadap lingkungan berdasarkan suatu aktivitas yg direncanakan.

Meskipun EIA tidak diatur pada undang-undang atau peraturan tersendiri, pelanggaran terhadap ketentuannya bisa diajukan ke pengadilan serta bisa dijatuhi hukuman yang berat. Pelaksanaan secara berfokus sudah membuat EIA berhasil dilaksanakan pada Malaysia. Sebagai contoh, lebih berdasarkan 379 laporan EIA telah diterima sang DOE, dan 10 diantaranya dinyatakan melanggar ketentuan EIA serta sudah diajukan ke pengadilan.

Mengingat lingkungan dan ekonomi begitu erat berkaitan, maka dirasakan keperluan buat memasukkan lingkungan pada National Accounting Procedure. Hal tersebut merupakan karena nilai sumber daya alam dan dimensi biaya serta manfaat lingkungan dari proses pembangunan dapat dievaluasi dan dimasukkan ke dalam pengambilan keputusan ekonomi melalui Natural Resource Accounting Procedure.

Berdekatan dengan National Resource Accounting serta Environmental Impact Assesment (EIA) adalah Environmental Audit (EA) Procedure. Jika EIA diterapkan dalam proyek-proyek baru, EA diterapkan dalam semua proyek yang berjalan. 

PHILIPINA
Dari beberapa negara Asia Tenggara, Philipina adalah negara yang paling maju dalam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup. Philipina menghadapi 2 kasus yaitu kemiskinan yg melanda negara-negara berkembang serta pencemaran yg menyertai proses pembangunan. Di samping itu masalah yg dihadapi merupakan bala alam berupa gempa bumi, angin taufan serta banjir yg tak jarang menyebabkan kerusakan terhadap kehidupan manusia serta lingkungan hayati dalam umumnya.

Peraturan perundang-undangan di Philipina bisa dibagi pada tiga kategori yaitu peraturan perundang-undangan pada bidang sumber daya alam, peraturan perundang-undangan pada bidang pengendalian dan pencegahan pencemaran serta pertauran perundang-undangan di bidang pencegahan bencana alam. Pada tanggal 21 September 1972 Presiden Marcos sudah mengumumkan keadaan darurat (martial law) pada Philipina. Dalam keadaan darurat ini Presiden diberi kekuasaan legislatif dalam bentuk dekrit.

Dekrit yang penting mengenai kebijaksanaan serta pembangunan adalah Presidensial Decree yang selanjutnya disingkat P.D. No. 1151 dan P.D. No.1152. P.D. 1151 menyatakan bahwa adalah merupakan kebijaksanaan negara pada bidang lingkungan hayati buat menumbuhkan, membuatkan serta memperbaiki keadaan supaya manusia serta alam bisa berjalan beserta-sama pada keserasian yg produktif serta menyenangkan. P.D ini mengharuskan kepada proyek-proyek pembangunan buat membuat analisis tentang efek lingkungannya. P.D 1152 tentang Philippine Environment Code yg diundangkan dalam lepas 6 Juni 1977 bertujuan buat mengarahkan aktivitas-aktivitas serta acara-acara pada bidang pengelolaan lingkungan menggunakan penetapan kebijaksanaan pengelolaan serta penetapan standar mutu lingkungan. Kode ini menangani lingkungan hidup pada keseluruhannya (in its totality), nir secara fragmentaris.

Selanjutnya PD 1586 tetapkan bahwa seluruh perwakilan serta instrumen-instrumen pemerintah termasuk badan bisnis milik negara, badan aturan perdata, firma dan bentuk bisnis lainnya yang mempunyai efek signifikan terhadap lingkungan, untuk menyiapkan pernyataan efek lingkungan sebagimana tercantum pada bagian empat.

PD 1586 merupakan ketetapan yg lebih baik apabila dibandingkan menggunakan legislasi EIA sebelumnya, khususnya PD 1121. Pada PD 1121, kewajiban buat menyiapkan EIA dibatasi hanya dalam proyek-proyek pemerintah. Pada tahun 1981, Presiden Philipina mengeluarkan Proklamasi 2146 yang mengidentifikasi tiga jenis aktivitas yg berdampak terhadap lingkungan. Berdasarkan Proklamasi 2146, aktivitas-aktivitas yang tergolong ke pada kegiatan yg berdampak terhadap lingkungan, yaitu:
1. Industri berat terdapat empat jenis aktivitas yang tergolong ke pada gerombolan ini, yaitu (a) industri baja; (b) penggilingan besi serta baja; (c) industri petrolium serta petro kimia termasuk minyak dan gas dan (d) pabrik yg membuat bau tidak sedap.
2. Industri ekstraktif sumber daya 2 jenis industri yg tergolong ke dalam kelompok ini, yg dinamakan pertambangan besar dan proyek ekskavasi dan kegiatan kehutanan. Kegiatan kehutanan antara lain; (a) penebangan; (b) aktivitas pengolahan kayu-kayu mentah; (c) introduksi fauna; (d) perambahan hutan; (e) ekstrak produk-produk mangrove.
3. Proyek-proyek infrastruktur terdapat empat proyek yang tergolong ke dalam kategori ini, yaitu: (a) bendungan akbar; (b) proyek reklamasi akbar; (c) proyek jalan dan jembatan.

Jika suatu industri tidak tercantum dalam kategori proklamasi 2146, maka proyek tadi dianggap tidak berdampak terhadap lingkungan. Jadi, tidak diwajibkan buat menyiapkan EIA. Tetapi, kapanpun dibutuhkan, misalnya suatu industri yang disyaratkan buat menyediakan upaya proteksi lingkungan tambahan. 

Terdapat 2 badan yg bertanggung jawab pada proses administrasi EIA, yaitu, Ministry of Human Settlement dan National Environmental Protection Council (NEPC) yang sekarang dinamakan Biro Manajemen Lingkungan yang berada di bawah Departemen Sumber Daya Alam serta Lingkungan. Ministry of Human Settlement mempunyai wewenang buat melakukan penyususnan konsep efek lingkungan yang diharapkan pada pelaporan aktivitas-aktivitas yang berdampak terhadap lingkungan serta daerah, ad interim itu EMB bertanggung jawab pada menyelidiki ulang serta evaluasi EIA. Pelaksanaan sistem EIA pada kawasan dilaksanakan sang Kantor Regional DENR.

Selain itu pula EMB yg berfungsi pada hal:
a. Mengadakan rasionalisasi fungsi forum-forum pemerintah yg ditugaskan buat melindungi linkungan hidup serta buat menegakkan aturan yg berkaitan dengan lingkungan hidup.
b. Merumuskan kebijaksanan serta mengeluarkan pedoman guna penetapan baku mutu lingkungan serta analisis tentang dampak lingkungan.
c. Mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan baru atau perubahan atas peraturan perundang-undangan yang terdapat.
d. Menilai analisis mengenai dampak lingkungan dari proyek-proyek yg diajukan oleh forum-forum pemerintahan.
e. Memonitor proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan sang pemerintah.
f. Mengadakan konperensi-konperensi tentang perkara yang berkaitan dengan kepentingan lingkungan.

SINGAPURA
Masalah lingkungan hayati di Singapura disebabkan oleh pencemaran udara dan pencemaran kebisingan yang terutama disebakan oleh tunggangan bermotor, energi pembangkit listrik serta pabrik. Di Singapura tidak terdapat undang-undang yang secara komprehensif menangani lingkungan hidup.

Environment Impact Assesment (EIA) sudah digunakan secara luas di seluruh penjuru global sebagai instrumen aturan administrasi buat mencegah polusi dari aneka macam aktivitas yg berpotensi besar menyebabkan degradasi atau polusi terhadap lingkungan. Mengejutkan, ternyata Singapura nir mengatur EIA dalam aturan lingkungannya. Ia hanya menurut dalam suatu keputusan dari Master Plan Committee, yang diketuai sang seseorang Chief Planner.

Hal tadi memperlihatkan kedudukan yg unik menurut Singapura sebagai negara kota mengharuskan negara tersebut menemukan sistem pengelolaan lingkungan yang tidak selaras menurut negara AsiaTenggara lainnya. Kendati demikian, Singapura adalah negara yang menonjol karena keberhasilannya mencegah serta menanggulangi perkara pencemaran lingkungan hidup, baik melalui pendekatan hemat juga yuridis dan mendapat julukan: “ The Garden City”.

HUKUM LINGKUNGAN DAN KEBIJAKSAAN LINGKUNGAN NASIONAL

Hukum Lingkungan Dan Kebijaksaan Lingkungan Nasional
1. Pelaksanaan AMDAL Di Indonesia
Dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan, lingkungan perlu dijaga kerserasian hubungan antar berbagai kegiatan. Salah satu instrumen aplikasi kebijaksanaan lingkungan adalah AMDAL sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UULH. Sebagai pelaksanaan Pasal 16 UULH, pada tanggal 5 Juni 1986 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang mulai berlaku lepas 5 Juni 1987 menurut Pasal 40 PP tersebut.

Dalam upaya melestarikan kemampuan lingkungan, analisis mengenai damapak lingkungan bertujuan buat menjaga agar syarat lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu demi menjamin kesinambungan pembangunan. Peranan instansi yg berwenang menaruh keputusan mengenai proses analisis mengenai pengaruh lingkungan sudah kentara sangat krusial. Keputusan yang diambil aparatur dalam proses administrasi yangditempuh pemrakarsa sifatnya sangat memilih terhadap mutu lingkungan, karena AMDAL berfungsi menjadi instrumen pencegahan pencemaran lingkungan.

Pada saat berlakunya PP No. 29 Tahun 1986, pemerintah bermaksud memberikan ketika yg relatif memadai yaitu selama satu tahun untuk mempersiapkan segala sesuatu yg berhubungan dengan efektifitas berlakunya PP tadi. Hal ini erat hubungannya menggunakan persiapan energi ahli penyusun AMDAL. Di samping itu diharapkan jua saat buat pembentukan Komisi Pusat dan Komisi Daerah yang merupakan persyaratan esensial bagi aplikasi PP No. 29 Tahun 1986 tadi. PP 29 Tahun 1986 lalu dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diberlakukan dalam tanggal 23 Oktober 1993. Perbedaan utama antara PP tahun 1986 dengan PP tahun 1993 adalah ditiadakannya dokumen penyajian keterangan lingkungan (PIL) serta dipersingkatnya tenggang ketika prosedur (tata laksana) AMDAL pada PP yg baru. PIL berfungsi sebagai filter buat memilih apakah rencana kegiatan dapat menyebabkan dampak krusial terhadap lingkungan atau nir. 

Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yg bersifat preventif, AMDAL harus dibuat dalam tahap paling dini dalam perencanaan kegiatan pembangunan. Dengan istilah lain, proses penyusunan serta ratifikasi AMDAL harus adalah bagian menurut proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini proyek-proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain, studi AMDAL pula bisa memberi masukan bagi upaya-upaya buat mempertinggi pengaruh positif berdasarkan proyek tadi.

Instrumen AMDAL dikaitkan dengan sistem perizinan. Menurut Pasal 5 PP Nomor 51 Tahun 1993, keputusan tentang hadiah biar bisnis permanen oleh instansi yg membidangi jenis bisnis atau aktivitas bisa diberikan sehabis adanya pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yg sudah disetujui sang instansi yg bertanggung jawab. 

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 dimaksudkan buat menyempurnakan kelemahan yang dirasakan dalam PP Nomor 29 Tahun 1986 mengenai AMDAL. Tetapi, upaya penyempurnaan itu ternyata tidak tercapai, bahkan terdapat ketentuan baru yg menyangkut konsekuensi yuridis yg tidak wajar (Pasal 11 ayat (1) PP AMDAL 1993). Meski demikian yang penting pada PP AMDAL 1993 artinya Studi Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) bagi kegiatan yang sedang berjalan dalam ketika berlakunya PP AMDAL 1986 menjadi ditiadakan., sebagai akibatnya AMDAL semata-mata diperlukan bagi bisnis atau aktivitas yang masih direncanakan. Selanjutnya PP Nomor 51 Tahun 1993 dicabut menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Dalam PP 27 tahun 1999 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu:
  1. AMDAL proyek, yaitu AMDAL yg berlaku bagi satu aktivitas yang berada dalam wewenang satu instansi sektoral. Misalnya rencana aktivitas pabrik tekstil, yg mmpunyai wewenang menaruh ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.
  2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, merupakan AMDAL yg berlaku bagi suatu rencana aktivitas pembangunan yg bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan pada hal perencanaan, pengelolaan serta proses produksi, dan berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih berdasarkan satu instansi. Sebagai model adalah galat satu kegiatan pabrik pulp serta kertas yg kegiatannya terkait dengan proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) buat penyediaan bahan bakunya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) buat menyediakan energi, serta pelabuhan buat distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih menurut satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.
  3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yg ditujukan pada suatu planning kegiatan pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatuan hamparan ekosistem serta menyangkut wewenang satu instansi. Contohnya merupakan rencana aktivitas pembangunan daerah industri. Dalam perkara ini masing-masing kegiatan pada dalam tempat nir perlu lagi membuat AMDALnya karena sudah tercakup pada AMDAL seluruh tempat. 
  4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi planning aktivitas pembangunan yg sifat kegiatannya saling terkait pada hal perencanaan serta saat pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan wewenang lebih berdasarkan satu instansi, berada pada satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional merupakan pembangunan kota-kota baru.
Secara teknis instansi yang bertanggung jawab pada merumuskan serta memantau penyusunan AMDAL pada Indonesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendali Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur pada PP No. 51 tahun 1993, kewenangan ini jua dilimpahkan pada instansi-instansi sektoral dan BAPEDALDA Tingkat I. Menggunakan kata lain, BAPEDAL Pusat hanya menangani studi-studi AMDAL yang dipercaya mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini merupakan dengan memberikan kewenangan proses penilaian AMDAL dalam daerah. Materi baru pada PP ini adalah diberikannya kemungkinan partisipasi rakyat pada dalam proses penyusunan AMDAL. 

Dalam sebuah lokakarya regional koordinasi rapikan lingkungan wilayah Kalimantan, Ir Hermien Roosita MM, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa hanya 119 kabupaten/kota yang mempunyai komisi penilai AMDAL berdasarkan 474 kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL. Sementara 75% dokumen AMDAL yg dihasilkan berkualitas buruk hingga sangat buruk.

Lebih lanjut disampaikannya bahwa selama ini AMDAL memerlukan waktu proses sangat cepat, nir ada penegakan hukum terhadap pelanggar AMDAL, kontribusi pengelolaan lingkungan yg masih rendah, sebagai beban biaya , dan ditinjau sebagai komoditas ekonomi sang (oknum) aparatur pemerintah, pemrakarsa atau konsultan. Lebih rusaknya, ketika AMDAL justru hanya sebagai indera retribusi, bukan menjadi bagian dari sebuah studi kelayakan, sebagai akibatnya tak jarang kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata ruang. 

Jangka waktu pemrosesan dokumen AMDAL menurut PP No. 29 Tahun 1986 adalah 90 hari, tetapi menurut Pasal 10 PP Nomor 51 Tahun 1993, sanggup selambat-lambatnya 45 hari. Ketentuan mengenai jangka waktu terasa maju, tetapi sudahkah sinkron menggunakan realita kemampuan aparatur? Sungguh mengejutkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) tadi: “dinyatakan diberikan persetujuan atas kekuatan PP ini”. Tanpa diproses apakah konsekuensi yuridis ketentuan seperti itu terhadap prosedur AMDAL? Keruntuhan sistem AMDAL sebagai instrumen hukum lingkungan yg berfungsi menjadi wahana pencegahan pencemaran lingkungan. 

AMDAL ketika pertama kali dimuntahkan sebagai sebuah kebijakan yg adalah bagian kegiatan studi kelayakan planning bisnis serta/atau aktivitas. Hasil analisis tentang dampak lingkungan hayati digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan daerah. Namun dikarenakan minimnya pengetahuan dari pemerintah dan warga pada memahami AMDAL, membuahkan pemrakarsa serta konsultan memakai AMDAL menjadi sebuah dokumen asal jadi, serta kesamaan mengutip dokumen AMDAL lainnya sangat tinggi. Sehingga AMDAL tidak dapat menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah aktivitas berjalan.

Dalam proses penyusunan dokumen AMDAL, sangat seringkali ditemui konsultan (tim penyusun) AMDAL meninggalkan berbagai prinsip dalam AMDAL. Terutama posisi warga dalam proses penyusunan dokumen AMDAL. Proses keterbukaan berita dijamin sang kebijakan, di mana Pasal 33 PP No. 27/1999 menegaskan kewajiban pemrakarsa buat mengumumkan kepada publik dan saran, pendapat, masukan publik harus buat dikaji dan dipertimbangkan dalam AMDAL. Dan Pasal 34 menegaskan bagi gerombolan masyarakat yg berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis impak lingkungan hidup, planning pengelolaan lingkungan hidup serta planning pemantauan lingkungan hidup.

Keterbukaan serta kiprah serta masyarakat pada proses pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan dampak krusial terhadap lingkungan (khusunya izin lingkungan) perlu dirumuskan pada peraturan perundang-undangan. Peran dan rakyat sang seseorang gerombolan orang (organisasi lingkungan hayati) atau badan hukum merupakan konsekuensi berdasarkan “hak yg sama atas lingkungan hidup yang baik serta sehat” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1) UUPLH

Maksud serta tujuan dilaksanakannya ketertibatan rakyat pada keterbukaan warta pada proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini merupakan buat:
  1. Melindungi kepentingan masyarakat.
  2. Memberdayakan rakyat pada mengambil keputusan atas rencana bisnis dan/atau aktivitas pembangunan yg berpotensi menyebabkan efek besar serta krusial terhadap lingkungan.
  3. Memastikan adanya transparansi pada holistik proses AMDAL menurut rencana usaha dan atau kegiatan.
  4. Menciptakan suasana kemitraan yg setara antara seluruh pihak yg berkepentingan, yaitu menggunakan menghormati hak-hak semua pihak buat mendapatkan berita serta mewajibkan seluruh pihak buat menyampaikan warta yg wajib diketahui pihak lain yang terpengaruh. 
Akan namun, beberapa ketentuan mengenai prosedur perizinan lingkungan tidak membuka peluang bagi peran dan rakyat, sehingga saran dan pemikiran dalam proses pemngambilan keputusan tentang izin yg memiliki impak penting terhadap lingkungan nir ditampung secara prosedural. 

Dokumen AMDAL (kelayakan lingkungan hayati) yg merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi (Pasal dua PP No. 27/1999) selanjutnya merupakan kondisi yang wajib dipenuhi buat mendapatkan ijin melakukan usaha serta/atau kegiatan yg diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 7 PP No. 27/1999). Dokumen AMDAL adalah dokumen publik yg menjadi acuan pada aplikasi pengelolaan lingkungan hayati yg bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, serta dimungkinkan lintas teritorial administratif.

Namun, berdasarkan sisi proses, bila mempelajari Pasal 20 PP No. 27 Tahun 1999, maka terbuka kemungkinan terjadinya kongkalikong dalam persetujuan AMDAL. Dalam ayat (1) pasal tadi dinyatakan bahwa instansi yg bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu bisnis serta/atau aktivitas, dalam jangka saat selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis pengaruh lingkungan hayati, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan planning pemantauan lingkungan hayati. Dan pada ayat (2) disebutkan bila instansi yg bertanggung jawab nir menerbitkan keputusan pada jangka waktu sebagaimana dimaksud, maka rencana usaha dan/atau kegiatan yg bersangkutan dipercaya layak lingkungan. Kolusi lalu sanggup terjadi disaat tidak adanya keputusan mengenai persetujuan AMDAL pada jangka ketika 75 hari, maka secara otomatis suatu kegiatan serta/atau bisnis dipercaya layak secara lingkungan.

PP Nomor 27 Tahun 1999 mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup ternyata permanen nir menyempurnakan PP Nomor 51 Tahun 1993. Kekeliruan perumusan dalam Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 51 Tahun 1993 sepertinya diabadikan oleh Pasal 20 PP AMDAL 1999. 

PP yang menjabarkan UULH ini dalam akhirnya hanya menjadi pelengkap saja. Banyak orang beropini bahwa AMDAL seakan-akan sebagai penyelemat, tetapi sebenarnya AMDAL tidaklah selalu dibutuhkan lantaran AMDAL juga nir berguna bila proyek telah jalan. AMDAL hanya berguna bagi pembangunan fisik yg belum dilaksanakan. Kenyataannya kini di Indonesia, AMDAL dilakukan tatkala pembangunan fisik sedang berjalan. Akhirnya AMDAL dijadikan indera pembenaran semata, tidak lebih berdasarkan itu. Oleh karna itu tidak heran jikalau masih saja ditemukan problem lingkungan padahal telah dibentuk AMDAL-nya.

Sejak dibubarkannya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, maka kemudian Kementerian Lingkungan Hidup semakin mengecil perannya pada upaya pengendalian impak lingkungan, termasuk dalam supervisi AMDAL di banyak sekali strata. Terlebih lagi, pasca dikeluarkannya PP No. 25 tahun 2000, berakibat hilangnya mekanisme koordinasi antar wilayah, yg pada akhirnya membuahkan lingkungan hidup sebagai bagian yg menjadi tidak begitu penting. Empat grup parameter yang masih ada di studi AMDAL , meliputi Fisik – kimia (Iklim, kualitas udara serta kebisingan; Demografi; Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan serta Tanah; dan Hidrologi), Biologi (Flora; Fauna), Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan), dan Kesehatan masyarakat, ternyata pula masih sangat menekankan dalam kepentingan formal saja. Lalu lalu, konflik sosial-budaya serta posisi warga sebagai bagian yg dilupakan. 

Satu hal dari proses pada Komisi Penilai AMDAL, waktu ternyata terjadi pembohongan dalam dokumen AMDAL (dalam hal ini saat evaluasi dokumen AMDAL Pembangunan Bandara Udara Sungai Siring ), hanya dipercaya menjadi kesalahan ketik. Permakluman kemudian terjadi dikarenakan kuatnya kepentingan politis dibalik sebuah rencana kegiatan. Hal ini bukan hanya terjadi sekali. Dalam beberapa kali diskusi dengan para pihak yang dilibatkan pada Komisi Penilai AMDAL, sangat kentara terlihat kerancuan pada proses penilaian AMDAL. Tidak adanya kriteria dan indikator penilaian, sudah membuahkan proses evaluasi AMDAL sebagai sangat subyektif. Dan kemudian, evaluasi yang sepotong-sepotong pun pada akhirnya mengakibatkan aspek efek lingkungan hayati (sebagai sebuah komponen yang komprehensif) sebagai bagian yang sengaja buat dilupakan.

Posisi kelayakan kegiatan berdasarkan AMDAL, sebenarnya sangat tergantung pada gerombolan Akademisi atau para ahli yang dilibatkan pada Komisi Penilai AMDAL. Ketika lalu independensi (kebebasan ikatan) dari akademisi pada menilai dokumen diikat waktu gerombolan ini pun sebagai konsultan penyusun AMDAL, sudah menjadikan grup akademisi atau para pakar tidak lagi profesional dalam mengambil keputusan. 

AMDAL yg dalam awalnya ingin menaikkan posisi tawar lingkungan hayati dalam berkehidupan, kemudian malah berkontribusi terhadap hilangnya hak lingkungan hayati. Setiap kali sebuah aktivitas dan/atau bisnis sangat terlihat jelas berdampak terhadap lingkungan hayati juga komunitas rakyat, maka AMDAL berada pada barisan terdepan untuk mengeliminir gejolak yg terjadi. Dengan melihat syarat ini, maka bukan nir mungkin AMDAL akan berkontribusi terhadap terjadinya ekosida/ecocide (tindakan pengrusakan semua atau sebagian berdasarkan sebuah ekosistem). Pemusnahan ekosistem semakin cepat terjadi dikarenakan tidak adanya perangkat penyaring (filter) menurut aktivitas pengrusakan lingkungan hayati.

Sebagaimana telah dinilai di atas, proses AMDAL pada Indonesia mempunyai banyak kelemahan, yaitu:
  1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi pada proses perijinan suatu planning aktivitas pembangunan, sehingga nir masih ada kejelasan apakah Amdal dapat digunakan buat menolak atau menyetujui suatu planning aktivitas pembangunan.
  2. Proses partisipasi rakyat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM sudah dilibatkan pada sidang-sidang komisi AMDAL, akan namun suaranya belum sepenuhnya diterima di dalam proses pengambilan keputusan. 
  3. Terdapatnya banyak sekali kelemahan di pada penerapan studi-studi AMDAL. Dengan kata lain, nir ada jaminan bahwa banyak sekali rekomendasi yg ada dalam studi AMDAL serta UKL serta UPL akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa. 
  4. Masih lemahnya metode-metode penyusunan AMDAL, khususnya aspek sosial budaya, sebagai akibatnya aktivitas-aktivitas pembangunan yg akibat sosial budayanya krusial, kurang menerima kajian yang seksama. 
Jadi, dapat dikatakan bahwa masalah lingkungan hayati pada Indonesia baru didekati secara kelembagaan serta baru berhasil dalam tingkat politis, tetapi masih gagal pada tingkat pelaksanaannya.

2. Contoh Kasus AMDAL pada Indonesia
Di Indonesia poly sekali terdapat contoh perkara menurut suatu usaha atau aktivitas yang tidak dilengkapi menggunakan AMDAL sampai bisa mengakibatkan kasus. Berikut ini sebagian mini menurut model perkara tadi :
  1. Sebanyak 575 dari 719 perusahaan kapital asing (PMA) dan perusahaan kapital pada negeri (PMDN) pada Pulau Batam tidak mempunyai Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seperti yg digariskan. Dari 274 industri penghasil limbah bahan berbahaya serta beracun (B3), hanya 54 perusahaan yg melakukan pengelolaan pembuangan limbahnya secara baik. Sisanya membuang limbahnya ke bahari lepas atau dialirkan ke sejumlah dam produsen air bersih. Tragisnya, jumlah libah B3 yang didapatkan sang 274 perusahaan industri di Pulau Batam yang mencapai 3 juta ton per tahun selama ini tidak terkontrol. Salah satu industri berat dan terbesar pada Pulau Batam penghasil limbah B3 yg tak punya pengolahan limbah merupakan McDermot, tutur Kepala Bagian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) kota Batam Zulfakkar di Batam. Menurut Zulfakkar, dari 24 daerah industri, hanya empat yg mempunyai AMDAL dan hanya satu yg memiliki unit pengolahan limbah (UPL) secara terpadu, yaitu daerah industri Muka Kuning, Batamindo, Investment Cakrawala (BIC). Selain BIC, yg memliki AMDAL merupakan Panbil Industrial Estate, Semblong Citra Nusa, dan Kawasan Industri Kabil. Semua terjadi karena pembangunan pada Pulau Batam yg dikelola otorita Batam selama 32 tahun, tak pernah mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatan. Seolah-olah investasi serta pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan segalanya. Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan hayati serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 mengenai Analisa mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), maka pengelolan sebuah tempat industri tanpa mengindahkan aspek lingkungan, kentara melanggar hukum. Semenjak pemkot Batam serta Bapedalda terbentuk tahun 2000, barulah diketahui bahwa Pulau Batam ternyata syarat lingkungan dan alamnya sudah rusak parah.
  2. Selama ini, sentra perbelanjaan diserahi tugas membuat studi analisis tentang dampak lingkungan. Untuk keperluan itu mereka memakai jasa konsultan. Karena kebebasan itu, dokumen AMDAL umumnya baru diterima Badan Pengendali Dampak Lingkungan Hidup sehabis sentra perbelanjaan mengalami kasus, contohnya akan dijual ke bank serta membutuhkan rekomendasi AMDAL. Padahal, sesuai mekanisme, biar pembangunan sentra perbelanjaan baru diterbitkan sesudah rekomendasi menurut BPLHD. Namun yang terjadi, AMDAL baru diserahkan selesainya pusat perbelanjaan itu berdiri dan mengalami masalah yg membutuhkan rekomendasi berdasarkan BPLHD. Pembangunan pusat perbelanjaan acapkali menyebabkan kesemrawutan serta stagnasi lalu lintas disekitar tempat sentra perbelanjaan tadi. 
  3. AMDAL di Beberapa Negara Asia Tenggara
MALAYSIA
Di pada kebijaksanaan Pemerintahan Malaysia Periode 1986-1990 tercantum jelas taktik tentang lingkungan hidup yg mencakup penegakan hukum, peningkatan pencerahan lingkungan, perencanaan lingkungan pada pembangunan, acara lingkungan, aplikasi proyek yg disertai Environment Impact Assesment (EIA), kualitas udara, air, serta mengenai land use.

Malaysia tidak memiliki undang-undang atau peraturan tersendiri tentang kegiatan yang diharuskan memakai EIA pada upaya mencegah pengrusakan atau penurunan kualitas lingkungan serta ekosistemnya. Ketentuan buat menggunakan EIA diatur dalam Environmental Quality (Prescribed Activities) tahun 1987 dan mulai berlaku dalam 1 April 1988.

Alasan tidak diaturnya EIA pada Undang-undang atau peraturan tersendiri adalah lantaran EIA sebenarnya merupakan upaya pencegahan serta suatu suplemen buat perencanaan lingkungan terhadap proyek-proyek baru atau perluasan dari proyek yang sudah ada. Ia didesain menurut pada bukti serta prakiraan impak krusial terhadap lingkungan berdasarkan suatu kegiatan yg direncanakan.

Meskipun EIA tidak diatur dalam undang-undang atau peraturan tersendiri, pelanggaran terhadap ketentuannya sanggup diajukan ke pengadilan dan bisa dijatuhi sanksi yg berat. Pelaksanaan secara serius telah membuat EIA berhasil dilaksanakan pada Malaysia. Sebagai contoh, lebih dari 379 laporan EIA telah diterima oleh DOE, dan 10 diantaranya dinyatakan melanggar ketentuan EIA serta sudah diajukan ke pengadilan.

Mengingat lingkungan serta ekonomi begitu erat berkaitan, maka dirasakan keperluan buat memasukkan lingkungan dalam National Accounting Procedure. Hal tersebut adalah karena nilai asal daya alam dan dimensi porto dan manfaat lingkungan menurut proses pembangunan dapat dinilai serta dimasukkan ke pada pengambilan keputusan ekonomi melalui Natural Resource Accounting Procedure.

Berdekatan dengan National Resource Accounting serta Environmental Impact Assesment (EIA) merupakan Environmental Audit (EA) Procedure. Apabila EIA diterapkan dalam proyek-proyek baru, EA diterapkan dalam semua proyek yg berjalan. 

PHILIPINA
Dari beberapa negara Asia Tenggara, Philipina adalah negara yg paling maju dalam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup. Philipina menghadapi dua masalah yaitu kemiskinan yang melanda negara-negara berkembang serta pencemaran yg menyertai proses pembangunan. Di samping itu masalah yg dihadapi adalah bala alam berupa gempa bumi, angin taufan dan banjir yang sering mengakibatkan kerusakan terhadap kehidupan manusia dan lingkungan hidup pada umumnya.

Peraturan perundang-undangan di Philipina dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu peraturan perundang-undangan pada bidang asal daya alam, peraturan perundang-undangan pada bidang pengendalian serta pencegahan pencemaran dan pertauran perundang-undangan pada bidang pencegahan bencana alam. Pada lepas 21 September 1972 Presiden Marcos sudah mengumumkan keadaan darurat (martial law) pada Philipina. Dalam keadaan darurat ini Presiden diberi kekuasaan legislatif pada bentuk dekrit.

Dekrit yg penting mengenai kebijaksanaan serta pembangunan adalah Presidensial Decree yg selanjutnya disingkat P.D. No. 1151 dan P.D. No.1152. P.D. 1151 menyatakan bahwa adalah adalah kebijaksanaan negara pada bidang lingkungan hayati untuk menumbuhkan, mengembangkan dan memperbaiki keadaan supaya manusia serta alam bisa berjalan bersama-sama dalam keserasian yang produktif serta menyenangkan. P.D ini mengharuskan kepada proyek-proyek pembangunan buat membuat analisis tentang efek lingkungannya. P.D 1152 mengenai Philippine Environment Code yang diundangkan pada tanggal 6 Juni 1977 bertujuan buat mengarahkan aktivitas-aktivitas serta acara-acara pada bidang pengelolaan lingkungan dengan penetapan kebijaksanaan pengelolaan serta penetapan standar mutu lingkungan. Kode ini menangani lingkungan hidup dalam keseluruhannya (in its totality), nir secara fragmentaris.

Selanjutnya PD 1586 tetapkan bahwa semua perwakilan serta instrumen-instrumen pemerintah termasuk badan bisnis milik negara, badan hukum perdata, firma dan bentuk usaha lainnya yang memiliki imbas signifikan terhadap lingkungan, buat menyiapkan pernyataan dampak lingkungan sebagimana tercantum dalam bagian empat.

PD 1586 adalah ketetapan yang lebih baik bila dibandingkan dengan legislasi EIA sebelumnya, khususnya PD 1121. Dalam PD 1121, kewajiban buat menyiapkan EIA dibatasi hanya dalam proyek-proyek pemerintah. Pada tahun 1981, Presiden Philipina mengeluarkan Proklamasi 2146 yang mengidentifikasi tiga jenis kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan. Berdasarkan Proklamasi 2146, kegiatan-kegiatan yg tergolong ke dalam kegiatan yg berdampak terhadap lingkungan, yaitu:
1. Industri berat ada empat jenis kegiatan yg tergolong ke dalam kelompok ini, yaitu (a) industri baja; (b) penggilingan besi serta baja; (c) industri petrolium dan petro kimia termasuk minyak dan gas dan (d) pabrik yg menghasilkan bau tidak sedap.
2. Industri ekstraktif sumber daya 2 jenis industri yg tergolong ke dalam grup ini, yang dinamakan pertambangan besar dan proyek ekskavasi dan aktivitas kehutanan. Kegiatan kehutanan antara lain; (a) penebangan; (b) kegiatan pengolahan kayu-kayu mentah; (c) introduksi hewan; (d) perambahan hutan; (e) ekstrak produk-produk mangrove.
3. Proyek-proyek infrastruktur terdapat empat proyek yg tergolong ke dalam kategori ini, yaitu: (a) bendungan besar ; (b) proyek reklamasi besar ; (c) proyek jalan serta jembatan.

Jika suatu industri nir tercantum pada kategori proklamasi 2146, maka proyek tadi dipercaya tidak berdampak terhadap lingkungan. Jadi, tidak diwajibkan buat menyiapkan EIA. Namun, kapanpun diperlukan, misalnya suatu industri yang disyaratkan buat menyediakan upaya proteksi lingkungan tambahan. 

Terdapat 2 badan yg bertanggung jawab pada proses administrasi EIA, yaitu, Ministry of Human Settlement serta National Environmental Protection Council (NEPC) yang sekarang dinamakan Biro Manajemen Lingkungan yg berada di bawah Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Ministry of Human Settlement memiliki kewenangan untuk melakukan penyususnan konsep pengaruh lingkungan yang diharapkan pada pelaporan aktivitas-kegiatan yg berdampak terhadap lingkungan dan daerah, sementara itu EMB bertanggung jawab pada mengkaji ulang serta evaluasi EIA. Pelaksanaan sistem EIA dalam kawasan dilaksanakan sang Kantor Regional DENR.

Selain itu jua EMB yang berfungsi dalam hal:
a. Mengadakan rasionalisasi fungsi forum-lembaga pemerintah yang ditugaskan untuk melindungi linkungan hayati serta buat menegakkan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hayati.
b. Merumuskan kebijaksanan serta mengeluarkan panduan guna penetapan standar mutu lingkungan dan analisis mengenai efek lingkungan.
c. Mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan baru atau perubahan atas peraturan perundang-undangan yg ada.
d. Menilai analisis tentang pengaruh lingkungan menurut proyek-proyek yang diajukan sang forum-forum pemerintahan.
e. Memonitor proyek-proyek pembangunan yg dilaksanakan oleh pemerintah.
f. Mengadakan konperensi-konperensi tentang perkara yg berkaitan menggunakan kepentingan lingkungan.

SINGAPURA
Masalah lingkungan hayati pada Singapura disebabkan sang pencemaran udara dan pencemaran kebisingan yang terutama disebakan sang tunggangan bermotor, tenaga pembangkit listrik serta pabrik. Di Singapura nir terdapat undang-undang yang secara komprehensif menangani lingkungan hayati.

Environment Impact Assesment (EIA) telah digunakan secara luas di seluruh penjuru dunia menjadi instrumen aturan administrasi buat mencegah polusi menurut berbagai kegiatan yg berpotensi akbar menyebabkan degradasi atau polusi terhadap lingkungan. Mengejutkan, ternyata Singapura nir mengatur EIA pada hukum lingkungannya. Ia hanya berdasarkan dalam suatu keputusan berdasarkan Master Plan Committee, yg diketuai oleh seseorang Chief Planner.

Hal tadi menunjukkan kedudukan yg unik dari Singapura sebagai negara kota mengharuskan negara tersebut menemukan sistem pengelolaan lingkungan yg tidak sama menurut negara AsiaTenggara lainnya. Kendati demikian, Singapura merupakan negara yang menonjol lantaran keberhasilannya mencegah dan menanggulangi kasus pencemaran lingkungan hidup, baik melalui pendekatan ekonomis juga yuridis serta menerima julukan: “ The Garden City”.