PENGERTIAN ASET TIDAK BERWUJUD

Pengertian Aset Tidak Berwujud 
ATB adalah galat satu jenis aset yg berpotensi dimiliki oleh kementerian/forum/pemerintah daerah. Aset ini pula acapkali dihubungkan menggunakan output aktivitas entitas pada menjalankan tugas serta fungsi penelitian serta pengembangan dan sebagian diperoleh dari proses pengadaan berdasarkan luar entitas. Walaupun telah banyak ATB yg diidentifikasi dimiliki pemerintah, namun SAP belum mengatur secara memadai tentang akuntansi serta pelaporan ATB ini. Pengertian, kriteria, serta jenis-jenis ATB wajib benar-benar dipahami supaya aset ini benar-sahih dipertanggungjawabkan secara akuntabel serta transparan.

Pemerintah banyak mengeluarkan asal daya buat melakukan kegiatan-aktivitas dalam rangka memperoleh, berbagi, memelihara, serta memperkuat asal daya tak berwujud, misalnya ilmu pengetahuan, teknologi, rancangan dan implementasi suatu sistem atau proses yang baru, dan kekayaan intelektual. Berbagai entitas berupaya untuk terus melakukan riset dan pengembangan, terlebih bagi entitas yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan kegiatan riset dan penelitian, yg sebagian besar anggarannya dialokasikan buat riset dan pengembangan. Tetapi apakah seluruh hasil yg diperoleh dari kegiatan dimaksud adalah ATB. 

Secara generik, ATB didefinisikan menjadi aset non-moneter yang bisa diidentifikasi serta tidak memiliki wujud fisik. Aset non-moneter merupakan aset ini bukan merupakan kas atau setara kas atau aset yang akan diterima dalam bentuk kas yang jumlahnya niscaya atau dapat dipengaruhi. Banyak aset, misalnya aset tetap, memiliki bentuk fisik. Namun demikian, bentuk fisik tadi tidak esensial untuk memilih keberadaan aset; karenanya, paten serta copyright, contohnya, merupakan aset pemerintah jika pemerintah dapat memperoleh manfaat ekonomi pada masa depan dan pemerintah menguasai masing-masing aset tersebut.

Sebagai keliru satu unsur dari aset, ATB pula harus memenuhi kriteria aset terlebih dahulu buat bisa dipertanggungjawabkan pada laporan keuangan. Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintah paragraph 84 menyatakan bahwa “aset diakui pada waktu potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yg bisa diukur menggunakan tangguh”. Pengertian tentang potensi manfaat ekonomi masa depan sering kali menimbulkan keraguan menurut kementerian/lembaga/pemerintah wilayah buat menetapkan apakah suatu kegiatan memiliki potensi manfaat ekonomi masa depan atau tidak. 

Pengertian akan potensi manfaat ekonomi masa depan dalam definisi aset jua diuraikan dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintah paragraph 61 yaitu ”potensi aset tadi buat menaruh sumbangan, baik eksklusif juga tidak langsung, bagi aktivitas operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi pemerintah”. Lebih jauh lagi pada IPSAS # 1, Presentation of Financial Statements menambahkan “service potential” selain manfaat ekonomis dalam definisi aset. 

Potensi tersebut bisa berbentuk sesuatu yg produktif dan merupakan bagian berdasarkan aktivitas operasional pemerintah. Mungkin jua berbentuk sesuatu yang bisa diubah sebagai kas atau setara kas atau berbentuk kemampuan buat mengurangi pengeluaran kas, misalnya penurunan porto dampak penggunaan proses produksi cara lain .

Potensi manfaat ekonomi masa depan yang terwujud pada aset bisa mengalir ke dalam pemerintah dengan beberapa cara. Misalnya, aset dapat:
1. Digunakan baik sendiri juga bersama aset lain pada operasional pemerintah;
2. Dipertukarkan dengan aset lain;
3. Digunakan buat merampungkan kewajiban pemerintah; 

Dengan memperhatikan pengertian aset dan ATB diatas, perlu diperhatikan secara cermat bahwa dalam menentukan suatu aset tetap wajib memenuhi kriteria buat bisa diperlakukan menjadi ATB. Jika output penilaian atas kriteria tersebut ternyata bahwa pengeluaran tadi tidak memenuhi pengertian ATB sebagaimana dipersyaratkan dalam bagian dua.2, maka pengeluaran porto yg terjadi untuk memperoleh atau berbagi aset secara internal dimaksud tidak dapat diakui menjadi ATB serta seluruh porto yg terjadi eksklusif dibebankan menjadi porto dalam tahun terjadinya pengeluaran.

1. KRITERIA UMUM ATB
Definisi ATB mensyaratkan bahwa ATB harus memenuhi kriteria dapat diidentifikasi, dikendalikan oleh entitas, dan memiliki potensi manfaat ekonomi masa depan. Masing-masing unsur tersebut diuraikan dibawah ini.

2. Dapat Diidentifikasi
Yang dimaksud dengan kriteria dapat identifikasi adalah:
1. Dapat dipisahkan, merupakan aset ini memungkinkan untuk dipisahkan atau dibedakan secara kentara berdasarkan aset-aset yang lain pada suatu entitas. Oleh lantaran aset ini bisa dipisahkan atau dibedakan menggunakan aset yg lain, maka ATB ini bisa dijual, dipindahtangankan, diberikan lisensi, disewakan, ditukarkan, baik secara individual maupun secara beserta-sama. Namun demikian tidak berarti bahwa ATB baru diakui serta tersaji di neraca jika entitas bermaksud memindahtangankan, menyewakan, atau menaruh lisensi kepada pihak lain. Identifikasi serta pengakuan ini wajib dilakukan tanpa memperhatikan apakah entitas tersebut bermaksud melakukannya atau tidak; atau

2. Timbul berdasarkan kesepakatan yg mengikat, seperti hak kontraktual atau hak aturan lainnya, tanpa memperhatikan apakah hak tersebut dapat dipindahtangankan atau dipisahkan berdasarkan entitas atau dari hak serta kewajiban lainnya.

Kriteria bisa dipisahkan wajib digunakan secara hati-hati, mengingat pada perolehan aset pada suatu entitas kadang-kadang terjadi perolehan secara campuran. Dalam hal ATB diperoleh beserta menggunakan sekelompok aset lainnya, transaksi ini mampu juga meliputi pengalihan hak aturan yang memungkinkan entitas untuk memperoleh manfaat masa depan menurut hak tersebut. Dalam hal demikian entitas tetap wajib mengidentifikasi adanya ATB tadi. Beberapa ATB umumnya bisa dipisahkan menggunakan aset lainnya, seperti paten, hak cipta, brand dagang, serta franchise. 

Sebagai gambaran, suatu entitas membeli hardware, software, dan modul buat kegiatan eksklusif. Sepanjang perangkat lunak tersebut dapat dipisahkan dari hardware terkait dan memberikan manfaat masa depan maka aplikasi tersebut diidentifikasi sebagai ATB. Sebaliknya dalam hal software komputer ternyata nir bisa dipisahkan berdasarkan hardware yang eksklusif, tanpa adanya aplikasi tersebut hardware tidak bisa beroperasi, maka aplikasi tersebut nir dapat dipisahkan dengan hardware tadi dan tidak dapat diperlakukan menjadi ATB namun menjadi bagian tak terpisahkan menurut hardware dan diakui sebagai bagian menurut alat-alat serta mesin.

3. Pengendalian
Selain persyaratan bisa diidentifikasi sebagaimana diuraikan di muka, pengendalian adalah syarat lainnya yg harus dipenuhi. Tanpa adanya kemampuan buat mengendalikan aset maka asal daya dimaksud tidak bisa diakui sebagai aset suatu entitas.

Suatu entitas diklaim ”mengendalikan aset” bila entitas memiliki kemampuan buat memperoleh manfaat ekonomi masa depan yang timbul berdasarkan aset tadi dan bisa membatasi akses pihak lain pada memperoleh manfaat ekonomi berdasarkan aset tersebut. Kemampuan buat mengendalikan aset ini dalam umumnya didasarkan pada dokumen hukum yg absah menurut lembaga yang berwenang, tetapi demikian dokumen hukum ini bukanlah menjadi suatu prasyarat yg harus dipenuhi lantaran mungkin masih masih ada cara lain yg digunakan entitas buat mengendalikan hak tadi.

Pada suatu instansi, pemerintah mampu memperoleh manfaat ekonomi masa depan lantaran adanya pengetahuan teknis yg dimilikinya. Pengetahuan teknis ini bisa diperoleh dari riset atau pengembangan atau mungkin dari pendidikan serta pelatihan yg dilakukan. Dalam syarat demikian timbul pertanyaan, apakah entitas mempunyai kemampuan buat mengendalikan pengetahuan teknis yang diperoleh berdasarkan riset serta pengembangan tadi. Kemampuan buat mengendalikan ini harus dibuktikan menggunakan adanya hak cipta (copyrights), tanpa adanya copyright sulit bagi entitas buat mengendalikan asal daya tadi. 

4. Manfaat Ekonomi Masa Depan
Karakteristik aset secara generik adalah kemampuannya buat dapat memberikan manfaat ekonomis serta jasa potensial (potential services). Manfaat ekonomis dapat membuat genre masuk atas kas, setara kas, barang, atau jasa ke pemerintah, sedangkan jasa yg melekat pada aset dapat saja memberiksan manfaat kepada pemerintah dalam bentuk lainnya, misalnya pada menaikkan pelayanan publik menjadi salah satu tujuan primer pemerintah.

Manfaat ekonomi masa depan yg dihasilkan sang ATB pula bisa berupa pendapatan yang diperoleh menurut penjualan barang atau jasa, penghematan biaya atau efisiensi, serta output lainnya seperti pendapatan berdasarkan penyewaan, pemberian lisensi, atau manfaat lainnya yang diperoleh berdasarkan pemanfaatan ATB. Manfaat lain ini bisa berupa peningkatan kualitas layanan atau keluaran, proses pelayanan yg lebih cepat, atau penurunan jumlah tenaga yang dibutuhkan buat melaksanakan suatu tugas dan fungsi. Sebagai model, penerapan sistem on-line untuk perpanjangan Surat Ijin Mengemudi (SIM Keliling) meningkatkan kecepatan pemrosesan yg selanjutnya mempertinggi pelayanan pemerintah kepada masyarakat. 

JENIS-JENIS ASET TIDAK BERWUJUD
ATB terus berkembang menurut waktu ke saat. Di masa kemudian ATB dalam umumnya hanya dikenal di dunia komersial, seperti adanya goodwill yang muncul menurut penggabungan unit usaha, hak paten, serta hak cipta. Namun selanjutnya ATB ini terus berkembang, termasuk yg dihasilkan sang instansi pemerintah.

ATB yang dimiliki serta/atau dikuasai pemerintah dapat dibedakan menurut jenis sumber daya, cara perolehan, dan masa manfaat.

1. Jenis Sumber Daya
Berdasarkan jenis sumber daya, ATB pemerintah bisa berupa:
1. Software computer, yg bisa disimpan dalam banyak sekali media penyimpanan seperti compact disk, disket, pita, serta media penyimpanan lainnya;

Software computer yang masuk pada kategori ATB merupakan perangkat lunak yg bukan adalah bagian tak terpisahkan dari hardware komputer eksklusif. Jadi perangkat lunak ini bisa dipakai di komputer lain. Oleh karena itu aplikasi komputer sepanjang memenuhi definisi dan kriteria pengakuan adalah ATB.

2. Lisensi dan franchise
Adalah izin yang diberikan pemilik Hak Paten atau Hak Cipta yg diberikan pada pihak lain menurut perjanjian pemberian hak buat menikmati manfaat ekonomi berdasarkan suatu Hak Kekayaan Intelektual yg diberi proteksi pada jangka ketika serta kondisi tertentu.

3. Hak Paten, Hak Cipta.
Hak-hak ini dalam dasarnya diperoleh karena adanya kepemilikan kekayaan intelektual atau atas suatu pengetahuan teknis atau suatu karya yang bisa membuat manfaat bagi entitas. Di samping itu dengan adanya hak ini bisa mengendalikan pemanfaatan aset tersebut serta membatasi pihak lain yg nir berhak buat memanfaatkannya. Oleh karenanya Hak Paten serta Hak Cipta sepanjang memenuhi definisi serta kriteria pengakuan adalah ATB.

4. Hasil Kajian/Pengembangan Yang Memberikan Manfaat Jangka Panjang
Hasil kajian/pengembangan yang menaruh manfaat jangka panjang merupakan suatu kajian atau pengembangan yang menaruh manfaat irit serta/atau sosial dimasa yang akan datang yang bisa diidentifikasi menjadi aset. Apabila output kajian nir dapat diidentifikasi serta nir memberikan manfaat irit serta/atau sosial maka tidak bisa diakui menjadi ATB.

5. ATB menurut karya seni yang mempunyai nilai sejarah/budaya 
Film, contohnya, pada dasarnya merupakan rekaman atas suatu peristiwa yang mempunyai manfaat ataupun nilai bagi pemerintah ataupun rakyat. Hal ini berarti film tadi mengandung nilai eksklusif yg bisa memiliki manfaat di masa depan bagi pemerintah. Film/Karya Seni/Budaya umumnya merupakan heritage ATB.

6. ATB Dalam Pengerjaan
Suatu aktivitas perolehan ATB pada pemerintahan, khususnya yang diperoleh secara internal, sebelum terselesaikan dikerjakan serta menjadi ATB, belum memenuhi galat satu kriteria pengakuan aset yaitu digunakan buat operasional pemerintah. Tetapi pada hal ini misalnya juga aset tetap, aset ini nantinya juga diniatkan buat dipakai dalam pelaksanaan operasional pemerintahan, sebagai akibatnya dapat diakui sebagai bagian berdasarkan ATB. 

2. Cara Perolehan
Berdasarkan cara perolehan, ATB dapat berasal menurut:
1. Pembelian
Pembelian ATB mampu dilakukan secara terpisah (individual) juga secara gabungan. Hal ini akan berpengaruh pada identifikasi ATB serta pengukuran porto perolehan.

2. Pengembangan secara internal
ATB dapat diperoleh melalui kegiatan pengembangan yang dilakukan secara internal sang suatu entitas. Perolehan menggunakan cara demikian akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan mengenai identifikasi kegiatan yang masuk lingkup riset dan aktivitas-aktivitas yang masuk lingkup pengembangan yg memenuhi definisi dan kriteria pengakuan ATB akan dikapitalisasi menjadi harga perolehan ATB.

3. Pertukaran 
ATB dapat diperoleh melalui pertukaran menggunakan aset yang dimiliki oleh suatu entitas lain.

4. Kerjasama
Pengembangan suatu ATB yang memenuhi definisi dan kriteria pengakuan bisa dilakukan melalui kerja sama sang dua entitas atau lebih. Hak serta kewajiban masing-masing entitas harus dituangkan dalam suatu perjanjian, termasuk hak kepemilikan atas ATB yg dihasilkan. Entitas yg berhak sesuai ketentuan yg akan mengakui kepemilikan ATB yang dihasilkan, ad interim entitas yg lain relatif mengungkapkan hak dan kewajiban yg menjadi tangungjawabnya atas ATB tersebut.

5. Donasi/hibah
ATB, yg memenuhi definisi dan kriteria pengakuan, dapat dari menurut donasi atau hibah, misalnya ada suatu perusahaan software yang memberikan software aplikasinya kepada suatu instansi pemerintah untuk digunakan tanpa adanya imbalan yang wajib diberikan.

6. Warisan Budaya/Sejarah (intangible heritage assets)
Pemerintah dapat memegang banyak ATB yg dari menurut warisan sejarah, budaya, atau lingkungan masa lalu. Aset ini pada umumnya dipegang sang instansi pemerintah dengan maksud nir semata-mata buat menghasilkan pendapatan, tetapi ada alasan-alasan lain kenapa aset ini dipegang sang pemerintah, misalnya karena mempunyai nilai sejarah serta buat mencegah penyalahgunaan hak atas aset ini oleh pihak yg tidak bertanggung jawab. Suatu entitas harus mengidentifikasi serta mengakui aset warisan ini sebagai ATB jika definisi serta kriteria pengakuan atas ATB telah terpenuhi. 

3. Masa Manfaat
Berdasarkan masa manfaat, ATB bisa dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. ATB menggunakan umur manfaat terbatas (finite life)
Umur manfaat ATB pada gerombolan ini dapat dibatasi berdasarkan umur atau banyaknya unit produk yang didapatkan, yg berdasarkan dalam asa entitas buat menggunakan aset tadi, atau faktor aturan atau faktor irit mana yang lebih pendek.

2. ATB dengan umur manfaat yang tidak terbatas (indefinite life)
Dari aneka macam faktor relevan yg terdapat atas ATB, ATB eksklusif diyakini nir memiliki batas-batas periode untuk menaruh manfaat pada entitas. Oleh karenanya, atas ATB yang memiliki umur manfaat yg tak terbatas, harus dilakukan reviu secara terencana untuk melihat kemampuan aset tersebut pada memberikan manfaat.

PENGERTIAN ASET TIDAK BERWUJUD

Pengertian Aset Tidak Berwujud 
ATB adalah keliru satu jenis aset yg berpotensi dimiliki sang kementerian/forum/pemerintah daerah. Aset ini juga acapkali dihubungkan dengan output kegiatan entitas pada menjalankan tugas dan fungsi penelitian dan pengembangan serta sebagian diperoleh menurut proses pengadaan dari luar entitas. Walaupun sudah banyak ATB yg diidentifikasi dimiliki pemerintah, tetapi SAP belum mengatur secara memadai mengenai akuntansi serta pelaporan ATB ini. Pengertian, kriteria, serta jenis-jenis ATB wajib sahih-sahih dipahami agar aset ini benar-sahih dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan transparan.

Pemerintah poly mengeluarkan sumber daya buat melakukan kegiatan-aktivitas pada rangka memperoleh, membuatkan, memelihara, serta memperkuat sumber daya tak berwujud, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, rancangan dan implementasi suatu sistem atau proses yg baru, dan kekayaan intelektual. Berbagai entitas berupaya buat terus melakukan riset dan pengembangan, terlebih bagi entitas yg mempunyai tugas serta fungsi melakukan kegiatan riset serta penelitian, yang sebagian besar anggarannya dialokasikan buat riset dan pengembangan. Namun apakah semua hasil yang diperoleh menurut kegiatan dimaksud merupakan ATB. 

Secara generik, ATB didefinisikan sebagai aset non-moneter yg dapat diidentifikasi serta tidak mempunyai wujud fisik. Aset non-moneter adalah aset ini bukan adalah kas atau setara kas atau aset yang akan diterima dalam bentuk kas yg jumlahnya pasti atau bisa ditentukan. Banyak aset, misalnya aset tetap, memiliki bentuk fisik. Namun demikian, bentuk fisik tadi tidak esensial buat menentukan eksistensi aset; karenanya, paten dan copyright, contohnya, merupakan aset pemerintah bila pemerintah bisa memperoleh manfaat ekonomi pada masa depan serta pemerintah menguasai masing-masing aset tersebut.

Sebagai salah satu unsur dari aset, ATB juga harus memenuhi kriteria aset terlebih dahulu buat bisa dipertanggungjawabkan dalam laporan keuangan. Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintah paragraph 84 menyatakan bahwa “aset diakui dalam ketika potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh pemerintah serta mempunyai nilai atau biaya yang bisa diukur dengan andal”. Pengertian tentang potensi manfaat ekonomi masa depan tak jarang kali menimbulkan keraguan menurut kementerian/lembaga/pemerintah daerah buat tetapkan apakah suatu kegiatan mempunyai potensi manfaat ekonomi masa depan atau tidak. 

Pengertian akan potensi manfaat ekonomi masa depan dalam definisi aset juga diuraikan dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintah paragraph 61 yaitu ”potensi aset tadi buat menaruh sumbangan, baik eksklusif maupun nir langsung, bagi kegiatan operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi pemerintah”. Lebih jauh lagi pada IPSAS # 1, Presentation of Financial Statements menambahkan “service potential” selain manfaat irit pada definisi aset. 

Potensi tadi dapat berbentuk sesuatu yang produktif serta merupakan bagian dari kegiatan operasional pemerintah. Mungkin pula berbentuk sesuatu yg bisa diubah menjadi kas atau setara kas atau berbentuk kemampuan buat mengurangi pengeluaran kas, seperti penurunan porto dampak penggunaan proses produksi alternatif.

Potensi manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset dapat mengalir ke dalam pemerintah menggunakan beberapa cara. Misalnya, aset bisa:
1. Dipakai baik sendiri maupun bersama aset lain dalam operasional pemerintah;
2. Dipertukarkan dengan aset lain;
3. Digunakan buat menyelesaikan kewajiban pemerintah; 

Dengan memperhatikan pengertian aset dan ATB diatas, perlu diperhatikan secara cermat bahwa pada memilih suatu aset tetap harus memenuhi kriteria buat dapat diperlakukan menjadi ATB. Jika output penilaian atas kriteria tadi ternyata bahwa pengeluaran tersebut nir memenuhi pengertian ATB sebagaimana dipersyaratkan pada bagian 2.2, maka pengeluaran porto yang terjadi buat memperoleh atau mengembangkan aset secara internal dimaksud tidak bisa diakui menjadi ATB serta seluruh porto yang terjadi langsung dibebankan sebagai porto pada tahun terjadinya pengeluaran.

1. KRITERIA UMUM ATB
Definisi ATB mensyaratkan bahwa ATB wajib memenuhi kriteria dapat diidentifikasi, dikendalikan oleh entitas, serta mempunyai potensi manfaat ekonomi masa depan. Masing-masing unsur tersebut diuraikan dibawah ini.

2. Dapat Diidentifikasi
Yang dimaksud menggunakan kriteria dapat identifikasi merupakan:
1. Dapat dipisahkan, adalah aset ini memungkinkan buat dipisahkan atau dibedakan secara kentara berdasarkan aset-aset yg lain pada suatu entitas. Oleh lantaran aset ini bisa dipisahkan atau dibedakan dengan aset yang lain, maka ATB ini dapat dijual, dipindahtangankan, diberikan lisensi, disewakan, ditukarkan, baik secara individual maupun secara bersama-sama. Tetapi demikian nir berarti bahwa ATB baru diakui serta tersaji di neraca bila entitas bermaksud memindahtangankan, menyewakan, atau menaruh lisensi pada pihak lain. Identifikasi dan pengakuan ini wajib dilakukan tanpa memperhatikan apakah entitas tersebut bermaksud melakukannya atau tidak; atau

2. Timbul berdasarkan kesepakatan yang mengikat, misalnya hak kontraktual atau hak aturan lainnya, tanpa memperhatikan apakah hak tersebut bisa dipindahtangankan atau dipisahkan berdasarkan entitas atau berdasarkan hak serta kewajiban lainnya.

Kriteria dapat dipisahkan wajib digunakan secara hati-hati, mengingat dalam perolehan aset dalam suatu entitas kadang-kadang terjadi perolehan secara gabungan. Dalam hal ATB diperoleh bersama menggunakan sekelompok aset lainnya, transaksi ini mampu juga mencakup pengalihan hak aturan yang memungkinkan entitas buat memperoleh manfaat masa depan dari hak tersebut. Dalam hal demikian entitas tetap harus mengidentifikasi adanya ATB tadi. Beberapa ATB umumnya dapat dipisahkan dengan aset lainnya, misalnya paten, hak cipta, brand dagang, dan franchise. 

Sebagai gambaran, suatu entitas membeli hardware, software, serta modul buat kegiatan eksklusif. Sepanjang aplikasi tadi dapat dipisahkan dari hardware terkait dan menaruh manfaat masa depan maka perangkat lunak tersebut diidentifikasi menjadi ATB. Sebaliknya pada hal aplikasi komputer ternyata tidak bisa dipisahkan berdasarkan hardware yg eksklusif, tanpa adanya software tersebut hardware nir bisa beroperasi, maka perangkat lunak tersebut tidak dapat dipisahkan menggunakan hardware tersebut serta nir bisa diperlakukan menjadi ATB tetapi menjadi bagian tidak terpisahkan berdasarkan hardware serta diakui sebagai bagian berdasarkan peralatan dan mesin.

3. Pengendalian
Selain persyaratan dapat diidentifikasi sebagaimana diuraikan pada muka, pengendalian merupakan syarat lainnya yang wajib dipenuhi. Tanpa adanya kemampuan buat mengendalikan aset maka asal daya dimaksud nir dapat diakui sebagai aset suatu entitas.

Suatu entitas disebut ”mengendalikan aset” bila entitas memiliki kemampuan buat memperoleh manfaat ekonomi masa depan yang timbul dari aset tersebut serta dapat membatasi akses pihak lain pada memperoleh manfaat ekonomi berdasarkan aset tadi. Kemampuan buat mengendalikan aset ini pada umumnya didasarkan dalam dokumen hukum yg absah dari lembaga yang berwenang, namun demikian dokumen aturan ini bukanlah menjadi suatu prasyarat yg wajib dipenuhi karena mungkin masih terdapat alternatif yg digunakan entitas buat mengendalikan hak tadi.

Pada suatu instansi, pemerintah sanggup memperoleh manfaat ekonomi masa depan karena adanya pengetahuan teknis yg dimilikinya. Pengetahuan teknis ini bisa diperoleh dari riset atau pengembangan atau mungkin berdasarkan pendidikan serta training yg dilakukan. Dalam kondisi demikian timbul pertanyaan, apakah entitas mempunyai kemampuan buat mengendalikan pengetahuan teknis yang diperoleh dari riset serta pengembangan tersebut. Kemampuan buat mengendalikan ini harus dibuktikan dengan adanya hak cipta (copyrights), tanpa adanya hak cipta sulit bagi entitas buat mengendalikan asal daya tersebut. 

4. Manfaat Ekonomi Masa Depan
Karakteristik aset secara umum adalah kemampuannya buat dapat memberikan manfaat hemat dan jasa potensial (potential services). Manfaat hemat dapat membentuk genre masuk atas kas, setara kas, barang, atau jasa ke pemerintah, sedangkan jasa yg inheren dalam aset dapat saja memberiksan manfaat kepada pemerintah pada bentuk lainnya, misalnya pada menaikkan pelayanan publik menjadi salah satu tujuan primer pemerintah.

Manfaat ekonomi masa depan yg didapatkan oleh ATB jua dapat berupa pendapatan yg diperoleh berdasarkan penjualan barang atau jasa, penghematan porto atau efisiensi, dan hasil lainnya misalnya pendapatan menurut penyewaan, pemberian lisensi, atau manfaat lainnya yg diperoleh berdasarkan pemanfaatan ATB. Manfaat lain ini sanggup berupa peningkatan kualitas layanan atau keluaran, proses pelayanan yang lebih cepat, atau penurunan jumlah tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas serta fungsi. Sebagai contoh, penerapan sistem on-line untuk perpanjangan Surat Ijin Mengemudi (SIM Keliling) mempercepat pemrosesan yang selanjutnya mempertinggi pelayanan pemerintah kepada rakyat. 

JENIS-JENIS ASET TIDAK BERWUJUD
ATB terus berkembang menurut saat ke ketika. Di masa lalu ATB pada umumnya hanya dikenal pada dunia komersial, misalnya adanya goodwill yang muncul menurut penggabungan unit usaha, hak paten, dan hak cipta. Tetapi selanjutnya ATB ini terus berkembang, termasuk yang didapatkan sang instansi pemerintah.

ATB yang dimiliki dan/atau dikuasai pemerintah dapat dibedakan dari jenis asal daya, cara perolehan, dan masa manfaat.

1. Jenis Sumber Daya
Berdasarkan jenis asal daya, ATB pemerintah dapat berupa:
1. Software computer, yang bisa disimpan dalam banyak sekali media penyimpanan seperti compact disk, disket, pita, serta media penyimpanan lainnya;

Software computer yang masuk pada kategori ATB merupakan software yg bukan adalah bagian tak terpisahkan dari hardware personal komputer eksklusif. Jadi software ini bisa dipakai di komputer lain. Oleh karenanya perangkat lunak personal komputer sepanjang memenuhi definisi serta kriteria pengakuan merupakan ATB.

2. Lisensi serta franchise
Adalah biar yang diberikan pemilik Hak Paten atau Hak Cipta yang diberikan kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak buat menikmati manfaat ekonomi dari suatu Hak Kekayaan Intelektual yg diberi proteksi dalam jangka saat serta syarat eksklusif.

3. Hak Paten, Hak Cipta.
Hak-hak ini pada dasarnya diperoleh lantaran adanya kepemilikan kekayaan intelektual atau atas suatu pengetahuan teknis atau suatu karya yg bisa menghasilkan manfaat bagi entitas. Di samping itu dengan adanya hak ini dapat mengendalikan pemanfaatan aset tadi serta membatasi pihak lain yang tidak berhak buat memanfaatkannya. Oleh karenanya Hak Paten serta Hak Cipta sepanjang memenuhi definisi serta kriteria pengakuan adalah ATB.

4. Hasil Kajian/Pengembangan Yang Memberikan Manfaat Jangka Panjang
Hasil kajian/pengembangan yg menaruh manfaat jangka panjang merupakan suatu kajian atau pengembangan yang memberikan manfaat hemat dan/atau sosial dimasa yang akan datang yang dapat diidentifikasi menjadi aset. Jika output kajian nir dapat diidentifikasi dan nir menaruh manfaat ekonomis dan/atau sosial maka tidak bisa diakui menjadi ATB.

5. ATB berdasarkan karya seni yang mempunyai nilai sejarah/budaya 
Film, misalnya, pada dasarnya merupakan rekaman atas suatu insiden yang mempunyai manfaat ataupun nilai bagi pemerintah ataupun rakyat. Hal ini berarti film tadi mengandung nilai tertentu yang bisa memiliki manfaat di masa depan bagi pemerintah. Film/Karya Seni/Budaya umumnya merupakan heritage ATB.

6. ATB Dalam Pengerjaan
Suatu kegiatan perolehan ATB pada pemerintahan, khususnya yang diperoleh secara internal, sebelum terselesaikan dikerjakan serta sebagai ATB, belum memenuhi galat satu kriteria pengakuan aset yaitu digunakan buat operasional pemerintah. Tetapi dalam hal ini seperti juga aset permanen, aset ini nantinya jua diniatkan untuk digunakan pada pelaksanaan operasional pemerintahan, sebagai akibatnya dapat diakui sebagai bagian menurut ATB. 

2. Cara Perolehan
Berdasarkan cara perolehan, ATB bisa asal menurut:
1. Pembelian
Pembelian ATB sanggup dilakukan secara terpisah (individual) juga secara gabungan. Hal ini akan berpengaruh pada identifikasi ATB serta pengukuran biaya perolehan.

2. Pengembangan secara internal
ATB bisa diperoleh melalui aktivitas pengembangan yang dilakukan secara internal oleh suatu entitas. Perolehan dengan cara demikian akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan tentang identifikasi aktivitas yang masuk lingkup riset serta kegiatan-kegiatan yg masuk lingkup pengembangan yg memenuhi definisi dan kriteria pengakuan ATB akan dikapitalisasi sebagai harga perolehan ATB.

3. Pertukaran 
ATB bisa diperoleh melalui pertukaran menggunakan aset yang dimiliki sang suatu entitas lain.

4. Kerjasama
Pengembangan suatu ATB yg memenuhi definisi dan kriteria pengakuan dapat dilakukan melalui kerja sama oleh 2 entitas atau lebih. Hak dan kewajiban masing-masing entitas wajib dituangkan pada suatu perjanjian, termasuk hak kepemilikan atas ATB yg didapatkan. Entitas yang berhak sesuai ketentuan yang akan mengakui kepemilikan ATB yang dihasilkan, sementara entitas yang lain cukup menyampaikan hak serta kewajiban yang menjadi tangungjawabnya atas ATB tadi.

5. Donasi/hibah
ATB, yg memenuhi definisi serta kriteria pengakuan, dapat asal menurut bantuan atau bantuan gratis, misalnya terdapat suatu perusahaan software yang memberikan software aplikasinya kepada suatu instansi pemerintah buat digunakan tanpa adanya imbalan yg harus diberikan.

6. Warisan Budaya/Sejarah (intangible heritage assets)
Pemerintah dapat memegang banyak ATB yang berasal menurut warisan sejarah, budaya, atau lingkungan masa kemudian. Aset ini pada umumnya dipegang oleh instansi pemerintah dengan maksud nir semata-mata buat membentuk pendapatan, namun ada alasan-alasan lain kenapa aset ini dipegang oleh pemerintah, misalnya lantaran mempunyai nilai sejarah dan buat mencegah penyalahgunaan hak atas aset ini sang pihak yang nir bertanggung jawab. Suatu entitas harus mengidentifikasi dan mengakui aset warisan ini sebagai ATB jika definisi serta kriteria pengakuan atas ATB sudah terpenuhi. 

3. Masa Manfaat
Berdasarkan masa manfaat, ATB bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. ATB menggunakan umur manfaat terbatas (finite life)
Umur manfaat ATB pada grup ini dapat dibatasi menurut umur atau banyaknya unit produk yang didapatkan, yg didasarkan pada asa entitas buat memakai aset tadi, atau faktor aturan atau faktor irit mana yang lebih pendek.

2. ATB dengan umur manfaat yg tak terbatas (indefinite life)
Dari banyak sekali faktor relevan yang terdapat atas ATB, ATB tertentu diyakini nir mempunyai batas-batas periode buat memberikan manfaat kepada entitas. Oleh karena itu, atas ATB yang memiliki umur manfaat yg tak terbatas, harus dilakukan reviu secara terencana untuk melihat kemampuan aset tersebut dalam menaruh manfaat.

BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL KUNCI KESUKSESAN KINERJA MANAJERIAL DAN KEUANGAN

Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan
Tulisan pada artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar 3 konstruk krusial pada teori organisasi. Ketiga konstruk tadi terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional serta kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan penjelasan terperinci setiap konstruk dalam banyak sekali perspektif. Langkah berikutnya adalah melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk sebagai akibatnya tersusun peta awal menurut hubungan antar variabel tersebut.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas pada aneka macam setting sehingga istilah budaya pada suatu perusahaan atau organisasi pernah sebagai suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan jua di kalangan akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional mendapat “tempat” krusial pada khasanah akademis, khususnya teori organisasi seperti halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” adalah suatu konstruk, yg adalah abstraksi berdasarkan fenomena yg bisa diamati berdasarkan poly dimensi. Sehingga poly pakar ilmu-ilmu sosial dan manajemen belum memiliki “communal opinio” tentang definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tadi dari beragam perspektif serta dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan pola keyakinan serta nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tadi menaruh arti tersendiri dan menjadi dasar anggaran berperilaku dalam organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu pola menurut asumsi-perkiraan dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu grup tertentu menggunakan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi kasus-masalah yg muncul dampak adaptasi eksternal serta integrasi internal yang telah berjalan dengan cukup baik, sebagai akibatnya perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat tahu, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan kasus-perkara tadi. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada dalam 3 tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada taraf artifacts, budaya organisasional memiliki karakteristik bahwa struktur dan proses organisasional bisa terlihat. Pada tingkat berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar  Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada taraf ini organisasi serta anggotanya membutuhkan tuntunan taktik (strategies), tujuan (goals) dan filosofi menurut pemimpin organisasi buat bertindak serta berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara sahih serta cara yang tepat.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi dan Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat perkiraan-asumsi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai serta persepsi-persepsi yg dimiliki para anggota grup dalam suatu organisasi yg membentuk dan menghipnotis perilaku serta perilaku kelompok tersebut. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu cognitive framework yang meliputi perilaku, nilai-nilai, norma perilaku dan asa-harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan menjadi perekat sosial (social glue) yg mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional adalah norma-kebiasaan dan nilai-nilai yg mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara mendasar dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi saat yang panjang (holistic), dua) ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), tiga) herbi sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, 4) didapatkan dan dipertahankan sang grup-kelompok yang secara beserta-sama menciptakan organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) sukar berubah (hard to change)


Smircich (1983) memberitahuakn empat fungsi krusial budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional pada para anggota organisasi., 2) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) menaikkan stabilitas sistem sosial, dan 4) membangun konduite menggunakan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan juga sebagai “ruh” organisasi lantaran di sana bersemayam filosofi, misi dan visi organisasi yang akan sebagai kekuatan krusial buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan misalnya pula konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg majemuk yg berimplikasi dalam kesulitan pada pemahaman konsep dan metoda. Hal tersebut disebabkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi menurut konsep keefektifan, kriteria yang dipakai pada pengukuran, taraf analisis yg appropriate dan grup kegiatan organisasional mana yang mencerminkan sentra perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tersebut tidak menciptakan konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron dan Whetten (1983), terdapat tiga alasan mencakup teoritis, empiris serta mudah. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak dalam sentra seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi menjadi variabel penting pada aktivitas riset serta konsep penting dalam penafsiran fenomena organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat membuat judgements mengenai kinerja (performance) berbagai organisasi. Tetapi demikian, paling tidak terdapat dua pandangan yg paling poly digunakan dalam mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya dengan konsekuensi-konsekuensi menurut tindakan-tindakan pemimpin tadi bagi para pengikutnya serta para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya dengan melihat aneka macam jenis output yg telah digunakan, termasuk pada dalamnya kinerja serta pertumbuhan kelompok atau organisasi berdasarkan pemimpin tersebut, kesediaannya buat menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap sasaran-sasaran kelompok, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut serta kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi di pada organisasi. Beberapa contoh keefektifan organisasional yang berkembang dalam khasanah akademik dapat dipandang pada Tabel 1.

Tabel  Model-contoh Keefektifan Organisasional
Model

Definisi

Kapan Bermanfaat?

Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka ketika serta terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan
Ada kaitan kentara antara input dan kinerja
Model Proses Internal
Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan jelas antara berbagai proses organisasional serta kinerja
Multiple Constituency Model

Semua pihak terkait terpuaskan
Pihak-pihak terkait mempunyai imbas kuat terhadap organisasi
Competing Values Model

Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait pada hal empat kuadran yg berbeda
Organisasi nir kentara kriterianya atau tak jarang berubah kriteria
Model Legitimasi
Kelangsungan hayati terjamin menjadi hasil aplikasi aktivitas legitimate
Kelangsungan hidup organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak memiliki kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan nir kentara atau berbagai taktik pemugaran diharapkan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yg mengakibatkan kurangnya pengembangan konsepsual mengenai keefektifan adalah kesulitan pada mengintegrasikan berbagai konsepsualisasi organisasi yg tidak sinkron. Oleh karenanya setiap upaya pengembangan konsep keefektifan wajib dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yg sebagai dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional dengan Keefektifan Organisasional
Tujuan seseorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian banyak persoalan organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal maupun eksternal yg seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian menampakan kegagalan organisasi lebih acapkali ditimbulkan sang pertarungan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Konflik tersebut mendorong Peters serta Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional buat menaikkan keefektifan serta kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut dapat sebagai kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian dan kajian manajemen organisasi banyak para pakar sudah meyakini keeratan interaksi antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sebagai akibatnya hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) menerangkan dukungan penting bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan memiliki pengaruh terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama dalam perusahaan yang memiliki budaya yang sinkron dengan strategi serta dapat mempertinggi komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) berkata bahwa peningkatan kinerja organisasional jua ditentukan oleh aktiva tidak berwujud, diantaranya: budaya organisasional, hubungan menggunakan pelanggan (customer elationship) dan citra perusahaan (brand equity).

Pandangan tersebut sejalan dengan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini sebagai galat satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yg disampaikan pada output studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan menurut 22 jenis industri pada Amerika Serikat, Kotter dan Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai impak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan buat jangka panjang. Secara lengkap empat kiprah primer budaya organisasional berhasil dieksplorasi berdasarkan penelitian tersebut, mencakup: 1) mempunyai imbas yg signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) sebagai faktor yg lebih memilih sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, tiga) bisa mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang bila pada pada perussahaan terdiri menurut orang-orang yg layak serta cerdas, dan 4) dibuat buat menaikkan kinerja perusahaan.

Demikian juga output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yg melakukan merger dalam dekade 1980-an yang menunjukkan bahwa merger sering mengalami kegagalan karena nir kompatibel menggunakan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, cita-cita berhenti serta turn over misalnya yg diperoleh menurut sejumlah hasil riset realitas Kreitner serta Knicky (1995).

Pandangan pada atas didukung pula oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody serta Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).

Dalam perkara pada Indonesia, studi tentang dampak budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial serta kinerja ekonomi organisasi sudah poly dilakukan. Misalnya studi yg dilakukan oleh Supomo serta Indriantoro (1998) yg meneliti 79 manajer berdasarkan berbagai departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yang menemukan bukti empiris adanya imbas positif budaya organisasional yang berorientasi pada orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) mengungkapkan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh serta berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian pada atas menerangkan bahwa budaya organisasional mempunyai kiprah yang sangat strategis buat mendorong serta meningkatkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk pada dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek juga jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan penting buat menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan serta mengelola asal daya menjadi kekuatan internal pada memanfaatkan peluang (opportunity) dan mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan pula sebagai subyek yg senantiasa menarik serta diperbincangkan bagi banyak kalangan yang lalu berakibat jua pada pendefinisian yang beragam serta kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yg dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu serta aspek berdasarkan fenomena perhatian mereka yang paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite berdasarkan seorang individu yang memimpin kegiatan-kegiatan suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai beserta (shared goal). Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961) beropini bahwa kepemimpinan adalah efek antar langsung yg dijalankan dalam suatu situasi eksklusif serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain berkata bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan serta hubungan (Stogdill, 1974). Rauch serta Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan sebagai proses menghipnotis kegiatan-aktivitas sebuah grup yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) beropini bahwa para pemimpin merupakan mereka yg secara konsisten memberi donasi yg efektif terhadap orde sosial serta yg dibutuhkan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap usaha kolektif dan yang menyebabkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan buat mencapai target. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman tentang kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi mengenai kepemimpinan sebesar jumlah orang yg sudah mencoba mendefinisikannya. Secara garis akbar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses impak sosial (pengaruh yang sengaja dijalankan sang seorang terhadap orang lain buat menstruktur kegiatan-kegiatan dan hubungan-interaksi pada dalam sebuah gerombolan atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi metoda berdasarkan peneliti dan konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mempelajari perspektif-perspektif pada studi kepemimpinan.
1. Pendekatan dari ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan dalam atribut-atribut pribadi para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yang nir dipunyai orang lain.
2. Pendekatan berdasarkan konduite, terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah penelitian mengenai sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan waktu mereka, dan mencoba menjelaskan isi aktivitas-kegiatan manajer dengan memakai kategori mengenai isi misalnya kiprah, fungsi dan tanggung jawab manajerial. Berikutnya adalah penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan perilaku pemimpin yang efektif dan tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-imbas (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menyebutkan keefektifan kepemimpinan pada kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan digunakan. Kekuasaan tersebut dilihat sebagai hal penting bukan saja buat menghipnotis bawahan, tetapi pula mitra sejawat, atasan juga orang yang berada pada luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mempengaruhi studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, menaruh penekanan kepada pembagian kekuasaan (power sharing) serta pemberian kewenangan pada para pengikut. Studi ini pula berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik dan transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin eksklusif bersedia melakukan bisnis yg luar biasa dan pengorbanan eksklusif buat mencapai tujuan serta misi organisasi/ gerombolan .
7. Kepemimpinan pada grup pengambil keputusan, menyebutkan bagaimana kontribusi kepemimpinan di pada gerombolan pengambil keputusan.

Hubungan Kepemimpinan Dengan Budaya Dan Kinerja Organisasional 
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya 
Hubungan kepemimpinan menghipnotis budaya dan kinerja organisasional telah relatif poly ditelaah oleh para pakar organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformasional dipercaya paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan poly jajak tentang bagaimana para pemimpin membarui budaya serta struktur organisasi agar lebih konsisten dengan taktik-taktik manajemen buat mencapai target organisasional. Hal tersebut meliputi proses menciptakan komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi agama kepada para pengikut buat mencapai sasaran tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional menjadi sebuah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling mempertinggi diri ke tingkat moralitas serta motivasi yg lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) bisa diperlihatkan sang siapa saja pada organisasi pada jenis posisi apa saja. 

Pada sisi lain Burns membedakan menggunakan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yg merupakan bentuk kepemimpinan terhadap bawahan dengan memilih dalam kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai dalam konsep ini bersandar dalam nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi tiga dimensi yang memformulasikan teori kepemimpinan transformasional meliputi: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) serta perhatian yang diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menyebabkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tadi. Stimulasi intelektual adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin menaikkan kesadaran terhadap kasus-perkara serta mensugesti para pengikut buat memandang masalah-masalah berdasarkan sebuah perspektif yg baru. Perhatian yg diindividualisasi meliputi aktivitas: memberi dukungan, membesarkan hati, serta memberi pengalaman-pengalaman mengenai pengembangan pada para pengikut. Satu hal baru yang dikemukakan Bass serta Avioli (1990) dengan menambahkan konduite transformasional lainnya yang diklaim ilham (atau “motivasi inspirasional”), yang didefinisikan menjadi sejauh mana seseorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yg menarik, memakai simbol-simbol buat buat memfokuskan bisnis-usaha bawahan, serta memodelkan konduite-perilaku yg sinkron. Perilaku-konduite kepemimpinan transformasional saling bekerjasama buat menghipnotis perubahan-perubahan dalam para pengikut, dan pengaruh-impak yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) juga memandang kepemimpinan transaksional menjadi sebuah pertukaran imbalan-imbalan buat menerima kepatuhan. Beberapa komponen penting di dalamnya meliputi konduite transaksional (diklaim konduite “contingent reward”) mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yg diminta buat memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan bonus dan contingent rewards buat menghipnotis motivasi. Komponen selanjutnya merupakan “active management by exception” termasuk pemantauan berdasarkan para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga dibubuhi oleh Bass, et. Al (1990) merupakan “passive management by exception” yg meliputi penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya menjadi tanggapan terhadap defleksi yg konkret dari standar-baku kinerja yg dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional menjadi proses yang berbeda, namun tidak saling tertentu, serta dari Bass pemimpin yang sama dapat menggunakan ke 2 jenis kepemimpinan tadi pada saat-saat dan situasi yg tidak sinkron.

Bagaimana interaksi kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua contoh kepemimpinan ini menjadi kenyataan yg sering dibahas pada organisasi. Tetapi demikian poly pakar mengungkapkan karisma hanya bagian berdasarkan kepemimpinan transformasional, sebagai akibatnya karisma nir cukup pada proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yang membedakan kepemimpinan karismatik menggunakan kepemimpinan transformasional merupakan bahwa kepemimpinan karismatik mencoba buat membuat para pengikutnya permanen lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan dalam upaya menanamkan kesetiaan eksklusif berdasarkan pada komitmen terhadap asa.

Dalam interaksi dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas hubungan pemimpin serta budaya. Menurutnya para pemimpin memiliki potensi paling akbar dalam menanamkan serta memperkuat aspek-aspek budaya melalui 5 prosedur, mencakup: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, 3) pemodelan peran, 4) alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice serta Beyer (1991, 1993) sejalan menggunakan pandangan tadi dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan penemuan kultural yg padanya seorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yg drastis dalam budaya yg ada atau memulai sebuah organisasi baru menggunakan budaya yang berbeda.

Berdasarkan uraian pada atas, model berdasarkan penelitian digambarkan sebagai berikut:

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional

Sejarah telah memberitahuakn pada kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi sudah meletakkan dasar dan visi dalam komunitas umatnya yang selanjutnya membentuk suatu budaya yg sedemikian bertenaga pada mereka yang dipimpin. Mungkin saja mereka memiliki karakteristik perilaku transformasional yg luar biasa sebagai akibatnya bisa mensugesti budaya warga mencapai hasrat atau tujuan perjuangannya. 

Fenomena pada atas merupakan ilustrasi konduite kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan mempengaruhi budaya, bahkan secara lebih jauh menciptakan budaya. Tetapi demikian poly kenyataan pemimpin negara dan organisasi tidak relatif mensugesti secara pribadi sistem serta budaya organisasi pada keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian acapkali ditimbulkan tatanan budaya sudah sedemikian kuat melekat dalam organisasi tersebut. 

Trice dan Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah contoh yg membandingkan perubahan budaya serta kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yg mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.

Sejumlah studi mengenai suksesi sudah digunakan buat menilai jumlah perubahan yg terjadi terkait dengan kinerja organisasional menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak menghipnotis secara penting terhadap tatanan budaya usang dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) serta Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menerangkan bahwa hubungan eksekutif zenit terhadap kinerja menunjukkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan tidak mempunyai poly dampak terhadap kinerja kecuali mereka mempunyai keterampilan yg lebih baik. Secara generik penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sebagai akibatnya kemungkinan buat melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat diperlukan. 

Dalam konteks tadi juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan nir mempengaruhi budaya secara langsung, namun mempertegas hubungan antara budaya organisasi dan keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai karakteristik pemimpin (traits) lebih menekankan pada aspek-aspek yg sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga dalam pendekatan ini tidak menekankan pada upaya merubah kepemimpinan buat memprediksi kinerja. Hal tersebut memungkinkan jenis ciri fisik, intelegensia dan psikologi menjadi variabel situasional dalam kaitannya dengan hubungan antara budaya organisasional dan keefektifan organisasional. 

HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASIONAL KEEFEKTIFAN ORGANISASIONAL DAN KEPEMIMPINAN TELAAH PERSPEKTIF UNTUK RISET

Hubungan Budaya Organisasional, Keefektifan Organisasional Dan Kepemimpinan, Telaah Perspektif Untuk Riset
Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar tiga konstruk krusial dalam teori organisasi. Ketiga konstruk tersebut terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional serta kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan penjelasan terperinci setiap konstruk dalam aneka macam perspektif. Langkah berikutnya adalah melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk sehingga tersusun peta awal berdasarkan hubungan antar variabel tersebut.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas pada berbagai setting sehingga istilah budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah sebagai suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan juga pada kalangan akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional mendapat “loka” krusial pada khasanah akademis, khususnya teori organisasi seperti halnya struktur, taktik dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yang merupakan abstraksi menurut kenyataan yg dapat diamati dari poly dimensi. Sehingga poly pakar ilmu-ilmu sosial serta manajemen belum mempunyai “communal opinio” mengenai definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tersebut dari beragam perspektif dan dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional adalah pola keyakinan serta nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sebagai akibatnya pola tersebut menaruh arti tersendiri serta menjadi dasar aturan berperilaku pada organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yg ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud supaya organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi perkara-kasus yang timbul dampak adaptasi eksternal serta integrasi internal yg telah berjalan menggunakan relatif baik, sehingga perlu diajarkan pada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat memahami, memikirkan dan mencicipi berkenaan menggunakan perkara-masalah tersebut. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada 3 taraf, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada tingkat artifacts, budaya organisasional memiliki ciri bahwa struktur dan proses organisasional dapat terlihat. Pada taraf berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yg seharusnya bisa mereka berikan pada organisasi”.

Pada taraf ini organisasi dan anggotanya membutuhkan tuntunan taktik (strategies), tujuan (goals) serta filosofi berdasarkan pemimpin organisasi untuk bertindak serta berperilaku. Sedangkan dalam taraf basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara sahih dan cara yg tepat.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi serta Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat perkiraan-perkiraan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota gerombolan pada suatu organisasi yg menciptakan serta mensugesti perilaku dan konduite kelompok tadi. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu cognitive framework yg meliputi perilaku, nilai-nilai, norma konduite serta asa-asa yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue) yg mengikat seluruh anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional merupakan kebiasaan-kebiasaan serta nilai-nilai yang mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yg dimiliki budaya organisasional secara mendasar dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi waktu yg panjang (holistic), dua) dipengaruhi atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), 3) berhubungan dengan sesuatu yg bersifat ritual serta simbolik, 4) dihasilkan serta dipertahankan sang grup-gerombolan yg secara beserta-sama membangun organisasi (social constructed), lima) halus (soft) serta 6) sukar berubah (hard to change)

Smircich (1983) menampakan empat fungsi penting budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional pada para anggota organisasi., 2) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta 4) membentuk perilaku dengan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan jua menjadi “ruh” organisasi lantaran pada sana bersemayam filosofi, misi serta visi organisasi yang akan menjadi kekuatan krusial buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan seperti jua konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg beragam yg berimplikasi dalam kesulitan pada pemahaman konsep serta metoda. Hal tadi disebabkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi menurut konsep keefektifan, kriteria yg digunakan pada pengukuran, taraf analisis yang appropriate dan kelompok aktivitas organisasional mana yang mencerminkan pusat perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tadi tidak membuat konsep keefektifan “hengkang” menurut topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron serta Whetten (1983), terdapat tiga alasan meliputi teoritis, realitas dan simpel. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak dalam pusat seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi menjadi variabel penting pada kegiatan riset dan konsep krusial dalam penafsiran kenyataan organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat membuat judgements tentang kinerja (performance) berbagai organisasi. Tetapi demikian, paling tidak ada dua pandangan yg paling poly dipakai pada mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya dengan konsekuensi-konsekuensi menurut tindakan-tindakan pemimpin tadi bagi para pengikutnya dan para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya menggunakan melihat banyak sekali jenis output yang sudah digunakan, termasuk pada dalamnya kinerja serta pertumbuhan gerombolan atau organisasi menurut pemimpin tersebut, kesediaannya untuk menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap target-sasaran grup, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut serta kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yg lebih tinggi di pada organisasi. 

Salah satu hal yg menyebabkan kurangnya pengembangan konsepsual tentang keefektifan adalah kesulitan pada mengintegrasikan berbagai konsepsualisasi organisasi yg tidak selaras. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan konsep keefektifan wajib dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yang sebagai dasarnya (Goodman serta Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional menggunakan Keefektifan Organisasional
Tujuan seorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian poly problem organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal juga eksternal yg acapkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian memberitahuakn kegagalan organisasi lebih seringkali ditimbulkan sang permasalahan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Perseteruan tersebut mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional buat menaikkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut dapat menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam banyak sekali penelitian dan kajian manajemen organisasi banyak para pakar telah meyakini keeratan interaksi antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sehingga interaksi keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) memberitahuakn dukungan krusial bagi proposisi pada atas bahwa budaya perusahaan mempunyai dampak terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama dalam perusahaan yang mempunyai budaya yg sinkron dengan taktik dan bisa menaikkan komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) menyampaikan bahwa peningkatan kinerja organisasional pula ditentukan oleh aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya organisasional, interaksi menggunakan pelanggan (customer elationship) serta citra perusahaan (brand equity).

Pandangan tadi sejalan dengan kajian sebelumnya yg dilakukan Kotter dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini menjadi galat satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yg disampaikan pada hasil studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan dari 22 jenis industri di Amerika Serikat, Kotter dan Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan untuk jangka panjang. Secara lengkap empat kiprah utama budaya organisasional berhasil dieksplorasi berdasarkan penelitian tersebut, mencakup: 1) mempunyai efek yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yg lebih menentukan sukses atau gagalnya perusahaan dalam masa mendatang, 3) dapat mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang apabila di pada perussahaan terdiri menurut orang-orang yang layak dan cerdas, dan 4) dibentuk buat mempertinggi kinerja perusahaan.

Demikian pula output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yg melakukan merger pada dekade 1980-an yang menunjukkan bahwa merger sering mengalami kegagalan karena nir kompatibel dengan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, cita-cita berhenti serta turn over seperti yg diperoleh berdasarkan sejumlah hasil riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).

Pandangan di atas didukung juga oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, misalnya: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody dan Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).

Dalam perkara di Indonesia, studi mengenai pengaruh budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial serta kinerja ekonomi organisasi sudah poly dilakukan. Misalnya studi yg dilakukan oleh Supomo serta Indriantoro (1998) yg meneliti 79 manajer berdasarkan banyak sekali departemen pada perusahaan-perusahaan manufaktur yang menemukan bukti realitas adanya pengaruh positif budaya organisasional yg berorientasi dalam orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) menjelaskan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional bisa mendorong organisasi tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian di atas menunjukkan bahwa budaya organisasional memiliki peran yg sangat strategis buat mendorong dan menaikkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk di dalamnya kinerja manajerial, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan krusial buat memilih arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengelola asal daya sebagai kekuatan internal dalam memanfaatkan peluang (opportunity) serta mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan juga menjadi subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi poly kalangan yg lalu menjadikan pula dalam pendefinisian yang beragam serta kadang kurang sempurna secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu dan aspek menurut fenomena perhatian mereka yg paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite dari seorang individu yg memimpin kegiatan-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yg ingin dicapai bersama (shared goal). Tannenbaum, Weschler, serta Massarik (1961) beropini bahwa kepemimpinan merupakan dampak antar eksklusif yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain berkata bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam asa dan interaksi (Stogdill, 1974). Rauch serta Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan sebagai proses mensugesti kegiatan-aktivitas sebuah gerombolan yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) berpendapat bahwa para pemimpin merupakan mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yg efektif terhadap orde sosial dan yang diperlukan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap usaha kolektif dan yang menyebabkan kesediaan buat melakukan usaha yang diinginkan buat mencapai target. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman mengenai kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi tentang kepemimpinan sebanyak jumlah orang yg telah mencoba mendefinisikannya. Secara garis akbar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses imbas sosial (dampak yang sengaja dijalankan sang seseorang terhadap orang lain buat menstruktur kegiatan-aktivitas dan interaksi-hubungan di pada sebuah gerombolan atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi metoda menurut peneliti serta konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mengkaji perspektif-perspektif dalam studi kepemimpinan.
1. Pendekatan menurut ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut pribadi para pemimpin. Asumsi dalam pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yang tidak dipunyai orang lain.
2. Pendekatan menurut konduite, terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah penelitian mengenai sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan waktu mereka, serta mencoba menjelaskan isi aktivitas-aktivitas manajer menggunakan menggunakan kategori mengenai isi seperti kiprah, fungsi dan tanggung jawab manajerial. Berikutnya merupakan penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan konduite pemimpin yg efektif dan nir efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-imbas (power-influence approach), pendekatan ini mencoba mengungkapkan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan dipakai. Kekuasaan tadi dicermati sebagai hal krusial bukan saja buat mempengaruhi bawahan, namun juga kawan sejawat, atasan juga orang yg berada di luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mempengaruhi studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, memberikan fokus pada pembagian kekuasaan (power sharing) serta anugerah wewenang pada para pengikut. Studi ini juga berakar berdasarkan tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik serta transformasional, menyebutkan mengapa para pengikut menurut pemimpin-pemimpin eksklusif bersedia melakukan usaha yg luar biasa dan pengorbanan pribadi buat mencapai tujuan serta misi organisasi/ grup.
7. Kepemimpinan dalam gerombolan pengambil keputusan, mengungkapkan bagaimana kontribusi kepemimpinan di dalam grup pengambil keputusan.

BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL KUNCI KESUKSESAN KINERJA MANAJERIAL DAN KEUANGAN

Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan
Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar 3 konstruk krusial pada teori organisasi. Ketiga konstruk tadi terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan elaborasi setiap konstruk dalam berbagai perspektif. Langkah berikutnya merupakan melakukan simulasi serta konstruksi hubungan antar konstruk sehingga tersusun peta awal dari hubungan antar variabel tadi.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas dalam berbagai setting sebagai akibatnya kata budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah menjadi suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan jua pada kalangan akademisi. Tetapi demikian pada perkembangannya, budaya organisasional mendapat “loka” penting dalam khasanah akademis, khususnya teori organisasi misalnya halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yg adalah abstraksi dari kenyataan yang dapat diamati menurut banyak dimensi. Sehingga banyak pakar ilmu-ilmu sosial serta manajemen belum mempunyai “communal opinio” tentang definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tadi berdasarkan majemuk perspektif dan dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yg difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sebagai akibatnya pola tadi menaruh arti tersendiri dan menjadi dasar anggaran berperilaku pada organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu pola berdasarkan perkiraan-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok eksklusif menggunakan maksud supaya organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi perkara-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan menggunakan cukup baik, sebagai akibatnya perlu diajarkan pada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-kasus tersebut. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada 3 tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada taraf artifacts, budaya organisasional memiliki ciri bahwa struktur dan proses organisasional bisa terlihat. Pada taraf berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar  Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada tingkat ini organisasi serta anggotanya membutuhkan tuntunan strategi (strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi buat bertindak serta berperilaku. Sedangkan dalam taraf basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara benar dan cara yang sempurna.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi serta Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi-perkiraan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai serta persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota gerombolan dalam suatu organisasi yang menciptakan dan mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok tadi. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu cognitive framework yang mencakup perilaku, nilai-nilai, norma konduite dan asa-harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue) yg mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional merupakan kebiasaan-norma serta nilai-nilai yang mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara fundamental dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi saat yang panjang (holistic), 2) dipengaruhi atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), 3) herbi sesuatu yg bersifat ritual dan simbolik, 4) dihasilkan dan dipertahankan oleh gerombolan -grup yang secara bersama-sama membentuk organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) sukar berubah (hard to change)


Smircich (1983) memperlihatkan empat fungsi penting budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional kepada para anggota organisasi., dua) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta 4) membangun perilaku menggunakan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan jua sebagai “ruh” organisasi karena di sana bersemayam filosofi, misi serta visi organisasi yang akan menjadi kekuatan penting buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan misalnya juga konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg beragam yang berimplikasi pada kesulitan pada pemahaman konsep serta metoda. Hal tersebut ditimbulkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi berdasarkan konsep keefektifan, kriteria yg digunakan pada pengukuran, tingkat analisis yang appropriate dan grup aktivitas organisasional mana yg mencerminkan pusat perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tadi nir membuat konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron serta Whetten (1983), ada 3 alasan meliputi teoritis, realitas dan mudah. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak pada pusat seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi sebagai variabel krusial dalam kegiatan riset dan konsep penting dalam penafsiran kenyataan organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat menciptakan judgements tentang kinerja (performance) banyak sekali organisasi. Namun demikian, paling tidak terdapat 2 pandangan yang paling poly digunakan pada mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya menggunakan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan pemimpin tersebut bagi para pengikutnya serta para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya menggunakan melihat banyak sekali jenis hasil yg sudah digunakan, termasuk di dalamnya kinerja dan pertumbuhan grup atau organisasi berdasarkan pemimpin tersebut, kesediaannya buat menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut menggunakan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap target-sasaran grup, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut dan kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi pada dalam organisasi. Beberapa model keefektifan organisasional yg berkembang pada khasanah akademik bisa dipandang pada Tabel 1.

Tabel  Model-contoh Keefektifan Organisasional
Model

Definisi

Kapan Bermanfaat?

Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka waktu dan terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh asal daya-asal daya yg dibutuhkan
Ada kaitan jelas antara input dan kinerja
Model Proses Internal
Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan kentara antara aneka macam proses organisasional serta kinerja
Multiple Constituency Model

Semua pihak terkait terpuaskan
Pihak-pihak terkait memiliki efek bertenaga terhadap organisasi
Competing Values Model

Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait pada hal empat kuadran yg berbeda
Organisasi nir jelas kriterianya atau seringkali berubah kriteria
Model Legitimasi
Kelangsungan hidup terjamin sebagai hasil aplikasi aktivitas legitimate
Kelangsungan hayati organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak memiliki kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan tidak jelas atau aneka macam strategi pemugaran diharapkan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yg menyebabkan kurangnya pengembangan konsepsual mengenai keefektifan adalah kesulitan dalam mengintegrasikan aneka macam konsepsualisasi organisasi yg berbeda. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan konsep keefektifan harus dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yang sebagai dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional menggunakan Keefektifan Organisasional
Tujuan seseorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian poly problem organisasional serta ketidakpastian (uncertainty) baik internal juga eksternal yg seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian memberitahuakn kegagalan organisasi lebih seringkali ditimbulkan oleh permasalahan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Permasalahan tadi mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional untuk meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut bisa menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian serta kajian manajemen organisasi banyak para pakar sudah meyakini keeratan hubungan antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sebagai akibatnya hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) memperlihatkan dukungan krusial bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan memiliki imbas terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama pada perusahaan yg memiliki budaya yang sesuai dengan taktik serta dapat menaikkan komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) mengatakan bahwa peningkatan kinerja organisasional juga dipengaruhi sang aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya organisasional, interaksi menggunakan pelanggan (customer elationship) serta gambaran perusahaan (merk equity).

Pandangan tadi sejalan menggunakan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter serta Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini menjadi salah satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yang disampaikan pada hasil studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan menurut 22 jenis industri di Amerika Serikat, Kotter serta Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan buat jangka panjang. Secara lengkap empat peran primer budaya organisasional berhasil dieksplorasi menurut penelitian tersebut, meliputi: 1) memiliki impak yg signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yang lebih memilih sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, 3) dapat mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang bila pada dalam perussahaan terdiri berdasarkan orang-orang yg layak serta cerdas, dan 4) dibuat untuk menaikkan kinerja perusahaan.

Demikian jua output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yang melakukan merger dalam dekade 1980-an yang memberitahuakn bahwa merger seringkali mengalami kegagalan karena tidak kompatibel dengan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, keinginan berhenti dan turn over misalnya yg diperoleh berdasarkan sejumlah output riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).

Pandangan pada atas didukung jua oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody serta Noe (1996), Sobirin (1997), serta Luthans (1998).

Dalam perkara pada Indonesia, studi mengenai efek budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial dan kinerja ekonomi organisasi sudah banyak dilakukan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Supomo dan Indriantoro (1998) yang meneliti 79 manajer dari banyak sekali departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yg menemukan bukti empiris adanya dampak positif budaya organisasional yg berorientasi dalam orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif pada peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) menjelaskan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh serta berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian pada atas menerangkan bahwa budaya organisasional memiliki kiprah yg sangat strategis untuk mendorong dan menaikkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk pada dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan krusial untuk menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengelola sumber daya menjadi kekuatan internal pada memanfaatkan peluang (opportunity) serta mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan pula sebagai subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi poly kalangan yg kemudian berakibat pula pada pendefinisian yg beragam dan kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis dalam perspektif-perspektif individu dan aspek dari kenyataan perhatian mereka yang paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite menurut seorang individu yg memimpin aktivitas-aktivitas suatu grup ke suatu tujuan yg ingin dicapai beserta (shared goal). Tannenbaum, Weschler, serta Massarik (1961) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi eksklusif serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan eksklusif. Pandangan lain mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan pembentukan awal dan pemeliharaan struktur dalam asa serta hubungan (Stogdill, 1974). Rauch dan Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan menjadi proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sebuah gerombolan yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) beropini bahwa para pemimpin adalah mereka yg secara konsisten memberi donasi yg efektif terhadap orde sosial dan yg diharapkan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap bisnis kolektif dan yg menyebabkan kesediaan buat melakukan bisnis yang diinginkan untuk mencapai sasaran. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman mengenai kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi mengenai kepemimpinan sebanyak jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Secara garis besar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses efek sosial (imbas yg sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain buat menstruktur aktivitas-aktivitas dan interaksi-hubungan pada dalam sebuah kelompok atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung dalam preferensi metoda dari peneliti serta konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mengkaji perspektif-perspektif pada studi kepemimpinan.
1. Pendekatan berdasarkan ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut langsung para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yg tidak dipunyai orang lain.
2. Pendekatan dari perilaku, terbagi ke dalam 2 kategori. Kategori pertama adalah penelitian tentang sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan saat mereka, dan mencoba mengungkapkan isi aktivitas-kegiatan manajer dengan memakai kategori mengenai isi seperti kiprah, fungsi serta tanggung jawab manajerial. Berikutnya merupakan penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan konduite pemimpin yang efektif serta tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-pengaruh (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menjelaskan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki serta cara kekuasaan dipakai. Kekuasaan tadi ditinjau menjadi hal krusial bukan saja untuk mensugesti bawahan, namun pula kawan sejawat, atasan juga orang yang berada pada luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mensugesti studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, menaruh fokus kepada pembagian kekuasaan (power sharing) serta anugerah wewenang kepada para pengikut. Studi ini jua berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik serta transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin tertentu bersedia melakukan bisnis yang luar biasa dan pengorbanan pribadi buat mencapai tujuan dan misi organisasi/ kelompok.
7. Kepemimpinan dalam grup pengambil keputusan, menyebutkan bagaimana donasi kepemimpinan pada pada gerombolan pengambil keputusan.

Hubungan Kepemimpinan Dengan Budaya Dan Kinerja Organisasional 
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya 
Hubungan kepemimpinan mensugesti budaya dan kinerja organisasional telah cukup banyak ditelaah oleh para pakar organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformasional dianggap paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan poly jajak tentang bagaimana para pemimpin mengubah budaya serta struktur organisasi supaya lebih konsisten dengan strategi-taktik manajemen buat mencapai sasaran organisasional. Hal tadi meliputi proses membentuk komitmen terhadap sasaran organisasi serta memberi agama pada para pengikut buat mencapai target tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional menjadi sebuah proses yang padanya “para pemimpin serta pengikut saling meningkatkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yg lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dapat diperlihatkan oleh siapa saja pada organisasi dalam jenis posisi apa saja. 

Pada sisi lain Burns membedakan dengan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang adalah bentuk kepemimpinan terhadap bawahan menggunakan memilih dalam kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai dalam konsep ini bersandar dalam nilai-nilai yg relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi 3 dimensi yg memformulasikan teori kepemimpinan transformasional mencakup: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) serta perhatian yg diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yg padanya seorang pemimpin menghipnotis para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat serta identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual merupakan sebuah proses yang padanya para pemimpin menaikkan kesadaran terhadap masalah-kasus dan mensugesti para pengikut buat memandang kasus-kasus menurut sebuah perspektif yang baru. Perhatian yg diindividualisasi meliputi aktivitas: memberi dukungan, membesarkan hati, serta memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. Satu hal baru yg dikemukakan Bass dan Avioli (1990) menggunakan menambahkan konduite transformasional lainnya yang diklaim inspirasi (atau “motivasi inspirasional”), yg didefinisikan menjadi sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yg menarik, menggunakan simbol-simbol buat buat memfokuskan usaha-bisnis bawahan, dan memodelkan perilaku-konduite yang sinkron. Perilaku-konduite kepemimpinan transformasional saling bekerjasama buat menghipnotis perubahan-perubahan pada para pengikut, dan pengaruh-impak yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) jua memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah pertukaran imbalan-imbalan buat menerima kepatuhan. Beberapa komponen penting pada dalamnya meliputi konduite transaksional (diklaim konduite “contingent reward”) mencakup kejelasan tentang pekerjaan yang diminta buat memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan bonus serta contingent rewards buat mempengaruhi motivasi. Komponen selanjutnya adalah “active management by exception” termasuk pemantauan berdasarkan para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga ditambahkan oleh Bass, et. Al (1990) merupakan “passive management by exception” yang mencakup penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya menjadi tanggapan terhadap penyimpangan yg konkret menurut standar-baku kinerja yg dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional serta kepemimpinan transformasional sebagai proses yg berbeda, tetapi nir saling tertentu, dan dari Bass pemimpin yang sama bisa menggunakan kedua jenis kepemimpinan tadi pada waktu-saat serta situasi yg tidak sinkron.

Bagaimana hubungan kepemimpinan transformasional menggunakan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua contoh kepemimpinan ini sebagai kenyataan yg tak jarang dibahas dalam organisasi. Namun demikian banyak ahli mengungkapkan karisma hanya bagian berdasarkan kepemimpinan transformasional, sehingga karisma nir relatif pada proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yg membedakan kepemimpinan karismatik dengan kepemimpinan transformasional adalah bahwa kepemimpinan karismatik mencoba buat membuat para pengikutnya tetap lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan pada upaya menanamkan kesetiaan eksklusif menurut dalam komitmen terhadap impian.

Dalam hubungan dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas interaksi pemimpin dan budaya. Menurutnya para pemimpin mempunyai potensi paling akbar dalam menanamkan serta memperkuat aspek-aspek budaya melalui 5 mekanisme, mencakup: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, tiga) pemodelan kiprah, 4) alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice dan Beyer (1991, 1993) sejalan menggunakan pandangan tadi dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan inovasi kultural yg padanya seseorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yang drastis dalam budaya yg ada atau memulai sebuah organisasi baru dengan budaya yg tidak sama.

Berdasarkan uraian di atas, contoh berdasarkan penelitian digambarkan menjadi berikut:

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional

Sejarah telah menunjukkan dalam kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi sudah meletakkan dasar dan visi pada komunitas umatnya yg selanjutnya membentuk suatu budaya yang sedemikian bertenaga dalam mereka yg dipimpin. Mungkin saja mereka memiliki karakteristik konduite transformasional yg luar biasa sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat mencapai impian atau tujuan perjuangannya. 

Fenomena pada atas merupakan gambaran konduite kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan menghipnotis budaya, bahkan secara lebih jauh menciptakan budaya. Namun demikian poly fenomena pemimpin negara dan organisasi tidak relatif mensugesti secara pribadi sistem dan budaya organisasi dalam keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian tak jarang disebabkan tatanan budaya telah sedemikian bertenaga melekat dalam organisasi tadi. 

Trice serta Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah contoh yg membandingkan perubahan budaya dan kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yg mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.

Sejumlah studi tentang suksesi sudah digunakan buat menilai jumlah perubahan yang terjadi terkait dengan kinerja organisasional memperlihatkan bahwa kepemimpinan tidak mempengaruhi secara penting terhadap tatanan budaya lama dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) serta Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menampakan bahwa interaksi eksekutif puncak terhadap kinerja memperlihatkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan nir mempunyai banyak dampak terhadap kinerja kecuali mereka memiliki keterampilan yang lebih baik. Secara umum penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sehingga kemungkinan buat melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat diharapkan. 

Dalam konteks tadi juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan nir menghipnotis budaya secara eksklusif, tetapi mempertegas hubungan antara budaya organisasi serta keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai ciri pemimpin (traits) lebih menekankan dalam aspek-aspek yang sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga pada pendekatan ini nir menekankan pada upaya merubah kepemimpinan buat memprediksi kinerja. Hal tadi memungkinkan jenis karakteristik fisik, intelegensia dan psikologi sebagai variabel situasional pada kaitannya menggunakan interaksi antara budaya organisasional serta keefektifan organisasional.