Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dalam Era Pasar Bebas
Permodalan adalah galat satu faktor produksi penting dalam bisnis pertanian. Sayangnya, aksesibilitas petani terhadap asal-sumber permodalan yang disediakan masih sangat terbatas, terutama bagi petani-petani yg menguasai huma sempit dan petani tanpa huma yang adalah komunitas terbesar menurut masyarakat pedesaan. Dengan demikian, nir jarang ditemui bahwa kekurangan biaya adalah hambatan bagi petani pada mengelola dan mengembangkan usahatani.
Kelembagaan ekonomi pedesaan tidak berkembang akibat terlalu banyaknya campur tangan yang cenderung berlebihan dari sistem birokrasi pemerintah. Tindakan ini, sudah menciptakan kondisi liputan yg nir simetris antara sebagian akbar masyarakat (petani) menggunakan kelompok warga lainnya. Pada kenyataannya kondisi seperti ini melumpuhkan sebagian kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dan berperanan di masyarakat pada pemerataan pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan pertanian (Sudaryanto serta Syukur, 2000). Lemahnya peranan kelembagaan pembiayaan pertanian tadi membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-asal pembiayaan (Syukur et al, 2003). Selanjutnya terbukti bahwa campur tangan pemerintah yg hiperbola membawa implikasi yg luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya kapital, teknologi, peningkatan kemampuan, warta pasar dan lain sebagainya (Syukur serta Windarti, 2001).
Fakta pada lapangan memang menampakan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat pedesaan yg akses terhadap asal-sumber permodalan (Braverman serta Guasch, 1989). Padahal, akses terhadap kredit permodalan merupakan hak dasar insan yang mendasar pada meningkatkan usahanya, pendapatannya serta kebutuhan dasarnya (Yunus, 1981). Dengan perkataan lain bahwa seseorang yg akses terhadap asal-sumber permodalan akan dapat mengoptimalkan usahanya buat mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Memang diketahui bahwa sudah banyak dilakukan upaya-upaya yang mengimplementasikan skim pembiayaan yang dibutuhkan bisa menjangkau sebagian besar rakyat yg berkiprah pada sektor pertanian di pedesaan.
Di wilayah pedesaan, terdapat 2 jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan (Syukur et al, 2003), yaitu pasar pembiayaan formal serta pasar pembiayaan informal. Pembiayaan formal dipilah lagi ke dalam pembiayaan acara serta pembiayaan non program. Pembiayaan non program beroperasi pada pedesaan yg dalam mekanisme pengajuan dan penyalurannya mengikuti prosedur pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan diberlakukan secara formal, misalnya tingkat bunga yang dibebankan merupakan tingkat bunga komersial serta dilayani sang forum formal. Sementara pembiayaan acara merupakan skim pembiayaan yang pada implementasinya dikaitkan menggunakan suatu acara pemerintah yg umumnya program sektoral. Biasanya acara tersebut merupakan upaya sektoral buat mencapai sasaran tertentu, misalnya KKP (Kredit Ketahanan Pangan) buat mempertinggi produksi pangan, Kredit Koperasi Primer buat Anggota (KKPA), Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UUPKA) serta lain-lain. Selain itu, masih poly lagi program-program serupa yg sudah diimplementasikan, termasuk program pembiayaan yang mendukung pengembangan usaha pertanian pada pedesaan. Dalam pelaksanaannya, program tersebut diakui bahwa masih banyak hambatan yg dihadapi.
Aturan main dalam skim pembiayaan bagi bisnis pertanian bersifat rigid yang mengakibatkan petani serta masyarakat pedesaan tidak mudah mengakses sumber-asal pembiayaan yang terdapat ketika ini. Kebijakan pembiayaan yang diperlukan buat mendukung pengembangan usaha pertanian dirasakan sangat lemah dan cenderung mengabaikan sektor ini. Selama kurun ketika satu dasa warsa terakhir alokasi kredit yg disalurkan buat sektor pertanian sangat rendah dibandingkan dengan buat sektor-sektor lain. Sistem perbankan konvensional yang berlaku waktu ini seakan-akan nir tertarik terhadap sektor pertanian. Timpangnya alokasi kredit tadi bukanlah semata-mata ditimbulkan rendahnya kemampuan sektor ini pada hal mengembalikan kredit, akan tetapi lebih disebabkan lantaran keberfihakan yang sangat rendah dan aturan main (kelembagaan) yang kaku.
Berbagai jenis pembiayaan di sektor pertanian, baik yang formal (program serta non acara) juga informal sudah diaplikasikan pada warga . Akan namun, dalam aplikasi pembiayaan tadi diakui masih menghadapi aneka macam hambatan dan hambatan, nir hanya di pihak penyedia dana tapi jua pada pihak penerima dana menjadi pelaku bisnis.
Di sisi lain, walaupun pemerintah secara nasional telah poly mengintroduksi berbagai skim pembiayaan buat sektor pertanian, tetapi efektivitas dan keberlanjutannya serta peranannya pada mendorong pengembangan pertanian, masih jauh dari yang diperlukan. Pada kenyataannya, secara mikro sebagian pelaku bisnis pertanian masih mempunyai tingkat aksesibilitas yang rendah terhadap asal-asal permodalan. Hal ini terkait dengan aneka macam faktor antara lain nir bisa menyediakan agunan fisik ataupun pihak-pihak lain yang dapat mengklaim di samping biaya transaksi pinjaman yg dinilai sangat tinggi.
Dari pengalaman beberapa acara pembiayaan yg dilaksanakan, intermediary system sangat penting buat menerima perhatian karena dievaluasi merupakan galat satu kunci keberhasilan, misalnya Bimas. Pemerintah berperanan sebagai jembatan dalam penyaluran permodalan. Artinya, pemerintah bisa berperanan serta memiliki kekuatan fungsi intermediasi.
Penelitian terhadap sistem pembiayaan mikro pada sektor pertanian sebagai sangat krusial jika pengembangan bisnis pertanian pada pedesaan merupakan galat satu sumbangan pada mencapai peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pengelolaan sumberdaya secara optimal, perlu didukung ketersediaan modal usaha yang relatif. Walaupun modal bukanlah satu-satunya faktor produksi bisnis pertanian, dalam batas-batas eksklusif modal merupakan faktor kritikal. Kecukupan kapital melalui bantuan pembiayaan berfungsi efektif buat mencapai taraf optimal dalam hal skala usaha dan adopsi teknologi baik teknologi produksi juga pasca panen. Dari upaya ini dibutuhkan para pelaku usaha pertanian bisa menaikkan produktivitas dan efisiensi bisnis, yang selanjutnya menaikkan pendapatan serta kesejahteraan.
Dari kondisi misalnya tersebut diatas, penelitian khusus dan mendalam yg mencakup berbagai aspek kemudian dibutuhkan. Review mengenai kebijakan pembiayaan mikro sektor pertanian di pedesaan merupakan informasi yang penting. Disamping itu, output identifikasi mengenai lembaga-forum keuangan mikro yang melayani pembiayaan bisnis pertanian menggunakan aturan dan representasi yg diberlakukan jua sangat dibutuhkan. Sementara, identifikasi mengenai kendala-hambatan dalam realisasi pembiayaan usaha pertanian jua berguna. Selanjutnya identifikasi tentang persepsi petani terhadap kegiatan pembiayaan mikro juga sangat bermanfaat yang mencakup manfaat serta kerugian sebagai partisipan, kelemahan, serta saran-saran penyempurnaan pada waktu mendatang.
Cakupan Penelitian
Penelitian ini dibatasi dalam beberapa hal, yaitu jenis pembiayaan serta komoditas usaha pertanian. Jenis pembiayaan mencakup pembiayaan formal serta informal; dan pembiayaan formal meliputi pembiayaan program dan non program. Sedangkan komoditas yg dianalisis dibatasi dalam usahatani tanaman pangan serta hortikultura, spesifik sayuran.
Analisis yang dilakukan terhadap aspek-aspek dasar yang terkait erat menggunakan operasionalisasi pembiayaan juga mendapat perhatian, yg mencakup receiving system, delivery system serta intermediary system. Artinya, lingkup penelitian mencangkup mulai dari realisasi/penerimaan dana, penggunaan dan pengembaliannya serta keterkaitan diantaranya juga mendapat porsi dalam analisis penelitian ini. Untuk itu, merupakan hal yg krusial adalah pendekatan dan diskusi mendalam nir hanya pada aspek ekonomi, tapi aspek kelembagaanpun juga merupakan bagian pada analisis.
Tujuan
Dari konflik yg dikemukakan menurut latar belakang serta cakupan, di rinci tujuan penelitian misalnya ini dia. Diharapkan menurut jawaban tujuan-tujuan tersebut bisa dibangun saran-saran yg adalah masukan bagi penghasil kebijakan baru tentang pembiayaan mikro juga penyempurnaan acara-acara yg sudah terdapat.
- Mereview tentang kebijakan pembiayaan mikro bisnis pertanian yg sudah diaplikasikan dalam masyarkat.
- Mengidentifikasi mengenai forum-lembaga pembiayaan mikro yg melayani bisnis pertanian, termasuk anggaran main serta representasi yang diterapkan.
- Mengidentifikasi tentang hambatan-hambatan yg dihadapi dalam mengoperasikan pembiayaan mikro usaha pertanian di pedesaan.
- Mengidentifikasi tentang persepsi nasabah terhadap kegiatan pembiayaan mikro yang berkaitan dengan kemudahan serta kesesuaian, kelancaran serta taraf bunga pinjaman pembiayaan mikro pedesaan.
- Merumuskan alternatif kebijakan yg sinkron baik dari sisi petani menjadi pelaku usaha maupun dari sisi forum pembiayaan menjadi penyedia dana.
Keluaran
Dari penelitian ini diperlukan bisa diperoleh keluaran-keluaran yang berguna sesuai dengan tujuan yg ditawarkan.
- Review mengenai kebijakan pembiayaan mikro bisnis pertanian pada pedesaan yg sudah diaplikasikan.
- Data serta berita tentang forum-forum keuangan mikro yg melayani usaha pertanian, termasuk aturan main dan representasi yg diterapkan.
- Data dan warta mengenai hambatan-kendala yg dihadapi dalam mengoperasikan pembiayaan mikro usaha pertanian pada pedesaan.
- Data serta informasi tentang persepsi nasabah terhadap kegiatan pembiayaan mikro yang berkaitan menggunakan kemudahan dan kesesuaian, kelancaran serta taraf bunga pinjaman pembiayaan mikro pedesaan.
- Alternatif kebijakan yang sesuai, baik dari sisi petani menjadi peminjam juga menurut sisi lembaga pembiayaan menjadi penyedia dana.
Kerangka Pemikiran
Hingga saat ini sudah banyak diintroduksikan banyak sekali skim pembiayaan bisnis pertanian. Jenis pembiayaan yg dikenal luas di masyarakat antara lain Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bersama skim-skim lainnya yg ditujukan buat pengembangan sektor pertanian serta pedesaan. Sumber-asal pembiayaan yg berasal berdasarkan acara pemerintah, disediakan melalui dana pada negeri maupun pinjaman lunak dari luar negeri. Sumber-asal pembiayaan lain, yaitu asal-asal pembiayaan formal seperti perbankan serta non perbankan disamping sumber-sumber pembiayaan non formal, misalnya pedagang, pelepas uang serta kelompok.
Masing-masing skim tersebut mempunyai anggaran main serta prosedur dan persyaratan administrasi yg bhineka. Skim kredit program misalnya, ditujukan buat menaikkan akses pelaku usaha pertanian terhadap asal permodalan. Demikian pula menurut segi target, masing-masing skim juga bhineka. KKP dimaksudkan buat membantu permodalan petani yg berusaha pada tumbuhan pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar), pengembangan budidaya tebu, peternak, petani ikan serta pengadaan pangan (padi, jagung serta kedelai). Sementara target Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) bersifat umum yg ditujukan buat seluruh kegiatan ekonomi termasuk usaha pertanian dalam arti luas, menggunakan penyaluran kredit melalui koperasi.
Setiap skim mempunyai kebijakan dasar serta anggaran main pada mekanisme realisasinya, walaupun pada operasionalnya tidak lepas menurut permasalahan. Bagi pengelola lembaga pembiayaan, kasus yang dihadapi bervariasi, mulai berdasarkan pemilihan calon peminjam hingga pada implementasinya pada lapangan. Sedang bagi para pelaku bisnis, permasalahan yang dihadapi tidak hanya dalam aktifitas usaha, tapi jua pertarungan yang berkaitan menggunakan aksesibilitas terhadap skim-skim pembiayaan yg ada (Syukur et al, 2003).
Antara pelaku bisnis serta forum pembiayaan terjalin hubungan yg bervariasi, diantaranya bersifat independen, kooperatif atau hubungan pada ikatan pemasaran. Bagi pelaku usaha proses transaksi memerlukan porto (Syukur et al, 2003) yang mencakup porto mencari fakta, biaya negosiasi serta porto administrasi. Besarnya porto-porto tadi sangat tergantung dalam mekanisme serta mekanisme yang diberlakukan oleh masing-masing skim pembiayaan. Disamping itu, para pelaku bisnis mempunyai evaluasi terhadap lembaga pembiayaan yg dijadikan asal permodalan. Dengan demikian mereka memiliki aspirasi serta pertimbangan tertentu pada mengakses lembaga-lembaga pembiayaan yang terdapat.
Lembaga asal pembiayaan, umumnya memiliki indera-alat dan persyaratan standar buat melakukan seleksi terhadap calon peminjam. Cara ini ditempuh menggunakan maksud buat melindungi forum mengingat lembaga pembiayaan adalah bisnis yang terkait menggunakan resiko dan menghindari kemungkinan melayani pengguna yg nir perspektif. Sebaliknya, forum pembiayaan memberikan semacam insentif bagi peminjam yang memenuhi kewajiban-kewajiban tepat saat serta sinkron ketentuan yang diberlakukan.
Dengan pemahaman secara baik serta komprehensif baik mengenai perilaku pihak pengguna (pelaku usaha pertanian) dan perilaku pihak lembaga pembiayaan adalah keterangan krusial yg dapat dipergunakan menjadi masukan serta bahan pertimbangan pada merumuskan skim pembiayaan yang sinkron. Artinya, skim pembiayaan tadi dapat diterima oleh kedua fihak dari karakteristik masing-masing, baik menurut pihak pengguna juga menurut pihak forum pembiayaan.
Lokasi Kajian serta Responden
Penelitian dilaksanakan di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat serta Sulawesi Selatan. Ketiga provinsi tersebut adalah sebagian menurut provinsi-provinsi yg sudah dilaksanakan acara skim pembiayaan mikro bisnis pertanian. Di masing-masing provinsi dipilih 2 lokasi (desa) dengan dasar adanya program skim pembiayaan mikro usaha pertanian komoditas pangan serta hortikultura sayuran. Dengan demikian, jumlah lokasi penelitian merupakan 3 provinsi menggunakan masing-masing 2 lokasi.
Responden yang diwawancara terdiri dari tempat tinggal tangga petani partisipan forum pembiayaan mikro formal serta partisipan forum pembiayaan mikro informal. Jumlah responden sebanyak 30 rumah tangga petani partisipan pada lembaga pembiayaan, 2 lembaga pembiayaan formal dan 2 lembaga pembiayaan informal buat masing-masing kabupaten.
Jenis Data dan Analisis Data
Jenis Data
Data yang dikumpulkan terdiri berdasarkan 2 jenis data, yaitu data utama serta data sekunder. Data primer tempat tinggal tangga digali menggunakan wawancara individual menggunakan Daftar Pertanyaan yg terstruktur. Disamping itu data primer yang bersifat umum dan agregat digali dengan wawancara grup. Data utama jua digali berdasarkan lembaga pembiayaan formal serta lembaga pembiayaan informal. Sedangkan data sekunder dihimpun menurut administrasi tempat kerja-kantor dinas terkait, forum keuangan formal, laporan-laporan serta aneka macam publikasi resmi.
Analisis Data
Analisis dilakukan dengan membangun indikator-indikator spesifik. Indikator tadi digunakan buat melihat dan mendiskusikan masing-masing tujuan serta keterkaitannya satu menggunakan lainnya. Disamping itu, memperbandingkannya dengan hasil-hasil penelitian serupa sebelumnya juga merupakan bagian menurut analisis. Secara umum naratif-analitik adalah indera primer analisis dalam penelitian ini, yang didominasi sang penggunaan metoda hitungan sederhana sinkron keperluan pembahasan dan diskusi.
Review tentang kebijakan pembiayaan mikro usaha pertanian pada tujuan pertama dianalisis secara naratif berupa uraian serta diskusi yg didasarkan pada berita sekunder dari publikasi-publikasi formal. Sedangkan identifikasi tentang lembaga-forum keuangan mikro yg melayani pembiayaan bisnis pertanian pada tujuan ke 2 dianalisis secara naratif berupa keberadaan banyak sekali lembaga pembiayaan yg terdapat, berdasarkan asal warta berupa laporan-laporan dinas terkait dan publikasi formal yang dikumpulkan. Sementara identifikasi mengenai hambatan-hambatan pada realisasi pembiayaan dalam tujuan ketiga dianalisis secara naratif berupa persentase, nilai rata-homogen dan lain-lain yang sebagian akbar didasarkan pada data primer taraf tempat tinggal tangga petani sebagai partisipan forum pembiayaan. Demikian jua halnya dengan identifikasi mengenai persepsi terhadap kegiatan pembiayaan mikro termasuk kemudahan dan kesesuaian, kelancaran serta tingkat bunga sekaligus alasan-alasan membuat keputusan tentang keikutsertaan menjadi partisipan dalam tujuan keempat dianalisis secara deskriptif (nilai rata-homogen, tabulasi silang, frekuensi distribusi serta lain-lain) berdasarkan data serta kabar utama yang dihimpun menurut wawancara kuesioner tempat tinggal tangga petani yg diperbandingkan antar jenis pembiayaan. Selanjutnya, analisis naratif pula dilakukan dalam mermuskan cara lain kebijakan dalam tujuan kelima berupa uraian dan diskusi secara komprehensif menurut temuan-temuan dalam tujuan pertama hingga keempat.
Materi yg dibahas serta didiskusikan dalam bab ini berdasarkan dalam aneka macam analisis dari data serta kabar yang dikumpulkan. Dari holistik data dan fakta tersebut dibangun indikator-indikator yang dijadikan dasar interpretasi dalam pelaporan. Pada bagian berikut didiskusikan aspek-aspek yg meliputi: (i) tinjauan kebijakan tentang pembiayaan mikro, (ii) keragaan forum pembiayaan mikro, (iii) kendala-hambatan dalam realisasi pembiayaan (iv) persepsi petani terhadap forum pembiayaan mikro, dan (v) diakhiri menggunakan konklusi, saran-saran serta akibat kebijakan. Masing-masing aspek dibahas secara terpisah dengan permanen memperhatikan keterkaitan satu dengan lainnya.
Tinjauan Kebijakan Tentang Pembiayaan Mikro Pertanian
Perubahan Sistem Pembiayaan Pertanian serta Kebijakan.
Sejak sistem pembiayaan buat pertanian yang difasilitasi pemerintah menggunakan acara kredit (dengan karakteristik taraf bunga rendah, bersifat masal dan lain-lain) mengakibatkan petani nir “mengenal” sistem kredit komersial. Di sisi lain, berdasarkan peraturan tahun 1999, Bank Sentral (BI) tidak lagi menyediakan paket program kredit serta acara kredit bersubsidi yang telah diakhiri secara bertahap pada tahun 2003. Adanya peraturan Bank Indonesia yg menghentikan likuiditas perkreditan, pemerintah mereduksi skim kredit bersubsidi dan satu-satunya jasa kredit keuangan buat pertanian adalah Lembaga Pembiayaan Mikro (LPM) atau Micro-Finance Institution (MFI).
Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa pola pembiayaan yg menggunakan sistem subsidi (“supply leading approach”) membentuk kemacetan pengembalian kredit yang mengakibatkan tunggakan yang sangat besar . Pendekatan lain adalah menggunakan melibatkan institusi pembiayaan pedesaan menjadi forum intermediary yg terkait menggunakan penyerapan dana dari pedesaan dan didistribusikan kembali pada bentuk kredit (“demand following approach”). Skim ini tidak menjanjikan selama tingkat aliran dana di pedesaan terbatas dan dalam jumlah yg relatif sedikit.
Gambaran serupa diperoleh menurut pengalaman beberapa negara pada Asia, bahwa lemahnya infrastruktur pedesaan menyebabkan kerugian bagi posisi warga miskin di pedesaan. Survey Bank Dunia tentang kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa penduduk miskin memiliki sedikit peluang pada memperoleh pendapatan dengan posisi ekonomi yg kurang menguntungkan.
Program Pembiayaan Pertanian dari waktu ke waktu
a. Program BIMAS
Kredit Bimas yg pada kelola oleh BRI mulai diimplementasikan tahun 1967/1970. Memotivasi BRI buat menciptakan BRI Unit Desa pada poly loka. Dana kredit disediakan menurut subsidi pemerintah (BI) dalam taraf bunga 3 % pertahun sementara tingkat bunga BRI sebesar 12%. Total Kredit Bimas yg disalurkan semenjak dari mulai program dilaksanakan (1967/70) sampai demam isu tanam 1984/85 mencapai Rp 636,7 miliar menggunakan total nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-75 jumlah pinjaman yang dilunasi tepat ketika sebanyak 80%, sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57%. Faktor yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan diduga karena adanya kebijakan “pengampunan hutang” yang membangun ekspektasi diantara petani nasabah bahwa pinjaman tersebut suatu hari nir harus dibayar. Memang dengan acara Bimas skala nasional, pemerintah mempunyai cerita sukses berupa swasembada produksi padi dalam tahun 1984, walaupun tahun 1983 program Bimas diakhiri.
b. Kredit Usaha Tani (KUT)
Program KUT diintroduksikan 1985 yang ditangani secara administrasi sang Koperasi Unit Desa (KUD). Program ini adalah keliru satu menurut acara-acara yang seakan-akan melanjutkan program yg pernah terdapat sebelumnya menggunakan berbagai modifikasi. KUT disediakan buat petani yang belum memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan yg diperlukan buat usahatani dari asal pembiayaan sendiri. KUT disalurkan melalui tempat kerja cabang BRI ke KUD yg didistribusikan pada para petani anggota KUD. Kredit disediakan untuk Kelompok Tani pada tingkat bunga 12%.
Fakta menerangkan bahwa banyak kredit yang tidak hingga dalam petani yang ditargetkan, terutama petani miskin yang menjadikan sangat rendahnya tingkat pengembalian. Kredit melalui KUT sangat besar yang meningkat dari Rp 300 miliar pertahun (sebelum krisis ekonomi mencapai Rp 8 triliun dalam demam isu tanam 1998/99). Sejak program ini diaplikasikan, besarnya pembayaran balik hanya kurang lebih 25%, walaupun taraf bunga diturunkan menurut 14% pada tahun 1985-1995 serta sebagai 10,5% dalam tahun 1995-1998/99).
c. Kredit Ketahanan Pangan (KKP)
Pemerintah mengubah KUT menggunakan kredit acara yang diperbaharui, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Aturan pada KKP kembali dalam keikut sertaan bank yg berhadapan dengan peluang resiko (executing) mengakibatkan mereka sangat berhati-hati. Tingkat bunga masih disubsidi, dan pemerintah mengurangi subsidi tersebut secara bertahap hingga 2004.
Pada tahun 2000, pemerintah mengaplikasikan KKP menggunakan flafon Rp 2,082 triliun buat paket flora padi, palawija, perkebunan tebu, peternakan. Subsidi tingkat bunga dibayar pemerintah yg secara bertahap dikurangi. Sumber pendanaan tergantung dalam bank yg bersangkutan, dengan bunga sebesar 12% buat flora pangan serta 16% buat peternakan, perkebunan dan perikanan.
Sampai Desember 2001, jumlah peminjam menggunakan aturan KKP yang baru sangat rendah (20%), jauh dibawah yg diprediksikan semula. Padahal, jika rintangan berupa tunggakan bisa ditangani dengan baik, kredit KKP diyakini dapat berkembang. Akan namun yg diragukan adalah kesulitan pada menghadapi lebih banyak didominasi petani berlahan sempit. Kelompok warga tersebut sangat terbatas pengetahuan mengenai perkreditan dan mengakibatkan mereka kesulitan menjangkau bank formal yang menyediakan kredit pembiayaan mikro.
Sisitem Pembiayaan Pertanian
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, pemerintah Indonesia sudah mengaplikasikan mekanisme kredit subsidi berupa acara Kredit UsahaTani (KUT). Program ini bertujuan buat menggerakkan dengan cepat likuiditas dalam penghasil serta konsumen melalui prosedur sistem delivery . Selanjutnya pemerintah mengubah KUT menggunakan acara kredit yang baru, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Aturan main KKP pulang pada partisipasi bank menggunakan pertimbangan resiko (executing). Pada Januari 2002, jumlah peminjam melalui KKP menggunakan aturan yang baru merupakan sangat sedikit, jauh dibawah perkiraan awal.
Dana pedesaan merupakan artikulasi strategi pembiayaan pedesaan yang lebih penekanan dalam perluasan jangkauan ketimbang kelengkapan kredit bersubsidi. KKP adalah satu dari skim bersubsidi yang didukung pemerintah sudah dikurangi secara sedikit demi sedikit serta diakhiri dalam tahun 2004. Untuk mengatasi masalah petani sehabis krisis pada pedesaan, Departemen Pertanian meluncurkan program penguatan modal secara tetap menggunakan pembentukan Lembaga Pembiayaan Mikro yang adalah upaya buat pemberdayaan petani.
Keragaan Lembaga Pembiayaan Mikro di Pedesaan
Pembiayaan mikro pertanian pada pedesaan sudah diaplikasikan dan disalurkan tidak hanya melalui lembaga-lembaga formal tapi pula melalui lembaga informal. Lembaga formal yang ditugasi menyalurkan antara lain bank-bank pemerintah serta bank swsata. Sedangkan lembaga-forum informal yg turut berperan meliputi pedagang input pertanian, pedagang hasil-output pertanian dan jua para pedagang yg berfungsi kedua-duanya, yaitu pedagang input dan pedagang hasil. Sementara, berdasarkan norma atau berdasarkan segi konduite dan pola sikap rakyat petani, memiliki hutang bukanlah merupakan sesuatu yang membuat malu. Bahkan berhutang untuk memenuhi keperluan pembiayaan usahatani telah merupakan hal yg biasa dilakukan. Penerapan sistem bunga umumnya bisa diterima rakyat lantaran dievaluasi menjadi pembayaran jasa pinjaman. Lembaga pembiayaan sistem syariah belum dapat diterapkan dalam warga di pedesaan. Sumber pembiayaan yang beraqsal dari petani sendiri seringkali disisihkan berdasarkan hasil pertanian serta disimpan/ditabung dalam bentuk hewan ternak atau perhiasan emas, menggunakan pertimbangan bahwa jenis barang ini gampang untuk pada uangkan (dengan cara serupa pula ditemukan beberapa perkara buat persiapan dan pelaksanaan menunaikan ibadah haji). Alternatif sumber pembiayaan lain yaitu menggunakan cara meminjam pada lembaga pembiayaan formal atau informal sesuai dengan aksesibilitas masing-masing.
Sumber pembiayaan forum formal yang sebagai pilihan serta dekat menggunakan masyarakat di pedesaan merupakan bank pemerintah khususnya Bank BRI namun bank-bank lain seperti Bank Mandiri, Bank BNI, BPD melalui BPR serta BKK dan lain-lain jua dapat diakses warga . Meskipun di Bank BRI tingkat wilayah penyaluran kredit buat sektor pertanian relatif kecil, akan tetapi di taraf Unit Desa porsi kredit mikro pertanian menduduki urutan pertama. Sementara, kredit mikro informal disalurkan melalui fihak swasta sebagai pelepas uang, misalnya bank Plecit/Kangkung (NTB) serta bank Tuyul (Jateng). Lembaga-forum informal ini umumnya gampang diakses oleh siapa saja yg memerlukan, secara cepat, jarak dekat, saat dan akbar pinjaman sinkron kebutuhan, menggunakan prosedur sederhana dan tanpa agunan, tapi menggunakan tingkat bunga yg lebih tinggi. Hubungan pinjaman demikian lebih berdasarkan pada agama ketimbang jamianan seperti halnya institusi pembiayaan komersial.
Pada kenyataannya, lembaga formal pembiayaan mikro pada lokasi penelitian lebih diakses oleh golongan petani yg menguasai huma luas dan/atau pedagang secara individual. Sedangkan para petani yang menguasai lahan sempit mengalami kesulitan mengakses lembaga formal tadi yg diantaranya disebabkan belum memiliki aset yg bisa dijadikan jaminan (seperti sertfikat pemilikan tanah, BPKB tunggangan bermotor dsb.). Bahkan sebagian akbar diantara mereka, kalaupun memiliki masih takut serta enggan menjadikannya penjamin pinjaman. Sedangkan penyaluran kredit melalui kelompok dievaluasi nir mudah, selain agama atas kemampuan serta kejujuran pengurus gerombolan tidak sepenuhnya bisa diandalkan.
Kasus pada Sulawesi Selatan, adanya satu forum mediator IFC-Pensa (International Funancing Corporate – Pengembangan Usaha) yg berhasil sebagai penghubung antara pihak perbankan dan petani. Lembaga ini adalah keliru satu LSM berdasarkan World Bank Group yang mengkhususkan diri dalam upaya peningkatan tingkat hidup warga melalui penciptaan peluang usaha pada usaha kecil dan menengah (UKM). Di kabupaten Bantaeng Sulsel, IFC-Pensa berperan menjadi lembaga mediator antara pihak perbankan (BSM Makassar) dengan kelompok petani (usahatani jagung). Lembaga ini nir hanya berfungsi sebagai mediator penyaluran kredit, akan tetapi pula bertindak sebagai technical assistance yg membantu petani pada pengembangan SDM dan kelembagaannya.
Berbagai program pembiayaan mikro sudah direalisasikan baik sang lembaga perbankan maupun lembaga-forum pemerintah misalnya Pemerintah Daerah/Bappeda dan Departemen Pertanian. Tetapi, kredit tadi acapkali kali tidak terserap lantaran banyak sekali faktor, diantaranya tidak tepat saat. Selain itu adanya pandangan pihak-pihak eksklusif yg beranggapan bahwa kredit program adalah hibah berdasarkan pemerintah yang tidak perlu dikembalikan serta menjadikan terjadinya tunggakan. Di beberapa lokasi masih ada program donasi yang dikelola secara otonom serta disalurkan melalui kelembagaan Kelompok Tani, Lembaga Keuangan Mikro yg adalah transformasi berdasarkan P4K atau koperasi. Akan tetapi kiranya masih diperlukan training forum-lembaga tadi agar dapat berperan lebih efektif. Disamping itu, diperlukan revitalisasi tenaga penyuluh dan aktivitas penyuluhan supaya adopsi teknologi dapat lebih efektif sekaligus pemanfaatan dana pembiayaan mikro yg disediakan.
Hambatan-Hambatan Realisasi Kredit Pembiayaan Mikro
Permodalan buat pembiayaan bisnis pertanian, secara umum dari dari 2 sumber, yaitu dari modal sendiri dan dari pinjaman atau kredit menurut pihak lain. Dari pinjaman bisa dibagi dalam 3 jenis kredit, yakni (i) kredit acara pemerintah, (ii) kredit berdasarkan forum formal, seperti perbankan/BPR, serta (iii) kredit dari forum informal, misalnya pedagang, pelepas uang, gerombolan dan sebagainya. Kasus pada lokasi penelitian di pedesaan NTB dan Jawa Tengah, secara umum dikuasai petani lebih akses terhadap lembaga informal. Sangat sedikit petani yg memanfaatkan forum pembiayaan formal pada mendukung permodalan usahataninya. Tapi di Sulawesi Selatan, jumlah petani yg sudah mengakses asal-asal pembiayaan mikro formal terdapat pada porsi yg lebih besar , terutama dalam BRI Unit Desa. Selain itu, jua dijumpai beberapa petani yang memakai jasa pegadaian menjadi forum formal penyedia dana buat modal usahataninya.
Dana Kelompok Tani yg selama ini banyak membantu petani pada pembiayaan usahatani adalah berdasarkan donasi pemerintah berupa acara BPLM yang adalah bagian berdasarkan Proyek Peningkatan Ketahanan Pangan (P2KP). Khusus di di Sulawesi Selatan acara serupa sebagian berasal menurut Dana Tanggap Darurat. Pengembalian pinjaman ke kelompok dilakukan sesudah panen dan jasa bunga pinjaman bervariasai tapi dalam kisaran antara 1 hingga 1,5 persen. Secara generik pengembalian kredit pada tingkat petani relatif tertib dan lancar.
Berbagai hambatan dalam mengakses kredit pada lembaga-forum yg terdapat dirinci dari jenis masing-masing kredit yaitu kredit acara, kredit formal dan kredit informal, seperti berikut ini.
(i). Kredit Program
Kendala utama buat menerima kredit acara pemerintah (sistim bergulir) merupakan terbatasnya dana karena sangat tergantung dari alokasi anggaran pemerintah. Lokasi yang dipercaya layak buat menerima dana program telah dipengaruhi menurut pertimbangan menggunakan prioritas serta sasaran eksklusif. Walaupun direncanakan menggunakan sistem bergulir dalam kelompok berikutnya, akan tetapi pada pelaksanaannya dana yang digulirkan, beberapa perkara, sebagai tidak utuh jumlahnya seperti pada awal acara. Hal ini terjadi dampak tidak ada ketegasan sejak awal, pengawasan dan hukuman yg nir jelas. Akibatnya dana yang diterima grup berikutnya tidak memadai lagi buat suatu tujuan yang direncanakan. Sementara kredit program yg bersifat komersial (seperti KKP), dengan kondisi-kondisi yang sulit diakses petani. Kelompok Tani nasabah KKP wajib menyediakan agunan dan kelompok yg bersangkutan nir memiliki gambaran buruk dan wajib lunas KUT.
(ii). Kredit Formal
Lembaga kredit formal (perbankan juga BPR) mempunyai potensi yg akbar karena lembaga ini secara legal formal mempunyai kewenangan buat menghimpun dana simpanan rakyat. Akan namun masih sedikit rakyat yg mengakses lembaga ini. Hambatan realisasi kredit formal bisa dari menurut ke 2 pihak, perbankan sebagai penyedia dana serta petani menjadi pengguna. Pihak perbankan masih menduga sektor prtanian sangat beresiko dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Seleksi nasabah yang ketat diberlakukan dan dengan persyaratan wajib memiliki agunan dirasakan memberatkan. Apalagi jika agunan dalam bentuk sertifikat tanah yg dianggap sebagai hal yg sulit dipenuhi petani. Sementara berdasarkan sisi petani, selain persyaratan ketat pula mekanisme administrasi dinilai rumit serta memerlukan saat lebih lama . Akibatnya, waktu petani membutuhkan dana yang bersifat segera (misalnya buat membeli obat-obatan), dana tadi belum tersedia. Selain itu, sebagian besar petani beranggapan bahwa mekanisme pembayaran wajib dilakukan bulanan. Padahal di lembaga perbankan formal disediakan skim musiman (terutama BRI) misalnya per 3 bulan, 6 bulan atau 1 tahun. Informasi yang nir lengkap tadi kiranya masih diharapkan sosialisasi yang lebih intensif pada masa mendatang.
(iii). Kredit Informal
Diantara jenis forum pembiayaan yg banyak membantu petani adalah lembaga kredit informal. Kredit pada lembaga ini umumnya mudah diakses karena persyaratan dan prosedur administrasi sederhana. Kemudahan akses tersebut didasari dalam prinsip agama karena telah saling mengenal antara debetur serta kreditur, misalnya saudara, tetangga, mitra kerja dan interaksi kekerabatan yg lain. Kasus peminjam baru yg belum begitu dikenal, prinsip kehati-hatian tetap jadi pertimbangan para kreditur dengan cara memerlukan surat keterangan dari orang-orang yang dikenalnya, disamping jumlah pinjaman dibatasi dan dikenakan jasa pinjaman sedikit lebih tinggi. Walaupun prosedur pinjaman dalam lembaga informal tadi sederhana dan gampang, ketersediaan dana relatif terbatas serta tingkat bunga lebih tinggi menurut pada lembaga pembiayaan formal. Seorang peminjam yg lebih memilih forum informal dibandingkan menggunakan lembaga formal menyampaikan pendapatannya. Dengan mekanisme yang rigid dan administrasi yg rumit dan ketika yg usang, porto yang diperlukan buat pencairan dana pinjaman pada forum formal menjadi lebih tinggi dibandingkan wajib membayar kelebihan taraf bunga pada lembaga informal.
Persepsi Petani Terhadap Pembiayaan Mikro Pedesaan
Dari banyak sekali asal pembiayaan pertanian, banyak ditawarkan skim-skim kredit buat sub sektor flora pangan dan hortikultura sesuai kondisi masing-masing lokasi. Bagi para petani yang memiliki poly keterbatasan, baik pendidikan maupun pengetahuan, kadang kala mengalami kesulitan dalam menilai berbagai skim kredit yang ditawarkan. Tingkat pengetahuan petani suatu daerah terhadap eksistensi forum pembiayaan biasanya masih rendah yang terkait menggunakan aksesibilitas daerah yang bersangkutan. Di kabupaten Lombok Timur NTB menggunakan padi sebagai tanaman secara umum dikuasai, dengan aksesibilitas yang nisbi baik, lebih mengenal aneka macam forum pembiayaan yang ada di daerahnya dibandingkan dengan di daerah-daerah lain (wilayah yg secara umum dikuasai bawang merah, di kabupaten yg sama; lebih banyak didominasi jagung serta kentang pada Sulawesi Selatan serta secara umum dikuasai kedele dan cabe merah pada Jawa Tengah).
Mayoritas petani secara generik mengetahui bahwa taraf bunga asal pembiayaan formal memang lebih rendah, akan tetapi prosedur administrasi dievaluasi sulit, waktu penyaluran usang/lambat, serta jumlah kadangkala nir sinkron misalnya yg diperlukan. Sebaliknya, asal pembiayaan informal misalnya pedagang, pelepas uang dan grup, mekanisme administrasi sederhana, ketika pencairan pinjaman cepat/sempurna waktu sesuai kebutuhan tapi dengan tingkat bunga lebih tinggi. Tetapi demikian, penilaian petani terhadap taraf bunga sangat nisbi. Beberapa petani beranggapan bahwa dengan kesediaan menaruh pinjaman lebih diartikan sebagai “donasi” atau “pertolongan” terhadap mereka pada mengatasi masalah pembiayaan usahatani. Sehingga taraf bunga yang wajib dibayar lebih tinggi dipercaya sebagai balas jasa serta adalah hal yang lumrah serta nir memberatkan.
Terhadap pembiayaan dengan kredit program, sebagian petani beranggapan bahwa prosedur administrasi dinilai mudah, tapi sayangnya realisasi penyalurannya dinilai sangat lambat. Hal ini terkait dengan aturan serta mekanisme dan sasaran acara yang harus kentara. Dalam pelaksanaannya selalu melibatkan kelompok-kelompok tani yg berperan aktif sebagai penanggung jawab. Para petani di NTB beranggapan bahwa menjadi anggota kelompok merasa sangat gampang mengikuti kredit acara lantaran segala sesuatunya diurus dan diselesaikan sang ketua serta pengurus grup. Hal serupa jua dialami sang petani pada Sulawesi Selatan yang tidak mengalami kesulitan dalam menerima BPLM.