HUKUM LINGKUNGAN DAN KEBIJAKSAAN LINGKUNGAN NASIONAL

Hukum Lingkungan Dan Kebijaksaan Lingkungan Nasional
1. Pelaksanaan AMDAL Di Indonesia
Dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan, lingkungan perlu dijaga kerserasian hubungan antar berbagai kegiatan. Salah satu instrumen aplikasi kebijaksanaan lingkungan adalah AMDAL sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UULH. Sebagai pelaksanaan Pasal 16 UULH, pada tanggal 5 Juni 1986 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang mulai berlaku lepas 5 Juni 1987 menurut Pasal 40 PP tersebut.

Dalam upaya melestarikan kemampuan lingkungan, analisis mengenai damapak lingkungan bertujuan buat menjaga agar syarat lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu demi menjamin kesinambungan pembangunan. Peranan instansi yg berwenang menaruh keputusan mengenai proses analisis mengenai pengaruh lingkungan sudah kentara sangat krusial. Keputusan yang diambil aparatur dalam proses administrasi yangditempuh pemrakarsa sifatnya sangat memilih terhadap mutu lingkungan, karena AMDAL berfungsi menjadi instrumen pencegahan pencemaran lingkungan.

Pada saat berlakunya PP No. 29 Tahun 1986, pemerintah bermaksud memberikan ketika yg relatif memadai yaitu selama satu tahun untuk mempersiapkan segala sesuatu yg berhubungan dengan efektifitas berlakunya PP tadi. Hal ini erat hubungannya menggunakan persiapan energi ahli penyusun AMDAL. Di samping itu diharapkan jua saat buat pembentukan Komisi Pusat dan Komisi Daerah yang merupakan persyaratan esensial bagi aplikasi PP No. 29 Tahun 1986 tadi. PP 29 Tahun 1986 lalu dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diberlakukan dalam tanggal 23 Oktober 1993. Perbedaan utama antara PP tahun 1986 dengan PP tahun 1993 adalah ditiadakannya dokumen penyajian keterangan lingkungan (PIL) serta dipersingkatnya tenggang ketika prosedur (tata laksana) AMDAL pada PP yg baru. PIL berfungsi sebagai filter buat memilih apakah rencana kegiatan dapat menyebabkan dampak krusial terhadap lingkungan atau nir. 

Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yg bersifat preventif, AMDAL harus dibuat dalam tahap paling dini dalam perencanaan kegiatan pembangunan. Dengan istilah lain, proses penyusunan serta ratifikasi AMDAL harus adalah bagian menurut proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini proyek-proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain, studi AMDAL pula bisa memberi masukan bagi upaya-upaya buat mempertinggi pengaruh positif berdasarkan proyek tadi.

Instrumen AMDAL dikaitkan dengan sistem perizinan. Menurut Pasal 5 PP Nomor 51 Tahun 1993, keputusan tentang hadiah biar bisnis permanen oleh instansi yg membidangi jenis bisnis atau aktivitas bisa diberikan sehabis adanya pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yg sudah disetujui sang instansi yg bertanggung jawab. 

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 dimaksudkan buat menyempurnakan kelemahan yang dirasakan dalam PP Nomor 29 Tahun 1986 mengenai AMDAL. Tetapi, upaya penyempurnaan itu ternyata tidak tercapai, bahkan terdapat ketentuan baru yg menyangkut konsekuensi yuridis yg tidak wajar (Pasal 11 ayat (1) PP AMDAL 1993). Meski demikian yang penting pada PP AMDAL 1993 artinya Studi Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) bagi kegiatan yang sedang berjalan dalam ketika berlakunya PP AMDAL 1986 menjadi ditiadakan., sebagai akibatnya AMDAL semata-mata diperlukan bagi bisnis atau aktivitas yang masih direncanakan. Selanjutnya PP Nomor 51 Tahun 1993 dicabut menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Dalam PP 27 tahun 1999 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu:
  1. AMDAL proyek, yaitu AMDAL yg berlaku bagi satu aktivitas yang berada dalam wewenang satu instansi sektoral. Misalnya rencana aktivitas pabrik tekstil, yg mmpunyai wewenang menaruh ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.
  2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, merupakan AMDAL yg berlaku bagi suatu rencana aktivitas pembangunan yg bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan pada hal perencanaan, pengelolaan serta proses produksi, dan berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih berdasarkan satu instansi. Sebagai model adalah galat satu kegiatan pabrik pulp serta kertas yg kegiatannya terkait dengan proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) buat penyediaan bahan bakunya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) buat menyediakan energi, serta pelabuhan buat distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih menurut satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.
  3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yg ditujukan pada suatu planning kegiatan pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatuan hamparan ekosistem serta menyangkut wewenang satu instansi. Contohnya merupakan rencana aktivitas pembangunan daerah industri. Dalam perkara ini masing-masing kegiatan pada dalam tempat nir perlu lagi membuat AMDALnya karena sudah tercakup pada AMDAL seluruh tempat. 
  4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi planning aktivitas pembangunan yg sifat kegiatannya saling terkait pada hal perencanaan serta saat pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan wewenang lebih berdasarkan satu instansi, berada pada satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional merupakan pembangunan kota-kota baru.
Secara teknis instansi yang bertanggung jawab pada merumuskan serta memantau penyusunan AMDAL pada Indonesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendali Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur pada PP No. 51 tahun 1993, kewenangan ini jua dilimpahkan pada instansi-instansi sektoral dan BAPEDALDA Tingkat I. Menggunakan kata lain, BAPEDAL Pusat hanya menangani studi-studi AMDAL yang dipercaya mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini merupakan dengan memberikan kewenangan proses penilaian AMDAL dalam daerah. Materi baru pada PP ini adalah diberikannya kemungkinan partisipasi rakyat pada dalam proses penyusunan AMDAL. 

Dalam sebuah lokakarya regional koordinasi rapikan lingkungan wilayah Kalimantan, Ir Hermien Roosita MM, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa hanya 119 kabupaten/kota yang mempunyai komisi penilai AMDAL berdasarkan 474 kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL. Sementara 75% dokumen AMDAL yg dihasilkan berkualitas buruk hingga sangat buruk.

Lebih lanjut disampaikannya bahwa selama ini AMDAL memerlukan waktu proses sangat cepat, nir ada penegakan hukum terhadap pelanggar AMDAL, kontribusi pengelolaan lingkungan yg masih rendah, sebagai beban biaya , dan ditinjau sebagai komoditas ekonomi sang (oknum) aparatur pemerintah, pemrakarsa atau konsultan. Lebih rusaknya, ketika AMDAL justru hanya sebagai indera retribusi, bukan menjadi bagian dari sebuah studi kelayakan, sebagai akibatnya tak jarang kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata ruang. 

Jangka waktu pemrosesan dokumen AMDAL menurut PP No. 29 Tahun 1986 adalah 90 hari, tetapi menurut Pasal 10 PP Nomor 51 Tahun 1993, sanggup selambat-lambatnya 45 hari. Ketentuan mengenai jangka waktu terasa maju, tetapi sudahkah sinkron menggunakan realita kemampuan aparatur? Sungguh mengejutkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) tadi: “dinyatakan diberikan persetujuan atas kekuatan PP ini”. Tanpa diproses apakah konsekuensi yuridis ketentuan seperti itu terhadap prosedur AMDAL? Keruntuhan sistem AMDAL sebagai instrumen hukum lingkungan yg berfungsi menjadi wahana pencegahan pencemaran lingkungan. 

AMDAL ketika pertama kali dimuntahkan sebagai sebuah kebijakan yg adalah bagian kegiatan studi kelayakan planning bisnis serta/atau aktivitas. Hasil analisis tentang dampak lingkungan hayati digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan daerah. Namun dikarenakan minimnya pengetahuan dari pemerintah dan warga pada memahami AMDAL, membuahkan pemrakarsa serta konsultan memakai AMDAL menjadi sebuah dokumen asal jadi, serta kesamaan mengutip dokumen AMDAL lainnya sangat tinggi. Sehingga AMDAL tidak dapat menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah aktivitas berjalan.

Dalam proses penyusunan dokumen AMDAL, sangat seringkali ditemui konsultan (tim penyusun) AMDAL meninggalkan berbagai prinsip dalam AMDAL. Terutama posisi warga dalam proses penyusunan dokumen AMDAL. Proses keterbukaan berita dijamin sang kebijakan, di mana Pasal 33 PP No. 27/1999 menegaskan kewajiban pemrakarsa buat mengumumkan kepada publik dan saran, pendapat, masukan publik harus buat dikaji dan dipertimbangkan dalam AMDAL. Dan Pasal 34 menegaskan bagi gerombolan masyarakat yg berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis impak lingkungan hidup, planning pengelolaan lingkungan hidup serta planning pemantauan lingkungan hidup.

Keterbukaan serta kiprah serta masyarakat pada proses pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan dampak krusial terhadap lingkungan (khusunya izin lingkungan) perlu dirumuskan pada peraturan perundang-undangan. Peran dan rakyat sang seseorang gerombolan orang (organisasi lingkungan hayati) atau badan hukum merupakan konsekuensi berdasarkan “hak yg sama atas lingkungan hidup yang baik serta sehat” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1) UUPLH

Maksud serta tujuan dilaksanakannya ketertibatan rakyat pada keterbukaan warta pada proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini merupakan buat:
  1. Melindungi kepentingan masyarakat.
  2. Memberdayakan rakyat pada mengambil keputusan atas rencana bisnis dan/atau aktivitas pembangunan yg berpotensi menyebabkan efek besar serta krusial terhadap lingkungan.
  3. Memastikan adanya transparansi pada holistik proses AMDAL menurut rencana usaha dan atau kegiatan.
  4. Menciptakan suasana kemitraan yg setara antara seluruh pihak yg berkepentingan, yaitu menggunakan menghormati hak-hak semua pihak buat mendapatkan berita serta mewajibkan seluruh pihak buat menyampaikan warta yg wajib diketahui pihak lain yang terpengaruh. 
Akan namun, beberapa ketentuan mengenai prosedur perizinan lingkungan tidak membuka peluang bagi peran dan rakyat, sehingga saran dan pemikiran dalam proses pemngambilan keputusan tentang izin yg memiliki impak penting terhadap lingkungan nir ditampung secara prosedural. 

Dokumen AMDAL (kelayakan lingkungan hayati) yg merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi (Pasal dua PP No. 27/1999) selanjutnya merupakan kondisi yang wajib dipenuhi buat mendapatkan ijin melakukan usaha serta/atau kegiatan yg diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 7 PP No. 27/1999). Dokumen AMDAL adalah dokumen publik yg menjadi acuan pada aplikasi pengelolaan lingkungan hayati yg bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, serta dimungkinkan lintas teritorial administratif.

Namun, berdasarkan sisi proses, bila mempelajari Pasal 20 PP No. 27 Tahun 1999, maka terbuka kemungkinan terjadinya kongkalikong dalam persetujuan AMDAL. Dalam ayat (1) pasal tadi dinyatakan bahwa instansi yg bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu bisnis serta/atau aktivitas, dalam jangka saat selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis pengaruh lingkungan hayati, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan planning pemantauan lingkungan hayati. Dan pada ayat (2) disebutkan bila instansi yg bertanggung jawab nir menerbitkan keputusan pada jangka waktu sebagaimana dimaksud, maka rencana usaha dan/atau kegiatan yg bersangkutan dipercaya layak lingkungan. Kolusi lalu sanggup terjadi disaat tidak adanya keputusan mengenai persetujuan AMDAL pada jangka ketika 75 hari, maka secara otomatis suatu kegiatan serta/atau bisnis dipercaya layak secara lingkungan.

PP Nomor 27 Tahun 1999 mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup ternyata permanen nir menyempurnakan PP Nomor 51 Tahun 1993. Kekeliruan perumusan dalam Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 51 Tahun 1993 sepertinya diabadikan oleh Pasal 20 PP AMDAL 1999. 

PP yang menjabarkan UULH ini dalam akhirnya hanya menjadi pelengkap saja. Banyak orang beropini bahwa AMDAL seakan-akan sebagai penyelemat, tetapi sebenarnya AMDAL tidaklah selalu dibutuhkan lantaran AMDAL juga nir berguna bila proyek telah jalan. AMDAL hanya berguna bagi pembangunan fisik yg belum dilaksanakan. Kenyataannya kini di Indonesia, AMDAL dilakukan tatkala pembangunan fisik sedang berjalan. Akhirnya AMDAL dijadikan indera pembenaran semata, tidak lebih berdasarkan itu. Oleh karna itu tidak heran jikalau masih saja ditemukan problem lingkungan padahal telah dibentuk AMDAL-nya.

Sejak dibubarkannya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, maka kemudian Kementerian Lingkungan Hidup semakin mengecil perannya pada upaya pengendalian impak lingkungan, termasuk dalam supervisi AMDAL di banyak sekali strata. Terlebih lagi, pasca dikeluarkannya PP No. 25 tahun 2000, berakibat hilangnya mekanisme koordinasi antar wilayah, yg pada akhirnya membuahkan lingkungan hidup sebagai bagian yg menjadi tidak begitu penting. Empat grup parameter yang masih ada di studi AMDAL , meliputi Fisik – kimia (Iklim, kualitas udara serta kebisingan; Demografi; Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan serta Tanah; dan Hidrologi), Biologi (Flora; Fauna), Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan), dan Kesehatan masyarakat, ternyata pula masih sangat menekankan dalam kepentingan formal saja. Lalu lalu, konflik sosial-budaya serta posisi warga sebagai bagian yg dilupakan. 

Satu hal dari proses pada Komisi Penilai AMDAL, waktu ternyata terjadi pembohongan dalam dokumen AMDAL (dalam hal ini saat evaluasi dokumen AMDAL Pembangunan Bandara Udara Sungai Siring ), hanya dipercaya menjadi kesalahan ketik. Permakluman kemudian terjadi dikarenakan kuatnya kepentingan politis dibalik sebuah rencana kegiatan. Hal ini bukan hanya terjadi sekali. Dalam beberapa kali diskusi dengan para pihak yang dilibatkan pada Komisi Penilai AMDAL, sangat kentara terlihat kerancuan pada proses penilaian AMDAL. Tidak adanya kriteria dan indikator penilaian, sudah membuahkan proses evaluasi AMDAL sebagai sangat subyektif. Dan kemudian, evaluasi yang sepotong-sepotong pun pada akhirnya mengakibatkan aspek efek lingkungan hayati (sebagai sebuah komponen yang komprehensif) sebagai bagian yang sengaja buat dilupakan.

Posisi kelayakan kegiatan berdasarkan AMDAL, sebenarnya sangat tergantung pada gerombolan Akademisi atau para ahli yang dilibatkan pada Komisi Penilai AMDAL. Ketika lalu independensi (kebebasan ikatan) dari akademisi pada menilai dokumen diikat waktu gerombolan ini pun sebagai konsultan penyusun AMDAL, sudah menjadikan grup akademisi atau para pakar tidak lagi profesional dalam mengambil keputusan. 

AMDAL yg dalam awalnya ingin menaikkan posisi tawar lingkungan hayati dalam berkehidupan, kemudian malah berkontribusi terhadap hilangnya hak lingkungan hayati. Setiap kali sebuah aktivitas dan/atau bisnis sangat terlihat jelas berdampak terhadap lingkungan hayati juga komunitas rakyat, maka AMDAL berada pada barisan terdepan untuk mengeliminir gejolak yg terjadi. Dengan melihat syarat ini, maka bukan nir mungkin AMDAL akan berkontribusi terhadap terjadinya ekosida/ecocide (tindakan pengrusakan semua atau sebagian berdasarkan sebuah ekosistem). Pemusnahan ekosistem semakin cepat terjadi dikarenakan tidak adanya perangkat penyaring (filter) menurut aktivitas pengrusakan lingkungan hayati.

Sebagaimana telah dinilai di atas, proses AMDAL pada Indonesia mempunyai banyak kelemahan, yaitu:
  1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi pada proses perijinan suatu planning aktivitas pembangunan, sehingga nir masih ada kejelasan apakah Amdal dapat digunakan buat menolak atau menyetujui suatu planning aktivitas pembangunan.
  2. Proses partisipasi rakyat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM sudah dilibatkan pada sidang-sidang komisi AMDAL, akan namun suaranya belum sepenuhnya diterima di dalam proses pengambilan keputusan. 
  3. Terdapatnya banyak sekali kelemahan di pada penerapan studi-studi AMDAL. Dengan kata lain, nir ada jaminan bahwa banyak sekali rekomendasi yg ada dalam studi AMDAL serta UKL serta UPL akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa. 
  4. Masih lemahnya metode-metode penyusunan AMDAL, khususnya aspek sosial budaya, sebagai akibatnya aktivitas-aktivitas pembangunan yg akibat sosial budayanya krusial, kurang menerima kajian yang seksama. 
Jadi, dapat dikatakan bahwa masalah lingkungan hayati pada Indonesia baru didekati secara kelembagaan serta baru berhasil dalam tingkat politis, tetapi masih gagal pada tingkat pelaksanaannya.

2. Contoh Kasus AMDAL pada Indonesia
Di Indonesia poly sekali terdapat contoh perkara menurut suatu usaha atau aktivitas yang tidak dilengkapi menggunakan AMDAL sampai bisa mengakibatkan kasus. Berikut ini sebagian mini menurut model perkara tadi :
  1. Sebanyak 575 dari 719 perusahaan kapital asing (PMA) dan perusahaan kapital pada negeri (PMDN) pada Pulau Batam tidak mempunyai Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seperti yg digariskan. Dari 274 industri penghasil limbah bahan berbahaya serta beracun (B3), hanya 54 perusahaan yg melakukan pengelolaan pembuangan limbahnya secara baik. Sisanya membuang limbahnya ke bahari lepas atau dialirkan ke sejumlah dam produsen air bersih. Tragisnya, jumlah libah B3 yang didapatkan sang 274 perusahaan industri di Pulau Batam yang mencapai 3 juta ton per tahun selama ini tidak terkontrol. Salah satu industri berat dan terbesar pada Pulau Batam penghasil limbah B3 yg tak punya pengolahan limbah merupakan McDermot, tutur Kepala Bagian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) kota Batam Zulfakkar di Batam. Menurut Zulfakkar, dari 24 daerah industri, hanya empat yg mempunyai AMDAL dan hanya satu yg memiliki unit pengolahan limbah (UPL) secara terpadu, yaitu daerah industri Muka Kuning, Batamindo, Investment Cakrawala (BIC). Selain BIC, yg memliki AMDAL merupakan Panbil Industrial Estate, Semblong Citra Nusa, dan Kawasan Industri Kabil. Semua terjadi karena pembangunan pada Pulau Batam yg dikelola otorita Batam selama 32 tahun, tak pernah mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatan. Seolah-olah investasi serta pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan segalanya. Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan hayati serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 mengenai Analisa mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), maka pengelolan sebuah tempat industri tanpa mengindahkan aspek lingkungan, kentara melanggar hukum. Semenjak pemkot Batam serta Bapedalda terbentuk tahun 2000, barulah diketahui bahwa Pulau Batam ternyata syarat lingkungan dan alamnya sudah rusak parah.
  2. Selama ini, sentra perbelanjaan diserahi tugas membuat studi analisis tentang dampak lingkungan. Untuk keperluan itu mereka memakai jasa konsultan. Karena kebebasan itu, dokumen AMDAL umumnya baru diterima Badan Pengendali Dampak Lingkungan Hidup sehabis sentra perbelanjaan mengalami kasus, contohnya akan dijual ke bank serta membutuhkan rekomendasi AMDAL. Padahal, sesuai mekanisme, biar pembangunan sentra perbelanjaan baru diterbitkan sesudah rekomendasi menurut BPLHD. Namun yang terjadi, AMDAL baru diserahkan selesainya pusat perbelanjaan itu berdiri dan mengalami masalah yg membutuhkan rekomendasi berdasarkan BPLHD. Pembangunan pusat perbelanjaan acapkali menyebabkan kesemrawutan serta stagnasi lalu lintas disekitar tempat sentra perbelanjaan tadi. 
  3. AMDAL di Beberapa Negara Asia Tenggara
MALAYSIA
Di pada kebijaksanaan Pemerintahan Malaysia Periode 1986-1990 tercantum jelas taktik tentang lingkungan hidup yg mencakup penegakan hukum, peningkatan pencerahan lingkungan, perencanaan lingkungan pada pembangunan, acara lingkungan, aplikasi proyek yg disertai Environment Impact Assesment (EIA), kualitas udara, air, serta mengenai land use.

Malaysia tidak memiliki undang-undang atau peraturan tersendiri tentang kegiatan yang diharuskan memakai EIA pada upaya mencegah pengrusakan atau penurunan kualitas lingkungan serta ekosistemnya. Ketentuan buat menggunakan EIA diatur dalam Environmental Quality (Prescribed Activities) tahun 1987 dan mulai berlaku dalam 1 April 1988.

Alasan tidak diaturnya EIA pada Undang-undang atau peraturan tersendiri adalah lantaran EIA sebenarnya merupakan upaya pencegahan serta suatu suplemen buat perencanaan lingkungan terhadap proyek-proyek baru atau perluasan dari proyek yang sudah ada. Ia didesain menurut pada bukti serta prakiraan impak krusial terhadap lingkungan berdasarkan suatu kegiatan yg direncanakan.

Meskipun EIA tidak diatur dalam undang-undang atau peraturan tersendiri, pelanggaran terhadap ketentuannya sanggup diajukan ke pengadilan dan bisa dijatuhi sanksi yg berat. Pelaksanaan secara serius telah membuat EIA berhasil dilaksanakan pada Malaysia. Sebagai contoh, lebih dari 379 laporan EIA telah diterima oleh DOE, dan 10 diantaranya dinyatakan melanggar ketentuan EIA serta sudah diajukan ke pengadilan.

Mengingat lingkungan serta ekonomi begitu erat berkaitan, maka dirasakan keperluan buat memasukkan lingkungan dalam National Accounting Procedure. Hal tersebut adalah karena nilai asal daya alam dan dimensi porto dan manfaat lingkungan menurut proses pembangunan dapat dinilai serta dimasukkan ke pada pengambilan keputusan ekonomi melalui Natural Resource Accounting Procedure.

Berdekatan dengan National Resource Accounting serta Environmental Impact Assesment (EIA) merupakan Environmental Audit (EA) Procedure. Apabila EIA diterapkan dalam proyek-proyek baru, EA diterapkan dalam semua proyek yg berjalan. 

PHILIPINA
Dari beberapa negara Asia Tenggara, Philipina adalah negara yg paling maju dalam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup. Philipina menghadapi dua masalah yaitu kemiskinan yang melanda negara-negara berkembang serta pencemaran yg menyertai proses pembangunan. Di samping itu masalah yg dihadapi adalah bala alam berupa gempa bumi, angin taufan dan banjir yang sering mengakibatkan kerusakan terhadap kehidupan manusia dan lingkungan hidup pada umumnya.

Peraturan perundang-undangan di Philipina dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu peraturan perundang-undangan pada bidang asal daya alam, peraturan perundang-undangan pada bidang pengendalian serta pencegahan pencemaran dan pertauran perundang-undangan pada bidang pencegahan bencana alam. Pada lepas 21 September 1972 Presiden Marcos sudah mengumumkan keadaan darurat (martial law) pada Philipina. Dalam keadaan darurat ini Presiden diberi kekuasaan legislatif pada bentuk dekrit.

Dekrit yg penting mengenai kebijaksanaan serta pembangunan adalah Presidensial Decree yg selanjutnya disingkat P.D. No. 1151 dan P.D. No.1152. P.D. 1151 menyatakan bahwa adalah adalah kebijaksanaan negara pada bidang lingkungan hayati untuk menumbuhkan, mengembangkan dan memperbaiki keadaan supaya manusia serta alam bisa berjalan bersama-sama dalam keserasian yang produktif serta menyenangkan. P.D ini mengharuskan kepada proyek-proyek pembangunan buat membuat analisis tentang efek lingkungannya. P.D 1152 mengenai Philippine Environment Code yang diundangkan pada tanggal 6 Juni 1977 bertujuan buat mengarahkan aktivitas-aktivitas serta acara-acara pada bidang pengelolaan lingkungan dengan penetapan kebijaksanaan pengelolaan serta penetapan standar mutu lingkungan. Kode ini menangani lingkungan hidup dalam keseluruhannya (in its totality), nir secara fragmentaris.

Selanjutnya PD 1586 tetapkan bahwa semua perwakilan serta instrumen-instrumen pemerintah termasuk badan bisnis milik negara, badan hukum perdata, firma dan bentuk usaha lainnya yang memiliki imbas signifikan terhadap lingkungan, buat menyiapkan pernyataan dampak lingkungan sebagimana tercantum dalam bagian empat.

PD 1586 adalah ketetapan yang lebih baik bila dibandingkan dengan legislasi EIA sebelumnya, khususnya PD 1121. Dalam PD 1121, kewajiban buat menyiapkan EIA dibatasi hanya dalam proyek-proyek pemerintah. Pada tahun 1981, Presiden Philipina mengeluarkan Proklamasi 2146 yang mengidentifikasi tiga jenis kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan. Berdasarkan Proklamasi 2146, kegiatan-kegiatan yg tergolong ke dalam kegiatan yg berdampak terhadap lingkungan, yaitu:
1. Industri berat ada empat jenis kegiatan yg tergolong ke dalam kelompok ini, yaitu (a) industri baja; (b) penggilingan besi serta baja; (c) industri petrolium dan petro kimia termasuk minyak dan gas dan (d) pabrik yg menghasilkan bau tidak sedap.
2. Industri ekstraktif sumber daya 2 jenis industri yg tergolong ke dalam grup ini, yang dinamakan pertambangan besar dan proyek ekskavasi dan aktivitas kehutanan. Kegiatan kehutanan antara lain; (a) penebangan; (b) kegiatan pengolahan kayu-kayu mentah; (c) introduksi hewan; (d) perambahan hutan; (e) ekstrak produk-produk mangrove.
3. Proyek-proyek infrastruktur terdapat empat proyek yg tergolong ke dalam kategori ini, yaitu: (a) bendungan besar ; (b) proyek reklamasi besar ; (c) proyek jalan serta jembatan.

Jika suatu industri nir tercantum pada kategori proklamasi 2146, maka proyek tadi dipercaya tidak berdampak terhadap lingkungan. Jadi, tidak diwajibkan buat menyiapkan EIA. Namun, kapanpun diperlukan, misalnya suatu industri yang disyaratkan buat menyediakan upaya proteksi lingkungan tambahan. 

Terdapat 2 badan yg bertanggung jawab pada proses administrasi EIA, yaitu, Ministry of Human Settlement serta National Environmental Protection Council (NEPC) yang sekarang dinamakan Biro Manajemen Lingkungan yg berada di bawah Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Ministry of Human Settlement memiliki kewenangan untuk melakukan penyususnan konsep pengaruh lingkungan yang diharapkan pada pelaporan aktivitas-kegiatan yg berdampak terhadap lingkungan dan daerah, sementara itu EMB bertanggung jawab pada mengkaji ulang serta evaluasi EIA. Pelaksanaan sistem EIA dalam kawasan dilaksanakan sang Kantor Regional DENR.

Selain itu jua EMB yang berfungsi dalam hal:
a. Mengadakan rasionalisasi fungsi forum-lembaga pemerintah yang ditugaskan untuk melindungi linkungan hayati serta buat menegakkan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hayati.
b. Merumuskan kebijaksanan serta mengeluarkan panduan guna penetapan standar mutu lingkungan dan analisis mengenai efek lingkungan.
c. Mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan baru atau perubahan atas peraturan perundang-undangan yg ada.
d. Menilai analisis tentang pengaruh lingkungan menurut proyek-proyek yang diajukan sang forum-forum pemerintahan.
e. Memonitor proyek-proyek pembangunan yg dilaksanakan oleh pemerintah.
f. Mengadakan konperensi-konperensi tentang perkara yg berkaitan menggunakan kepentingan lingkungan.

SINGAPURA
Masalah lingkungan hayati pada Singapura disebabkan sang pencemaran udara dan pencemaran kebisingan yang terutama disebakan sang tunggangan bermotor, tenaga pembangkit listrik serta pabrik. Di Singapura nir terdapat undang-undang yang secara komprehensif menangani lingkungan hayati.

Environment Impact Assesment (EIA) telah digunakan secara luas di seluruh penjuru dunia menjadi instrumen aturan administrasi buat mencegah polusi menurut berbagai kegiatan yg berpotensi akbar menyebabkan degradasi atau polusi terhadap lingkungan. Mengejutkan, ternyata Singapura nir mengatur EIA pada hukum lingkungannya. Ia hanya berdasarkan dalam suatu keputusan berdasarkan Master Plan Committee, yg diketuai oleh seseorang Chief Planner.

Hal tadi menunjukkan kedudukan yg unik dari Singapura sebagai negara kota mengharuskan negara tersebut menemukan sistem pengelolaan lingkungan yg tidak sama menurut negara AsiaTenggara lainnya. Kendati demikian, Singapura merupakan negara yang menonjol lantaran keberhasilannya mencegah dan menanggulangi kasus pencemaran lingkungan hidup, baik melalui pendekatan ekonomis juga yuridis serta menerima julukan: “ The Garden City”.

Comments