5 CARA MENGATASI PANGGILAN BERAKHIR DI HP XIAOMI

HP xiaomi nir sanggup nelpon - Bagaimana 5 cara mengatasi panggilan berakhir pada hp android xiaomi ? Bagi para pengguna hp android, khususnya xiaomi tentu pernah mengalamai perkara dimana hp xiaomi tidak bisa melakukan panggilan keluar atau menelepon. Kondisi dimana xiaomi 4x tidak sanggup melakukan panggilan ini terjadi panggilan selalu berakhir secara datang - datang padahal pulsa ataupun sinyal di hp xiaomi tadi masih tersedia. Selain panggilan yg langsung berakhir di hp xiaomi ini, ketika kita mencoba telepon menggunakan sim 1 selalu berhenti dan dialihkan ke sim dua.
Tentu kita akan kebingungan waktu hp xiaomi tidak mampu telepon atau mendapat panggilan baik itu panggilan keluar dan pula panggilan masuk. Sebenarnya perkara hp xiaomi mendadak terputus ketika telepon ini jua acapkali kali dialami oleh beberapa merk smartphone android lainnya misalnya hp nokia, samsung, asus, oppo smartphone ataupun ponsel android lainnya. Lantas apa yang menjadi penyebab tidak bisa nelpon pada hp xiaomi yg kita miliki tersebut ? Apapun itu penyebabnya, kasus hp xiaomi yang nir mampu melakukan panggilan ini perlu buat segera kita atasi sebelum semakin parah hp pribadi mati ketika digunakan buat menelepon.
Oleh karenanya dalam kesempatan kali ini CARA FLEXI akan mencoba menaruh lima cara memperbaiki hp xiaomi yg nir bisa melakukan panggilan telpon. Perlu buat kita ketahui bahwa perkara panggilan berakhir pada hp xiaomi ini sering ditimbulkan sang kesalahan pengaturan kartu, FDN yg belum dinonaktifkan ataupun bugs dalam sistem xiaomi yang digunakan. Jadi apabila hp xiaomi yg kita miliki selalu berhenti dan dialihkan ke sim 2 ketika melakukan panggilan atau nelpon maka kita perlu mewaspadai beberapa penyebab tersebut. Untuk itu mari pribadi saja kita simak ulasan selengkapnya mengenai 5 cara mengaktifkan panggilan dalam hp xiaomi yg tidak berfungsi di bawah ini.

5 Cara Mengatasi Panggilan Berakhir Dan Dialihkan Di HP Xiaomi


Sebelum kita melakukan pengaturan setelan bawaan panggilan xiaomi terlalu jauh, alangkah lebih baiknya kita mencari memahami penyebab utama yg menyebabkan hp xiaomi selalu dialihkan ke sim dua waktu telepon tersebut. Berikut ini akan kami berikan 5 cara mengatasi panggilan berakhir di hp xiaomi yang perlu buat kita coba, antara lain adalah :

Cara mengatasi hp xiaomi tidak mampu dipakai buat telepon


Jaringan kartu di hp xiaomi terkunci pada mode 4G LTE Only
Perlu buat kita ketahui bahwa pengaturan jaringan yg pada kunci pada jaringan 4G LTE only tak jarang malah membuat hp xiaomi tidak dapat melakukan panggilan. Hal ini dikarenakan jaringan 4G lte only hanya dapat digunakan buat internetan dengan jaringan 4G sebagai akibatnya akan menciptakan kartu tersebut nir akan mampu digunakan buat melakukan panggilan telepon.
Untuk mengatasi panggilan yg selalu berakhir tiba - datang pada hp xiaomi karena pengaturan jaringan tersebut, dapat kita lakukan menggunakan langkah - langkah sebagai ini dia :
1. Buka HP Xiaomi yg kita miliki kemudian pilih menu settings / setelan
2. Setelah itu pada page settings, pilih menu about ponsel / tentang ponsel
3. Ketuk lima kali bertutur - turut pada menu Internal memory / Penyimpanan Internal, maka akan keluar halaman pengujian menggunakan beberapa pilihan menu berikut :
  • Informasi telepon 1
  • Informasi Telepon 2
  • Info Baterai
  • Statistik penggunaan
  • Wi-Fi Information

Pilih pada warta telepon 1 atau informasi telepon 2, sinkron menggunakan kartu yg seringkali kita gunakan buat menelpon
4.  Pada page Informasi telepon, silakan kita pastikan pengaturan jaringan supaya hp xiaomi dapat digunakan buat menelpon
  • Pastikan jenis jaringan yg dipilih bukan LTE Only, supaya kita dapatinternetan dengan jaringan 4G serta jua mampu mendapat atau melakukan panggilan
  • Silakan pilih saja opsi LTE / GSM auto (PRL) atau TD-SCDMA, GSM/WCDMA and LTE atau yang semacamnya, yg penting jangan menentukan jaringan LTE Only

Nonaktifkan FDN pada hp xiaomi
Pada dasarnya FDN atau fixed dialing number merupakan fasilitas pada ponsel android yang digunakan buat membatasi panggilan. Dimana kita hanya bisa melakukan panggilan keluar hanya dalam angka - nomor yang telah dimasukan ke pilihan menu Fixed Dialing saja dan untuk nomer yang nir didaftarkan maka secara otomatis akan diblok agar nir mampu melakukan panggilan.
Jadi kita akan bisa mengetahui bahwa FDN hp xiaomi belum dinonaktifkan bila kita menerima notifikasi pesan peringatan panggilan keluar dibatasi FDN waktu melakukan panggilan keluar. Berikut ini akan kami berikan langkah - langkah buat melakukan pengaturan pada hp xiaomi buat menciptakan FDN tidak aktif.
  • Pertama - tama buka panggilan telepon
  • Setelah itu tab menu icon garis 3 di sudut kiri bawah (buat miui 8), lalu pilih pilihan menu settings / setelan bergambar roda gigi
  • atau menggunakan cara Buka setelan / settings > System Apps / aplikasi sistem > Call settings / pengaturan panggilan
  • Kemudian pada laman setelan / settings pilih opsi Advanced Settings, di page berikutnya scroll ke bawah lalu pilih Fixed dialing numbers
  • Lalu silakan pilih kartu ponsel yg kita pakai untuk menelpon, lalu pastikan opsi Fixed Dialing Numbers pada keadaan nonaktif /off atau disable

Slot SIM Bermasalah
Apabila sebelumnya syarat kartu sim hp xiaomi pada keadaan baik tetapi ketika akan dipakai buat melakukan panggilan keluar datang - datang muncul pemberitahuan "service not available" serta sinyal sebagai nir terdapat layanan maka penyebab hp xiaomi nir sanggup melakukan panggilan kemungkinan terjadi lantaran kasus pada perangkat hardware slot kartu.
Untuk melakukan pemugaran panggilan hp xiaomi yg tiba - tiba berhenti tadi bisa kita lakukan dengan langkah - langkah menjadi berikut :
  • Restart hp android
  • Apabila masih gagal, coba dengan menukarkan slot sim yang dipakai untuk menelpon sebelumnya
  • Update firmware
  • Dan bila masih sering error waktu dipakai buat telepon maka coba bedakan sim yg khusus untuk nelpon dan simcard yg digunakan buat internetan. Pada sim yg spesifik digunakan untuk telpon, kita lock jaringannya dalam mode "2G only"

Nomor tujuan terblokir
Jika hp xiaomi yg kita gunakan masih saja nir sanggup mendapat panggilan telepon atau melakukan telepon maka terdapat kemungkinan bahwa angka telepon masuk ke pada daftar blacklist. Untuk memastikan nomer blocklist di hp xiaomi yg kita miliki bisa kita lakukan dengan cara menjadi berikut :
  • Pertama - tama masuk ke bagian setelan / settings
  • Setelah itu pilih opsi System apps / aplikasi sistem
  • Kemudian pilih call settings / pengaturan panggilan
  • Tap opsi Blocklist serta pastikan pada keadaan off atau jika memang sengaja kita aktifkan, dalam laman blocklist, pilih opsi Blocked number >> sehabis itu pastikan didalamnya nir ada nomor hp yang kita maksud

ROM yang dipakai bukan ROM Resmi
Dan penyebab terakhir jika hp xiaomi yg kita gunakan nir mampu buat telpon maka kita perlu buat memastikan bugs sistem. Hal ini dikarenakan jenis rom yg digunakan oleh hp xiaomi yang kita gunakan adalah rom distributor atau rom abal-abal maka tidak menutup kemungkinan masalah panggilan berakhir di xiaomi akan kita alami.
lihat juga :
  1. Solusi HP Menelpon Tidak Ada Suara
  2. 7 Cara Mengatasi Touchscreen Melesat Bergerak Ngaco Di HP Android

Demikian pertemuan kita kali ini yang baru saja mengulas tentang cara mengatasi hp xiaomi tidak bisa menelpon tadi. Dan jika menurut semua cara di atas masih saja belum jua bisa mengatasi kasus panggilan hp xiaomi yg selalu dialihkan tadi maka membawanya ke loka service hp xiaomi adalah langkah selanjutnya yg perlu buat kita lakukan., sekian dan terima kasih ..

CARA MENGATASI PANGGILAN MASUK WA GAGAL TERUS DI SEMUA TIPE HP XIAOMI

Panggilan whatsapp bermasalah - Bagaimana cara mengatasi panggilan masuk aplikasi whatsapp selalu gagal pada hp xiaomi ? Masalah dalam panggilan telepon lewat whatsapp dimana panggilan whatsapp tidak ada suara ini mungkin tidak semua pengguna hp android pernah mengalaminya. Tetapi tidak terdapat salahnya jika kita mengetahui akan penanganan wa nir bisa vc tersebut, hal ini dikarenakan nir menutup kemungkinan bahwa smartphone yg kita miliki akan mengalami perkara itu juga. Disini kami akan sedikit cerita akan perkara yang pada alami sang galat satu anggota forum xiaomi yang mana beliau baru saja mengalami masalah dalam hp xiaomi yang nir sanggup mendapat telepon masuk via wa.
Masalah dimana panggilan whatsapp menghubungkan terus yg dialaminya tersebut terjadi ketika dia baru pertama kali menginstall aplikasi whatsapp di hp xiaomi modern yang baru saja di beli. Pada awalnya nir ada perkara dalam aplikasi wa tadi ketika digunakan buat chatting, tetapi ketika terdapat telepon via whatsapp call mendadak telepon meninggal sendiri. Dan terkadang waktu panggilan masuk via wa tersebut kita angkat akan muncul pemberitahuan gambar microphone beserta pilihan "Setting" serta "Not Now". Yang mana bila kita klik "Setting" maka akan beralih ke google play store tetapi apabila "Not Now" akan membuahkan hp xiaomi tidak bisa mendapat panggilan masuk lewat whatsapp tersebut.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini, kami CARA FLEXI akan mencoba menaruh penjelasan akan penyebab dan cara memperbaiki hp xiaomi yang nir mampu terima telpon wa tersebut. Apabila melihat menurut penerangan pada atas, munculnya pemberitahuan "permissions microphone" ketika panggilan masuk whatsapp tadi seringkali kali disebabkan karena adanya kesalahan dalam pengaturan hp xiaomi yg kita miliki. Dan yang menjadi penyebab panggilan whatsapp menghubungkan terus tadi adalah pengaturan microphone hp xiaomi masih pada keadaan tidak aktif. Untuk lebih jelasnya yuk langsung saja kita simak ulasan selengkapnya tentang cara mengatasi hp xiaomi nir bisa mendapat panggilan telepon masuk via whatsapp di bawah ini.

Cara Mengatasi Panggilan Masuk WA Gagal Terus Di Semua Tipe HP Xiaomi


Sebenarnya kasus aplikasi whatsapp tidak sanggup buat terima telepon tersebut nir hanya terjadi pada hp xiaomi saja, namun pula dapat terjadi dalam seluruh tipe / merek hp android misalnya hp samsung, asus, oppo smartphone, hp vivo ataupun seluruh tipe hp xiaomi terkini. Hal ini dikarenakan setiap pengguna ponsel pasti mempunyai fitur microphone yang terinstall dalam perangkat android yg kita miliki.
Jadi jika kita mengalami kasus hp android tidak sanggup terima telpon lewat whatsapp / wa maka langkah - langkah yang perlu untuk kita lakukan adalah menggunakan cara mengaktifkan microphone menjadi berikut :

Cara hp android nir sanggup terima telepon lewat whatsapp


  1. Langkah pertama yang perlu untuk kita lakukan adalah menggunakan masuk ke pilihan menu pengaturan / settings
  2. Kemudian cari menu Apps lalu klik icon gear diatas
  3. Setelah itu masuk dalam pilihan menu apps permissions
  4. Dan langkah terakhir cari pelaksanaan whatsapp serta aktifkan microphone aplikasi tersebut

lihat juga :

Demikian rendezvous kita kali ini yang baru saja mengulas akan masalah panggilan masuk via wa selalu gagal pada terima dalam hp xiaomi. Semoga postingan kami kali akan penyebab hp nir mampu terima telepon ini dapat menaruh manfaat buat kita semua, sekian dan terima kasih ..

CARA MENGATASI SUARA KRESEK DI SPEAKER HP ANDROID XIAOMI

Speaker hp xiaomi rusak - Bagaimana cara mengatasi speaker hp xiaomi tak jarang ada bunyi kresek kresek ? Bagi penggemar musik pada hp xiaomi, tentu nir akan asing bila mendengar bunyi kresek - kresek saat memutar musik pada hp xiaomi baik itu waktu menggunakan headset ataupun loadspeaker. Suara "kresek" pada hp android atau yang sering diklaim dengan Craking Sound ini dapat ada secara tiba - datang serta bahkan semenjak awal suara keluar dari speaker ponsel yg kita miliki. Dimana suara speaker hp xiaomi yg pecah tersebut tak jarang menciptakan kita berpikir bahwa hp xiaomi yg kita miliki sudah mengalami kerusakan dalam bagian pengeras bunyi / speaker.
Padahal perlu buat kita ketahui bahwa penyebab speaker bunyi kresek di hp xiaomi tadi bukan selalu dari dari speaker yg rusak saja melainkan terkadang jua dapat terjadi karena software yg error atau jua berdasarkan kesalahan pengaturan suara saja. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika hp yg pernah terjatuh ataupun terkena air akan menyebabkan suara kresek kresek tadi muncul setiap kita memutar lagu di ponsel xiaomi tersebut. Lantas jika terjadi demikan, cara memperbaiki speaker hp xiaomi yg muncul suara kresek lantaran terkena air tersebut ? Mengingat harga speaker hp xiaomi yg tidaklah murah tentu akan menciptakan kita berpikir untuk membawa ke tempat service secepatnya.
Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini CARA FLEXI akan mencoba menaruh beberapa cara mengatasi bunyi speaker hp xiaomi yang pecah tadi. Tips yang akan kami bagikan kali ini kami bersumber dari lembaga hp xiaomi yang mana sudah poly yang sudah mencoba akan keberhasilannya. Dan dalam pembahasan kali ini, kami berikan beberapa alternatif juga agar masalah bunyi speaker yang semakin mengecil serta muncul kresek - kresek ini nir hanya bisa digunakan pada hp xiaomi redmi 4 saja melainkan pula dalam tipe hp xiaomi lainnya. Untuk itu yuk pribadi saja kita simak ulasan selengkapnya mengenai cara mengatasi suara speaker hp xiaomi yang rusak pada bawah ini.

Cara Mengatasi Suara "Kresek" Di Speaker HP Android Xiaomi


Pada dasarnya penyebab bunyi speaker hp xiaomi yang nir kentara karena terdengar suara kresek - kresek ini bisa terjadi lantaran kesalahan pengaturan sistem, error sistem, kerusakan perangkat speaker, jalurnya serta juga dalam bagian komponen lain yang terkait dengan alur suara menuju speaker. Tetapi buat memastikan penyebab speaker hp xiaomi nir suara tadi, kita perlu melakukan beberapa hal seperti sebagai berikut :
  • Pertama - tama kita lihat terlebih dahulu settingan bunyi pada HP xiaomi, apakah dalam posisi silent (membisu tanpa bunyi) ataukah tidak. 
  • Setelah itu cobalah buat mengubah slider settingan bunyi semaksimal mungkin dan jua pastikan nada dering juga sudah dipilih
  • Jika masih saja bunyi speaker belum terdengar jelas maka cobalah buat melakukan reset ulang pengaturan atau dapat juga menggunakan recovery reset buat memulihkan fungsi suara
  • Namun apabila seluruh cara diatas sudah kita pastikan akan tetapi masih saja speaker hp xiaomi error belum juga teratasi maka langkah terakhir adalah menggunakan melakuan pemerikasaan kondisi fisik buzzer atau merubahnya menggunakan yg baru

Namun sebelum kita mengganti speaker hp xiaomi yang rusak tersebut, cobalah untuk menginstal file mod ke dalam sistem Xiaomi Redmi 4 prime terlebih dahulu. Cara ini telah berhasil dilakukan oleh salah satu member en miui, untuk mengetahui secara lengkapnya mari kita lihat pada ulasan pada bawah ini.

Cara memperbaiki speaker hp xiaomi yg pecah dengan file mod


Syarat pertama yg harus kita lakukan apabila akan mencoba tutorial kali ini merupakan memastikan Hp android Redmi 4 Prime yang kita miliki sudah pada kondisi root superSU terlebih dahulu. Apabila sudah siapkan bahan - bahan yang akan digunakan :
  • Root Explorer
  • File mod fix sound cracking untuk xiaomi Redmi 4 Prime

Jika bahan yg akan kita gunakan sudah tersedia maka lakukan langkah - langkah sebagai berikut :
  1. Pertama - tama install root explorer yg telah disiapkan dalam hp xiaomi redmi 4 prime yang kita miliki
  2. Setelah itu ambil arsip mod pada atas kemudian pindahkan ke memori internal
  3. Kemudian jalankan root explorer
  4. Langkah berikutnya, copy serta replace file yang terdapat pada direktori Root/etc serta ubah permissionnya menjadi rw-r--r--
  5. Dan yang terakhir tinggal kita Reboot kemudian cek pada bunyi pada pemutar musik hp xiaomi

PERHATIAN !
  • Backup rom miui 8 kita terlebih dahulu memakai custom TWRP Recovery sebelum menjalankan tutorial ini
  • Dan pastinya segala resiko ditanggung penumpang

Namun apabila memang semua cara diatas tidak memberikan output pada mengatasi speaker xiaomi bunyi kresek kresek, maka langkah terakhir yang perlu buat kita lakukan merupakan menggunakan membarui speaker xiaomi yang rusak tadi. Jika anda ingin membarui speaker hp xiaomi sendiri, mari kita simak ulasan sebagai berikut :
lihat pula :

Cara ganti speaker hp android xiaomi


  1. Pertama, buka penutup belakang (cassing) HP Xiaomi
  2. Untuk membuka casing hp xiaomi agar tidak melukai epilog dan bodi ponsel, alangkah lebih baiknya bila kita memakai indera pembuka cassing atau yg tidak berbahan metal
  3. Setelah casing dan bodi terpisah, kita lepas terlebih dahulu epilog cangkang speaker Xiaomi. Penutup cangkang speaker Xiaomi ini berfungsi buat mengeluarkan bunyi waktu ada panggilan masuk, dimana penutup cangkang tadi terletak di bagian bawah baterai.
  4. Kemudian lepas seluruh baut pengikatnya, masih ada dua buah baut pengikat kemudian apabila sudah cungkil penutupnya. Jika telah terlepas, silakan copot speaker yg menempel dalam modulnya menggunakan cara dicungkil
  5. Pastikan terlebih dahulu apakah speaker putus atau tidak menggunakan menggunakan multimeter sebelum melakukan penggantian. Namun bila memang suara hp xiaomi error asal dari speaker yg rusak maka eksklusif saja kita ganti komponen tersebut

Demikian pertemuan kita kali ini yang baru saja mengulas tentang solusi speaker suara kresek ketika memutar musik pada hp xiaomi. Semoga rendezvous kita kali ini bisa memberikan hasil yg lebih baik, namun jika anda ragu buat mencobanya sendiri maka nir ada salahnya bila membawa hp xiaomi yang rusak tersebut ke service center terdekat. Sekian serta terima kasih ..

ISLAM NEGARA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Islam, Negara serta Politik dalam Perspektif Historis 
“terdapat pembedaan yang jelas antara institusi Negara serta kepercayaan pada warga Islam. Bukti sejarah memberitahuakn bahwa nir ada satu model institusi agama dan Negara yang standar dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, pada setiap model terdapat ketidakjelasan tentang bagaimana distribusi otoritas, fungsi serta hubungan antara institusi-institusi tadi. 

Penekanan aku terhadap disparitas institusi kepercayaan dan Negara pada sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu warga Islam tadi wajib sebagai model bagi rakyat Islam ketika ini dan di masa depan. Ide misalnya ini nir mungkin dilaksanakan dan juga nir diinginkan lantaran rakyat muslim saat ini memiliki konteks yang tidak sinkron dengan warga muslim sebelumnya. Usaha buat menerapkan pengalaman historis tadi akan sebagai tidak konsisten menggunakan asumsi mengenai pentingnya menegosisasikan secara kontekstual interaksi kepercayaan dan negara dan interaksi kepercayaan dan politik. Tinjauan historis serta analisis terhadap hubungan antara Islam, negara dan politik dalam bagian ini hanya ditujukan buat memperlihatkan bahwa pendekatan yg saya ajukan sanggup didukung sang analisis historis. Saya tidak bermaksud menjamin bahwa keliru satu warga tersebut telah hidup dalam negara sekuler yg terbaru. Namun, tinjauan historis ini tetap akan sebagai signifikan bagi diskusi kita untuk menerangkan bahwa pemahaman terhadap sekularisme yang saya ajukan pada sini, bukanlah ilham yang asing dalam sejarah warga Islam.

Untuk memenuhi tujuan tadi, saya akan memulai dengan mengungkapkan cara saya membaca dan menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah itu, pada bagian 2 bab ini, aku akan mengungkapkan visi ideal serta realitas pragmatis sejarah Islam tadi. Dalam bagian tiga, saya akan menampakan bagaimana visi ideal serta realitas pragmatis tersebut dalam sejarah Dinasti Fatimiyah dan Mamluk pada Mesir. Dalam bagian 3 tadi, saya juga akan membahas status ahl-al-dhimma (ahl al-kitab ) pada beberapa negara bagian di Mesir buat menampakan implikasi pengalaman sejarah masa kemudian tersebut terhadap masa depan penerapan prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan serta hak asasi insan pada warga Islam waktu ini. 

Satu hal yang wajib aku penjelasan dari penerangan ini adalah bahwa sejarah yg saya kemukakan pada sini adalah sejarah ummat Islam yg menjadi mayoritas di sebuah daerah. Tetapi bukan berarti status lebih banyak didominasi ini membuat mereka dianggap Islami atau ideal menurut sumber-asal dasar Islam. Ummat Islam dulu maupun kini biasa beropini bahwa kegagalan ummat Islam saat ini bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan lantaran mereka nir sanggup menjalankan islam yg ideal. Saya nir menganggap argumen ini relevan dengan apa yg akan aku ungkapkan pada sini, lantaran saya lebih tertarik menggunakan Islam yg dipraktikkan serta dipahami oleh ummatnya; bukan Islam yg terdapat pada tataran ideal dan berbentuk tak berbentuk. Memang selalu terdapat dimensi Islam yg terdapat pada luar pemahaman dan pengalaman manusia. Dimensi ini umumnya terdapat, paling nir, pada ingatan kolektif yg relevan dengan organisasi politik serta sosial rakyat. Contohnya misalnya yg tersurat pada Qs. 43: 3 dan 4, “kami telah menurunkan al-Qur’an pada bahasa Arab kepadamu supaya kamu memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tadi atau ayat al-Qur’an lainnya pada sini, berarti kita sedang berusaha buat menurunkan maknanya dalam bahasa Inggris karena al-Qur’an nir mampu diterjemahkan begitu saja. Demikian juga saat seorang mengutip al-Qur’an pada versi Arabnya, proses penurunan makna itu akan tetap terjadi lantaran tidaklah mungkin seorang merujuk pada al-Qur’an kecuali apabila beliau memahaminya.

Dengan kata lain, usaha apapun buat mengidentifikasi atau mendeskripsikan islam yg ideal pada orang lain selalu terhambat sang keterbatasan-keterbatasan dan kemungkinan manusia buat berbuat keliru. Memang taraf pemahaman dan pengalaman seorang terhadap makna al-Qur’an itu bhineka, tapi tidak ada seorang manusia pun yg sanggup sepenuhnya mentransendensikan kemanusiaannya, terutama pada insan lain. Apabila kemampuan manusia yg terbatas buat memahami dan mengkomunikasikan sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi bisnis buat mengembangkan hubungan sosial dan politik sesuai dengan ajaran Islam, aku jadi mempertanyakan apa sebenarnya yg dimaksud menggunakan Islami dalam konteks ini? Saya tidak bermaksud menolak adanya keragaman individual pada memahami serta mengamalkan nilai-nilai Islam, tetapi pemahaman serta pengamalan ini tidak mampu dijadikan dasar organisasi sosial serta politik masyarakat, kecuali apabila ada pemahaman yang sama serta mampu dipatuhi sang semua pihak. Dengan kata lain, makna kolektif serta simpel kata “Islami” itulah yg wajib terus dianalisis dan direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman ummat Islam dulu, sekarang serta nanti.

Dalam bingkai perspektif inilah saya berakibat bab ini menjadi sebuah usaha buat menerangkan kontradiksi yg masih ada pada gagasan penyatuan otoritas politik serta agama. Saya juga ingin menampakan bahaya yg tidak terhindarkan bila mengimplementasikan gagasan tersebut. Saya katakan dengan amanah bahwa bahaya itu akan permanen terdapat, baik apabila gagasan tadi diklaim secara eksplisit ataupun implisit, atau bahkan apabila dia hanya sebuah usaha yang dilakukan secara selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan ini saya ungkapkan pada sini pada konteks pengalaman sejarah masyarakat muslim dimana kualitas Islami dipahami dengan cara sebagaimana yang telah aku ungkapkan tersebut. Saya menyadari bahwa saya nir mungkin mempresentasikan pembahasan sejarah yg komperehensif atau mendiskusikan aspek atau insiden eksklusif yang disebutkan dalam bab ini secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini mampu dilakukan, saya akan sulit mengklarifikasi hal krusial yang ingin saya bahas dalam bab ini. Karena itulah, aku hanya akan menyoroti beberapa peristiwa serta tema yg cukup familiar pada sejarah Islam buat memperjelas informasi yang aku bicarakan pada sini. Saya jua akan mengutip beberapa sumber yang memberikan liputan serta penjelasan terperinci lebih lanjut. 

I. Kerangka untuk Membaca Sejarah Islam 
Sejarah sebuah masyarakat berisi berbagai jenis insiden serta dimensi interaksi insan. Persepsi yg tidak sama tentang sejarah pasti cenderung menekankan satu atau beberapa elemen, dan ini dilakukan buat mendukung institusi sosial, rekanan ekonomi atau organisasi politik tertentu. Sebagai contoh, persepsi yang berbeda mengenai sejarah bisa saja menekankan tradisi toleran atau, malah, kebalikannya terhadap disparitas agama, praktik dan pendapat politik pada rakyat. Karena perbedaan persepsi itu dikutip buat mempengaruhi pandangan serta konduite ummat Islam saat ini, pembuat kebijakan serta pihak yg terlibat dalam debat publik cenderung buat menekankan persepsi-persepsi yang cocok menggunakan posisi mereka. Pihak-pihak yang terlibat pada debat pasti menekankan visi mereka mengenai sejarah secara meyakinkan. Tetapi sayangnya, visi itu nir dan merta menjadi sahih atau sah. Jelas bahwa kerangka dan interpretasi terhadap sejarah Islam yang akan saya kemukakan berikut ini pun merupakan galat satu persepsi-persepsi yg saling bersaing dan memiliki sisi kemanusiaannya. Lantaran itu, kerangka ini bukan adalah satu-satunya pandangan yang sah. Namun, memang begitulah pendekatan sejarah; tidak ada seorang pun yang sanggup bersikap netral atau objektif terhadap sejarah Islam serta sejarah lainnya. 

Studi kasus tentang dinasti Fatimiyah serta Mamluk Mesir yang aku paparkan pada sini bukanlah wakil dari seluruh rakyat Islam masa lalu, bahkan bagi warga yg terdapat di negeri tadi serta hayati dalam waktu itu, apalagi berdasarkan warga Asia Tengah atau warga Afrika. Namun, fokus studi perkara ini sedikit poly dipengaruhi oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah serta Afrika Utara menjadi pusat Islam. Dominannya warta sejarah itu membuat Islam hanya dipahami sebagai pengalaman sosial serta budaya rakyat Islam di wilayah tersebut, terutama pada masa 4 atau 5 tahun pertama Islam. Akibatnya, penguasa-penguasa Muslim di wilayah lainnya hampir menganggap pengalaman warga Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana keislaman yang absah dan otoritatif. Bahkan rakyat muslim yang tinggal pada wilayah lain pun menduga bahwa pengalaman keagamaan serta sosial mereka lebih rendah dibandingkan menggunakan pengalaman masyarakat Timur Tengah jika digunakan menjadi argumen keagamaan. Ini bisa dipahami lantaran teks al-Qur’an serta sunnah berbahasa Arab dan dipahami dalam konteks pengalaman masyarakat Arab ketika itu. Namun ketika kekuatan untuk memilih diri sendiri (self-determination) semakin menguat, pengakuan yang sama nampaknya harus diberikan kepada seluruh pengalaman rakyat Islam, dimanapun mereka berada.

Bias yang tersebut aku sebutkan nampaknya telah sangat tertanam dalam asal dan sejarah intelektual warga Islam sebagai akibatnya tidak mungkin dihilangkan dalam ketika singkat. Tetapi, upaya tersebut tidak mungkin dimulai bila kita tidak mengenalinya saat ini. Meskipun mengidentifikasi bias semacam itu bukan kompetensi saya, tetapi saya berharap wangsit saya mengenai pembacaan cara lain terhadap sejarah masyarakat Islam dapat memunculkan debat tentang info tersebut, terlepas berdasarkan pengalaman sejarah yg dipakai buat melakukan hal itu. Menurut saya, mengambil pelajaran dari pengalaman satu rakyat Islam pra-terbaru menggunakan menggunakan sebesar-banyaknya sumber lebih baik daripada kita meratapi kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa warga . Melalui perspektif inilah, aku akan berusaha untuk mengklarifikasi tema utama bab ini yaitu memahami pengalaman interaksi Islam dengan negara dan politik dalam sejarah pengalaman masyarakat Islam. 

Hubungan antara Islam, negara dan politik sepanjang sejarah rakyat Islam jelas merefleksikan ketegangan tetap antara visi ideal penyatuan Islam serta negara menggunakan kebutuhan pemimpin agama buat melanggengkan otonominya berdasarkan institusi negara. Pemimpin kepercayaan membutuhkan otonomi dari negara buat mempertahankan otoritas moralnya pada negara dan masyarakat secara keseluruhan. Kerangka dasar yang digunakan untuk memediasi ketegangan itu adalah adanya harapan ummat Islam kepada negara buat memegang teguh prinsip-prinsip Islam pada menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yang sekular dan politis. Harapan yg pertama dari dalam keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yg komprehensif buat kehidupan individu dan publik pada ruang publik maupun ruang privat. Tetapi, negara pada dasarnya memang adalah institusi yg sekular serta politis lantaran kekuasaan serta institusinya menuntut bentuk dan tingkat kontinuitas dan prediktabilitas yang tidak sanggup disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang pemimpin kepercayaan sanggup serta memang wajib menekankan cita keadilan dan kesetiaan terhadap syariah pada teori. Tapi, mereka nir memiliki kekuasaan juga kewajiban buat menghadapi pertanyaan-pertanyaan praktis seperti bagaimana mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi serta sosial atau mempertahankan negara berdasarkan ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yg menuntut negara untuk mempunyai kontrol yang efektif terhadap daerah dan penduduknya, serta mempunyai kemampuan buat menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk serta patuh dalam kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi sang pemimpin politik daripada pemimpin agama. 

Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama tidak mampu mempunyai otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan untuk membedakan kedua jenis otoritas ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki sang satu orang. Sebagai model: otoritas keagamaan lebih menurut dalam evaluasi dan kepercayaan personal terhadap taraf kesalehan seseorang ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya mungkin dilakukan melalui interaksi yang rutin dan bersifat lokal. Namun perlu jua diingat bahwa contoh hubungan yang seperti ini nampaknya tidak sanggup dimiliki sang semua orang, apalagi bagi mereka yg tinggal di wilayah perkotaan atau di wilayah yg sangat jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung menurut kualitas yang bisa dievaluasi secara lebih “objektif”. Kualitas tadi menyangkut kemampuan buat menjalankan kekuasaaan kursif serta administrasi yang efektif bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap pembedaan ini sanggup sebagai lebih kentara dalam bagian-bagian selanjutnya.

Setiap masyarakat membutuhkan negara buat melaksanakan fungsi-fungsi penting seperti mempertahankan kedaulatan menurut ancaman luar, menjaga perdamaian serta keamanan publik pada daerahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga dan menyediakan pelayanan yg diharapkan untuk kebaikan mereka. Agar negara sanggup menjalankan fungs-fungsi tersebut, beliau wajib memilih galat satu dari sejumlah kebijakan yg saling bertentangan dan memiliki monopoli yang efektif buat menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Saya harus tekankan pada sini bahwa kita sedang berbicara mengenai kebijakan publik dalam skala yang luas; bukan kepercayaan personal seorang terhadap pemimpin agamanya menggunakan mematuhi saran-saran yg mereka berikan pada problem-problem rutin maupun spiritual. Kebutuhan buat melaksanakan kebijakan publik yg umum, seperti dibedakan berdasarkan kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya pemimpin yg dipengaruhi (baik melalui ditunjuk, dipilih atau dengan cara apapun) lantaran mereka diperlukan bisa melaksanakan fungsi-fungsi tadi. Pemimpin-pemimpin itu dibutuhkan juga mempunyai kecakapan politik serta kemampun buat menggunakan kekuasaaan kursif. Kualitas pemimpin politik yg efektif, dengan demikian, harus ditentukan oleh publik pada skala yg luas, dengan cara yang jelas dan teratur, supaya friksi sipil atau pertarungan bernuansa kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik serta otoritas mereka menimbulkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau, paling tidak, kebuntuan dan kebingungan dalam pemerintahan. 

Sebaliknya, pemimpin kepercayaan menerima pengakuan berdasarkan ummat karena kesalehan serta pengetahuan mereka. Pengakuan ini sanggup dipengaruhi sang penilaian personal seorang yang butuh buat memahami potensi pemimpin agamanya melalui hubungan sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin kepercayaan hanya sanggup dicapai secara gradual serta belum pasti melalui rekanan interpersonal menggunakan pengikutnya. Dalam pandangan saya, hal ini nir saja terjadi dalam komunitas sunni, tetapi jua dalam komunitas syi’ah yg mempunyai hirarki struktural yg sudah mapan. Dalam komunitas Syi'ah, hubungan harian di level lokal ini diperkuat menggunakan otentisitas rantai riwayat yang sampai dalam Imam atau Syeikh. Perbedaan antara otoritas politik dan keagamaan yang aku tekankan pada sini, sanggup juga diungkapkan buat membedakan antara kekuasaan kursif dan kekuasaan tertentu yg dimiliki oleh pemimpin politik atas daerah dan penduduk tertentu, menggunakan otoritas moral yg dimiliki oleh pemimpin kepercayaan yang mampu juga berlaku luas serta bagi banyak orang.

Dengan demikian, terdapat disparitas mendasar antara kualitas pemimpin politik serta pemimpin kepercayaan pada cara penunjukkan atau pemilihan mereka dan bentuk dan jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin politik juga mempunyai kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun pemimpin agama, mereka sanggup memiliki keterampilan berpolitik serta kemampuan buat memakai kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin memiliki kualitas yg lain. Seorang pemimpin politik contohnya dibutuhkan memiliki tingkat kesalehan serta pengetahuan eksklusif, sementara pemimpin kepercayaan jua diharuskan mempunyai keterampilan berpolitik buat mampu memenuhi peran mereka pada masyarakat. Namun, penguasa manapun tidak akan mengijinkan adanya evaluasi independen terhadap tingkat kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan menggunakan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik pemimpin agama bisa dinilai melalui hubungan inter-personal yang tenang dan tanpa kekerasan. Suatu hal yang tidak realistis untuk mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena masyarakat menilai tingkat kesalehan serta pengetahuan mereka nir relatif. Sama nir realistisnya mengharapkan pemimpin kepercayaan melepaskan otoritas mereka hanya lantaran kualitas dan keterampilan politiknya nir memuaskan. Tetapi, membiarkan orang yang sama buat mempunyai ke 2 otoritas ini pun adalah hal yg berbahaya dan kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil serta kekerasan.

Karena legitimasi keagamaan adalah hal yang krusial bagi penguasa buat mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tak heran bila mereka selalu cenderung mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan. Tetapi, klaim misalnya itu nir serta merta menjadikannya muslim yg hebat atau berakibat negara yg dipimpinnya islami. Malah, penguasa umumnya sangat menginginkan legitimasi keagamaan saat klaim mereka nir lagi dipercaya absah. Padahal, kerendahan hati yg adalah simbol kesalehan, menuntut seseorang untuk tidak mengklaim dirinya menjadi orang soleh atau paling tidak, nir secara aktif mengakui kualitas tadi. Namun bila cara ini ditempuh, penguasa wajib menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin kepercayaan menggunakan membiarkan mereka tetap mempertahankan swatantra relatifnya. Otonomi inilah yg justru sebagai sumber kekuatan buat menaruh legitimasi bagi otoritas penguasa. Tapi, penguasa pula nir sanggup menaruh kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin kepercayaan , karena mereka mungkin memakai kebebasan itu buat melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus bersikap kritis pada negara lantaran dengan cara demikian, mereka sanggup mempertahankan otoritas keagamaan mereka pada tengah-tengah komunitas serta jua mendorong negara buat mengontrol mereka. Dengan demikian, semakin besar otonomi pemimpin kepercayaan , semakin besar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, bila mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin mini pulalah kemungkinan rakyat mendapat penilaian mereka bahwa negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah menunjukkan bahwa institusi kepercayaan dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit untuk dipertahankan. 

Paradoks yg dalam dan kompleks ini, yg pula merupakan pengalaman komunitas kepercayaan lain serta bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita pada bagian berikutnya. Otoritas keagamaan wajib dipisahkan berdasarkan kekuasaan politik supaya pemimpin agama sanggup menjaga penguasa buat tetap akuntabel dalam prinsip-prinsip Islam. Lantaran akuntabilitas murni nir mungkin bergantung pada kerjasama sukarela penguasa yg pasti merasa terbebani menggunakan itu, maka persoalannya adalah bagaimana menciptakan penguasa permanen akuntabel tanpa harus menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau cenderung memberontak, misalnya yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan berusaha menekan mereka menggunakan kekerasan yg akhirnya mengarah dalam perang sipil atau kekacauan sipil. Inilah masalah yang dihadapi pemimpin kepercayaan seperti al-Ghazali buat mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak absah serta menyebutnya sebagai The Lesser of Two Evils (iblis kerdil). 

Dari perspektif ini, sejarah Islam sanggup dibaca sesuai dengan jeda antara institusi agama dan negara yang dialami atau dibangun sang rezim yang tidak selaras. Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh institusi agama serta negara menurut prototipe warga yang dibangun Nabi di Madinah yang mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan politik menggunakan kepemimpinan kepercayaan . Dalam contoh misalnya itu berarti nir ada pemisahan antara institusi kepercayaan serta politik; masyarakat diorientasikan dalam satu figur, dan nampaknya terdapat hirarki dan sentralisasi yang bertenaga. Model yang lain merupakan pemisahan utuh antara otoritas agama dan politik yang nampaknya sebagai pilihan yang secara umum dikuasai dipraktikkan, meskipun nir penah diakui secara terbuka sang rezim yg bersangkutan lantaran mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan rezim politik pada negara-negara Islam ada diantara 2 contoh ini. Mereka tidak pernah mencapai penyatuan secara utuh seperti contoh ideal yang dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu menjamin lebih dekat dalam contoh ini daripada ke contoh pemisahan utuh antara otoritas politik serta agama. 

Penyatuan ideal tidak mungkin dicapai selesainya Nabi mangkat karena tidak ada seseorang manusiapun dalam saat ini yg mempunyai otoritas politik dan keagamaan yang sama sepertinya. Sebagai perwujudan utama model ini, ummat Islam menerima Nabi sebagai satu-satunya produsen undang-undang, hakim serta pemberi perintah. Pengalaman seperti itu unik dan nir bisa direplikasi, karena ummat Islam percaya bahwa nir terdapat Nabi sesudah Nabi Muhammad. Semua penguasa semenjak Abu Bakar, Khalifah pertama, harus menegosiasikan atau memediasi ketegangan permanen antara otoritas politik serta agama, lantaran nir satupun dari mereka yg dipercaya bisa oleh semua ummat Islam buat menggantikan posisi Nabi yang sudah mendefinisikan Islam dan yg menentukan bagaimana dia wajib diimplementasikan oleh ummatnya.

Semua pemimpin, memang, pasti menghadapi oposisi yang sanggup jadi sangat bertenaga bahkan, kadang-kadang, penuh kekerasan. Tetapi disparitas yang signifikan antara dua model otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya sanggup berdasar pada evaluasi insan yg bisa dievaluasi sang insan lain. Sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan agama memerlukan adanya otoritas ketuhanan yang tentu saja mampu mengatasi tantangan manusia. Karena dasar otoritas politik, seberapapun despotik dan otoriternya, merupakan representasi pandangan dan kepentingan rakyat, maka ia bisa ditantang dengan memakai alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, lantaran dasar kepemimpinan kepercayaan merupakan klaim otoritas moral, maka beliau tidak sanggup tunduk dalam evaluasi insan. Meskipun terdapat kebebasan buat mendapat atau menolak pesan-pesan Islam, namun tidak ada perkara oposisi politik yg ditujukan kepada Muhammad pada kalangan Ummat Islam yg mengakuinya menjadi nabi terakhir. Sebaliknya, ketika Abu Bakar memakai otoritasnya buat memerangi suku-suku Arab yang menolak buat membayar zakat pada negara, poly sahabat Nabi yg terkemuka, termasuk Umar yang menggantikannya sebagai khalifah kedua, menentang kebijakan ini.

Contoh yg aku kemukakan barusan masih sebagai bahan kontroversi di kalangan sarjana Islam, seperti yang dijelaskan pada bagian berikutnya, lantaran Abu Bakar memakai alasan keagamaan buat menumpas pemberontakan. Saya sendiri berpendapat bahwa Abu Bakar menciptakan keputusan yg benar. Tetapi saya juga melihat bahwa dalam teman mendapat pendapat Abu Bakar lantaran ia merupakan pemimpin politik komunitas muslim saat itu, serta bukan karena persoalan otoritas keagamaan. Tentu saja benar bahwa, bagi para sahabat Nabi saat itu, misalnya bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada penguasa yang absah merupakan kewajiban kepercayaan seperti yg tersurat dalam Qs. 4:59. Tetapi, kewajiban ini juga nampaknya berlaku meskipun seorang nir putusan bulat dengan kebijakan penguasa dengan alasan keagamaan demi mempertahankan stabilitas serta keamanan masyarakat. Apabila saja Umar yang sebagai khalifah pada saat itu, mungkin pandangannya yang nir sinkron menggunakan Abu Bakarlah yg akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi yg melatari peristiwa-peristiwa itu kentara-kentara politik dan bukan agama, walaupun kampanye buat memerangi suku Arab yg murtad itu memiliki alasan-alasan religius sekaligus politik. 

Jelas bahwa para penguasa muslim terus berusaha mengamankan kontrol mereka atas negara menggunakan menarik atau memaksa otoritas keagamaan buat melegitimasi kekuasaannya. Namun, pada sisi lain, otoritas keagamaan pula berusaha buat mempertahankan taraf swatantra dan kemerdekaan mereka menurut aparat negara agar mereka bisa menantang atau bahkan memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yg dilakukan sang aparat negara. Seperti yang telah saya catat sebelumnya, negara harus menyelesaikan lawan asas pemberian otonomi yang cukup bagi otoritas keagamaan agar mereka mampu mendapatkan legitimasi dari kelompok ini buat kekuasaannya. Tapi, penguasa juga nir bisa membiarkan mereka terus independen, hingga mereka bisa menantang otoritas negara. Secara historis, model yg sudah ternegosiasikan, sudah diperlihatkan melalui sistem patronase serta anugerah sponsor sang pihak yg berkuasa kepada institusi-institusi keagamaan. Beberapa bentuk perundingan sudah kita saksikan sebelumnya, namun bentuk yang paling kentara bisa ditelusuri ke pertengahan abad ke-10 ketika Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad dan harus menghadapi minoritas syi'ah serta sunni yg menolak kehendak politiknya. Setelahnya, dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, serta Mamluk meniru model ini menggunakan aneka macam penyesuaian.

Ini nir berarti bahwa otoritas keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi serta dipaksa oleh penguasa. Para ulama dan pemimpin sufi, contohnya, memilih buat menghindari negara serta aparatusnya. Meskipun kebanyakan pemimpin agama yg beroposisi pada pemerintah melakukannya dengan cara tenang, tak sedikit di antara mereka yg terpaksa mengunakan pemberontakan. Mungkin perkara-perkara oposisi politik para pemimpin agama tidak memperlihatkan model terpisah, seperti yang terlihat pada respon sejumlah pemimpin kepercayaan terhadap penguasa yg berusaha menerima legitimasi bagi negara yg dipimpinnya. Namun eksistensi respon-respon tersebut tetap menampakan adanya pembedaan antara otoritas kepercayaan dan negara, seperti yg sudah diungkapkan sang Lapidus di muka. Sekarang aku akan mencoba buat mengklarifikasi serta mendukung perspektif mengenai sejarah masyakat Islam ini dengan menyoroti pola interaksi Islam, negara serta politik serta tidak sekedar menarasikan insiden dan sosok.

Sekedar menyimpulkan, pembacaan atau cara pandang terhadap sejarah rakyat Islam yg aku ajukan adalah bahwa ada pemisahan yang jelas antara otoritas agama serta politik yang bisa ditelusuri semenjak masa Abu Bakar sebagai khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini tidak berlaku di kalangan ummat Islam nir berarti bahwa pandangan ini dengan sendirinya galat. Malah, krisis interaksi antara Islam dengan negara dan politik yang sedang dialami sang ummat Islam waktu ini pada manapun mereka berada, menandakan pentingnya cara baru pada membaca sejarah. Cara ini diharapkan bermanfaat sebagai panduan aplikasi syariah dalam masyarakat muslim di masa yang akan tiba karena cara pandang usang yang sudah familiar nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini nir berarti bahwa pandangan yg aku ajukan pada sini seluruhnya benar, hanya saja ajuan ini perlu dipertimbangkan secara berfokus sebagai cara lain bagi pandangan generik yg berlaku waktu ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya yg nir familiar.

II. Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis
Seperti yg telah aku ungkapkan, lantaran model Nabi di Madinah terlalu unik buat direplikasi, saya akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali) pada tahun 632-661, serta periode Umayah (661-750). Saya akan mempertimbangkan sejarah masa awal ini dalam hubungannya menggunakan dua contoh penyatuan serta perundingan hubungan antara Islam dan negara maupun antara Islam serta politik. Dalam bagian ke 2 saya akan menguji secara singkat beberapa insiden dan konsekuensi yg disebabkan sang insiden mihnah yg dimulai dalam masa Khalifah al-Ma'mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya dalam hubungannya menggunakan pertanyaan yg kita bahas dalam bab ini. Lantaran insiden-insiden itu menekankan pentingnya membedakan Islam serta negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf sebagai kekuataan kelembagaan serta keuangan institusi keagamaan dan swatantra ulama pada menegosiasikan interaksi Islam dengan negara serta politik. 

Sebagaimana muslim yg lain, sulit bagi saya buat menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam tadi lantaran tingginya penghormatan yg diberikan pada para teman yang terlibat pada peristiwa-insiden yg terjadi pada masa itu. Bagaimana aku sanggup melakukan evaluasi salah atau benar kepada Abu Bakar, seseorang teman Nabi yang paling dihormati di kalangan muslim sunni, ketika dia memutuskan buat mengobarkan perang terhadap orang murtad atau yang lebih dikenal sebagai hurub al-rida, atau menilai bagaimana beliau mengatasi persoalan Khalid bin al-Walid lantaran perilakunya selama masa penaklukan? Bagaimana aku bisa mengkritik Muawiyah, seorang teman lain yg mendirikan dinasti Umayyah? Tetapi, sebagai seorang muslim aku juga wajib merefleksikan sosok-sosok tadi dan konduite mereka lantaran aku percaya pentingnya merampungkan dilema yang dihadapi oleh ummat Islam kini dan nanti. Karena menjadi Muslim saya nir mau menghindar berdasarkan tanggung jawab dengan hanya menjauhi informasi semacam ini. Saya malah merasa terhormat buat membicarakan pandangan misalnya itu serta lantaran aku melakukannya buat kemasalahatann bersama bukan demi laba pribadi. 

Lagipula, keterlibatan saya pada melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik sosok-sosok religius itu adalah bagian menurut alasan aku buat permanen menekankan pentingnya netralitas negara terhadap kepercayaan , seperti yg berkali-kali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara kepercayaan dan negara dibutuhkan agar ummat Islam sanggup memegang teguh agama agamanya serta hayati sesuai menggunakan kepercayaan itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka buat berpartisipasi dalam urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah menampakan bahwa pemuka kepercayaan rentan terhadap rayuan dan paksaan buat mendukung rencana politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yang berat seperti yg terlihat dalam perkara mihnah ini dia. Untuk menghindari persoalan ini, beberapa pemimpin agama cenderung menghindari keterlibatan serius pada urusan publik. Daripada menghadapi kesulitan yang sama, saya menyarankan supaya ummat Islam waktu ini usahakan menempuh upaya pemisahan antara Islam menggunakan negara, yang berarti bahwa mereka yang mengontrol negara nir sanggup memakai kekuasaan kursifnya memaksakan atau menerapkan kepercayaannya. 

Implikasi Mihnah terhadap Otoritas dan Institusi Politik serta Agama 
Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam buat menyatukan kepemimpinan kepercayaan dan politik menggunakan empiris realitas sejarah ummat Islam mulai kentara, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij dan Syi'ah. Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun di Madinah adalah bukti yang jelas bahwa struktur ideal yg diperintahkan oleh Nabi nir cocok untuk direplikasi. "Secara implisit, keberadaan para pemberontak adalah tanda kemunculan gerombolan ummat Islam yang memisahkan diri menurut otoritas dan kepemimpinan khalifah." Tumbuhnya sejumlah sekte misalnya Qadiriyah, Murjiah, serta lainnya menentang mitos tentang kesatuan Islam. Apalagi, apabila mempertimbangkan kemunculan insiden drastis yang lebih dikenal menjadi mihnah melalui perspektif sejarah sosial. Pertarunga antara otoritas khalifah dan ulama wajib ditinjau pada konteks relasi sosial antara 3 gerombolan yaitu: elite Bangsa Arab yg mewakili Istana Khalifah dan aparat administratifnya, para pemimpin agama, serta keturunan pemberontak Bangsa Khurasan yg mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah. 

Penting juga buat membedakan antara kekhalifahan ideal menggunakan realitasnya dalam masa Abbasiyah. Ia adalah sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam serta universalisme Islam. Para khalifah berusaha buat mengkombinasikan otoritas keagamaan menjadi penerus Nabi dengan bentuk kerajaan serta otoritas kelembagaan serta budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat kentara pada patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan seremoni ala Byzantium pada Istana kerajaan" dan pada proyek kerajaan yg lain, serta gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru model Persia menggunakan berpatron pada khazanah literature dinasti Pahlavi serta filsafat Hellenistik." Sebagai respon, para ulama periode awal menampakan adanya keterputusan antara cita ideal serta empiris, dan mencurigai klaim otoritas para khalifah buat menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan kabar bahwa ulama mempunyai efek yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah. "Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan berdasarkan kekuasaan khalifah berkembang bersamaan dengan munculnya kelompok-grup sektarian pada ummat Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan serta Islam tidak lagi terintegrasikan." Kemunculan otoritas keagamaan yg independen dari khalifah serta aparat negara inilah, yg diklaim Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik serta kepercayaan dalam sejarah rakyat Islam.

Apa yg disebut mihnah merupakan inkuisisi teologis yang bertujuan buat menciptakan anggota gerombolan ulama, yang pada saat itu adalah sebuah gerombolan yg manunggal tanpa tujuan tertentu, menyetujui perilaku yg diambil oleh kalangan Mu'tazilah bahwa al-Qur'an merupakan ciptaan Allah serta dengan demikian beliau adalah atribut serta bukan istilah-istilah yang nir diciptakan sang-Nya. Isu ini merupakan bagian berdasarkan debat yang berkelanjutan antara grup yang lebih menyukai pendekatan yang lebih alegoris serta rasional terhadap asal-asal Islam (Mu'tazilah) menggunakan kelompok lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yang menganut pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) buat memaksa ulama tertentu agar mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun sesudah al-Ma'mun wafat, inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri sanksi itu menggunakan melepaskan para ulama yang nir tunduk dalam kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara dan menempatkan beberapa orang antara lain dalam pemerintahannya. 

Al-Ma'mun berkuasa sehabis memenangkan perang sipil dengan saudaranya al-Amin. Baik al-Ma'mun juga al-Amin adalah anak berdasarkan Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi'ah dua belas, sebagai penggantinya. Ini merupakan upayanya untuk menenangkan pemberontakan Syi'ah yg terus berlanjut pada saat itu, atau buat mengembalikan kekhalifahan dalam formulasi orisinalnya menjadi lembaga keagamaan dan politik. Ia pula mengadopsi rona hijau Syi'ah buat atribut pasukannya. Tetapi 2 keputusan itu dibatalkan segera sehabis al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun balik ke Baghdad yang waktu itu sedang dilanda kekacauan, dia berusaha buat memaksakan teologi tertentu pada masyarakat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya, malah menciptakan habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yg terjadi di Baghdad diakibatkan sang adanya kompetisi sejumlah gerombolan buat menerima kekuasaan serta juga tentara yg marah serta nir puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal serta penjahat. Kekacauan ini berakhir dengan keluarnya sejumlah gerakan yang semakin mengukuhkan fakta bahwa penyatuan kepemimpinan kepercayaan serta politik tidak lagi relevan buat dipraktikkan.

Sebagai model, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai salinan al-Qur'an pada lehernya dan menyeru orang-orang buat melakukan 'amar ma'ruf nahyi munkar', berhasil menarik sejumlah pengikut dari seluruh penjuru kota yang asal dari latar belakang yg tidak selaras. Ia pula menyeru pengikutnya buat nir hanya mempertahankan lingkungannya dengan menyediakan keamanan serta stabilitas bagi loka tinggal mereka, tetapi pula mengimplementasikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah yg dibawa sang Nabi. Sahl menggambarkan kepatuhan pada prinsip yg lebih tinggi yg menaruh justifikasi buat melawan khalifah serta otoritas negara yg gagal buat menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan pada al-Qur'an serta Sunnah wajib mengalahkan ketaatan pada otoritas yang gagal menegakkan Islam." Ia mengadopsi jargon 'tidak ada ketaatan pada makhluk apabila untuk melakukan ma'siat kepada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq). Pengikutnya pada berbagai penjuru kota membangun menara pada depan rumah mereka yg berfungsi membentengi mereka pada kota." Dengan demikian, organisasi berbasis komunitas yg dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yg agresif dan menolak otoritas khalifah secara terbuka. 

Dengan menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, gerakan tadi berhasil "menarik sentimen yg berada di luar batas-batas pemerintahan khalifah menjadi konsepsi komunal mengenai Islam. Dalam konteks inilah, gerakan-gerakan pada luar sistem misalnya ini merepresentasikan konsepsi yg revolusioner tentang struktur warga Islam." Kewajiban buat melaksanakan 'amar ma'ruf nahyi munkar' dalam dasarnya adalah kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yg didukung sang poly ulama yang percaya bahwa kewajiban itu jua merupakan kewajiban semua muslim. Gerakan ini, dengan demikian, memakai simbol otoritas religius yang bertenaga dan alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong sang penguasa yang nir kompeten. Salah satu ulama terkemuka yg terlibat dalam gerakan itu adalah Ahmad bin Hanbal yg secara kebetulan merupakan penduduk di salah satu sudut kota Baghdad yang menyediakan keamanan dan stabilitasnya sendiri. Dengan demikian, kekuatan sosial yg diwakili sang Sahl serta lainnya timbul bersamaan dengan kemerdekaan teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal serta pengikutnya misalnya Ahmad bin Nasr bin Malik.

Ahmad bin Nasr lah yg memimpin gerakan oposisi terhadap kebijakan mihnah selama masa pemerintahan al-Watsiq dan yang menghidupkan pulang gerakan Sahl yg meredup selesainya al-Ma'mun memasuki Baghdad lagi. Pada periode berikutnya, slogan yg sama, yang memproklamirkan oposisi otoritas keagamaan terhadap khalifah, terus muncul dan berkembang dengan mengorganisasi perekrutan masa buat gerakan pemberontakan. Namun usaha-usaha seperti itu terhenti karena buruknya perencanaan yang dilakukan sang pengikut Ahmad bin Nasr serta lantaran dia sendiri akhirnya ditangkap beserta sejumlah pengikutnya. Penting buat dicatat bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan karena pandangan keagamaannya serta bukan karena tuduhan menghasut. Ia kemudian dieksekusi serta kepalanya dipajang di hadapan publik buat memperingatkan yg lain tentang sanksi yg akan diterima bila membangkang pada khalifah.

Inkuisisi yang berlarut-larut menunjukkan adanya pertikaian antara ulama serta khalifah dalam mengklaim otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal untuk mendapat klaim keagamaan khalifah yg lalu membuatnya dipenjara sampai akhir hayatnya, membenarkan penolakan terhadap penyatuan otoritas negara dan agama. Misalnya yang Lapidus ungkapkan:

"perdebatan tentang status makhluk al-Qur'an menegaskan adanya pemisahan kelembagaan khalifah dan komunitas, pemisahan otoritas di antara keduanya sekaligus menaruh peran yg berbeda kepada masing-masing yang sebelumnya dimiliki sang Nabi. Dengan demikian, berbeda dengan bayangan ideal ummat Islam, kekhalifahan berkembang menjadi institusi kerajaan serta militer yang disahkan dengan cara Byzantium serta Sasanid, sementara para pemuka kepercayaan menyebarkan otoritas yang lebih lengkap terhadap aspek komunal, personal, keagamaan serta doktrin dalam Islam."

Isu yg akan kita bicarakan dan sesuai dengan tujuan diskusi kita merupakan mengenai interaksi antara komunitas muslim menggunakan negara muslim. Bagaimana interaksi itu dibentuk dalam rezim dan lokasi yg tidak selaras? Bagaimana ia berubah sepanjang saat? Seberapa besar impak ulama terhadap perkembangan negara? Seberapa besar kontrol negara terhadap ulama serta komunitas keagamaan? Namun penting juga buat menekankan bahwa pembedaan antara lembaga keagamaan dan politik belum dikenal sang dominan ummat Islam saat itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata mendapat dukungan berdasarkan sejumlah ulama seperti al-Baqullani, al-Mawardi serta Ibnu Taimiah. "Hasil terorisasi mereka merupakan, negara bukanlah ekspresi langsung Islam. Ia merupakan institusi sekuler yg bertugas buat menegakkan Islam; komunitas ummat Islam yg sebenarnya adalah komunitas ulama serta orang kudus yg melaksanakan sunnah rasul dalam kehidupannya." Pandangan ini selaras dengan saran aku buat menerapkan sekularisme sebagai sebuah prinsip yg menjaga netralitas negara terhadap agama dengan permanen mempertahankan keterhubungan antara Islam dan politik.

Nampaknya kita perlu mempertimbangkan balik dinamika sosial serta akibat mihnah dalam kerangka teori Habermas tentang "ruang publik" tempat inspirasi-wangsit diperdebatkan pada ruang publik sehingga orang yg tidak sama dapat mengakses dan berpartisipasi pada dalamnya. Dengan berpihak pada Mu'tazilah, al-Makmun sudah mencabut legitimasi atas kekuasaannya dengan menentang arus massa yg diwakili sang Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Dari perspektif ini, jelas bahwa khalifah serta ulama memperoleh ruang efek yg tidak selaras dan ke 2 pihak tahu bahwa artikulasi dogma keagamaan adalah daerah ulama…mihnah menggunakan demikian adalah akibat pertarungan antar tren pemikiran ulama sekaligus konsekuensi kehendak khalifah yg ingin menciptakan doktrin." Relevansi pandangan ini untuk proposal kita adalah bahwa inkuisisi menandai pentingnya swatantra "public reason" menurut otoritas negara, misalnya yang nanti akan kita diskusikan pada kitab ini. 

Pembedaan antara Islam dan negara terkonsolidasikan menggunakan baik melalui kemunculan kontrol militer terhadap kekhalifahan pada ketika yang bersamaan. Kesulitan para khalifah Abbasiyah pada mengelola masalah internal kekhalifahannya berakhir menggunakan menurunnya loyalitas dan kesetiaan terhadap lembaga kekhalifahan pada Baghdad. Untuk merespon pemberontakan Syi'ah dan Khawarij pada hampir seluruh daerah kerajaan, khalifah Abbasiyah mempekerjakan tentara budak buat memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan terhadap Mamluk menjadi tentara dimulai dalam masa pemerintahan al-Mu'tasim (833-42), periode sehabis pecahnya kekacauan pada masa al-Ma'mun berkuasa sebagai khalifah. Tentara non Arab serta para komandan militer hanya memiliki sedikit kesetiaan pada kekhalifahan sebagai sebuah institusi, dan cenderung menduga jabatannya sebagai sumber kekuatan politik serta keuntungan ekonomi. Karena diperlukan sebagai mesin militer yg efektif, Mamluk memang didorong buat nir berinteraksi menggunakan penduduk sipil serta tetap diposisikan menjadi kekuatan asing. 

Sebagai contoh, para komandan dari suku Buwaihi yang asal berdasarkan daerah Kaspia pada Iran memasuki Baghdad pada tahun 945. Walaupun Syi'ah, mereka mendukung serta berpihak kepada khalifah al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengelola perbedaan tren keagamaan pada Baghdad dengan melindungi minoritas Syi'ah. Mereka pula menggunakan otoritas negara buat mendukung prosesi peringatan syahidnya Imam Husain serta menciptakan peringatan idul ghadir secara resmi, insiden kontroversial pada sejarah Islam yang dipercara syi'ah sebagai hari ditunjuknya Ali sebagai pewaris kepemimpinan Nabi. Tetapi, suku ini pula mempertahankan toleransi yg penuh terhadap golongan Sunni menggunakan mendukung forum-forum utamanya, nir mencampuri urusan-urusan ritualnya dan berusaha buat tampil menjadi pemimpin yg netral dalam suasana perpecahan. Yang paling krusial adalah institusi kekhalifahan tetap dipertahankan hingga karakter sunni yang melekat dalam kerajaan serta rezim pun permanen terdapat. Tetapi kurang dari satu abad lalu, selesainya perseteruan internal pada kalangan Buywaihi mengganggu kemampuan mereka buat memerintah, pasukan Seljuk menggunakan ambisi mendirikan dinasti, menduduki Baghdad dan mendukung massa sunni serta ulamanya buat menjamin diri sebagai penjaga ortodoksi.

Sejak ketika itu, ulama menyerahkan otoritas politik atau militer pada rezim militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah, Mamluk maupun Ottoman, namun tetap mempertahankan otoritasnya terhadap institusi, doktrin dan praktik keagamaan. Yang saya sebut dengan contoh negosiasi lalu menguat dengan dua institusi besar yg bekerja dalam interaksi yg saling menguntungkan; ulama mendukung negara militer sedangkan negara melindungi daerah-wilayah muslim. Pembesar-pembesar militer serta pejabat sipil terkemuka mengamankan kerjasama mereka menggunakan komunitas keagamaan melalui wakaf sekolah-sekolah agama, masjid, serta forum-forum komunitas muslim lainnya. Model ini terus berlanjut hingga masa pra kolonial, serta sisa-sisanya masih tetap ada sampai ketika ini misalnya terlihat pada dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim. 

Sementara contoh misalnya tersebut berlaku pada Baghdad serta daerah-wilayah sekitarnya, model pemerintahan lain berlaku pada Afrika Utara. Dinasti Fatimiah memulai kekuasaannya dalam tahun 909 di Tunisia saat Ubaidillah al-Mahdi, seseorang penganut Syi'ah Ismailiyah, menjamin diri sebagai satu-satunya pewaris absah Nabi menurut keturunan Ali dan Fatimah (ahl al-bayt). Gerakan itu, sebagaimana yang nanti akan kita diskusikan, berusaha buat menegakkan balik penyatuan kepemimpinan kepercayaan dan politik. Namun dinasti Fatimiah hanyalah keliru satu contoh kecendrungan yg berlaku umum di daerah Afrika Utara saat itu karena kawasan ini sudah didominasi dengan model kepemimpinan misalnya itu semenjak jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim berdasarkan banyak sekali rezim di Afrika Utara seperti dinasti Idrisiyah, Fatimiyah, al-Murabithun, serta al-Muwahhidun mengklaim otoritas ketuhanan buat berkuasa dari kualifikasi individu dan keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah merupakan penganut syi'ah dan sangat otoriter. Bahkan dinasti Fatimiyah menjamin dirinya bebas dari dosa. Di sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun serta al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha buat menjalankan bentuk rigid menurut Islam.

Namun dalam masalah Afrika Selatan itu, bisnis untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan agama berakhir dengan kekerasan, ketidaktoleranan dalam beragama, serta hilangnya stabilitas. Sebagai contoh, sarjana Yahudi terkemuka, Maimonades, meninggalkan Afrika menuju Spanyol pada masa al-Muwahhidun berkuasa. Masyarakat Islam pada timur Iran dan Asia merogoh bentuk yg tidak sinkron sesuai menggunakan kondisi geografis dan demografis negerinya, dimana famili dan suku adalah faktor penting untuk organisasi sosial pada tingkat lokal. Selain itu, koalisi beserta yang disatukan oleh peninggalan sejarah dan budaya yg sama nampaknya sebagai komponen yg mendasar bagi aparat negara di daerah-wilayah tadi. Namun, mereka pula melindungi kelompok-gerombolan persaudaraan Sufi dan Syeikh daripada ulama profesional yg terdapat pada sentra kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut sejak masa invasi Mongol sampai periode pra-terbaru. 

Sebagai kesimpulan bagian ini, jelas bahwa contoh hubungan antara otoritas kepercayaan serta negara majemuk baik berdasarkan tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi sentral keagamaan hingga interaksi yang lebih independen tetapi kooperatif, serta otonomi penuh bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara". Saya akan berusaha mengklarifikasi dan mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk dalam pengalaman historis Mesir menurut abad sembilan hingga empat belas masehi. 

III. Dinasti Fatimiyah serta Mamluk di Mesir
Seperti yang sudah dicatat pada bagian kemudian, aku tidak sedang berusaha buat memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah serta Mamluk di Mesir secara generik. Tapi, aku akan memaparkan masing-masing periode dan kemudian menandai aspek-aspek eksklusif buat menaruh ilustrasi tentang ketidakmungkinan penyatuan antara agama serta negara. Saya mengatakan demikian bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah terdapat pada masa lalu karena dinasti Fatimiyah jelas-jelas menyatakan bahwa mereka mempunyai hak berdasarkan Tuhan buat berkuasa. Tetapi, jika pun demikian, nir berarti bahwa klaim itu dan merta menjadi sah atau realistis. Hal yg penting untuk kita catat adalah bahwa klaim seperti itu tidak hanya gagal pada tingkat praksis, namun juga nir mungkin berhasil karena adanya disparitas fundamental antara otoritas agama serta negara. Saya harap diskusi kita tentang Imam-imam Syi'ah Ismailiyah dalam bagian awal bab ini (bagian yg membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan hal yang saya sebut tersebut. Bahaya negara yg berusaha untuk memaksakan otoritas keagamaan, walaupun nir menciptakan klaim eksplisit tentang itu, sanggup menjadi lebih jelas dalam diskusi kita mengenai dinasti Mamluk ini dia.

Selayang Pandang mengenai Dinasti Fatimiyah pada Mesir
Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali pada tahun 909 pada Afrika Utara (Tunisia kini ) sang Ubaidillah yg dianggap sebagai Imam Mahdi oleh pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah di Mesir mulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah buat periode 953-975) menaklukkan negeri itu dan memasuki ibukotanya Fustat pada tahun 969. Al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz memerintah dari tahun 975 sampai tahun 996, yang kemudian diikuti sang al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dipercaya menghilang, atau dari riwayat lain dibunuh sang atas perintah saudara perempuannya, Sitt al-Mulk, anaknya al-Zahir menggantikannya dan memerintah selama 15 tahun berikutnya (1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yg relatif panjang (1036-1094) menyaksikan pecahnya perang sipil yg berakhir menggunakan berkuasanya militer dalam pemerintahan. Sejak ketika itu, usaha-usaha yang dilakukan sang para wazir, hakim, komandan militer, dan gubernur merupakan buat meluaskan kekuasaan mereka melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun berikutnya kita menyaksikan munculnya 6 imam yg tidak selaras, yang otoritasnya terus berkurang pada tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer serta disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir ketika Saladin, Komandan pasukan Bani Ayyub, menduduki kementrian dinasti Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya pada Khalifah Abbasiyah pada Baghdad dalam tahun 1171.

Pencitraan diri dinasti Fatimiyah sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang absah merupakan indikasi buat menegaskan keberlanjutan otoritas politik serta spiritual yang dimiliki Nabi karena baik syi'ah Imamiyah juga syi'ah Ismailiyah mengidentifikasi bahwa kepala negara yg absah adalah wakil Tuhan di muka bumi." Kualitas yang harus dicapai seorang imam agar bisa dipercaya mempunyai otoritas ketuhanan tidak bisa dipercaya remeh. Seorang Imam harus menjadi a'immat al-huda, imam keadilan yang bisa menjauhkan ummat dari siksaan", "suar kebenaran dan pedoman… yang bersinar misalnya surya dan bercahaya seperti bintang, serta menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia." Bagi orang umum , imam adalah sosok yang sempurna dalam aplikasi shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad, mendapatkan bagian lebih menurut ghanimah serta zakat, serta tetapkan pelaksanaan hudud…pendek istilah, ia lebih dari siapapun kecuali Nabi." Lantaran imam pula dipercaya menerima posisi istimewa pada bidang keilmuan, maka seorang imam pula dituntut buat sebagai penjaga ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya mengklaim ummat Islam buat selalu menerima bimbingan berdasarkan penguasa yang sangat adil dan paripurna. Imam juga harus mempunyai kualitas mufahham merupakan beliau bisa dipahami oleh Tuhan, misalnya Sulaiman yang dideskripsikan dalam al-Qur'an.

Namun dalam praktiknya, upaya mewujudkan contoh kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan dalam perilaku Imam-Imam Dinasti Fatimiyah cenderung memberitahuakn perilaku materialitik pada ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival ibadah (umumnya idul fitri) dimana khalifah berkeliling menggunakan pasukannya dengan menggunakan pakaian berornamen brokat dan dilengkapi dengan pedang serta sabuk emas. Para sedadu yg menunggangi gajah dan mengangkat senjata berbaris pada hadapannya. Khalifah sendiri berpawai menggunakan menggunakan tenda yg dihiasi mutiara.” Citra kemakmuran dan kekuasaan yg diperlihatkan pada hadapan publik yang kelaparan nampaknya memang digunakan buat menegakkan otoritas keagamaan khalifah.

Sebagai model, dalam prosesi idul fitri, khalifah, para pejabat tinggi serta hakim yg berpakaian mewah layaknya sedang melakukan peragaan pakaian, keluar menurut istana ke lapangan dimana shalat idul fitri yang diikuti oleh khalayak ramai diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak henti dikumandangkan hingga sang Khalifah memasuki loka shalat. Sebagaimana pengamatan para sejarawan ketika itu, lantaran panggilan buat melaksanakan shalat id tidak membutuhkan adzan, akan tetapi relatif dengan takbir, “maka dapat kita katakan bahwa pelaksanaan shalat id dimulai sejak datangnya khalifah dan bahkan prosesi kedatangan khalifah pun menjadi bagian berdasarkan seremoni shalat id.” Qadi al-Nu’manlah yang pertama kali menciptakan Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini sebagai bagian dari doktrin syi,ah Ismailiyah karena ia mengklaim adanya hubungan yang mendalam antara shalat jum’at, idul fitri, idul adha serta peran imam pada semua missi Islam. Bisa saja kita menduga klaim seperti itu hanya terjadi dalam Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah dan konteks historisnya. Tetapi misalnya yg akan saya tekankan nanti, ciri-ciri seperti itu terdapat dalam setiap usaha mengkombinasikan otoritas politik serta agama. Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yg mendasarkan otoritas politiknya pada klaim keagamaan akan selalu mencari cara buat mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yg kudus. 

Aspek lain yg menciptakan asosiasi seperti ini berbahaya merupakan lantaran asosiasi semacam itu mengharuskan penguasa buat mengakumulasi kekayaan menggunakan memakai kekuasaannya buat menerima patronase politik atau buat tujuan-tujuan lainnya. Dalam masalah Dinasti Fatimiah, sumber-sumber keuangan dinasti ini didapat menurut hampir toko-toko yg disewakan bulanan pada Kairo, tempat mandi, gedung pernikahan, kebun butir-buahan, lebih menurut 8.000 bangunan, tanah pedesaan dan lain sebagainya. Sumber-asal itu, tentu saja, hanya adalah bagian menurut perdagangan milik langsung imam yang mencakup seluruh pelabuhan serta armada bahari. Sebagai penentu seluruh urusan negara, “Imam Fatimiyah jua bertanggung jawab terhadap perlengkapan serta peralatan tentara.” Tanggung jawab ini nir sejalan dengan posisi Imam sebagai pemimpin spiritual lantaran sistem militer yg mempekerjakan budak dalam ketika itu membutuhkan dana yang sedikit lebih tinggi daripada porto buat menerima perbekalan serta pembayaran gaji tentara bayaran. Selain membayar tentara, imam pula nampaknya harus membayar honor pegawai negara. Namun, justru penyatuan fungsi penguasa militer dengan simbol keagamaan yang tertinggi pada negara inilah yang harus kita perhatikan sebagai bahan pertimbangan buat melihat karakter opresif sebuah rezim militer. Permusuhan antara gerombolan militer yang beranggotakan budak pecah sebagai peristiwa penuh kekerasan karena adanya ketegangan rasial dam perlakuan negara yang diskriminatif serta diperparah sang terlibatnya rakyat generik.

Sekedar penjelasan singkat, institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri dari pengadilan generik(qada), pengadilan privat (mazalim), pengadilan publik (hisbah), serta polisi (shurta). Semua institusi ini berada pada bawah pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh forum-forum yg sama di seluruh provinsi, walaupun berada pada bawah kebijaksaan khalifah. Tetapi ada beberapa daerah yang dikuasai sang kekuatan politik lain misalnya Palestina yang waktu itu berada pada bawah kekuasaan al-tetapi tidak berada di bawah supervisi Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab Hanbali. Tentara pula nir harus tunduk pada Hakim Agung, namun mereka sebagai pelindung yurisdiksi mazalim, apabila dianggap akuntabel. “Tanggung jawab hakim agung pula mampu diperluas hingga ke masalah agama seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid serta jenazah, serta pula tanggung jawab lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi standar timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul harta benda.” Penyatuan peran peradilan serta tanggung jawab keuangan ini memberikan kesempatan pada aparatur negara buat menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yg dimiliki mazalim memperlihatkan hak pregoratif khalifah buat menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan, kekeliruan administratif yg dilakukan sang pejabat negara dan merampungkan keluhan-keluhan misalnya itu tanpa harus mengikuti mekanisme yang biasa berlaku. Perwakilan berdasarkan seluruh departemen hadir pada waktu pengadilan mazalim, yang juga menjadi tempat yang tepat untuk menyortir serta mendistribusikan keluhan pada pejabat negara terkait.

Kepala polisi, sahib al-shurta, diharapkan buat memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yg ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yg terkait menggunakan perkara ke hadapan hakim bila diharapkan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana sanksi) dan pengelola penjara. Meskipun kepala polisi seharusnya terdapat pada bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang relatif besar antara pejabat negara yg berada pada dua departemen yg tidak sinkron itu menyangkut batas-batas otoritas mereka pada penyelenggaraan hukuman hudud.

Insitusi kenegaraan lain yg masih ada pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini muncul dalam masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang pada bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yg menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, kentara bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi anggaran hisbah) telah mapan dalam akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya forum sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik menurut aturan amar ma’ruf nahyi munkar. Seorang pelaksana aturan hisbah menjadi figur sentral pada mata publik karena ia memegang otoritas yg sangat besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun menjadi otoritas keagamaan yg bertugas menjaga kepentingan serta moralitas publik. Pasar (suq) yg sebagai wilayah kekuasaan muhtasib, berdasarkan manual hisbah yang dibentuk oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili semua kehidupan sosial.

Muhtasib adalah bagian dari pegawai lembaga peradilan karena penunjukkannya adalah tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib jua merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung di Kairo serta Fustat buat mendengarkan pengaduan pada pengadilan mazalim. Penempatan ini memberitahuakn penitngnya posisi muhtasib pada sistem peradilan dinasti ini. Namun karena kekuasaan muhtasib dianggap memiliki fungsi religius, maka orang yg ditunjuk menjadi muhtasib wajib mempunyai kualitas moral yg tinggi. Ia berkewajiban serta diberi otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud nir berada pada bawah mandatnya secara pribadi. Begitu penting serta besarnya jabatan ini tercermin berdasarkan terpilihnya wazir atau imam itu sendiri buat menduduki posisi ini. Al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini. Namun informasi ini juga mencerminkan bahwa otonomi dan indepensi jabatan ini terbatas dan bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik. 

Dengan demikian, peran muhtasib pada sejarah Fatimiyah sebagai pengawas tidak hanya terbatas pada pasar (suq) saja, tetapi mencakup semua aspek yg berkaitan menggunakan produksi, distribusi, dan impor produk makanan. Jabatan muhtasib sebagai istimewa lantaran dia tidak hanya sebagai badan arbitrase perdagangan tetapi juga agen pemerintah serta sekaligus pelaku yg aktif (karena bisa melakukan monopoli) pada aktivitas perdagangan warga Mesir waktu itu. Pemerintah mendapatkan terigu dengan membelinya dari pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang eksklusif milik imam, serta kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga wajib berhadapan menggunakan para pedagang yg menjualnya. Karena hal itulah, membedakan milik langsung, kepentingan penguasa serta domain publik sebagai sulit. Peran muhtasib menjadi agen negara bagi publik dan simbol keagamaan merupakan hal yg problematik. Praktik penjualan terigu oleh elite penguasa dalam masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan untuk mencari laba sendiri dan mengabaikan permintaan warga miskin.

Seperti yang terlihat pada fungsi muhtasib menjadi pengumpul pajak dan penjaga moralitas publik, perkara yg potensial timbul berdasarkan penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara merupakan ketidakjujuran serta korupsi. Ulama-ulama misalnya al-Mawardi pada al-Ahkam al-Sultaniyyah, menggambarkan tanggung jawab muhtasib meliputi penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan moralitas publik misalnya pengaturan penyatuan pria wanita pada ruang publik, mabuk pada muka umum, atau pengunaan indera-indera musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan menggunakan cara paksa pada jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya. Ada jua aturan resmi yg berkaitan menggunakan rakyat dzimma seperti embargo buat menunggang kuda atau keledai pada kota, atau kewajiban buat memakai baju yang tidak selaras serta mengalungkan lonceng di leher bila memasuki loka mandi umum (hammam). Saya akan mengulang penjelasan tentang hal ini di bagian lain. 

Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan
Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah dan institusi-institusinya diatas diperlukan sanggup sebagai latar dan konteks buat penerangan primer kita pada bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas kepercayaan dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama 2 abad, mazhab Syi'ah yang dianut sang negara nir pernah sahih-sahih tersebarkan kepada masyarakat poly, dan mayoritas masyarakat Mesir tetaplah penganut sunni. Jadi, apa konsekuensi dari patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan apa implikasinya terhadap model penyatuan otoritas kepercayaan dan politik yang dipakainya?

Pada ketika penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah, menunjukkan surat jaminan keamanan (aman) kepada para bangsawan kota Fustat (kelak kota ini dijadikan ibu kota Dinasti Fatimiyah) buat memuluskan jalan bagi terlaksananya acara-acara politik rezim baru, termasuk pengaturan kehidupan keagamaan rakyat. Referensinya pada sunnah serta persatuan Islam jelas sinkron dengan interpretasi spesial Ismaili yg dirumuskan oleh Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yg saat itu masih berkuasa di Tunisia diklaim-sebut dalam khutbah Jum'at pada masjid Agung Fustat. Ini jua dimaksudkan sebagai cara buat menunjukkan harapan rezim baru untuk menegakkan gambaran Islam dengan cara mengembalikan fungsi kota-kota suci serta keadilan pada negeri-negeri Islam. Penyebutan nama khalifah al-Mu'izz serta khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan kenyataan baru, merupakan simbol yg amat bertenaga bagi dinasti Fatimiyah buat mengklaim otoritas keagamaan dan politik serta menentang dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik juga dilakukan dinasti ini dengan membuat uang logam yang berpahatkan nama al-Mu'izz serta dominasi keluarga Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan pada Fustat mulai stabil, Hakim Agung membagikan infak kepada warga pada masid Agung Fustat sebagai cara buat memberitahuakn keagungan serta keberadaan rezim Fatimiyah baru.

Selain contoh ini, terdapat juga model penyatuan institusi kepercayaan dan politik yg lebih tingi tingkatnya yaitu waktu dua masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan, sipil serta administratif sementara dalam waktu yang sama istana khalifah atau imam dilihat menjadi tempat yg sempurna buat proses diseminasi pengetahuan. "Hakim agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana. Begitupun para da'i. Selain di Istana, mereka pun menaruh kuliah pada al-Azhar. Khalifah atau Imam seringkali sebagai kurator dan patron bagi banyak sekali institusi dan kegiatan keagamaan seperti wakaf masjid, perpustakaan dan sekolah disamping ia pula sebagai tuan rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat seperti menteri-menteri sipilnya.

Dalam proses perdebatan serta perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan pada otoritas negara buat diinterogasi, atau paling tidak, untuk menjawab sejumlah pertanyaan mengenai masalah-masalah pemahaman dan interpretasi agama." Prestise negara dipertaruhkan pada insiden semacam itu. Adapula majlis keilmuan (majlis al-ilm serta majlis alhikma) yang menjadi wahana buat penumbuhan, pengembangan dan pedagogi mazhab syi'ah ismailiyah. Dar al-Hikmah, contohnya, didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar . Ia berfungsi sebagai sekolah loka aneka macam cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran, astronomi dan bahkan hukum sunni diajarkan. Dar al-hikmah jua berfungsi sebagai pusat training bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yg diselenggarakan di Dar al-Hikmah ditujukan nir hanya bagi kalangan Syiah Ismailiyah namun pula bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah." Lembaga ini kemudian diwakafkan setelah berdiri selama 5 tahun sebagai upaya hadiah otonomi kepada para ulama sunni dan syi'ah. Satu abad lalu, waktu 2 orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah serta ajaran-ajaran yang terinspirasi sang al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan ke 2 orang itu serta Dar al-Ilm pun ditutup." Sejak waktu itu, Dar al-ilm mulai dipimpin sang para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin saat beliau mengakhiri kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.

Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik dan kepercayaan kepercayaan pada Mesir secara sedikit demi sedikit termasuk menggunakan cara memperkenalkan cara adzan Syi'ah. Namun sejak awal, nampaknya terdapat resistensi dan perundingan dari kalangan sunni. Sebagai model, pada khutbah jum'at, imam shalat berdasarkan kalangan sunni mengungkapkan nama Jawhar, penguasa militer dinasti Fatimiyah, tetapi nir menyebutkan nama al-Mu'izz, Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan demikian, "beliau berusaha buat menegosiasikan batas-batas antara politik serta kepercayaan yang tidak kentara itu, untuk mengakui adanya pengaruh politik. Tetapi pada ketika yang sama, beliau pun menolak otoritas spiritual." Imam-lokal menggunakan demikian mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah menjadi otoritas yg sah secara de fakto, namun menolak otoritas keagamaannya. 

Kebiasaan dinasti Fatimiyah yg lebih menyukai memakai hisab buat memilih akhir Ramadhan daripada ru'yah langsung dilembagakan walaupun masyarakat serta ulama sunni tidak ikut pada tradisi itu sampai setahun lalu. Ada laporan yang mengungkapkan bahwa Hakim Barqa dihukum tewas pada tahun 953 sang al-Mu'izz lantaran melakukan observasi ru'yah buat menentukan awal puasa Ramadlan, daripada menggunakan memakai perhitungan astronomi yg biasa dilakukan oleh Sang imam. Seorang pria juga dieksekusi karena dia melakukan qunut, mungkin pada saat shalat Tarawih. Tetapi sanksi-hukuman ini nampaknya tidak pernah tercatat terjadi pada Mesir, mungkin demi menjaga interaksi politik menggunakan kalangan lebih banyak didominasi sunni. 

Ritual syi'ah lain seperti seremoni Id al-Ghadir serta Ashura yang umumnya menjadi lebih publik dan provokatif bagi kalangan sunni, jua menguat pada bawah proteksi dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun 973, perayaan Id al-Ghadir diakui secara formal keabsahannya, misalnya sebelumnya pernah terjadi dalam masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur. Perayaan Ashura mulai diformalkan pada tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan menggunakan komunitas sunni. Selama perayaan ashura 1005, mereka yg mengikuti seremoni berkumpul pada Masjif al-Amr dan sesudah melakukan shalat juma't mereka memenuhi jalan serta meneriakkan kutukan kepada para teman Nabi. Untuk meredam kericuhan, petugas menunda dan menghukum seorang pria serta mengumumkan kepada khalayak bahwa hukuman yg sama akan ditimpakan bagi siapapun yang mengutuk Aisyah dan Abu Bakar lagi. Walaupun seremoni Ashura dilaksanakan di luar kota sang qadi dinasti Fatimiyah, namun seremoni itu terus menyebabkan kerusuhan di pada kota. In 1009, al-Hakim melarang perayaan Ashura serta kemudian memilih seorang alim menurut kalangan Hanbali buat menempati posisi Hakim Agung buat meredam oposisi sunni. Namun, beberapa seremoni syi'ah yg lain misalnya malam rajab dan sya'ban, maulid nabi dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein permanen disponsori sang negara. Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya infrastruktur negara yang bertenaga yang mempergunakan sumberdaya untuk mengimplementasikan dan memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini umumnya ditentang dan dikritik keras sang para ulama. 

Dinasti Fatimiyah perlahan tetapi pasti mulai memaksakan doktrin syi'ah Ismailiyah di negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti yg terlihat pada masalah Abu Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang telah terdapat di Mesir sebelum Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha buat menerapkan aturan syi'ah Ismailiyah dalam kasus perceraian serta warisan, tetapi Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan buat menjabat menjadi hakim di Fustat karena ia setia pada Jawhar serta al-Mu'izz. Di samping itu, abu Tahir jua mampu mempertahankan jabatannya sebagai Hakim Fustat meskipun Qadi al-Nu'man datang serta bertanggung jawab atas tentara Dinasti Fatimiyah serta perkara-masalah mazalim. Namun, qadi berikutnya, Ali bin Nu'man, menggunakan bantuan khalifah yang berkuasa waktu itu, Al-Aziz, sanggup menyingkirkan Abu Tahir sampai semua kewenangan yang dimilikinya jatuh ke tangan Ali bin Nu'man yg menjabat sebagai Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian menunjuk saudaranya, Muhammad, sebagai deputi dan mereka beserta-sama menerapkan hukum dinasti Fatimiyah pada Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya. Muhammad bin Nu'man mengangkat seseorang ahli aturan Syi'ah Ismailiyah di Masjid Agung buat menaruh fatwa sesuai dengan ketentuan hukum dinasti Fatimiyah dan menekan oposisi menurut kalangan sunni. Dengan demikian, dalam masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite agama yg sudah terdapat, namun mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya waktu mereka mulai lebih stabil. Untuk buat tujuan diskusi kita pada bagian ini, kita bisa katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap info ini murni tindakan politis.

Watak otoriter kekuasaan Imam dalam dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa birokrat sipil, bahkan yg berpangkat tinggi sekalipun, harus mencari dukungan menurut jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya mengakibatkan terjadinya korupsi serta nepotisme. Strategi yg umum digunakan, seperti yg telah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian dukungan kepada ulama-ulama serta ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini contohnya dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri dinasti Fatimiyah yg awalnya Yahudi serta baru masuk Islam, menggunakan mempekerjakan para sarjana serta intelektual yang berpartisipasi dalam berbagai forum-lembaga munazharat. Namun krusial buat diperhatikan, posisi Ibnu Killis ketika melakukan tindakan itu tidak kentara, apakah dia melakukannya sebagai bentuk kedermawanan personal atau dalam posisinya sebagai menteri? Para khalifah tentu saja mengembil peran langsung dalam patronase semacam itu, seperti yg dilakukan al-Hakim menggunakan dar al-ilminya, atau dengan mengalokasikan sejumlah akbar uang bagi dua masjid agung serta masjid lainnya walaupun masjid-masjid tersebut nir memberi pemasukan. Al-Hakim jua membentuk masjid al-Hakim yg berisi sejumlah inskripsi yang mendeskripsikan keagungan Sang Imam serta dipercaya setara posisinya dengan masjid-masjid yang ada pada Mekah, Madinah dan Jerussalem. Inovasi keagamaan yang dilakukan sang dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yg telah ada sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba memaksakan pelaksanaan doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah pada warga poly, seperti menggunakan menekan perkembangan mazhab-mazhab lain serta mengharuskan setiap orang buat menghapal isi buku-kitab fiqih Syiah Ismailiyah. Namun usaha-usaha semacam itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni serta kristen misalnya pada perkara pendirian sejumlah madrasah dalam abad ke-12 oleh dua orang menteri sunni yaitu Ridwan serta Sallar.

Dinasti "Bahri" Mamluk di Mesir
Korps militer Mamluk yang terdiri berdasarkan para budak mendapatkan prestise yang cukup akbar pada masa dinasti Fatimiyah dan Ayyubiyah meski mereka tak pernah mendapatkan kekuasaan buat diri mereka sendiri. Prestise tertinggi dicapai pada tahun 1260 ketika mereka mengalahkan pasukan Mongol pada Ain Jalut, selatan Damaskus. Karena kekuasaan serta status Mamluk tergantung pada penguasa atau ologarki lebih banyak didominasi yg bertanggung jawab atas pembelian, pelatihan serta pengurusan mereka, maka Mamluk merupakan mesin militer yang efektif dipakai oleh sejumlah negara penjajah buat menekan pemberontakan juga mempertahankan diri dari agresi luar. Namun status mereka sebagai budak pula menyebabkan ketegangan sosial dan kerusakan struktur politik dan ekonomi di negara-negara loka mereka mengabdi.

Pasukan mamluk adalah pendukung setia ortodoksi sunni, bahkan mereka menyandang gelar kesetiaan kepada Khalifah yang membuat mereka menjadi simbol kesatuan sunni sebagai kekuatan politik independen. Mereka pula menyandang image menjadi pelayan atau penjaga sunni Islam bahkan pada saat mereka sebagai penguasa. Serdadu Turki contohnya dipakai sang Dinasti Saljuk buat mempertahankan Islam sunni berdasarkan ancaman Syi'ah yg terus semakin tinggi ketika berdirinya dinasti-dinasti Buwaihi, Haman, Fatimiyah dan Qamaritiyah. Kombinasi kesetiaan terhadap sunni dan kemampuan militer menciptakan mamluk sebagai penekan yg keras bagi elemen-elemen non sunni dalam masyarakat Islam termasuk ahl al-dzimma serta pengikut Syi'ah. Tetapi dalam 1517, semua kesultanan Mamluk berakhir oleh agresi militer Dinasti Utsmaniyah. Dalam bagian ini, aku akan mereview institusi kepemimpinan, administrasi dan keagamaan Dinasti Mamluk Bahri di Mesir buat menekankan adanya ketegangan interaksi antara otoritas dan institusi politik serta agama pada salah satu periode sejarah Islam. 

Kesultanan Mamluk dikuasai oleh beberapa komandan (amir) menggunakan oligarki yg esklusif dan memiliki kekuasaan politik/militer berdasarkan kekuatan resimen militer Mamluk yang dimilikinya. Tidak hanya kalangan elite, dalam hal ini Sultan, bahkan seluruh elite militer asal menurut budak atau orang asing yang dibeli serta dibesarkan menjadi budak kemudian dilatih sebagai tentara serta tenaga administratif. Lantaran mereka tidak memiliki keluarga atau hubungan apapun di daerah tersebut, maka mereka sangat setia pada tuannya dan mengabdi dengan sangat baik di kemiliteran. Rezim mamluk mengandalkan sumber keuangannya berdasarkan sistem iqta dimana mereka bisa mendapatkan output tanah tetapi nir mempunyai kekuasaan buat mengaturnya. Seperti Dinasti Ayyubi serta Seljuk, dinasti Mamluk pula tidak memiliki justifikasi lain buat berkuasa selain kekuatan militer yang mereka miliki. Dengan demikian legitimasi yg mereka dapatkan buat dinasti mereka berasal menurut klaim mereka sebagai penjaga Islam. Dominannya berbagai dinasti Mamluk sejak abad 10 pada Baghdad dan di beberapa wilayah Islam lain diikuti menggunakan berkuasanya Turki Utsmani yg membuat institusi negara menjadi institusi sekuler yang tersendiri. 

Kampanye militer terhadap tentara salib, wakaf bagi institusi keagamaan serta proteksi terhadap tanah-tanah ummat Islam adalah simbol-simbol publik yg sengaja ditampilkan buat menekankan pengabdian Mamluk terhadap Islam. Ribuan ulama dilatih, dihidupi, diajari pada institusi-institusi tersebut dan dijamin kehidupannya menurut waqaf-waqaf yg dikelola sang Dinasti Mamluk. Walaupun Amir-amir itu mempunyai tujuan-tujuan keagamaan, tetapi ada motivasi politik yg kentara terlihat dalam wakaf-wakaf tersebut terutama buat mendapatkan legitimasi keagamaan bagi elite yg sedang berkuasa serta jajaran aparatnya. Selain menaruh wakaf kepada institusi pendidikan agama, para penguasa Mamluk juga menekankan pentingnya kehadiran mereka di kota suci Mekah dan Madinah dengan menyelenggarakan festival haji tahunan serta berperan menjadi pelindung primer Ka'bah. Tahun 1281 misalnya, Sultan Qalawun melakukan perjanjian menggunakan suku Qatadah yang ketika itu bertanggung jawab atas pengurusan kota Mekah buat memasangkan kelambu khusus yang dikirim berdasarkan Mesir dalam Ka'bah serta memasang lambang-lambang kerajaan Mamluk di depan lambang-lambang penguasa Muslim lain.

Karena Mamluk nir mempunyai klaim yg independen bagi kekuasaannya, mereka mengunakan beberapa tokoh pemimpin buat mengontrol negara. Tahun 1261 selesainya Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, Sultan al-Zahir Baybars mendukung klaim al-Mustansir atas dinasti Abbasiyah. Ia mengundang al-Mustansir ke Mesir serta melantiknya sebagai Khalifah. Sebagai imbalan, Khalifah al-Mustansir mengakui Baybars sebagai sultan. Sultan lalu mengirim khalifah ke Baghdad buat menghadapi kehadiran Mongol di Ibukota Islam tadi. Ketika al-Mustansir terbunuh dalam ekspedisi mematikan itu, sultan lalu merubahnya dengan melantik al-Hakim menjadi khalifah dalam tahun tadi. Tetapi kekhalifahan al-Hakim memang hanya adalah aktivitas seremonial dan lebih poly diwarnai dengan penahanan rumah. Walaupun sultan-sultan Mamluk umumnya melakukan pengawasan yang ketat terhadap para Khalifah yang mereka angkat serta memperlakukan mereka hanya menjadi pelengkap acara-acara publik, mereka permanen sadar akan potensi kekuasaan politik serta ancaman yang mungkin timbul menurut khalifah-khalifah tadi. Lantaran mereka nir memiliki gelar untuk berkuasa kecuali kekuatan pemaksa, dinasti Mamluk menggunakan simbol keagamaan Khalifah buat maksud-maksud politik mereka melalui menampilkan khalifah-khalifah rekaan mereka. 

Perkembangan interaksi antara institusi politik dan kepercayaan yang relatif signifikan terjadi pada ketika transformasi forum peradilan yg dilakukan sang Sultan al-Zahir Baybars (1260-77). Baybars melakukan perubahan tersebut dalam periode 1262-1265 dengan merubah komposisi majelis hakim yg umumnya diisi hanya oleh seseorang hakim agung yg bermazhab syafi'I dengan memberikan loka yg sama kepada hakim dari 3 mazhab lain, menggunakan demikian majelis hakim terdiri menurut 4 orang hakim berdasarkan empat mazhab sunni. Keputusan ini nampaknya disebabkan beberapa hal termasuk harapan Baybars buat mendapatkan dukungan berdasarkan kalangan sunni yang bermazhab Maliki, Hanafi serta Hanbali yg memang sebagai secara umum dikuasai pada ketika dia naik tahta. Dengan melakukan hal itu, dia juga bermaksud buat mengarahkan mereka buat berkonfrontasi menggunakan hakim bermazhab Syafi'i yang ketika itu sangat berkuasa yaitu Taj al-Din bin Bint al-A'zz. Episode ini sengaja saya ungkapkan buat menunjukkan kiprah negara buat menegosiasikan kekuasaannya dengan institusi keagamaan pada rangka menerima legitimasi serta pula peran negara buat memediasi sejumlah institusi keagamaan dalam tradisi sunni.

Kompetisi antara para ulama untuk mendapatkan atau menarik dukungan terhadap negara menunjukkan betapa kompleksnya hubungan antara institusi agama serta negara. Walaupun berbagai mazhab memiliki ketentuan-ketentuan khusus dalam menuntaskan perkara-kasus fiqih, mereka membutuhkan dukungan sukarela atau kekuasaan negara buat mengimplementasikannya. Sifat hirarkis lembaga peradilan membagi hakim ke pada 2 kategori yaitu hakim kepala serta hakim deputi. Hakim kepala menaruh otorisasi terhadap keputusan para deputi agar putusan tadi mampu dicatat pada daftar aturan pengadilan (diwan al-hukum) dan dengan demikian mampu dilaksanakan sang negara. Tetapi jika deputi yang mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yang sama menggunakan hakim ketua, maka hakim ketua permanen berkewajiban buat melaksanakan keputusan itu. Tetapi minoritas hakim bermazhab syafi'I nir mengizinkan hal tadi karena itu berarti melanggar aturan mazhab orang lain. Dengan demikian, apabila seorang hakim bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur pengadilan, beliau nir akan mengeimplementasikan keputusan yg didapatkan oleh hakim menurut mazhab lain. Lantaran pada saat Baybar naik tahta, jabatan hakim kepala dipegang oleh hakim bermazhab syafi'i yang mempunyai pandangan seperti yg tadi di atas, maka ia mulai menetapkan buat memilih hakim agung lain yg mewakili gerombolan -kelompok sunni yg bisa mendapat keputusannya. Kebijakan ini menaruh keuntungan politis yg sangat jelas bagi penguasa-penguasa Mamluk. Mereka tidak hanya mendapat ucapan terimakasih serta kesetiaan dari grup-gerombolan mazhab baru di lembaga peradilan yg tentu sanggup menciptakan keputusan yang sinkron menggunakan kepentingan mereka, namun pula mereka mampu menghipnotis khalayak banyak buat menerima keberadaan mereka menjadi penguasa yg dari berdasarkan tentara budak asing. Pada waktu perang, rezim Mamluk mengandalkan dukungan ulama untuk menaruh mereka izin buat memungut pajak baru serta mengalihkan dana wakaf buat kepentingan perang.

Mari berbalik sejenak buat melihat kewenangan muhtasib dalam periode Fatimiyah, posisi ini permanen mempunyai fungsi yg sama di bawah kekuasaan Mamluk yaitu menjadi penjaga moral publik, pengawas pasar dan sekaligus pengumpul pajak. Pada masa ini, posisi muhtasib pula memberitahuakn adanya perundingan yg sama antara institusi politik dan kepercayaan misalnya yang terjadi dalam masa sebelumnya. Awalnya, dalam ketika berdirinya dinasti Mamluk jabatan muhtasib lebih dikenal sebagai jabatan keagamaan (wadzifa diniyyah) yang umumnya dipegang sang para fuqaha, ulama, pengajar madrasah, serta praktisi ilmu-ilmu keislaman selama hampir 150 tahun. Namun akhirnya rezim-rezim Mamluk yg saling bermusuhan menguasai jabatan ini untuk kepentingan gerombolan dan diri mereka sendiri, dan berakhir dengan konsekuensi ekonomi yang tidak baik. Perubahan posisi jabatan ini jua terrefleksikan dalam perubahan hubungannya menggunakan negara dan persepsi masyarakat generik.
Kasus Ibnu Taimiyah mampu menjadi contoh hegemoni rezim Mamluk dalam kasus diskursus kegamaan. Sebagaimana mafhum, Ibnu Taimiyah dipenjarakan nir kurang 5 kali selama hidupnya dalam zaman kekuasaan Mamluk karena kepercayaannya dipercaya tidak menerima dukungan berdasarkan kalangan salaf serta bertentangan dengan konsensus para ulama serta para pembuat hukum (hakkam) yang hayati pada zamannya. Fatwa ibnu Taimiyah juga dianggap membuat kekhawatiran di kalangan masyarakat awam". Pendapat Ibnu Taimiyah yang kontroversi itu diantaranya merupakan pemisahan antara grup warga ahl al-dzimma dengan muslim dan penggunaan kekuasaan negara untuk melawan musuh dari pada seperti komunitas syiah yang termasuk dalam kekuasaan rezim Mamluk. Tanpa melihat kebijakan aparat negara terhadap Ibnu Taimiyah, kita bisa melihat bahwa dinasti Mamluk memperlakukan Ibnu Taimiyah dengan perilaku politik yg relatif keras karena Ibnu Taimiyah memiliki dampak yg relatif akbar di kalangan rakyat Islam dan amir-amir Syiria. Tetapi Ibnu Taimiyah sendiri bekerja sama serta melayani pejabat-pejabat negara, atau melemahkan dam mengancam mereka tergantung apakah beliau setuju menggunakan pandangan serta kebijakan mereka atau nir.

Sebaliknya, para ulama, terutama ulama Damaskus, cenderung segera mendeklarasikan kesetiaan mereka kepada rezim militer manapun yang memasuki kota tadi agar ketertiban segera bisa dikembalikan secepat mungkin. Sikap misalnya ini menurut dalam pendapat bahwa negara, misalnya apapun bentuknya, lebih baik daripada perang serta pentingnya penyerahan diri. Ironisnya, janji perdamaian serta pengampunan yang diperlukan para ulama itu tidak mereka dapatkan ketika pasukan Mongol menyerang kota itu dalam tahun 1299-1300. Bahkan hal yang sama terjadi pada waktu Timur Lenk menginvasi kota itu satu abad setelahnya dalam tahun 1400. Sementara ulama-ulama lain bersedia buat bertahan serta melawan menggunakan mempersiapkan blokade atau perang gerilya, pakar fiqih Hanbali yang terkemuka, Ibnu Muflih, malah memperingatkan masa untuk menyerah dan mempercayakan keselamatan kota kepada penjajah. Timur Lenk menproklamirkan diri sebagai Sultan selesainya berhasil memblokade kota selama dua hari. Ia mengangkat Ibnu Muftih sebagai qadi dan agen Timur Lenk, namun kota tetap saja dihancurkan. 

Peran para Qadi pada kekuasaan Mamluk terintegarasi dan terpenetrasi sang aparat negara. Terdapat 4 jabatan qadi pada setiap kota-kota Dinasti Mamluk, masing-masing qadi mempunyai jaringan deputi yg memiliki kekuasaan politik yang setara menggunakan menempatkan diri mereka menjadi penengah antara ulama dan rezim Mamluk yg menuntut pajak yang tinggi buat membiayai kebutuhan militernya. Memang sulit untuk mengetahui parameter otoritas serta wilayah wewenang peradilan ketika nir ada satupun prinsip pemisahan kekuasaan diketahui, meskipun pada waktu itu telah ada pembedaan institusi dan pejabat peradilan misalnya qada, mazalim, hisba, serta lain sebagainya. Pengadilan Mazalim misalnya sebagai tempat bagi rakyat untuk mengadukan penindasan atau ketidakpedulian yg dilakukan oleh aparat negara, sekaligus menjadi tempat bagi para pejabat negara dan orang-orang berpengaruh buat memenangkan kepentingannya atau menghentikan lawan-lawannya. Kasus-perkara wakaf serta properti individu acapkali menjadi perkara pada pengadilan mazalim lantaran semasa rezim Mamluk beberapa amir menggunakan pengawal miiternya biasa merampas tanah milik orang lain.

Ahl al-Dzimma di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah serta Mamluk 
Dinasti Fatimiya sangat menekankan kiprah pemimpin dalam membentuk masyarakat Islam yg adil. Bahkan keadilan nampaknya menjadi platform dasar bagi setiap gerakan syi'ah buat menerima legitimasi. Secara teoritis, semua urusan negara, rakyat, dan kepercayaan harus berada pada bawah supervisi imam yg maksum yg mengatur masyarakat menurut otoritas ketuhanan yang komprehensif. Berbeda dengan Dinasti Fatimiyah, dinasti Mamluk nir memiliki klaim ideologis dari ajaran usang. Mereka mendasarkan diri pada klaim yg mereka buat sendiri buat mempertahankan serta mendukung ajaran Islam. Selama pejabat dinasti Mamluk nir menyalahi tatanan Islam di depan publik, kekuasaan mereka akan selalu dilegitimasi oleh mayoritas ulama. 

Status dan peran ahl al-dzimmah dalam warga Islam selalu menjadi bahan perdebatan dan ketegangan. Sementara teks-teks dasar Islam lebih poly dipahami buat merefleksikan perilaku toleransi pada ahl al-kitab dan penganut agama lain, data historis memberitahuakn bahwa permusuhan lebih poly mewarnai hubungan antara muslim dan non muslim daripada interaksi simpatik. Dalam perkara Mesir contohnya yg adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Koptik, umat islam berhutang budi pada masyarakat Mesir koptik atas keahlian yang mereka miliki buat mengelola ekonomi pertanian Sungai Nil dan aspek lain pada kehidupan masyarakat Mesir. Kelebihan kemampuan teknik yang dimiliki sang komunitas Koptik pada aktivitas ekonomi lokal sering mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial pada kalangan penduduk yang beragama Islam yg walaupun sebagai elite penguasa tetapi tetap tergantung dalam minoritas luar. Cara bagaimana ketegangan misalnya ini dinegosiasikan dalam masalah-kasus yg akan saya paparkan nanti memberitahuakn adanya pola perlakuan yang tidak selaras terhadap ahl al-dzimmah dalam warga muslim.

Selama periode Fatimiyah, kita sanggup melihat adanya pola yang toleran dimana tidak adanya pembatasan bagi penduduk beragama Kristen atau Yahudi buat mendapatkan kesempatan bekerja atau kemungkinan buat melakukan mobilitas sosial. Bahkan orang-orang Kristen serta Yahudi berkerja di pemerintahan selama masa dinasti Fatimiyah serta awal masa Dinasti Ayyubi, meskipun dalam dinasti Ayyubi, beberapa pelarangan sempat terjadi. Namun praktik ini tidak boleh kita akbar-besarkan jua, Dinasti Fatimiyah yg berada di Mesir nir mempunyai sistem yang sanggup menyeimbangkan sejumlah kelompok dalam rakyat yg bersaing buat menerima kekuasaan. Yang beliau miliki hanyalah seorang imam yang memiliki otoritas yg tinggi. Rezim Fatimiyah yang bermazhab Ismailiyah sendiri pula adalah gerombolan minoritas di Mesir yang mengelola grup minoritas muslim lain yang menjamin dirinya memiliki otoritas keagamaan atas dominan orang Koptik. Dengan demikian seluruh segmen rakyat Fatimiyah serta Mamluk pada Mesir sangat rentan mengalami ketegangan yang sama dan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang serta kekuatan yg tidak terdeteksi sang negara. 

Walaupun rezim dinasti Fatimiyah nampaknya relatif sedikit lebih toleran dan mendukung institusi ahl-al-dzimmah (terutama kristen Koptik) lantaran aneka macam alasan, penduduknya yg secara umum dikuasai sunni sangat anti-dzimmi dan mereka marah kepada rezim Fatimiyah karena mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni memandang eksistensi kristen Koptik dan yahudi pada pemerintahan dinasti Fatimiyah Mesir mewakili sistem pemerintah yang tidak sah dan nir sanggup diterima pada rakyat Islam. Menggunakan demikian, tekanan negara kepada grup dzimmi wajib dipandang menjadi konsesi terhadap kemarahan dan permusuhan kalangan sunni pada grup ini dan sebagai sikap politik yang layak diambil buat mencegah konfrontasi berfokus antara gerombolan ini dengan rakyat muslim. Dengan demikian,

Posisi orang kristen dan Yahudi pada negara Islam (selama dinasti fatimiyah berkuasa) dilindungi tetapi tidak cukup kondusif. Hukum Islam melindungi hayati, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun dengan beberapa pembatasan, buat melaksanakan ajaran agamanya. Namun, hukum Islam jua menuntut mereka untuk dipisahkan menurut rakyat lain serta mengharuskan mereka buat tunduk dalam aturan. Apabila anggaran-anggaran itu dijalankan di bawah pemerintahan yang lemah atau jelek`,maka kondisi ini dapat dan niscaya menunjuk dalam absennya aturan serta perlakuan buruk. Kebijakan yg diambil rezim Fatimiyah ini selaras menggunakan karakter umum periode waktu itu dimana… perdagangan internasional yg cepat dibuat buat interaksi bebas antara grup yg tidak sinkron pada masyarakat disamping lantaran perilaku tertentu yang dianggap wajar.

Debat akademis tentang status dzimmah pada kalangan ummat Islam tak jarang merujuk pada apa yg disebut "perjanjian Umar", sebuah teks yg berasal dari perjanjian antara Umar bin Khatab dengan ahl al-dzimmah pada Syiria, tetapi dipercaya sang sebagian sarjana baru timbul dalam beberapa masa berikutnya. Kondisi yg nampaknya telah diatur sang perjanjian itu merupakan disparitas gaya berpakaian (ghiyar), embargo buat mendirikan gereja atau sinagog, restriksi aktivitas ibadah yg dilakukan di ruang publikm dan anggaran-aturan mengenai kemungkinan ahl-dzimmah bekerja pada pemerintahan Islam. Aturan-anggaran ini tentu saja adalah tambahan atas kewajiban membayar pajak (jizyah). Aturan-anggaran tadi nampaknya tidak pernah dikodifikasikan di Mesir baik sebelum ataupun semasa dinasti Fatimiyah berkuasa, namun implikasi dan pengaruhnya masih terlihat pada berbagai perkara.

Praktiknya, memang, majemuk tergantung faktor politik serta faktor-faktor lainnya. Negara sanggup saja mengizinkan pendirian gereja dan sinagog baru atau merehabilitasi bangunan usang, namun beliau jua bisa saja menyerah pada tuntutan ulama dan masyarakat buat menolak permintaan komunitas dzimmi. Khalifah/Imam al-Mu'izz mengizinkan pembangunan gereja baru walaupun perasaan anti-kristen sangat umum pada rakyat Islam Fustat ketika itu, dan Khalifah Abdul Aziz mengizinkan rehabilitasi sebuah gereja. Imam-imam dinasti Fatimiyah memperluas pengaruh mereka kepada masyarakat non-muslim menggunakan mewakafkan tanah buat gereja, melindungi hak-hak lembaga biarawan St. Catherine, bahkan mendukung pendirian seminari Yahudi pada Yerussalem. Tetapi kompleksitas kasus ini mampu dicermati menurut perkara Muhammad bin Tughj, penguasa dinasti Ikhsid (dinasti sebelum Fatimiyah), yg menghadapi tekanan yang sangat besar menurut masyarakat muslim yang sangat marah buat melarang perbaikan gereja Abu Shenuda yang sebagian bangunannya mulai rusak. Dua berdasarkan 3 ahli hukum yang ditunjuk untuk menilik legalitas pemugaran gereja itu menyimpulkan bahwa upaya tersebut memang dihentikan, namun Ibnu Tughj lebih senang merogoh pendapat hakim ketiga yang menyatakan legalitas pemugaran tersebut. Tetapi sehabis ahli hukum ketiga ini diserang oleh kerumunan massa di jalanan serta bahkan menimbulkan kerusuhan yg melibatkan pasukan bersenjata, jelaslah bagi Ibnu Tughj bahwa ia tidak sanggup mengimplementasikan kebijakannya itu lantaran akan mengakibatkan ketidakstabilan yang berkelanjutan. Ibnu Tughj akhirnya menyerah pada tuntutan masa serta bisnis pemugaran gereja nir diizinkan untuk diteruskan.

Pada taraf lokal, wazir, amir dan ulama berusaha menggunakan kekuasaan mereka buat mengeksploitasi, memeras dan menekan rekan non-muslimnya. Sebagai contoh, ummat Yahudi pada Yerussalem kadang-kadang wajib membayar untuk menerima biar penyelenggaraan kegiatan agama. Pada masa wazir al-Yazuri berkuasa (1055-1056), qadi lokal mengajukan keberatan atas pembangunan serta perbaikan sejumlah gereja di daerah mereka. Tetapi masalah ini akhirnya mampu diselesaikan sesudah komunitas Kristen koptik di wilayah itu membayar sejumlah akbar uang kepada pimpinan militer wilayahnya, Nasir al-Daulah bin Hamdan. Peristiwa ini terjadi meskipun terdapat resiko terjadinya ketegangan antara rezim dinasti Fatimiyah dengan Pimpinan Kristen koptik serta akan mengganggu peran komunitas koptik yang cukup besar pada mengelola pertanian Mesir. Pendukung Nasir al-daulah memang yang harus bertanggung jawab atas perusakan terhadap sejumlah gereja serta penghilangan nyawa sejumlah rahib yang terjadi sepuluh tahun berikutnya dalam perang sipil pada masa al-Mustansir. Meskipun ada poly model perlakukan buruk terhadap ahl al-dzimmah seperti yg telah aku kemukakan tersebut dan adanya kebijakan resmi pemerintah untuk melindungi serta memberikan toleransi kepada kalangan minoritas, kita akan lebih menekankan perhatian pada masalah subordinat yg dilakukan atas perintah khalifah, seperti yang terjadi pada masa Khalifah al-Hakim. 

Sejarawan periode ini umumnya putusan bulat bahwa karakter dinasti ini relatif indah karena mereka memperlakukan grup non-muslim dan non-syiah Ismailiyah dengan baik. Namun, pada masa al-Hakim bi Amr Allh (996-1021) sebetulnya terjadi penganiayaan atas nama agama, terror yg disponsori negara serta tumbuhnya semangat keagamaan yg tidak terkontrol. Selain memberlakukan aturan pembedaan gaya berpakaian (ghiyar) dan memerintahkan penghancuran gereja, al-Hakim jua melakukan kampanye sistematis untuk menganiaya serta melakukan tindakan kekerasan kepada non-Muslim. Pada masa terburuk pemerintahannya, 1004-1012, gereja serta biara di Kairo serta semua kota-kota Dinasti Fatimiyah dihancurkan termasuk Gereja Suci Sepulchure pada Yerussalem, bangunan-bangunan non Muslim diubah peruntukkannya sebagai masjid, kas-kas gereja dirampas, dan tanah pemakaman gereja dihancurkan. Al-Hakim jua merampas wakaf sejumlah gereja dan biara, dan kebijakannya ini berimplikasi sangat buruk bagi kehidupan sosial serta ekonomi komunitas dzimmi pada masa itu. Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa kebijakannya setahun sebelum beliau tewas (menghilang), kerusakan, terutama yang ditimbulkan oleh hilangnya wakaf dan perubahan bangunan gereja menjadi masjid, sanggup dikatakan permanen. Namun dalam pemerintahan khalifah Fatimiyah berikutnya, sejumlah orang kristen dan Yahudi yg beremigrasi ke Byzantium dalam masa al-Hakim, mulai balik ke Mesir dan melakukan rehabilitasi, sampai hubungan antar agama mulai kembali membaik. 

Tidak misalnya rezim Fatimiyah, rezim Mamluk nir memandang dirinya sebagai pemimpin agama atau berusaha menempatkan diri mereka pada urusan-urusan yg dianggap urusan ulama. Malah, mereka tergantung dalam ulama dan pemimpin agama lainnya untuk melegitimasi otoritas politiknya. Ironisnya, sikap ini membuat posisi ahl al-dzimmah pada masa Dinasti Mamluk lebih jelek daripada di masa Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk tidak berniat buat menyulut permusuhan dengan komunitas ahl-dzimmah eksklusif, tetapi mereka cenderung menyerah pada permintaan para pemimpin kepercayaan yg menekan mereka buat memperlakukan ahl al-dzimmah dengan jelek. 

Hampir di semua negeri-negeri Muslim, ahl al-dzimmah seringkali dipekerjakan sang Mamluk sebagai pengontrol atau penjaga badan-badan negara, konsultan kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat tinggi atau juru tulis bagi kalangan militer serta amir-amir lokal. Posisi yang cukup berpengaruh itu jelas memancing permusuhan serta kecurigaan komunitas muslim. Sentimen ini nampaknya semakin meningkat waktu dominan sunni yg tinggal pada Mesir menghadapi tantangan intervensi kalangan syi'ah selama dua abad berikutnya serta menghadapi perang salib. Dalam suasana seperti itu, peristiwa mini saja bisa menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl al-dzimmah, dan umumnya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya dengan cara menekan kalangan dzimmi buat menenangkan para pemrotes. Sikap pemerintah ini membuat rakyat semakin menuntut adanya tindakan yang lebih keras kepada kalangan Kristen Koptik hingga mengakibatkan terjadinya penjarahan dan penghilangan nyawa. Namun saat Mamluk berusaha buat menegakkan otoritas mereka dan mengembalikan perdamaian, mereka pula berusaha untuk nir terlihat mendukung Kristen Koptik, sampai Mamluk terpaksa menjatuhkan sanksi ekstra judicial pada mereka dan memecat mereka berdasarkan pekerjaan. Namun perlakuan jelek ini tidak terjadi dalam kristen Koptik yg sebagai pejabat tinggi negara. Mereka umumnya ditawari buat masuk Islam, namun hanya beberapa orang di antara mereka yg merespon tawaran itu dengan serius. 

Kadang-kadang tuntutan buat memperlakukan ahl-dzimmah dengan jelek itu tiba dari luar. Misalnya saat seseorang menteri Dinasti Hafasid Algeria Timur dayang berkunjung ke Mesir pada tahun 1301. Ia mengungkapkan ketidak sukaannya terhadap sikap baik dinasti Mamluk terhadap orang-orang kristen dan Yahudi yg ada pada Mesir lantaran di negerinya orang-orang ini diperlakukan menggunakan sangat tidak baik. Akibatnya, beberapa Amir mamluk yg oportunis berusaha buat melaksanakan tuntutan generik masyarakat ini dan mereka memberlakukan tindakan keras kepada ahl al-dzimmah dengan menutup atau merubuhkan gereja-gereja di wilayah kekuasaan Mamluk bahkan sampai mencapai Damaskus. Namun tindakan represif ini hanya berlangsung selama satu tahun, setelahnya sejumlah gereja balik dibuka. Protes massa Muslim terhadap peningkatan status serta perlakuan kepada ahl al-dzimmah cenderung menyebabkan negara bertindak keras pada mereka sampai poly pada antara mereka yang masuk Islam. Nampaknya terdapat hasutan serta sejenis koordinasi antara kerusuhan yg melibatkan orang Islam dan ditujukan kepada Kristen Koptik di seluruh wilayah Mamluk. Tahun 1321 misalnya ada 11 gereja yang dihancurkan oleh massa pada Kairo serta dalam hari yang sama, lebih kurang 60 gereja pada daerah lainnya juga dihancurkan. Kristen Koptik melakukan pembalasan menggunakan membakar sejumlah masjid pada Kairo. Akhirnya, Sultan Mamluk memakai tindakan kekerasan buat mengamankan suasana. 

Pada tahun 1354, Negara beberapa kali menggunakan kekerasan buat meredam perlawanan kalangan Kristen Koptik yg ditimbulkan sang kejadian-insiden mini . Seperti pada masa sebelunya, restriksi ketat yang menurut Perjanjian Umar balik diberlakukan. Kalangan Kristen Koptik dan Yahudi yang sebagai pejabat tinggi dipecat dari jabatannya, dipaksa masuk Islam menggunakan ancaman akan dibunuh pada jalanan kota Kairo. Pada tahun itu juga, seluruh tanah wakaf yg diberikan pada gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan didistribusikan pada para amir dan beberapa ulama, sampai forum-lembaga kristen kehilangan sumber primer keuangannya. Tekanan serta pengambil alihan sumber-sumber keuangan forum itu dimaksudkan untuk menarik ahl al-dzimmah agar masuk Islam dalam jumlah besar . 

IV. Negosiasi Antar Lembaga 
Pengalaman sejarah yang aku ungkapkan tadi hanya adalah model pendekatan Islam terhadap sekularisme sebagai perundingan kontinu antara institusi negara dan politik. Seperti yang sudah saya tekankan pada awal bab ini, sejarah selalu diperdebatkan serta diinterpretasikan dengan cara yg tidak selaras buat mendukung pandangan yg tidak selaras bahkan yg saling bertentangan. Karena itulah aku sadar bahwa cara pembacaan terhadap sejarah yang aku lakukan pada sini bukanlah satu-satunya cara. Namun bukan berarti interpretasi sejarah serta penerangan tentang implikasinya yg saya lakukan pada sini harus ditolak atau diterima sepenuhnya. Yang aku inginkan adalah gampang-mudahan cara pembacaan sejarah yang aku lakukan bisa masuk akal serta berguna bagi ummat Islam sekarang yang sedang berusaha merekonsiliasikan komitmen mereka buat permanen berpegang teguh kepada syariat pada konteks mereka waktu ini baik dalam konteks lokal maupun global. Melalui perspektif ini, saya akan menyusun beberapa implikasi tentatif yg saya dapat dari kilas kembali sejarah yg saya lakukan tersebut dan mengaitkannya menggunakan proposisi primer yg aku ajukan dalam buku ini, tanpa menciptakan kesimpulan apapun. 

Bab ini saya mulai dengan menyatakan bahwa saya setuju menggunakan padangan Ira Lapidus mengenai adanya pembedaan antara institusi agama dan negara dalam sejarah warga Islam. Dalam bagian selanjutnya, saya berusaha buat mendukung dan mengungkapkan validitas pandangan ini serta menghubungkannya menggunakan inspirasi tentang pemisahan antara lembaga keagamaan dan negara dengan tetap mengakui keterhubungan antara kepercayaan serta politik pada masyarakat Islam waktu ini. Dengan kata lain, pentingnya pembedaan otoritas negara dan agama mampu dilakukan melalui teori serta dibuktikan menggunakan analisis sejarah seperti berikut ini. 

Pembedaan instituisonal ini sanggup didukung secara teoritis menggunakan memberitahuakn perbedaan karakter otoritas politik dan kepercayaan seperti yg telah aku jelaskan dalam bab I. Hal terpenting yg perlu aku ungkapkan di sini adalah bahwa negara memang harus sekuler dan politis karena kekuasaan serta institusinya membutuhkan taraf serta bentuk kontinuitas serta prediktabilitas eksklusif yg nir dimiliki oleh otoritas keagamaan. Secara teoritis, pemimpin kepercayaan memang wajib memperjuangkan keadilan serta kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka nir punya kekuasaan maupun kewajiban buat bertanggung jawab atas ketertiban kekomunitas lokal, pengaturan relasi ekonomi serta sosial, atau pertahanan terhadap ancaman luar. Fungsi-fungsi ini membutuhkan adanya kontrol yg efektif atas wilayah serta penduduk, serta kemampuan buat menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini memang wajib dimiliki sang pejabat negara, namun nir sang pemimpin agama. 

Seperti yg sudah disebutkan di awal, beberapa pemuka agama mungkin memiliki otoritas politik atas pengikutnya, dan beberapa pemimpin politik mungkin menerima legitimasi keagamaan berdasarkan grup tertentu pada masyarakat. Tetapi yg perlu kita perhatikan pada sini adalah terdapat 2 tipe otoritas yang tidak selaras, bahkan meskipun keduanya dipegang sang yg sama. Keduanya mempunyai kriteria yang tidak sama serta menerima perlakuan yang tidak sinkron menurut orang lain. Otoritas agama berdasarkan pada taraf pengetahuan dan kesalehan seseorang ilmuwan serta dievaluasi oleh yang mendapat otoritasnya berdasarkan evaluasi pribadinya yg subjektif pada luar hubungan personal rutinnya menggunakan orang itu. Sementara otoritas politik pejabat negara berdasarkan kualitas yang bisa dinilai secara lebih objektif seperti kemampuannya buat menggunakan kekuasaan dan mengelola administrasi yg efektif untuk kemaslahatan ummat. Bahwa terdapat seorang yang sanggup mengkombinasikan otoritas politik dan keagamaan, tidak berarti bahwa ke 2 otoritas ini sama atau kemampuan tersebut wajib dimiliki sang orang lain yang akan melakukan fungsi-fungsi politik serta keagamaan. 

Pentingnya pembedaan otoritas ini jua bisa dipandang berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh keinginan buat memaksakan penyatuan antara Islam serta negara seperti pecahnya perang terhadap orang-orang murtad pada masa Khalifah Abu Bakar (632-634). Kesimpulan yg aku tarik dari terjadinya perang terhadap orang-orang murtad ini adalah apapun alasannya adalah, Abu Bakar permanen sanggup melaksanakan kebijakannya ini walaupun ditentang oleh para teman primer karena beliau adalah seseorang khalifah serta bukan karena ia mengambil keputusan yang sahih serta sempurna dari pandangan Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar sahih atau absah. Ummat Islam memang akan terus tidak selaras pendapat tentang hal ini tanpa adanya kemungkinan buat mendapatkan kepastian yg independen dan mampu diterima sang semua pihak. Tetapi menurut aku , akan lebih konstruktif apabila kita membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar menggunakan kebijakan dan tindakan politiknya menjadi khalifah. Seperti Umar serta Ali yang tidak sinkron pendapat dengannya, Abu Bakar juga seseorang sahabat yang memiliki justifikasi religius buat posisi mereka. Namun ini nir berarti keputusannya buat menyerang suku-suku Arab yg memberontak adalah keputusan kepercayaan dan bukan keputusan politik. Arti sebuah tindakan tidak boleh dipengaruhi oleh motivasi pelakunya. Pembedaan ini mungkin terasa masih sulit bagi ummat Islam buat melihat periode Madinah lantaran otoritas politik pada masa itu masih sangat personal dimana negara bukanlah institusi politik. Kondisi ini terjadi lantaran banyak sekali faktor diantaranya model yg diberikan Rasul, tiadanya pembentukan negara di daerah Arabia sebelumnya serta cara 4 khalifah pertama dipilih dan menjalankan kekuasaannya. Masalahnya merupakan apapun pandangan yg digunakan buat melihat insiden-insiden sejarah itu, kebingungan misalnya ini tidak sanggup dijustifikasi serta diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa waktu ini. 

Pentingnya pemisahan otoritas agama serta negara pada warga Islam juga mampu dipahami menggunakan melihat konsekuensi kebijakan mihnah yang dimuntahkan sang Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun pada tahun 833, persis 200 tahun sesudah perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis yg terjadi dalam sejarah Ummat Islam ini krusial bagi diskusi kita kali ini karena insiden mihnah jelas menunjukkan bahayanya penyatuan otoritas kepercayaan dan negara sekaligus menandai runtuhnya dominasi contoh ini karena ulama bisa menegaskan swatantra mereka berdasarkan negara dengan sukses walaupun beberapa pada antara mereka harus membayar mahal. Pengalaman ini jua menegaskan pentingnya melindungi otonomi aktor-aktor warga sipil, termasuk otoritas keagamaan karena perlindungan ini merupakan hal krusial bagi suksesnya pemisahan antara Islam dan negara menggunakan tetap mengatur keterhubungan antara Islam serta politik. Agar proses perundingan antara pemimpin kepercayaan serta negara berlangsung mulus, perlu adanya dasar kelembagaan dan asal keuangan yg mendukung mereka. Dari perspektif inilah, aku akan secara singkat membahas pentingnya kiprah waqaf dalam konteks historis tersebut. 

Sejak periode awal sejarah Islam, ummat Islam yang sanggup telah berusaha buat mewakafkan tanah atau harta milik mereka yg lain buat mendukung masjid, madrasah serta apapun yg bisa berguna bagi komunitas. Alasan mereka melakukannya merupakan layanan publik yang disediakan oleh waqaf terus mengalir keuntungannya dan mungkin akan menjadi rahmat bagi wakif ketika beliau hidup mauopun sehabis meninggal. Waqaf memang sudah memainkan kiprah yg sangat besar serta relatif kompleks pada masyarakat Islam, lebih menurut pernah diperkirakan. Regulasi tentang wakaf menjadi bidang yang sangat komplek dalam hukum Islam lantaran dia berkaitan dengan hal-hal yang juga penting misalnya warisan termasuk di dalamnya kehendak waris, pernyataan waris, dan penunjukkan penerima waris, serta etika pertanggung jawaban keuangan. Para fuqaha juga memperhatikan aturan tentang wakif lantaran institusi waqaf sangat rentan dimanipulasi oleh orang-orang yang menghindari anggaran zakat serta waris. Tetapi, karena wakaf sangat krusial berdasarkan segi praksis maupun keagamaan, memiliki konsekuensi sosial serta politik dan kompleksitas teknis, beliau sebagai rentan terhadap manipulasi yg dilakukan oleh penguasa atau pejabat negara. Serta ini sanggup sebagai pertanda bahayanya penyatuan otoritas politik dan keagamaan dalam masyarakt Islam. 

Selain memiliki akibat hukum, wakaf atau donasi semacamnya yang ditujukan buat kepentingan publik atau gerombolan tertentu, pula memiliki akibat sosial dan politik. Wakaf memang sudah sebagai bagian yg krusial dalam ruang publik masyarakat Islam karena wakaf menyediakan tempat bagi penumbuhan kebiasaan-norma dan etika Islam dalam bentuk institusi pendidikan, institusi peribadatan serta penyediaan layanan sosial. "meskipun tindakan mewakafkan adalah urusan individu, namun pengguna wakaf selalu berada di ruang publik". Karena itulah, "dengan mewakafkan hak miliknya… pewakaf sudah mengekspresikan rasa keterikatanya menggunakan komunitas kaum beriman dan identifikasi dirinya menggunakan nilai-nilai yg dianut komunitas itu." 

Ulama-ulama Syafi'I mendefinisikan wakaf sebagai, "Penggunaan hasil yg didapat menurut benda hak milik buat tujuan-tujuan kebaikan dengan tetap mempertahankan wujud bendanya". Tetapi insitusi atau bagian—bagian wakaf yang tidak ditujukan buat mencari penghasilan seperti sekolah kepercayaan , madrasah, masjid, loka-tempat para sufi, serta institusi-institusi keagamaan lainnya umumnya dibiayai berdasarkan output aset wakaf yang produktif seperti tanah pertanian, apartemen atau bisnis lainnya. Sebagai balasannya, para pewakaf akan terus didoakan sang orang-orang yg memanfaatkan institusi-institusi yang didirikan pada atas properti yg mereka wakafkan baik menggunakan belajar, beribadah atau menerima santunan. Doa-doa para donatur itu umumnya dilakukan pada program publik. Sudah barang tentu, pejabat, sultan, pedagang dan pemuka rakyat berusaha buat mewakafkan harta mereka sebanyak-banyaknya untuk memperkuat bahwa kesan mereka merupakan pemimpin yang soleh di mata masyarakat. Tetapi bisa saja perilaku itu didorong sang tujuan buat menerima pahala. Wakaf sebenarnya adalah wahana bagi pewakaf buat terus diingat serta didoakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Tetapi pada samping itu, tak kalah pentingnya, wakaf juga berfungsi buat melayani masyarakat. 

Besarnya fungsi sosial serta keagamaan yang dimiliki sang wakaf jelas mempunyai implikasi politik tertentu. Wakif sanggup mengklaim kesetiaan orang-orang yg memanfaatkan wakafnya, serta sekaligus mengklaim bulat jaringan serta interaksi sosialnya. Tak heran apabila wakaf yg ditujukan buat keperluan aktivitas keagamaan seperti buat madrasah dan masjid poly bermunculan pada ketika taruhan politik sedang meninggi. Sebagai contoh, Sekolah kepercayaan Dar al-Ilmi adalah wakaf yang diberikan oleh khalifah dinasti Fatimiyah al-Hakim buat memenuhi kebutuhan kalangan sunni pada saat terjadinya kekerasan publik yang diakibatkan politik sektarian kalangan Syi'ah Fatimiyah pada Kairo. Begitupun Nizam al-Muluk, dia mewakafkan sekolah dalam ketika Baghdad sedang pada suasana nir menentu.

Akhirnya, wakaf menjadi loka bagi penguasa dan ulama untuk menegosiasikan serta memediasi hubungan antara keduanya. Penguasa tidak mampu berfungsi tanpa restu berdasarkan rakyatnya yg menginginkan mereka buat memegang teguh dan mengimplementasikan ajaran Islam seperti yang sudah dijelaskan sang para ulama. Dalam waktu yg sama, ulama dan institusi keagamaan juga nir berfungsi tanpa dukungan penguasa yang nir hanya melindungi batas-batas negara Islam serta menjaga stabilitas dan perdamaian domestik, namun juga memberikan wakaf pada institusi-institusi keagamaan serta menegakkan anggaran-anggaran wakaf. 

Namun, seperti yg sudah aku jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi para ulama lantaran para ulama memiliki kredibilitas untuk menaruh legitimasi keagamaan bagi negara. Dengan istilah lain, independensi kelembagaan serta keuangan ulama sangat bermanfaat nir hanya bagi mereka, tetapi juga bagi pengikut mereka serta negara. Wakaf menyediakan prosedur aturan dan sosial buat menjaga ekuilibrium antara swatantra dan ketergantungan ulama terhadap negara. Sebagai sarana bagi para pemimpin buat mendoakan pemberi wakaf secara publik juga privat, wakaf menjadi representasi hubungan yg tersembunyi namun kontinu antara yang berkuasa dan yg diatur. Tetapi dinamika serta peran wakaf pada satu daerah mampu tidak selaras dengan daerah lain serta berimplikasi dalam penyebaran mazhab.

Aturan tentang wakaf memberikan perhatian khusus pada posisi wakif, yang sering mempunyai hak untuk memilih dirinya sendiri atau orang pilihannya buat mengurus aset wakaf. Ia jua mempunyai hak buat mendapapatkan manfaat meskipun nir ekslusif dari output pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya merupakan konsekuensi berdasarkan prinsip bahwa wakfi permanen memiliki hak kepemilikan eksklusif terhadap aset wakaf serta mampu terus mendapatkan keuntungan menurut pengelolaan wakaf tadi. Sebagai prinsip generik, wakif memiliki kekuasaan buat memilih aturan-aturan tertentu terhadap harta yg diwakafkannya. Aturan ini telah sangat seringkali diulang-ulang dalam fatwa serta kajian tentang wakaf bahwa "nash al-waqif ka nash al-syar'I (keputusan pemberi wakaf sama kuatnya menggunakan keputusan syariat). 

Prinsip tetapnya hak kepemilikan wakif terhadap harta yg diwakafkannya dianut sang seluruh mazhab fiqih sunni kecuali sang mazhab Maliki yang menyatakan bahwa pemberi wakaf harus melepaskan hak kepemilikan atas harta yang diwakafkannya. Karakter mazhab Maliki ini menurunkan minat penganut mazhab ini buat mewakafkan hartanya sampai popularitas mazhab ini di Baghdad menurun dalam Abad Pertengahan, ad interim mazhab lainnya mengail laba pada waktu itu. Bahkan mazhab Maliki nampaknya tidak pernah mempunyai madrasah di Baghdad maupun di negeri Islam lainnya." Meski demikian, karakter ini mengakibatkan lembaga-lembaga mazhab Maliki mempunyai otonomi yg sangat tinggi. Dengan nir mengizinkan pemberi wakaf ikut campur pada urusan penggunaan wakaf (sekolah serta masjid), lembaga-lembaga mazhab Maliki hendak mengurangi kemungkinan terjadinya ekploitasi sistem terhadap institusi-institusi keagamaan buat tujuan-tujuan politik. 

Pemberi wakaf bisa saja memiliki motif tidak selaras ketika mewakafkan hartanya kepada satu atau beberapa mazhab. Salahuddin misalnya mewakafkan hartanya pada madrasah-madrasah syafi'I dan Maliki ketika hendak menaklukkan Mesir walaupun dia sendiri penganut mazhab hanafi. Nampaknya anugerah wakaf kepada mazhab Maliki bertujuan buat menenangkan penduduk lokal yg telah menderita pada bahwa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sementara mazhab syafii didirikan buat menunaikan ambisi mereka buat mengikatkan dirinya dan kekuasaannya kepada istana khalifah di Baghdad yang menganut mazhab ini. Salahuddin jua menciptakan madrasah di lokasi-lokasi yg indah yg dulunya digunakan dinasti Fatimiyah untuk mensimbolisasikan kekuasaannya, misalnya istana serta stasiun polisi. 

Tingkat swatantra wakaf kemudian memainkan peranan krusial pada menegosiasikan hubungan antara ulama dan penguasa. Lantaran ditujukan buat buat tujuan atau komunitas tertentu, wakaf boleh diberikan pada kelompok otonom yg mempunyai taraf impak serta partisipasi eksklusif dalam ruang publik. Lembaga-lembaga yg memainkan kiprah serta sosial keagamaan misalnya mengundang para sufi, membuatkan dan mempertahankan fasilitas-fasilitas peribadatan, atau mempromosikan mazhab lokal membuat para pemberi wakaf serta penerimanya penghormatan yg relatif tinggi menurut rakyat. Wakaf adalah alat penting bagi famili terkemuka untuk mengamankan kekuasaan mereka menurut otoritas penguasa, serta mempertahankan posisi mereka di tengah-tengah warga . Wakaf pula merupakan indera pendukung yang penting bila mereka hendak melindungi kepentingan rakyat dengan menentang kebijakan pemerintah." 

Namun, swatantra penuh nir bisa diraih melalui wakaf serta malah bisa dikompromikan lantaran banyak sekali faktor. Misalnya, bila pemberi wakaf merupakan pejabat terkemuka, kita nir akan menemukan resistensi terhadap kebijakan pemerintah, seperti yang mampu kita temukan berdasarkan institusi yg diwakafkan sang pedagang atau pemuka masyarakat sipil, dari institusi wakafnya. Otonomi sebuah institusi wakaf mungkin bisa menaikkan kredibilitasnya, tetapi mampu juga menurunkan tingkat ketertarikan rakyat terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang dinisbatkan kepada nama pendirinya, Ibnu Hanbal, yg sukses menolak permintaan khalifah Abbasiyah selama masa inkuisisi) dikenal enggan menerima hadiah dari institusi-institusi negara atau terlibat dalam masalah-masalahitu dengan negara. Posisi misalnya ini mungkin sanggup menciptakan satu mazhab atau seorang ulama memiliki otonomi yg lebih tinggi dan imbas yang lebih besar dalam forum-forum negara daripada mazhab atau ulama yang bersikap lebih kompromis. Namun perilaku misalnya ini nir selalu menghasilan kebijakan yang lebih plural serta toleran. Mazhab Hanbali contohnya malah cenderung menaruh imbas konservatif atau ortodoks.

Dengan demikian, madrasah-madrasah yang terdapat pada Baghdad dalam abad ke-11 merupakan wakaf berdasarkan para menteri dan sultan dinasti Saljuk yang jua "membayar honor para guru dan memberikan porto kepada para murid." Setelah itu Baghdad dikuasai oleh Dinasti Buwaihi yang penguasanya berhaluan syi'ah serta mendukung penyelengaraan ritual-ritual syi'ah di ruang publik. Sikap ini kemudian memprovokasi massa sunni pada Baghdad serta pada wilayah lainnya. Dengan kata lain, keluarnya sistem patronase dinasti Seljuk, tekanan mereka terhadap ulama-ulama Syi'ah, dan penghancuran sejumlah kuil Syi'ah memperlihatkan adanya dimensi lain dalam interaksi antara institusi negara serta kepercayaan yaitu peran sektarianisme. Pola patronase ini tidak hanya terjadi di antara 2 jenis institusi ini secara ekslusif, namun pada dalam kedua institusi ini. Jadi, patronase terjadi antara aktor-aktor negara yg mempunyai kepentingan tidak sinkron serta bersaing satu sama lain dengan institusi kepercayaan yang terdiri dari aneka macam grup yang bersaing serta bertentangan satu sama lain. Selama insiden mihnah, kalangan Syi'ah merupakan korban penguasaan Sunni yg mendapatkan laba berdasarkan sistem patronase yg berlaku saat itu.