2 CARA TERBARU KELUAR DARI GRUP WA TANPA GANTI NOMER DI HP ANDROID

Cara Keluar Grup Whatsapp - Bagaimana cara keluar menurut kelompok wa tanpa diketahui tanpa ganti nomor teman yang ada dalam gerombolan tersebut meskipun masih memakai nomer wa lama ? Keluar dari kelompok wa tanpa jejak tanpa mengganti nomer merupakan salah satu cara meninggalkan kelompok yg ingin dilakukan sang para pengguna ponsel android kini ini. Hal ini dilakukan karena kita sebagai anggota grup wa tentu akan merasa nir enak hati jika kita meninggalkan gerombolan tadi tetapi diketahui oleh anggota kelompok lainnya ataupun admin. Selain itu, alasan yg menciptakan kita ingin keluar menurut grup whatsaap tersebut merupakan spesifikasi smartphone yg nir sanggup untuk menyimpan beberapa gerombolan alias akan lemot apabila terlalu poly kelompok whatsapp pada hanphone android yg kita miliki.
Daftar Isi
2 Cara Terbaru Keluar Grup Whatsapp Tanpa Ganti Nomer HP Android
  1. Alasan Untuk Menolak Ajakan Bergabung Dengan Grup Yang Tidak Kita Inginkan
  2. Cara keluar menurut kelompok wa tanpa muncul notifikasi

Smartphone android sebagai lemot lantaran terlalu poly grup wa sebagai suatu hal yang lumrah jika pada pengaturan otomatis menyimpan gambar whatsapp tidak kita nonaktifkan. Namun rasa tidak lezat hati ataupun takut bila dijadikan perbincangan karena kita meninggalkan grup whatsapp meskipun kita sudah menggunakan cara keluar gerombolan wa menggunakan sopan menjadi faktor terbesar kita untuk melakukannya secara sembunyi - sembunyi. Lantas bagaimana cara keluar dari grup tanpa diketahui anggota lain tersebut ? Meskipun tanpa menghapus kelompok wa secara permanen ataupun memblokir gerombolan tersebut, menggunakan cara kali ini kita mampu keluar berdasarkan grup yg kita kehendaki.
Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini kami CARA FLEXI akan berikan tips supaya kita mampu keluar dari grup whatsapp tanpa pada ketahui. Disini kami akan berikan dua cara meninggalkan kelompok wa tanpa disadari sang orang lain, yaitu dengan clear data pelaksanaan whatsapp dan mengubah nomer wa ad interim. Meskipun memiliki kelebihan dan kekurangan masing, cara keluar menurut kelompok wa tersebut dapat kita lakukan tanpa menghapus gerombolan pelaksanaan whatsapp pada hp android yang kita miliki. Untuk itu ayo langsung saja kita simak ulasan mengenai cara keluar berdasarkan gerombolan wa tanpa ganti nomer hp android yang kita miliki pada bawah ini.

2 Cara Terbaru Keluar Grup Whatsapp Tanpa Ganti Nomer Di HP Android


Perlu buat kita ketahui jika kita ingin meninggalkan gerombolan wa menggunakan cara menghapus data dari pelaksanaan whatsapp tadi kita akan misalnya saat mendaftar wa pertama kali karena akun whatsapp pada hp android akan hilang. Dan kita wajib mendaftar memakai nomer baru, jika masih memakai nomer usang maka secara otomatis kita masih bergabung pulang pada grup - gerombolan tadi.
Namun buat cara yang ke 2 dimana kita membarui nomer handphone yg telah didaftarkan pada aplikasi whatsapp tadi secara ad interim, dari kami adalah langkah yang terbaik. Meskipun sedikit rumit saat pengaturannya, cara kedua ini bisa membuat kita tidak menjadi member kelompok wa tadi walaupun masih menggunakan nomer lama .
Akan tetapi sebelum kita mencoba ke 2 cara tadi, kami memiliki beberapa tips supaya kita nir sebagai anggota gerombolan whatsapp yg terdapat di hp android yg kita miliki itu. Diantaranya merupakan :

Alasan Untuk Menolak Ajakan Bergabung Dengan Grup Yang Tidak Kita Inginkan


Handphone Jadul Memori Terbatas
  • Salah satu hal yang dapat kita jadikan alasan jika terkadang kita sakit hati karena obrolan serta kita ingin ijin keluar meninggalkan gerombolan wa adalah spesifikasi handphone yg lemot karena memori terbatas. Jadi jika terdapat yg chat secara pribadi dan bertanya alasan keluar gerombolan , kita tinggal saja bilang hape sebagai lemot lantaran kebanyakan gerombolan .

mungkin anda tertarik :

Bisukan Grup
  • Jika kita merasa terganggu lantaran notifikasi kelompok yang nir ingin terima dan kita malah menjadi anggota kelompok tadi karena digabungkan oleh sahabat maka solusi agar kita nir sebagai anggota gerombolan tadi adalah dengan fitur bisukan notifikasi dalam grup wa tadi. Dengan kita melakukan seting bisukan notifikasi kelompok wa selama 1 tahun maka kita akan dipercaya member yang tidak produktif serta admin akan mengeluarkan kita menurut grup tadi.

Menjadi Annoying
  • Dan cara ketiga buat keluar kelompok tanpa ganti nomer whatsapp ini relatif ekstrim,  cobalah bersikap menyebalkan. Share fakta yg nir benar, mengirim joke bapak - bapak, mengirim ucapan selamat pagi, siang, sore, malam, serta menjelang tidur, membalas komen-komen anggota lain menggunakan meme-meme beresolusi rendah nan nir lucu. Apa punlah yang potensial menciptakan orang jengkel karena adanya kehadiran kita. Dapat dipastikan jika seluruh anggota kelompok sebel menggunakan kita maka kita tidak perlu repot - repot untuk minta biar keluar berdasarkan grup whatsapp tadi. Yang terdapat kita akan di-kick dari kelompok serta tidak pernah dimasukkan balik selamanya.

Akan tetapi jika anda nir ingin memakai cara di atas dan tetap ingin keluar menurut kelompok tanpa diketahui orang lain, maka cobalah buat melakukan dua cara keluar dari grup wa tanpa ketahuan anggota lain sebagai berikut :

Cara keluar menurut kelompok wa tanpa muncul notifikasi


1. Clear Data - Hapus Data WA

Cara keluar kelompok whatsapp pada hp android termudah serta tanpa harus menghapus aplikasi wa ataupun kelompok whatsapp tadi adalah menggunakan melakukan Clear Data Aplikasi Whatsapp pada pengaturan hp android. Akan tetapi cara pertama ini memiliki kelemahan dimana sehabis kita melakukan clear data serta masuk aplikasi wa pada hp android balik memakai nomer hp usang maka secara otomatis akan pulang gabung ke kelompok yg ingin kita tinggalkan.
Namun jika anda ingin mengubah nomer handphone serta meninggalkan kelompok wa tadi, di bawah ini merupakan langkah - langkah buat keluar dari kelompok whatsapp tanpa diketahui admin. Diantaranya merupakan :
  1. Pertama - tama terlebih dahulu mari kita buka menu pengaturan atau settings di HP Android yang kita miliki
  2. Kemudian cari manager aplikasi / aplk / application manager
  3. Setelah itu cari pelaksanaan WhatsApp lalu tap / pilih
  4. Langkah selanjutnya pilih tombol "Hapus Memori" kemudian pilih lagi "Hapus Data"
  5. Selesai

Dengan memakai cara diatas, nama kita masih timbul di gerombolan whatsapp seakan - akan kita belum keluar berdasarkan gerombolan tadi. Namun kita telah tidak bisa menerima pesan dari grup wa tadi karena sebenarnya akun WA akan hilang menurut hp namun akun tersebut masih aktif.
2. Cara keluar dari gerombolan wa tanpa ganti nomor
Jika kita ingin meninggalkan grup whatsapp secara diam - membisu tanpa munculnya pemberitahuan atau notifikasi pada grup wa tersebut maka cara kedua ini patut buat kita coba. Hal ini dikarenakan kita dapat keluar dari kelompok wa tersebut namun tetap masih mampu memakai nomer handphone lama nir misalnya cara di atas.
Akan namun buat melakukan cara kedua ini, kita perlu mempersiapkan angka baru menjadi pengganti nomor usang sementara. Agar detail dapat kita simak ulasan selengkapnya di bawah ini, yaitu :

Langkah Pertama (Ganti No WA) 



  • Siapkan nomor baru untuk membarui nomor WhatsApp lama (hanya sementara)
  • Setelah itu lakukan penggantian nomer whatsapp pada hp android menggunakan cara masuk melalui pilihan menu Setelan >> Akun >> Ganti Nomor lalui ikuti langkahnya sampai selesai
  • Setelah nomor berhasil diganti maka secara otomatis di gerombolan WhatsApp yg akan kita tinggalkan angka kita telah berubah menjadi yg baru dan kita belum keluar menurut grup

Langkah kedua (Clear Cache serta Hapus Data Aplikasi Whatsapp)


  • Buka pilihan menu pengaturan di HP lalu pilih manager aplikasi
  • Kemudian tap pelaksanaan WhatsApp dan pilih Hapus Memori (Clear Cache) lalu pilih lagi Hapus Data (Clear Data)
  • Setelah kita lakukan langkah diatas yang terjadi merupakan aplikasi WhatsApp akan higienis seperti baru kita unduh dan akun WhatsApp tadi sebetulnya masih aktif namun sudah nir terdapat di HP android yang kita miliki

baca pula :
  1. Cara Membuat Link Whatsapp Auto Order Di Facebook
  2. Cara Menyembunyikan Status "Sedang Mengetik Pesan" Di Whatsapp Android

Langkah ketiga (Daftar WhatsApp Dengan Nomor Lama) 



Dan langkah terakhir supaya kita bisa keluar kelompok whatsapp namun masih tetap menggunakan nomer handphone lama maka kita perlu buat mendaftarkan pulang nomer whatsapp lama yg pernah kita daftarkan sebelumnya sebagai berikut :
  • Pertama - tama kita buka pelaksanaan WhatsApp pada hp android yg kita miliki
  • Kemudian pilih Setuju dan Lanjutkan
  • Setelah itu masukan no HP lama kemudian lakukan proses aktivasi. Jika proses verifikasi sms nir berhasil (sms pembuktian nir masuk sebaiknya tunggu lima - 15 menitan baru coba lagi jangan diulang-ulang pada ketika berdekatan) maka coba lakukan untukverifikasi via telepon.
  • Silakan buat melakukan proses registrasi sampai terselesaikan, apabila ada pilihan buat restore maka lewati saja namunresikonya kita akan kehilangan seluruh percakapan lama

Tips : 
Sebaiknya selesainya clear data tunggu lima - 15 menitan sebelum mendaftarkan nomor usang, lantaran bila terlalu cepat mengganti - ganti nomer WA biasanya kode verifikasi tidak diterima atau nir masuk - masuk

Demikian rendezvous kita kali ini yg baru saja menguas tentang bagaimana cara keluar menurut grup wa tanpa diketahui orang lain. Semoga rendezvous kita kali ini akan memberikan manfaat buat kita seluruh, sekian serta terima kasih ..

PENDIDIKAN ISLAM DEMOKRATISASI DAN MASYARAKAT MADANI

Pendidikan Islam, Demokratisasi Dan Masyarakat Madani
Masyarakat Madani: Dialog Islam Dan Modernitas Di Indonesia
Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan serta Timbalan Perdana Menteri Malaysia) pada ceramah pada Simposium Nasional pada rangka Forum Ilmiah dalam Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan berdasarkan bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang pakar sejarah dan peradaban Islam menurut Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (mudun). Madani berarti pula peradaban, sebagaimana istilah Arab lainnya misalnya hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu dalam hal-hal yg ideal dalam kehidupan.

Konsep warga madani itu lahir sebagai output berdasarkan Festival Islam yang dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yg selenggarakan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu menurut Presiden Soeharto dan diketuai sang BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yg menduduki jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas menurut peranan Habibie yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto buat mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana buat menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut lantaran Soeharto sedang mencari partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya sebagai presiden pada tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto buat mengurangi tekanan pengaruh menurut mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis yg mendirikan berbagai LSM serta gerombolan Islam yang menempuh jalur sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri. 

Mereka berbagi gerakan prodemokrasi menggunakan memperkenalkan konsep civil society atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan menjadi kaunter terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan buat mengkaunter penguasaan ABRI menjadi penyangga primer keberadaan Orde Baru. ABRI nir hanya memerankan sebagai unsur pertahanan serta keamanan saja namun pula mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya dalam doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik pada forum eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat memilih. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru berubah menjadi menjadi regim yang bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang pula kepala generik ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 lepas 27 Februari 1999 buat membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan serta mensosialisasikan konsep warga madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan kerangka berpikir lama yang menekankan dalam stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah nir cocok lagi. 

Munculnya konsep warga madani memperlihatkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan terkini, persisnya mengawinkan ajaran Islam menggunakan konsep civil society yg lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep warga madani nir langsung terbentuk dalam format seperti yg dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani mempunyai rentang saat pembentukan yang sangat panjang menjadi output dari akumulasi pemikiran yg akhirnya membangun profile konsep normatif misalnya yang dikenal kini ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai dampak menurut proses pengaktualisasian yg dinamis menurut konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).

Perumusan dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yg mengungkapkan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan berukuran baik atau buruknya perilaku wajib menggunakan merujuk pada insiden yang terdapat pada khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yg lahir di Barat menggunakan warga madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil model menurut data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan menggunakan warga ideal dalam konsep civil society. 

Mereka melakukan penyetaraan itu buat memberitahuakn di satu sisi, Islam memiliki kemampuan buat diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, serta di sisi lain, rakyat kota Madinah adalah proto-type warga idel produk Islam yang bisa dipersandingkan menggunakan rakyat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan sesudah teruji validitasnya dari landasan normatif (nass) berdasarkan asal utama Islam (al-Qur’an serta Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).

Nabi Muhammad SAW serta Masyarakat Madani 
Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahan civil society menggunakan rakyat madani, lantaran kehidupan warga Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip pada civil society yg lahir pada Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel menggunakan wangsit civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society (Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having its own sah code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: dua). What this basically represents is the idea that people living together form a political community with a common good. 

Islam yg diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dalam QS dua: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh pada para malaikat bersujud kepada Adam (insan pertama) yang telah diberi kelebihan logika pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih lanjut berdasarkan paham humanisme ini, lalu di Barat sebagaimana yg dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yang berangkat menurut perkiraan bahwa manusia pada dasarnya baik sehingga wajib diberi kebebasan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan kudus”. 

Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seorang pakar sejarah global, melihat bahwa andai saja sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya adalah sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil berdasarkan sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian merupakan umat terbaik yang dilahirkan buat insan, … (QS 3: 110). Dia melihat kehadiran Islam di muka bumi ini sungguh sangat sukses dan mempunyai akibat yg sangat signifikan bagi peradaban, pada antaranya pada bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam datang, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-buat tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India serta ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling sahih serta mereka nir mau menyelidiki ilmu-ilmu lain. Namun nir demikian halnya dengan Islam. Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada pada negeri Cina.” Dalam keliru satu ayatnya, Al-Kur’an pula memerintahkan kita buat bertanya: … Maka bertanyalah kepada orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir menginterpretasikan ahl adz-dzikr dalam ayat itu menjadi al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar kepada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30).

Islam menjadi agama universal tidak mengatur bentuk negara yg terkait oleh konteks ruang dan saat, serta Nabi Muhammad SAW sendiri nir menamakan dirinya sebagai ketua negara Islam, disamping nir melontarkan ise suksesi yg tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam warga Arab, tetapi dia sangat menghormati tradisi serta memperbaharuinya secara bertahap sesuai menggunakan psikologi insan lantaran tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new sah order) tapi buat mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).

Nabi Muhammad telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep ummat yg menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya serta heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai dalam masa Nabi Muhammad lantaran tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga warga (termasuk mereka yg non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu bila dilakukan ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yang tadinya buat mensistematiskan dan mempermudah pengajaran kepercayaan , akhirnya dapat sebagai pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif pribadi dituduh sebagai bid’ah.

Dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, Islam seperti yg beredar dalam literatur aturan agama (al-kutub al-fiqhiyyah) telah membuatkan ada 5 agunan dasar (Wahid (1999: 1) menjadi berikut:
(1) keselamatan fisik rakyat rakyat berdasarkan tindakan badani di luar ketentuan aturan, (dua) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan buat berpindah kepercayaan , (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur aturan, dan (5) keselamatan profesi.

Bahkan konsep civil society itu menerima efek menurut pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan kitab karangan C.G. Weeramantry (Monash University, Australia) serta M. Hidayatullah (India) yang berjudul Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut mereka, pemikiran John Locke dan Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka mengenai kedaulatan (sovereignty), mendapatkan impak berdasarkan pemikiran Islam. Locke ketika sebagai mahasiswa Oxford sangat putus harapan menggunakan disiplinnya, serta lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, professor studi mengenai Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke tentang persoalan-dilema mengenai pemerintahan, kekuasaan dan kebebasan individu. 

Rousseau dalam Social Contract-nya juga nir tanggal menurut imbas Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yg lalu diteruskan pada buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak tanggal menurut imbas Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).

Masyarakat Madani pada Indonesia
a. Latar belakang Kehidupan Politik
Masyarakat madani sukar tumbuh serta berkembang dalam rezim Orde Baru yg didirikan dengan perkiraan yang bertolak belakang dengan perkiraan Orde Lama. Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima, sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas buat mendukung program pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi terkini yang didukung IMF (International Monetary Fund) serta World Bank, suatu badan yang sangat besar peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan tradisi menjadi wahana bagi warga buat memberi makna terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yg bersifat sentralistis itu akan memilik impak positif jua dalam lapisan rakyat bawah.

Sejak diangkat menjadi pejabat presiden dalam tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang tidak baik pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru membangun Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yg tidak bersifat ideologis dan lebih mementingkan dalam program. Kalau dilihat manfaatnya maka Golkar adalah partai politik karena ikut kompetisi pada pemilu 1971 serta nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 nir tanggal dari peranan militer yang mempunyai jalur komando teritorial dari pusat sampai ke taraf kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama menggunakan aparat birokrasi serta para teknokrat. 

Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik menggunakan melakukan intervensi dalam pemilihan kepala sebagai akibatnya gambaran parpol menjadi menurun di mata warga . Intervensi adalah suatu yang sangat lumrah lantaran kedua partai politik PPP serta PDI mengalami kesulitan pada melakukan konsolidasi aneka macam unsur yang membentuknya. Partai sebagai tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat serta warga sebagai apatis terhadap politik. 

Meskipun pembangunanisme sudah membuat nomor pertumbuhan ekeonomi sebesar homogen-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% dalam periode 1971-1980, tetapi angka kemiskinan masih relatif tinggi, nomor pengangguran semakin tinggi, serta yang tidak kalah mengerikan adalah pengebiran demokrasi serta pelanggaran HAM terus semakin tinggi. Memang secara makro ekonomi terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan keuntungannya bahkan merugikan masyarakat. Hal ini ditimbulkan ideologi developmentalisme yg sudah dielaborasi menjadi program-acara pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh dan masyarakat buat kepentingan kaum borjuis. 

b. Latar belakang Kehidupan Ormas
Hanya beberapa organisasi keagamaan yang mempunyai basis sosial besar yg nisbi mempunyai kemandirian dan kekuatan pada mempresentasikan diri menjadi unsur dari rakyat madani, misalnya Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah menggunakan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit buat melakukan hegemoni pada pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut lantaran mereka memiliki otoritas pada pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh serta organisasi keagamaan ini bahkan lebih akbar daripada partai-partai politik yang ada.

UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168) mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi impak ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme serta birokratisasi pada hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakat dan profesi pada wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak mempunyai kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka nir mempunyai kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

c. Kelahiran Civil Society
Munculnya wacana civil society pada Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena dalam masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan perihal civil society yang dipahami menjadi warga non-negara serta selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan menggunakan perihal civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, tetapi disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.

Kebangkitan perihal civil society dalam NU diawali dengan momentum pulang ke khittah 1926 dalam tahun 1984 yg mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam herbi negara sebagai akibatnya beliau dikenal menjadi grup Islam budaya, yg dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, menjadi dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan menggunakan konsep rakyat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal humanisme, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yg didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (dua) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam menetapkan perkara baik politik maupun agama; serta (tiga) kabar historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seseorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

Hubungan Masyarakat Madani dan Negara 
Dalam pengembangan konsep rakyat madani para intelektual Muslim membuahkan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak mampu mengintervensi hak-hak individu (biasa dianggap dengan small stateness), namun sangat bertenaga pada bidang aplikasi hukum (Azizi, 2000: 87). 

Kalau kita melihat secara jeli rakyat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga nir sepenuhnya sahih jika kita ingin mewujudkan rakyat madani berati berakibat kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah misalnya yang terjadi pada Amerika. Kesan tersebut timbul karena konsep civil society lahir bersamaan menggunakan konsep negara terkini, yg bertujuan: Pertama, buat menghindari lahirnya negara mutlak yang timbul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, buat mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar menjadi berikut (Gamble, 1988: 47-48): 

…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled. 

Dari penerangan di atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara terkini mencakup 2 tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait menggunakan tema kedua itu, yaitu;

…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in terbaru liberalism.

Hegel serta Rousseau memandang negara terbaru lebih menurut sekedar penjamin bagi berkembangknya civil society, karena negara terkini didirikan atas dasar persamaan seluruh warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu beserta, misalnya penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan adalah zenit berdasarkan sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56).

Adam Seligman mengemukakan 2 penggunaan istilah civil society menurut sudut konsep sosiologi, yaitu pada strata kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik serta membuat civil society sebagai suatu kenyataan pada global nilai dan agama. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan slogan untuk memperkuat ilham demokrasi yang memiliki delapan ciri (Azizi, 2000: 88-89), yaitu:

(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (lima) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. 

Dari delapan ciri demokrasi yg merupakan tugas negara terkini, maka kita memahami bahwa negara mempunyai tugas buat berbagi masyarakat madani. 

Penggunaan istilah yang kedua berkaitan menggunakan tinjauan filsafat yang menekankan dalam nilai dan kepercayaan , menjadi imbas moralitas Kristen dalam peradaban terbaru. Moral diyakini sangat penting buat mengatur kehidupan berbangsa serta bernegara, walaupun aspek moral itu nir ditransendenkan pada Tuhan, menggunakan alasan misalnya yang diyakini Montesquieu serta Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yg dicermati telah tidak cocok lagi buat dunia terbaru. Mereka yakin kepercayaan hanya berperan menjadi masa transisi antara global mitos serta global modern.

Era Reformasi yg melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, sudah mempopulerkan konsep Masyarakat madanikarena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus mengenai konsep itu pada aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 lepas 27 Februari 1999 buat menciptakan suatu dengan tugas untuk merumuskan serta mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan buat menggantikan paradigma usang yg menekankan dalam stabilitas dan keamanan yg terbukti telah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 sang tekanan berdasarkan gerakan Reformasi yg sudah muak dengan pemerintahan militer Soeharto yg otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society menggunakan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM). 

Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure class dari kalangan Islam, dimana beliau duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi lantaran terdapat perantara Habibie yg sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani merupakan keliru satu cara menurut gerombolan ICMI buat merebut pengaruh pada Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani menerima dukungan luas berdasarkan para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka seluruh merasa berkepentingan buat menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi aturan, serta HAM.

Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, tiga Maret 1999) konfiden bahwa pengembangan masyarakat madani memang sanggup membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi rakyat yang belum berpengalaman pada berdemokrasi, pengembangan rakyat madani justru mampu menjadi kendala terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi merupakan distribusi kekuasaan politik menggunakan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan dalam anggaran main. Untuk menghindari hal itu, dibutuhkan pengembangan forum-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yg efektif, yg menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yg terbuka dan partisipatoris.

Keteganggan pada Indonesia nir hanya dalam tentang politik saja, namun diperparah menggunakan gejala desintegrasi bangsa terutama perkara Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, serta Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong sang dosa rezim Orde Baru yg telah mengabaikan ciri-ciri warga madani seperti pelanggaran HAM, nir tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/mutlak. Sedangkan kerusuhan sosial yg acapkali membawa problem SARA memperlihatkan bahwa masih poly warga yang buta aturan dan politik (menjadi prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.

Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya beliau berusaha membangun kebersamaan pada kehidupan umat beragama, yang nir hanya berdasarkan dalam toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) pada Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi berdasarkan dalam aspek saling mengerti (Hidayat serta Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar kepercayaan /antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yg bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yg dibuat dengan tujuan buat memupuk saling pengertian antar kepercayaan . Gus Dur, misalnya gerombolan Tradisionalis lainnya, nir memandang orang berdasarkan kepercayaan akan tetapi lebih pada eksklusif, visi, kesederhanaan serta ketulusannya buat darma pada sesama (Effendi, 1999).

Terpilihnya Gus Dur menjadi presiden sebenarnya menyiratkan sebuah persoalan tentang prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yg dulu sebagai komunitas non-negara serta selalu menjadi kekuatan penyeimbang, sekarang telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yg telah dijelaskan dalam bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU wajib memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang nir didapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur wajib mendukung terciptanya negara yg demokratis agar memungkinkan berkembangnya rakyat madani, dimana negara hanya berperan menjadi ‘polisi’ yg menjaga kemudian lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).

PENDIDIKAN ISLAM DEMOKRATISASI DAN MASYARAKAT MADANI

Pendidikan Islam, Demokratisasi Dan Masyarakat Madani
Masyarakat Madani: Dialog Islam Dan Modernitas Di Indonesia
Masyarakat madani menjadi terjemahan menurut civil society diperkenalkan pertama kali sang Anwar Ibrahim (saat itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) pada ceramah pada Simposium Nasional pada rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan berdasarkan bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan sang Prof. Naquib Attas, seseorang pakar sejarah dan peradaban Islam berdasarkan Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti jua peradaban, sebagaimana istilah Arab lainnya misalnya hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu dalam hal-hal yang ideal dalam kehidupan.

Konsep warga madani itu lahir sebagai output dari Festival Islam yg dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yg selenggarakan sang ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan dalam Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto serta diketuai sang BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI nir lepas dari peranan Habibie yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto buat mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yg sedang berkembang pesat serta memerlukan sarana buat menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari partner menurut golongan Muslim supaya mendukung keinginannya sebagai presiden dalam tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto buat mengurangi tekanan efek berdasarkan mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama menurut kalangan nasionalis yang mendirikan aneka macam LSM serta gerombolan Islam yang menempuh jalur sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri. 

Mereka menyebarkan gerakan prodemokrasi menggunakan memperkenalkan konsep civil society atau rakyat sipil. Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter terhadap hegemoni negara yg begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, serta para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan untuk mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga primer eksistensi Orde Baru. ABRI tidak hanya memerankan menjadi unsur pertahanan serta keamanan saja namun jua mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik pada lembaga eksekutif, legislatif, juga yudikatif. Keterlibatannya pada politik sangat memilih. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan nir berjalan dan Orde Baru bermetamorfosis menjadi regim yg bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan wapres Habibie, yang jua ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu dalam aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 lepas 27 Februari 1999 buat menciptakan suatu komite dengan tugas buat merumuskan serta mensosialisasikan konsep rakyat madani itu. Konsep rakyat madani dikembangkan buat menggantikan paradigma usang yang menekankan dalam stabilitas serta keamanan yang terbukti telah nir cocok lagi. 

Munculnya konsep warga madani menunjukkan intelektual muslim Melayu bisa menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan terbaru, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep rakyat madani nir langsung terbentuk pada format seperti yg dikenal kini ini. Konsep masyarakat madani mempunyai rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil berdasarkan akumulasi pemikiran yg akhirnya menciptakan profile konsep normatif misalnya yang dikenal sekarang ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai akibat berdasarkan proses pengaktualisasian yg bergerak maju menurut konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).

Perumusan serta pengembangan konsep masyarakat madani memakai projecting back theory, yg berangkat berdasarkan sebuah hadits yg menyampaikan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan berukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk dalam insiden yg masih ada dalam khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yang lahir pada Barat dengan rakyat madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka merogoh model dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan menggunakan warga ideal pada konsep civil society. 

Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menerangkan di satu sisi, Islam memiliki kemampuan buat diinterpretasi ulang sinkron dengan perkembangan zaman, dan pada sisi lain, rakyat kota Madinah adalah proto-type masyarakat idel produk Islam yg sanggup dipersandingkan dengan rakyat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep rakyat madani dilakukan setelah teruji validitasnya berdasarkan landasan normatif (nass) berdasarkan asal utama Islam (al-Qur’an serta Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).

Nabi Muhammad SAW serta Masyarakat Madani 
Rasanya tidaklah hiperbola kalau kita menerjemahan civil society dengan warga madani, karena kehidupan warga Madinah pada bawah Nabi Muhammad SAW serta Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip pada civil society yang lahir di Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel dengan pandangan baru civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society (Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having its own sah code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: dua). What this basically represents is the idea that people living together form a political community with a common good. 

Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat humanisme. Dalam QS dua: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh pada para malaikat bersujud kepada Adam (insan pertama) yang sudah diberi kelebihan akal pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih lanjut menurut paham kemanusiaan ini, lalu di Barat sebagaimana yg dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yg berangkat dari perkiraan bahwa insan dalam dasarnya baik sebagai akibatnya harus diberi kebebasan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan kudus”. 

Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seseorang ahli sejarah global, melihat bahwa sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya merupakan sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil berdasarkan sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan buat insan, … (QS tiga: 110). Dia melihat kehadiran Islam di muka bumi ini benar-benar sangat sukses dan memiliki akibat yg sangat signifikan bagi peradaban, di antaranya pada bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam tiba, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-untuk tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India dan ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling benar dan mereka nir mau memeriksa ilmu-ilmu lain. Namun nir demikian halnya dengan Islam. Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada di negeri Cina.” Dalam galat satu ayatnya, Al-Kur’an juga memerintahkan kita untuk bertanya: … Maka bertanyalah pada orang berpengetahuan bila engkau nir mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir menginterpretasikan ahl adz-dzikr pada ayat itu menjadi al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar kepada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30).

Islam sebagai kepercayaan universal tidak mengatur bentuk negara yg terkait sang konteks ruang dan waktu, serta Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya menjadi kepala negara Islam, disamping nir melontarkan ise suksesi yg tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam rakyat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi serta memperbaharuinya secara sedikit demi sedikit sesuai dengan psikologi insan karena tujuannya bukanlah membangun orde baru (a new sah order) akan tetapi buat mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan serta kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).

Nabi Muhammad sudah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan menggunakan konsep ummat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya serta heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai pada masa Nabi Muhammad karena tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin serta kebebasan berpikir semua warga rakyat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu jika dilakukan ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yg tadinya buat mensistematiskan dan mempermudah pengajaran kepercayaan , akhirnya bisa sebagai pemasung terhadap kebebasan berpikir lantaran setiap terdapat pemikiran kreatif pribadi dituduh sebagai bid’ah.

Dalam kaitannya menggunakan hak-hak asasi manusia, Islam misalnya yang tersebar pada literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) sudah berbagi terdapat 5 jaminan dasar (Wahid (1999: 1) sebagai berikut:
(1) keselamatan fisik masyarakat masyarakat dari tindakan badani pada luar ketentuan aturan, (dua) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan buat berpindah agama, (3) keselamatan keluarga serta keturunan, (4) keselamatan mal dan milik eksklusif pada luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.

Bahkan konsep civil society itu menerima dampak berdasarkan pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan kitab karangan C.G. Weeramantry (Monash University, Australia) dan M. Hidayatullah (India) yg berjudul Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut mereka, pemikiran John Locke serta Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka tentang kedaulatan (sovereignty), mendapatkan pengaruh berdasarkan pemikiran Islam. Locke waktu menjadi mahasiswa Oxford sangat putus harapan dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah serta kuliah Edward Pococke, professor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke tentang problem-problem mengenai pemerintahan, kekuasaan serta kebebasan individu. 

Rousseau dalam Social Contract-nya pula tidak tanggal berdasarkan dampak Islam. Bahkan beliau secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yg kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, nir lepas berdasarkan dampak Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).

Masyarakat Madani pada Indonesia
a. Latar belakang Kehidupan Politik
Masyarakat madani sukar tumbuh serta berkembang dalam rezim Orde Baru yang didirikan dengan asumsi yang bertolak belakang dengan perkiraan Orde Lama. Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama berakibat politik sebagai panglima, sedangkan Orde Baru berakibat ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas buat mendukung acara pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, suatu badan yg sangat akbar peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan tradisi sebagai wahana bagi warga buat memberi makna terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan dalam aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis itu akan memilik dampak positif jua dalam lapisan rakyat bawah.

Sejak diangkat sebagai pejabat presiden dalam tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang buruk dalam politik yg cenderung bersifat ideologis. Orde Baru membangun Golkar menjadi suatu golongan (bukan partai) yang nir bersifat ideologis serta lebih mementingkan pada program. Kalau ditinjau kegunaannya maka Golkar adalah partai politik lantaran ikut kompetisi dalam pemilu 1971 serta nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 nir tanggal berdasarkan peranan militer yg memiliki jalur komando teritorial berdasarkan sentra sampai ke taraf kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama dengan aparat birokrasi serta para teknokrat. 

Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik dengan melakukan intervensi dalam pemilihan kepala sehingga citra parpol sebagai menurun pada mata rakyat. Intervensi adalah suatu yang sangat wajar lantaran ke 2 partai politik PPP serta PDI mengalami kesulitan pada melakukan konsolidasi berbagai unsur yang membentuknya. Partai menjadi tidak berfungsi menjadi wadah penyaluran aspirasi masyarakat dan masyarakat sebagai apatis terhadap politik. 

Meskipun pembangunanisme telah membentuk nomor pertumbuhan ekeonomi sebanyak rata-rata 7% sampai tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% pada periode 1971-1980, namun nomor kemiskinan masih nisbi tinggi, nomor pengangguran meningkat, serta yg tak kalah mengerikan merupakan pengebiran demokrasi dan pelanggaran HAM terus meningkat. Memang secara makro ekonomi terkesan baik, tetapi secara mikro kurang diraskan keuntungannya bahkan merugikan rakyat. Hal ini ditimbulkan ideologi developmentalisme yang sudah dielaborasi sebagai acara-program pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh serta warga untuk kepentingan kaum borjuis. 

b. Latar belakang Kehidupan Ormas
Hanya beberapa organisasi keagamaan yg memiliki basis sosial besar yang relatif memiliki kemandirian serta kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari rakyat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori sang KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit buat melakukan hegemoni dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas pada pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh serta organisasi keagamaan ini bahkan lebih akbar daripada partai-partai politik yang ada.

UU No. 8 Tahun 1985 mengenai Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168) mewajibakan seluruh ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi pengaruh ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme serta birokratisasi di hampir semua aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakat dan profesi pada wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, serta sebagainya. Organisasi-organisasi tadi tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin juga penyusunan program-programnya, sehingga mereka nir mempunyai kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

c. Kelahiran Civil Society
Munculnya perihal civil society pada Indonesia poly disuarakan sang kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini mampu dipahami karena pada masa tadi, NU merupakan komunitas yg nir sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam kiprah kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan tentang civil society yg dipahami menjadi warga non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan menggunakan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya merupakan Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.

Kebangkitan perihal civil society dalam NU diawali menggunakan momentum balik ke khittah 1926 pada tahun 1984 yg mengantarkan Gus Dur menjadi Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya pada herbi negara sebagai akibatnya beliau dikenal sebagai grup Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, menjadi dasar NU mendapat asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep warga madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal humanisme, sinkron dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yg berdasarkan dalam prinsip kesatuan (tawhid); (dua) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat pada memutuskan masalah baik politik juga kepercayaan ; dan (tiga) berita historis bahwa KH A. Wahid Hasyim menjadi galat seseorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

Hubungan Masyarakat Madani serta Negara 
Dalam pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim mengakibatkan Amerika Serikat menjadi contoh berdasarkan bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut menggunakan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang aplikasi hukum (Azizi, 2000: 87). 

Kalau kita melihat secara jeli rakyat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga tidak sepenuhnya sahih jika kita ingin mewujudkan warga madani berati berakibat kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah misalnya yang terjadi pada Amerika. Kesan tersebut muncul lantaran konsep civil society lahir bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara mutlak yg timbul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, buat mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48): 

…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled. 

Dari penerangan pada atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup 2 tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the persoalan of the relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait menggunakan tema kedua itu, yaitu;

…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in terbaru liberalism.

Hegel serta Rousseau memandang negara terbaru lebih berdasarkan sekedar penjamin bagi berkembangknya civil society, lantaran negara terkini didirikan atas dasar persamaan semua rakyat negara, maka negara tidak hanya menjadi alat buat mencapai tujuan akhir tertentu beserta, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan adalah zenit menurut sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan dalam individu melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56).

Adam Seligman mengemukakan 2 penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu pada tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik serta menciptakan civil society menjadi suatu kenyataan dalam dunia nilai dan agama. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon buat memperkuat pandangan baru demokrasi yang memiliki delapan karakteristik (Azizi, 2000: 88-89), yaitu:

(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. 

Dari delapan karakteristik demokrasi yg adalah tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara memiliki tugas buat mengembangkan rakyat madani. 

Penggunaan istilah yang ke 2 berkaitan menggunakan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan , menjadi dampak moralitas Kristen pada peradaban modern. Moral diyakini sangat penting buat mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yg diyakini Montesquieu serta Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan kiprah Tuhan yg dicermati sudah nir cocok lagi untuk global terbaru. Mereka yakin kepercayaan hanya berperan menjadi masa transisi antara dunia mitos dan global terkini.

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) serta menampilkan wapres Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madanikarena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus mengenai konsep itu pada aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 buat menciptakan suatu dengan tugas untuk merumuskan serta mensosialisasikan konsep warga madani itu. Konsep rakyat madani dikembangkan buat menggantikan kerangka berpikir lama yang menekankan pada stabilitas serta keamanan yg terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta dalam lepas 21 Mei 1998 sang tekanan berdasarkan gerakan Reformasi yang sudah muak dengan pemerintahan militer Soeharto yg otoriter. Gerakan Reformasi didukung sang negara-negara Barat yg menggulirkan konsep civil society menggunakan tema utama Hak Asasi Manusia (HAM). 

Presiden Habibie menerima dukungan berdasarkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure class menurut kalangan Islam, dimana dia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI adalah suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena terdapat mediator Habibie yg sangat dekat menggunakan Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani adalah galat satu cara berdasarkan gerombolan ICMI untuk merebut imbas dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep rakyat madani menerima dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, serta media massa karena mereka seluruh merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi aturan, serta HAM.

Pengamat politik menurut UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, tetapi bagi rakyat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan warga madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi merupakan distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan forum-forum demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yg efektif, yang mengklaim keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka serta partisipatoris.

Keteganggan pada Indonesia nir hanya pada tentang politik saja, namun diperparah menggunakan gejala desintegrasi bangsa terutama perkara Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yg telah mengabaikan ciri-karakteristik rakyat madani misalnya pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, serta pemerintahan yg sentralistis/mutlak. Sedangkan kerusuhan sosial yg seringkali membawa dilema SARA memperlihatkan bahwa masih banyak masyarakat yg buta aturan serta politik (menjadi prasyarat rakyat madani), disamping penegakkan hukum yg masih belum memuaskan.

Gus Dur memerankan diri menjadi penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main absolut-mutlakan yg dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membentuk kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yg tidak hanya berdasarkan dalam toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) pada Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), namun didasarkan dalam aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karenanya Gus Dur sangat mendukung dialong antar agama/antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yg bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yg dibentuk dengan tujuan buat memupuk saling pengertian antar kepercayaan . Gus Dur, seperti gerombolan Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang dari agama tapi lebih dalam eksklusif, visi, kesederhanaan dan ketulusannya buat darma pada sesama (Effendi, 1999).

Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah dilema mengenai prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yg dulu menjadi komunitas non-negara serta selalu sebagai kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tadi memerlukan identikasi mengenai peran apa yg akan dilakukan serta bagaimana NU memposisikan diri pada konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian awal bahwa timbulnya civil society dalam abad ke-18 dimaksudkan buat mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak didapat dilakukan sang negara, misalnya pengembangan pesantren Rumadi, 1999: tiga). Sementara Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya rakyat madani, dimana negara hanya berperan menjadi ‘polisi’ yang menjaga kemudian lintas kehidupan beragama menggunakan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).