PENGERTIAN BELAJAR MENURUT PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK
Pengertian belajar menurut psikologi behavioristik
Behaviorisme merupakan suatu studi tentang kelakuan manusia. Timbulnya aliran ini ditimbulkan rasa nir puas terhadap teori psikologi daya dan teori mental state. Sebabnya ialah lantaran aliran-aliran terdahulu hanya menekankan dalam segi kesadaran saja.
Berkat pandangan dalam psikologi serta naturalisme science maka timbullah aliran baru ini. Jiwa atau sensasi atau image tidak dapat diterangkan melalui jiwa itu sendiri lantaran sesungguhnya jiwa itu merupakan respons-respons psikologis. Aliran lama memandang badan adalah sekunder, padahal sebenamya justru menjadi titik pangkal bertolak. Natural science melihat seluruh realita sebagai gerakan-gerakan (movemant), dan pandangan ini mempengaruji timbulnya behaviorisme. Metode instrospeksi sesungguhnya nir sempurna, sebab mengakibatkan pandangan yang berbeda-beda terhadap objek luar. Karena itu wajib dkarai metode yang objektif serta ilmiah. Dari eksperimen menerangkan bahwa tikus dapat membedakan antara wama hijau serta wama merah serta dapat juga dilatih. Jadi kesadaran itu tiada gunanya.
Dalam behaviorisme, masalah matter (zat) menempati kedudukan yg utama. Dengan tingkah laris segala sesuatu mengenai jiwa bisa diterangkan. Behaviorisme bisa menyebutkan segala kelakuan insan secara akurat serta menyediakan perogram pendidikan yg efektif.
Dari uraian tadi, ternyata konsepsi behaviorisme besar pengaruhnya terhadap masalah belajar. Belajar ditafsirkan sebagai latihan-latihan pembentukan interaksi antara stimulus dan respons.
Dengan memberikan rangsangan (stimulus), maka anak akan mereaksi menggunakan respons. Hubungan situmulus - respons ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis pada belajar, jadi pada dasamya kelakuan anak adalah terdiri atas respons-respons eksklusif terhadap stimulus-stimulus eksklusif. Dengan latihan-latihan pembentukan maka interaksi-hubungan itu akan semakin sebagai bertenaga. Inilah yang dianggap S-R Bond Theory.
Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakakn sang para psikolog behavioristik. Mereka ini tak jarang disebut “ Contemporary Behaviorists” atau jg dianggap “S-R Psychologists”. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan sang ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) berdasarkan lingkungan. Dengan demikian, pada tingkah laris belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-rekasi behavioral menggunakan stimulasinya.
Guru-pengajar yg menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laris anak didik-murid adalah reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka dalam masa kemudian dan masa kini , serta bahwa segenap tingkah laris merupakan merupakan output belajar. Kita bisa menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan menyelidiki latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laris tersebut.
Teori-teori yang mengawali perkembangan psikologi behavioristik
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa belajar dari psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yg dari dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan sang lingkungan. Oleh karena itu, teori ini jua dikenal menggunakan teori conditioning. Tokoh-tokoh psikologi behavioristik tentang belajar ini diantaranya merupakan : Pavlov, Watson, Gutrie dan Skinner.
Psikologi genre behavioristik mulai mengalami perkembangan dengan lahimya teori-teori tentang belajar yg dipelopori oleh Thondike, Pavlov, Wabon, dan Ghuyhrie. Mereka masing-masing telah mengadakan penelitian yg menghasilkan inovasi-inovasi yang berharga tentang hal belajar.
Pada mulanya pendidikan dan pengajaran di Amerika serikat pada dominasi oleh efek Thondike (1874-1949). Teori belajar Thondike diklaim “connectionism”, lantaran belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus serta respons. Teori ini sering dianggap “trial serta error leaming” individu yang belajar melakukan aktivitas melalui proses “trial and error” pada rangka menentukan respon yang tepat bagi stimulus eksklusif. Thondike mendasarkan teorinya atas output-output penelitiannya terhadap tingkah laris aneka macam binatang diantaranya kucing, tingkah laris anak-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal serta membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas buat merespon situasi itu. Dalam hal itu, objek mencoba banyak sekali cara beraksi sehingga menemukan keberhasilan pada membuat koneksi sesuatu rekasi menggunakan stimulasinya. Ciri-karakteristik belajar menggunakan “trial and error” yaitu :
1. Ada motif pendorong aktivitas
2. Ada aneka macam respon terhadap situasi
3. Ada eliminasi respon-respon yg gagal / keliru ; dan
4. Ada kemajuan rekasi-reaksi mencapai tujuan.
Dari penelitiannya itu Thondike menemukan aturan – hukum :
(1) “law of readiness”, jika reaksi terhadap stimulus didukung sang kesiapan buat bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan
(2) “law of exercise”, makin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulus respon, makin kuat interaksi itu. Praktek perlu disertai menggunakan “reward”.
(3) “law of effect” , bilamana terjadi interaksi antara stimulus dan respon serta dibarengi menggunakan “state of affairs” yg memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih bertenaga. Bilamana interaksi dibarengi “state of affairs” yang mengganggu, maka kekuatan hubungan menjadi berkurang.
Sementara Thondike mengadakan penelitiannya, di Rusia Ivan Pavlov (1849-1936) pula membuat teori belajar yang disebut “classkal conditioning” atau “stimulus substitution”. Mula-mula teori conditioning ini dikembangnkan sang Pavlov (1972).
Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat dalam anjing.
Ia melakukan percobaan terhadap anjing. Anjing tersebut diberi makanan dan diberi lampu. Pada waktu diberi kuliner dan lampu keluarkan respon anjing tersebut berupa keluamya air liur.
Demikian jua apabila pada pemberikan makanan tadi disertai dengan bel, air liur tersebut jua keluar.
Pada waktu bel atau lampu diberikan mendahului makanan, anjing tadi pula mengeluarkan air liur. Makanan yg diberikan tersebut oleh Pavlov disebutu sebagai perangsangan yg bersyarat, sementara bel atau lampu yg menyertai dianggap sebagai perangsang bersyarat.
Terhadap perangsang tak bersyarat yang disertai dengan perangsang bersyarat tersebut, anjing menaruh respons berupa keluamya air liur. Selanjutnya, saat perangsang bersyarat (bel, lampu) diberikan tanpa perangsang tak bersyarat anjing tersebut tetap memberikan respon dalam bentuk keluamya air liur. Oleh lantaran perangsang bersyarat (menjadi pengganti perangsang tak bersyarat : kuliner) ini ternyata dapat menimbulakn respons, maka dapat berfungsi menjadi conditioned. Karena itu, teori Pavlov ini dikenal teori classkal conditioning. Menurut Pavlov pengkondisian yg dilakukan pada anjing demikian ini, dapat juga berlaku dalam manusia.
Teori kondisioning ini lebih lanjut dikembangkan sang Watson (1970) merupakan orang pertama pada Amerika Serikat yg membuatkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Pavlov. Watson beropini, bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respons-respons bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurut Watson, insan dilahirkan dengan beberapa refleks serta reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta dan murka . Semua tingkah laris lainnya terbentuk sang hubungan-hubungan stimulus-respon baru melalui “conditioning”.
Salah satu percobaannya adalah terhadap anak umur 11 bulan dengan seekor tikus putih. Rasa takut bisa muncul tanpa dipelajari dengan proses ekstinksi, menggunakan mengulang stimulus bersyarat tanpa pada barengi stimulus tidak bersyarat.
E.R. Guthrie memperluas inovasi Watson mengenai belajar. Ia mengemukakan prinsip belajar yang disebut “the law of association” yang berbunyi : suatu kombinasi stimulus yang sudah menyertai suatu gerakan, cenderung akan menyebabkan gerakan itu, bila kombinasi stimulus itu ada balik . Dengan istilah lain, apabila anda mengerjakan sesuatu pada situasi eksklusif, maka nantinya pada situasi yg sama anda akan mengerjakan hal serupa lagi. Menurut gutrie, belajar memerlukan reward dan kedekatan antara stimulus dan respon. Gutrie beropini, bahwa sanksi itu buruk dan tidak pula jelek. Efektif tidaknya sanksi tergantung dalam apakah sanksi itu menyebabkan siswa belajr ataukah tidak ?
Teori belajar kondisioning ini lalu dikembangkan oleh Gutrie (1935-1942). Gutrie beropini bahwa tingkah laris insan bisa diubah : tingkah laris jelek dapat diubah sebagai baik. Teori Gutrie dari atas contoh penggantian stimulus saut ke stimulus yang lain. Responsi atas suatu situasi cenderung di ulang manakala individu menghadapi situasi yang sama. Inilah yg dianggap menggunakan asosiasi.
Menurut Gutrie, setiap situasi belajar adalah adonan banyak sekali stimulus (dapat intemal dan dapat ekstemal) serta respon. Dalam situasi eksklusif, poly stimulus yg berasosiasi menggunakan poly respon. Asosiasi tersebut, dapat benar dan dapat pula galat.
Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori ini, yaitu :
a. Metode respon bertentangan. Misalnya saja, bila anak jijik terhadap sesuatu, sebutlah misalkan saja boneka, maka permainan anak yang disukai tadi diletakkan pada dekat boneka. Dengan meletakkan permainan pada dekat boneka, serta ternyata boneka tadi sebenamya nir menjijikkan, lambat laun anak tersebut nir jijik lagi kepada boneka. Peletakan permainan yang paling disukai tersebut bisa dilakukan secara berulang-ulang.
b. Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, maka lingkungan belajarnya bisa diubah-ubah sebagai akibatnya ada suasana lain serta memungkinkan dia betah belajar.
Selanjutnya, Skinner mengembangkan teori kondisioning menggunakan memakai tikus sebagai kelinci percobaan. Dari hasil percobaannya Skinner membedakan respon menjadi dua, artinya respon yang ada berdasarkan stimulus tertentu serta operant (instrumental) respons yg muncul dan berkembang karena diikuti oleh perangsang tertentu. Oleh karena itu, teori Skinner ini dikenal dengan operant conditioning.
Seperti halnya Thondike, Skinner menduga “reward” atau “reinforcement” menjadi faktor terpenting pada proses belajar. Skinner beropini, bahwa tujuan psikologi merupakan meramal serta mengontrol tingkah laris. Skinner membagi 2 jenis respon dalam proses belajar, yakni :
(1). Responsents : respon yg terjadi lantaran stimulus spesifik misalnya Pavlov
(2). Operants : respon yang terjadi lantaran situasi random
Perbedaan krusial antara Pavlov’s classkal conditioning serta Skinner’s operant conditioning adalah pada classkal conditioning, dampak-akibat suatu tingkah laris itu. Reinforcement tikdak diperlakukan karena stimulusnya menimbulkan respon yang diinginkan.
Operant conditioning, suatu situasi belajar dimana suatu respons dibentuk lebih kuat dampak reinforcement pribadi.
Dalam percobaannya terhadap tikus-tikus pada sangkar, dipakai suatu “diskriminative stimulus” (tanda buat memperkuat respons) contohnya tombol, lampu, pemindah makanan. Disamping itu, digunakan juga suatu “reinforcemen stimulus, berupa kuliner”.
Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin respon-respon terhadap stimulus. Apabila anak didik nir memberitahuakn reaksi-reaksi terhadap stimulus guru tidak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior. Pengajar berperan penting pada dlaam kelas buat mengontrol dan mengarahkan aktivitas belajar ke arah tercapainya tujuan yg telah dirumuskan.
Jenis-jenis stimulus :
(1) Jenis-jenis stimulus
(2) Positive reinforcement : Penyajian stimulus yg meningkatkan probabilitas suatu respon
(3) Negative rinforcement : Pembatasan stimulus yang nir menyenangkan, yg jika tidak boleh akan menyebabkan probabilitas respon
(4) Hukuman : hadiah stimulus yang nir menyenangkan contohnya : “Contradktion or reprimand”. Bentuk hukuman lain berupa penangguhan stimulus yg menyenangkan (removing adalah pelasant or reinforcing stimulus).
(lima) Primary rinforcement : stimulus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis
(6) Modifikasi tingkah laris pengajar : Perlakuan guru terhadap siswa-siswa berdasarkan minat serta kesenangan mereka.
Jadwal reinforcement menguraikan mengenai kapan serta bagaimana suatu respon diperbuat ? Ada empat cara penjadwalan reinforcement :
1. “Fixed-ratio schedule”; yg didasarkan pada penyajian bahan pelajaran, yang mana pemberi reinforcement baru menaruh penguatan respon sesudah terjadi jumlah eksklusif menurut respon.
2. “Variable ratio schedule”; yg didasarkan penyajian bahan pelajaran dengan penguat sehabis rata-homogen respon
3. “Fixed interval schedule”; yg berdasarkan atas satuan waktu namun diantara “reinforcement”
4. “variable interval schedule”; anugerah renforcement menurut respon betul yg pertama sehabis terjadi kesalahan-kesalahan respon.
Paling tidak nir, terdapat enam konsep operant conditioning ini yaitu :
a. Penguatan positif serta negatif
b. Shopping, artinya proses pembentukan tingkah laris yang makin mendekati tingkah laku yang diperlukan.
c. Pendekatan suksesif, merupakan proses pembentukan tingkah laku yg menggunakan penguatan dalam waktu sempurna sampai respon pun sinkron dengan yg diisyaratkan.
d. Extention, adalah proses penghentian kegiatan menjadi akibat berdasarkan ditiadakannya penguatan.
e. Chaining of respons, ialah respon serta stimulus yang berangkaian satu sama lain
f. Jadwal penguatan ialah variasi anugerah peguatan : rasio permanen serta bervariasi, interval tetap serta bervariasi.
g. Menurut
Menurut thondike, belajar bisa dilakukan menggunakan mencoba-coba (trial and error).mencoba-coba ini dilakukan, manakala seorang nir tahu bagaimana harus memberikan respon atas sesuatu. Dalam mencoba-coba ini seseorang mungkin akan menemukan respoons yang tepat berkaitan menggunakan problem yg dihadapinya.
Karakteristik belajar trial dan error merupakan sebagai berikut :
a. Adanya motivatie dalam diri seorang yg mendorong buat melakukan sesuatu
b. Seseorang berusaha melakukan berbagai macam respons pada rangka memenuhi motive-motivenya.
c. Respons-respons yg dirasakan nir bersesuaian dengan motivenya dihilangkan
d. Akhirnya seorang menerima jenis respon yang paling sempurna.
Beberapa hukum belajr yang ditemukan oleh Thoendike adalah sebagai berikut :
a. Hukum kesiapan (law of readiness). Jika seseorang siap melakukan sesuatu, dan ia melakukannya, maka beliau puas. Sebaliknya, jika ia siap melakukan sesuatu, tetapi tidak melakukannya, maka beliau tidakpuas. Implikasi menurut aturan ini adalah, bahwa motivasi sangat penting pada belajar. Sebab pemuas yg diantaranya berupa terpemenuhinya motif-motif seorang, berakibat seorang belajar berulang-ulang.
b. Hukum latihan (low of exercise). Jika seorang mengulang-ulang respons terhadap suatu stimulus, maka akan memperkuat hubungan antara respon dan stimulus. Sebaliknya bila respons tersebut tidak digunakan, hubungannya menggunakan stimulus semakin lemah. Namun lemah serta kuatnya hubungan antara respons dan stimulus tadi tergantung pada memuaskan tidaknya respons yang diberikan. Implikasi hukum ini merupakan baha belajar dimulai menurut strata yang mudah berangsur-angsur menuju yg sukat. Berangkat berdasarkan yg sederhana berangsur-angsur menuju ke yg kompelks.
c. 0hukum akibat (law of effect). Manakala hubungan antara respon menggunakan stimulus menyebabkan kepuasan, maka strata penguatannya kian akbar. Sebaliknya jika interaksi antara respon dengan stimulus menyebabkan ketidak puasan, maka strata penguatannya kian lemah. Dengan perkataan lain, hukum akibat ini punya keyakinan bahwa orang punya kesamaan mengulang respon yang memuaskan menggunakan menghindari respon yang tidak memuaskan. Hukum ini membawa implikasi kebenaran bagi diadakannya eksperimentasi dalam belajar.
Selain mengemukakan tiga hukum belajar, Tondike mengemukakan prinsip-prinsip belajar, yaitu :
a. Pada waktu seseorang berhadapan dengan sebuah situasi yang bagi dia termasuk baru, aneka macam ragam respon ia lakukan. Respon tadi terdapat kalanya bhineka sampai yg bersangkutan memperoleh respon yg benar.
b. Apa yg terdapat dalam diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan , perilaku dan hal-hal lain yg telah ada pada dirinya, turut memilih tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
c. Pada diri seorang sebenamya masih ada potensi buat mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur penting menurut yg kurang atau krusial sampai akhirnya bisa memilih respon yg sempurna.
d. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama.
e. Orang cenderung mengadakan assosiative shiffing, artinya menghubungkan respon yang ia kuasai menggunakan situasi eksklusif tatkala menyadari bahwa respon yg ia kuasai menggunakan situasi tersebut memiliki interaksi.
f. Manakala suatu respon cocok menggunakan situasinya relatif mudah buat dipelajari (concept belongingness).
Comments
Post a Comment