MAZHAB SUMBER DAN TOKOH FILSAFAT INDONESIA

Mazhab, Sumber, Dan Tokoh Filsafat Indonesia 
Kini tibalah pada tempatnya buat membahas cabang-cabang menurut ‘Filsafat Indonesia’ dan tokoh-tokoh kunci yg menguasai cabang itu. Di sini penulis membagi Filsafat Indonesia ke dalam 6 mazhab akbar, berdasarkan dalam asal-asal inspirasinya: Filsafat Etnik, Filsafat Timur, Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, dan Filsafat Paska-Soeharto.

A. Filsafat Etnik
Jakob Sumardjo sudah menyebutkan di muka, bahwa yang dimaksud menggunakan ‘Filsafat Etnik’ merupakan ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ menurut suatu grup etnik di Indonesia. Maka, bila disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, itu ialah:

filsafat…  terbaca pada cara rakyat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk tempat tinggal Jawanya, dari kitab -kitab sejarah serta sastra yang ditulisnya…

‘Filsafat Etnik’ merupakan filsafat orisinil menurut Indonesia, yg diproduksi sang local genius primitif sebelum kedatangan impak filsafat asing. Di era neolitikum, lebih kurang tahun 3500–2500 SM, penduduk Indonesia orisinil telah menciptakan komunitas berupa desa-desa mini yg sudah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan bahtera, sistem pelayaran sederhana, serta seni bertenun. Mereka juga telah mulai berspekulasi tentang segala yang mereka perhatikan menurut alam, sebagai akibatnya merekapun sudah memproduksi filsafat, sekalipun pada bentuk yang sangat sederhana. Mitologi-mitologi filosofis yg diproduksi suku-suku etnis Indonesia sekarang sudah poly yg dibukukan, sebagai akibatnya para peneliti Filsafat Indonesia kini bisa membacanya, baik dalam Bahasa Indonesia juga pada bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq telah dibukukan dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng menggunakan judul Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak (Jakarta: Puspa Swara & Rio Tinto Foundation, 1997). 

Kajian ‘Filsafat Etnik’ sudah poly dilakukan sang filosof Indonesia. M. Nasroen merupakan orang pertama yang memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ dalam dekade 60-an, kemudian Sunoto, yang melakukan kajian serius mengenai Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono mengkaji Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, serta Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, pada karyanya Arkeologi Budaya Indonesia dan Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain. Franz Magnis-Suseno juga mempelajari Filsafat Etnik Jawa, misalnya karya-karyanya yang berjudul Kita dan Wayang (Jakarta, 1984), Etika Jawa dalam Tantangan, dan Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat mengenai Kebijaksanaan Hidup Jawa. I Made Swasthawa Dharmayuda mengkaji Filsafat Bali yg terkandung pada tata cara-tata cara suku Bali dalam karyanya Filsafat Adat Bali. P.J. Zoetmulder menelaah Filsafat Etnik Jawa berdasarkan segi kesusastraannya dalam buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang serta Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme serta Monisme pada Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena mempelajari Filsafat Etnik Jawa menurut tradisi luriknya pada kitab Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi Endraswara menelaah Filsafat Etnik Jawa dari tradisi peribahasanya pada buku Mutiara Wicara Jawa. Purwadi menelaah Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar dalam pewayangan Jawa dalam karyanya Semar: Jagad Mistik Jawa serta Woro Aryandini mengkaji kearifan tokoh Bima pada karyanya Citra Bima pada Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yg dipahami khas orang Jawa pada karyanya Filsafat Hidup Jawa, dan masih poly lagi filosof Indonesia yg menyelidiki Filsafat Etnik, bahkan hingga detik ini. 

B. Filsafat Timur
Yang dimaksud menggunakan ‘Filsafat Timur’ merupakan tradisi filsafat yang dikembangkan sang orang-orang ‘Timur’, sebagai kebalikan berdasarkan orang ‘Barat’. Istilah ini kentara saja diberikan oleh bangsa Barat buat bangsa Timur. Pada kenyataannya, tidak semua bangsa Timur filsafatnya dikenal baik oleh bangsa Barat. Yang tradisii filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, serta ‘Filsafat India’. 

‘Filsafat Cina’ baru-baru ini saja dipelajari menggunakan berfokus oleh filosof Indonesia, walaupun nyatanya orang Cina telah menetap di Indonesia lebih menurut 30 abad yg kemudian! ‘Filsafat Cina Klasik’, seperti Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-479 SM), serta Chuang Tzu (w.360 SM), kini menggunakan penuh antusias dikaji-ulang dan ditafsir-ulang. Indra Widjaja menyelidiki Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu untuk dipahami secara modern pada karyanya Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern. Soejono Soemargono membuat ikhtisar sejarah Filsafat Cina pada karyanya yang pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.

‘Filsafat Cina Modern’ telah mulai dikaji sang filosof Indonesia semenjak abad 19 M. Sun Yat-Senisme sudah dikaji oleh Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya Sun Yat Sen Djalan Ke Kemerdekaan berdasarkan bahasa Cina ke bahasa Melayu, Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji oleh Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji sang Oey Gee Hoat serta Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll. Tetapi, karya Leo Suryadinata yg berjudul Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) serta Politik Tionghoa Peranakan pada Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat menggunakan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filosof Indonesia menurut etnik Cina. 

‘Filsafat India’ juga masih sedikit yang mempelajari. Dari survei, penulis hanya menemukan satu karya saja yg menelaah ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, seperti karya Harun Hadiwidjono yang berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan yg mengkaji ‘Filsafat India Modern’ telah relatif banyak, pada antaranya ialah R. Wahana Wegig yg mempelajari Filsafat Etika dari Mahatma Gandhi dalam karyanya Dimensi Etis Ajaran Gandhi.

Yang relatif menarik dipelajari adalah karya asli output dari blending antara Filsafat Etnik Indonesia dengan Filsafat India atau output menurut blending antara Buddhisme serta Hinduisme, yg saya namakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini adalah output eksperimen filosofis menurut beberapa filosof kreatif berdasarkan Indonesia, yang membuat corak filosofis yg menarik dan asli. Sambhara Suryawarana, seorang penulis buku suci Buddhisme yang hidup di kerajaan Medang Hindu di lebih kurang tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yg Hinduist di pada kitab kudus Buddhist yg dikarangnya, Sang Hyang Kamahayanikan. Mpu Prapanca (1335-1380) menulis buku Negarakertagama dan Ramayana Kakawin. Ramayana Kakawin adalah terjemahan epik Hindu-India yg diadaptasi dengan alam pikiran Indonesia primitif, sementara Negarakertagama merupakan karya puisi epik berbahasa Jawa Kuno yg mengungkapkan filsafat yang dianut Kertanagara (1268-1292), seseorang raja terbesar berdasarkan Dinasti Singhasari, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu menggunakan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seseorang pengarang yang hayati pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis buku Sutasoma, yg memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu. 

Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke bahasa Jawa Kuno tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam epik Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yg memerintahkan penyaduran Bharatayudha versi India sebagai versi Jawa, buat menggambarkan perang saudara antara Jayabaya (sebagai Pandawa) dengan sepupunya Jenggala (sebagai Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) berdasarkan Sailendra menciptakan Candi Borobudur yang bertingkat 9, buat memuja arwah 9 keluarga moyangnya pada bepergian mereka menuju Nirvana.

‘Filsafat Jepang’ masih jarang dikaji. Dari survei, penulis hanya menemukan 2 karya yg ditulis filosof Indonesia tentang cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yg berjudul Busido, serta ke 2, karya Irmansyah Effendi yg berjudul Rei Ki: Teknik Efektif buat Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.

C. Filsafat Barat
‘Filsafat Barat’ atau Western Philosophy artinya tradisi filsafat yang dikembangkan bangsa Barat sejak masa klasik (abad 5 SM-5 M), pertengahan (6 M-14 M), serta masa modern (15 M-kini ), yg diproduksi di negara-negara Barat seperti Yunani, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Western Philosophy dipecah-pecah sebagai banyak cabang, misalnya Analytic Philosophy, Continental Philosophy, German Philosophy, dan lain-lain. 

‘Filsafat Barat’ yang cabang-cabangnya amat poly itu telah banyak dikaji sang filosof Indonesia, bahkan sanggup dikatakan menjadi filsafat yg paling banyak dikaji serta yang paling dikuasai oleh mereka. Sejak abad 19 M, saat kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’ menggunakan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat serta gereja-gereja Protestan yg mengajarkan peradaban Barat Modern pada tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ sering dijadikan counter-culture terhadap ‘Filsafat Etnik’ oleh para filosof Indonesia yang telah Western-minded.

‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad 20, sudah dikajii sang K. Bertens dalam karyanya Filsafat Barat Abad XX serta Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. ‘Filsafat Barat Klasik’, misalnya Filsafat Yunani-Kuno sejak Thales sampai Plotinus, telah dikaji sang Mohammad Hatta (keliru satu founding father kita) pada bukunya Alam Pikiran Yunani.

‘Filsafat Barat Modern’ merupakan cabang yg paling poly dikaji, lantaran hampir seluruh lembaga sosial-politik Indonesia poly yang terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik, konstitusi negara terbaru, forum perwakilan masyarakat, distribusi kekuasaan yg sejalan menggunakan Trias Politica, partai politik, serta ideologi partai tersebut benar-benar-benar-benar cerminan efek alam pikiran Barat. 

Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika serta D.N. Aidit dalam bukunya Tentang Marxisme, Problems of The Indonesian Revolution, dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen mengkaji organisasi buruh komunis pada bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat Sosialisme-Demokrat pernah dikaji sang Sutan Syahrir dalam tulisannya Sosialisme di Eropah Barat dan Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah dikaji sang Tan Malaka dalam kitab Naar de ‘Republiek Indonesia’ dan perkembangan Kapitalisme pada Indonesia jua dibahas pada bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si penyambung pengecap masyarakat’, pernah membahas Filsafat Nasionalisme dalam bukunya Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat Fasisme Jerman pernah mencuat dalam pidato Soepomo di Rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan serta Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh ihwal sosial-politik di era Orde Baru Soeharto. 

Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat menjadi candu’, poly sekali cabang filsafat Barat yang dikaji oleh filosof Indonesia. Filsafat Estetika dikaji oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni. Juga sang Wajid Anwar L. Pada ke 2 bukunya Filsafat Estetika dan Filsafat Estetika (Sebuah Pengantar). Filsafat Etika dikaji oleh K. Bertens dalam beberapa karyanya seperti Keprihatinan Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, serta Aborsi menjadi Masalah Etika. Juga dikaji oleh W. Poespoprodjo pada bukunya Filsafat Moral, serta I.R. Poedjawijatna pada bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan menelaah Filsafat Etika yg diterapkan dalam bidang Kehumasan dalam karyanya Etika Kehumasan, sedangkan M. Dawam Rahardjo mengkaji Filsafat Etika yg diterapkan pada bidang Ekonomi dan Manajemen pada bukunya Etika Ekonomi serta Manajemen. 

Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta dalam bukunya Epistemologi Dasar, Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan serta M. Ghozi Badrie dalam karyanya Filsafat Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi mempelajari Filsafat Epistemologi yg diterapkan dalam bidang Geografi pada karyanya Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji sang I.R. Poedjawijatna pada karyanya Logika: Filsafat Berpikir dan Burhanuddin Salam dalam bukunya Logika Formal. Filsafat Kosmologi dikaji sang Moertono dalam karyanya Filsafat Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara Manusiawi Filsafat.

Filsafat Semiotika pada perspektif Roland Barthes dikaji oleh Kurniawan pada bukunya Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji oleh Soetikno pada bukunya Filsafat Hukum, Suhadi dalam bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi pada kedua karyanya Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? Dan Filsafat Hukum Mazhab serta Refleksinya. Juga oleh Moertono pada bukunya Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji oleh J.H. Rapar dalam beberapa karyanya seperti Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus, Filsafat Politik Machiavelli, dan Filsafat Politik Plato. Franz Magnis-Suseno jua punya concern pada Filsafat Politik, sebagaimana terlihat pada bukunya Filsafat Kebudayaan Politik. 

Filsafat Sejarah dikaji oleh beberapa filosof, misalnya H.R.E Tamburaka pada bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, dan Purwo Husodo dalam karyanya Filsafat Sejarah Oswald Spengler. Filsafat Agama dikaji oleh Tom Jacobs, SJ dalam bukunya Paham Allah, pada Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Hamzah Ya’qub dalam karyanya Filsafat Agama, Hamka pada bukunya Filsafat Ketuhanan, H.M. Rasjidi dalam karya terjemahannya Filsafat Agama, serta Louis Leahy pada bukunya Filsafat Ketuhanan Kontemporer. 

Filsafat Ilmu dikaji sang Djohansjah dalam bukunya Budaya Ilmiah serta Filsafat Ilmu, Jujun Suriasumantri dalam 2 buku masterpiece-nya Ilmu dalam Perspektif serta Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Burhanuddin Salam dalam 2 karyanya Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Hartono Kasmadi pada bukunya Filsafat Ilmu, M. Solly Lubis pada bukunya Filsafat Ilmu dan Penelitian, Hidanul I Harun dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Chairul Arifin pada karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar. Filsafat Pendidikan dikaji oleh Redja Mudyahardjo dalam karyanya Filsafat Ilmu Pendidikan, Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, serta Paul Suparno pada bukunya Filsafat Konstruktivisme pada Pendidikan. 

Filsafat Manusia dikaji oleh Zainal Abidin pada bukunya Filsafat Manusia, Burhanuddin Salam pada bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran Wuryo Sanadji pada bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara dalam karyanya Filsafat Manusia, serta Moertono dalam karyanya Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan: Potensi Penanganan Masalah. Filsafat Kebebasan dikaji sang satu-satunya filosof Nico Syukur Dister dalam karyanya Filsafat Kebebasan. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji sang 2 orang filosof, yakni Rizal Mustansyir pada karyanya Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya dan Kaelan dalam karyanya Filsafat Analitis dari Ludwig Wittgenstein. Filsafat Sastra dan Budaya pula dikaji satu-satunya sang FX. Mudji Sutrisno pada karyanya Filsafat Sastra dan Budaya. Juga Filsafat Matematika yg cuma dikaji oleh The Liang Gie dalam karyanya Filsafat Matematika. Filsafat Ekonomi jua dikaji satu-satunya oleh Save M. Dagun pada karyanya Pengantar Filsafat Ekonomi, sedangkan Filsafat Desain dan Supervisi dikaji oleh Ir. Hamid Shahab dalam bukunya Filosofi Desain & Supervisi. Demikian jua Filsafat Administrasi yg dikaji hanya sang Sondang P. Siagian pada kitab Filsafat Administrasi. 

Filsafat Barat Paska-terbaru jua sempat mampir pada Indonesia, yang dikaji oleh Budi Hardiman F. Pada karyanya Melampaui Positivisme serta Modernitas, Onno W. Purbo dalam karyanya Filsafat Naif Dunia Cyber, serta Ridwan Makassary pada karyanya Kematian Manusia Modern.

Yang cukup menarik buat dibahas disini ialah Filsafat Barat yang diadaptasikan menggunakan situasi kongkrit Indonesia, yang aku namakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau ‘Adaptasionisme Barat’. Cabang filsafat ini adalah aliran filosofis yg corak Baratnya sudah sejauh mungkin dirubah, untuk diubahsuaikan dengan situasi historis kongkrit di Indonesia. Tokoh-tokoh berdasarkan cabang filsafat ini antara lain artinya Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, dan S.C. Utami Munandar. Tan Malaka menelaah ‘teori gerilya’ berdasarkan Filsafat Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia pada karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mempelajari komunitas Proletar dari Filsafat Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat pada goresan pena-tulisannya yg dikumpulkan serta diterbitkan oleh Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno mengenai Marhaen. Adaptasionisme juga dilakukan Moh. Hatta, ketika beliau berbicara tentang demokrasi Barat modern untuk diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia pada bukunya Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran serta dalam perpaduan tulisannya yg diterbitkan Tim LP3ES menggunakan judul Karya Lengkap Bung Hatta. Juga pengkajian demokrasi Barat yg diterapkan Sjahrir dalam situasi kongkrit Indonesia pada karyanya Pemikiran Politik Sjahrir. Filsafat Feminisme yg diterapkan dalam mengkaji kaum wanita Indonesia dilakukan oleh Soekarno dalam bukunya Sarinah: Keajaiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, Kris Budiman pada bukunya Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender, S.C. Utami Munandar pada bukunya Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia dan Toety Heraty dalam bukunya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. M. Dawam Rahardjo menelaah ‘Teori Ketergantungan Dunia Ketiga’ buat diterapkan pada mempelajari Ekonomi Indonesia pada bukunya Transformasi Pertanian, Industrialisasi serta Kesempatan Kerja. Sedangkan Sri-Edi Swasono menyelidiki pemikiran adaptasionisme Hatta pada bukunya Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasi v.S.konsentrasi Ekonomi serta Satu Abad Bung Hatta. 

D. Filsafat Islam
‘Filsafat Islam’ adalah filsafat yg lahir di daerah kuasa Islam serta diproduksi sang komunitas religius Islam yg menetap di daerah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ dan ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Islam’ pula adalah keliru satu cabang yg seringkali dikaji serta yg paling dikuasai sang filosof Indonesia, apalagi saat ini komunitas Islam pada Indonesia menempati posisi menjadi dominan. ‘Filsafat Islam’ kini bisa dipecah ke dalam banyak cabang, misalnya Filsafat Sufisme, Filsafat Pendidikan, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, dan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam pada kategori regional pula cukup menarik, seperti ‘Filsafat Islam Arab’ dan ‘Filsafat Islam Persia’, lantaran kedua cabang itu, walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ akan tetapi keduanya memiliki corak yang tidak selaras. Bahkan, sekarang jua bisa dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, karena masalah filosofis yang dihadapi pada situasi historis kongkrit oleh filosof Islam di Indonesia berbeda menggunakan yg dihadapi sang filosof Islam di Arab atau pada Persia. 

Filsafat Sufisme dikaji oleh Alwi Shihab dalam karyanya Islam Sufistik, K. Permadi pada bukunya Pengantar Ilmu Tasawwuf, M. Solichin dalam karyanya Kamus Tasawuf, Sukardi Kd. Pada bukunya Salat dalam Perspektif Sufi, Meison Amir Siregar dalam karyanya Rumi: Cinta dan Tasawuf serta oleh Asep Salahuddin dalam karyanya Ziarah Sufistik. 

Filsafat Pendidikan Islam dikaji oleh Hamdani Ihsan pada karyanya Filsafat Pendidikan Islam, Abdurrahman S. Abdullah dalam bukunya Teori Pendidikan menurut Al-Quran, H.M. Arifin pada Filsafat Pendidikan Islam, Zuhairini pada Filsafat Pendidikan Islam, Jalaluddin & Usman Said pada Filsafat Pendidikan Islam, serta sang Imam Barnadib pada karyanya Filsafat Pendidikan Islam. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji sang satu-satunya pengkaji, yakni, Musa Asya’arie pada bukunya Filsafat Islam: Tentang Kebudayaan.

Filsafat Hukum Islam dikaji oleh Zaini Dahlan dalam karyanya Filsafat Hukum Islam, Ishak Farid pada Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Falsafah Hukum Islam, serta sang Ismail Muhammad Syah dalam karyanya Filsafat Hukum Islam. Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji sang A. Munawwir Sadzali dalam karyanya yang monumental Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran dan Kamaruzzaman pada buku Relasi Islam dan Negara.

Teori pengetahuan berdasarkan mazhab Islam dikaji oleh Imam Syafi’i pada karyanya Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran serta sang Mohammad Miska Amien pada bukunya Epistemologi Islam. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji oleh Muh. Hanif Dhakiri dalam 2 bukunya Islam serta Pembebasan serta Paulo Freire, Islam serta Pembebasan. Juga oleh Fachrizal A. Halim pada karyanya Beragama dalam Belenggu Kapitalisme.

Karya-karya pengantar Filsafat Islam pula banyak ditulis oleh filosof Islam Indonesia misalnya sang Abdul Aziz Dahlan dengan judul Pemikiran Falsafi dalam Islam, Soedarsono dalam karyanya Filsafat Islam, Oemar Amin Hoesin dalam dua bukunya yang amat klasik Filsafat Islam dan Filsafat Islam: Sedjarah dan Perkembangannya pada Dunia Internasional, H. Musa Asya’arie pada karyanya Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, serta oleh J.W.M. Bakker dalam karyanya yang klasik Pengantar Filsafat Islam.

Filsafat Islam Regional seperti ‘Filsafat Arab Klasik’, misalnya, dikaji sang Harun Nasution pada karyanya Teologi Islam, Hasan Asari dalam bukunya Nukilan Pemikiran Islam Klasik, serta oleh Ilhamuddin dalam kitab Pemikiran Kalam Baqillani. ‘Filsafat Arab Modern’ dikaji, umpamanya, oleh H.A. Mukti Ali pada bukunya Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, A. Munir dalam bukunya Aliran Modern pada Islam, H.A. Mukti Ali pada buku Islam dan Sekularisme di Turki Modern dan sang Harun Nasution pada karyanya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. ‘Filsafat Islam Persia’ juga banyak yang menelaah, terutama selesainya Syi’isme disebarluas sang cendekiawan Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat serta Haidar Bagir. Amroeni Drajat menyelidiki Filsafat Yahya Al-Suhrawardi pada karyanya Filsafat Illuminasi: Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi. 

Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, misalnya ‘Filsafat Islam Indonesia’, sudah banyak yang membahas, terutama tentang mazhab-mazhab misalnya ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, serta ‘Perenialisme’, sebagai akibatnya tak perlu dibahas lagi di sini. Hanya saja, terdapat kesamaan baru saat ini yg penulis namakan ‘sesatisme’ atau ‘murtadisme’, yg mulai menyuarakan pandangan-pandangan mereka pada kitab -buku tebal yg dipublikasikan secara luas. Walaupun belum layak dianggap menjadi suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas sang rakyat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka pada terjemahan Al-Quran berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri berdasarkan mereka, yg sekaligus juga adalah bukti ketololan mereka akan tata-bahasa bahasa Arab—relatif pertanda bahwa mereka mempunyai sandaran filosofis yg kentara. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, akan tetapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ merupakan sejenis filsafat. Hartono Ahmad Jaiz bisa dimasukkan pada mazhab ini. Dalam bukunya Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jaiz mengritik menjadi ‘sesat’ beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yg pernah terdapat sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ dan ‘Neo-modernisme’. Bukunya yg lain Ada Pemurtadan pada IAIN, mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yang bercorak liberal, terbaru, dan neo-terbaru. 

E. Filsafat Kristen
Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (Christian Philosophy) merupakan filsafat yang lahir di daerah kuasa Kristen dan diproduksi sang komunitas religius Kristen yg menetap di daerah itu. Selain ‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Kristen’ pula merupakan bidang yang amat dikuasai oleh filosof-filosof Kristen Indonesia. ‘Filsafat Kristen’ terbagi pada beberapa cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’, ‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen Pertengahan’ (yang diklaim jua menggunakan sebutan ‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen Renaisans serta Reformasi’, dan ‘Filsafat Kristen Modern serta Kontemporer’. Di samping pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun dapat dikaji secara regional, seperti ‘Filsafat Kristen Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’, ‘Filsafat Kristen Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, lantaran situasi kongkrit yang harus diresponi umat Kristen di negara-negara itu nir mesti sama.

‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister pada karyanya Filsafat Agama Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah pada Yesus Kristus. ‘Filsafat Skolastik’, semenjak Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, telah dikaji oleh A. Hanafi pada bukunya Filsafat Skolastik. ‘Filsafat Kristen Modern serta Kontemporer’, misalnya, dikaji oleh Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi berdasarkan Louis Bouyer. 

Yang tidak kalah menariknya ialah ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yang diadaptasikan dengan situasi riel yg dialami filosof Kristen pada Indonesia. ‘Filsafat Kristen Indonesia’ bisa dibagi pada 4 cabang seperti ‘Transformasionisme’, ‘Pribumisme’, ‘Liberasionisme’, serta ‘Feminisme’. ‘Transformasionisme’ dikaji sang JB. Banawiratma dalam karyanya 10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, serta Lingkungan Hidup. Sedangkan ‘Pribumisme’ dikaji sang Robert J. Hardawiryana pada bukunya Cara Baru Menggereja pada Indonesia: Umat Kristen Mempribumi. ‘Liberasionisme’ relatif banyak yg mempelajari sejak era Soeharto, misalnya yg dilakukan sang J.B. Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno, Wahono Nitiprawiro, J.B. Banawiratma, A. Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, AL. Purwahadiwardaya, TH. Sumartana, Greg Soetomo, dan Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’ dikaji secara Kristiani oleh Smita Notosusanto, seperti kajiannya dalam kitab Perempuan serta Pemberdayaan dan St. Darmawijaya pada bukunya Perempuan pada Perjanjian Lama. 

F. Filsafat Paska-Soehartoisme
‘Filsafat Paska-Soehartoisme’ berarti filsafat yg lahir buat mengritik paham dan praxis Soehartoisme—modernisasi yang dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu—dan hendak menghapus segala residu-residunya dengan cara merubahnya dengan paham cara lain . Kritik terhadap Soehartoisme telah mulai merebak semenjak dasawarsa 1970-an menurut kampus ITB Bandung (1973) dan Peristiwa Malari pada Jakarta (1974), tapi seluruh kritikan itu tidak didengar. Sejak dasawarsa 1990-an menjelang lengser Soeharto, pulang kritikan dilancarkan oleh beberapa filsuf baru. Merekalah cikal-bakal tokoh filsafat yang kemudian dinamakan filsafat paska-Soeharto. Yang termasuk pelopor filsafat ini ialah Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi Swasono, dan Pius Lustrilanang. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme dalam karyanya Sri Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’, Dari Orde Baru ke Indonesian Baru Lewat Reformasi Total, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru, serta Dibalik Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif. Sedangkan Budiman Sudjatmiko mengritik Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik Soehartoisme lewat bukunya Menarik Pelajaran menurut Kedung Ombo (1990), Menuju Perubahan Sistem Politik (1994), DPR RI Semasa Orde Baru (1994), serta Rakyat Menggugat (1996). Filsafat paska-Soehartoisme yg dianut Pius Lustrilanang dikaji sang Sihol Siagian dalam karyanya Menolak Bungkam: Pius Lustrilanang. 

Setelah Soeharto lengser, rupanya Soehartoisme nir bersama-sama tumbang. Soehartoisme masih bertahan, beradaptasi dengan situasi Indonesia baru, bahkan sampai ketika ini. Soehartoisme tetap bertahan, yg terjadi hanyalah pemugaran-pemugaran tambal-sulam yang kerap disebut ‘Reformasi’, yang dilakukan eksponen-eksponen Soehartoist yang masih selamat dari kritik warga . Hal itulah yg menggelisahkan Sri-Edi Swasono, saudara tertua kandung dari Sri-Bintang, sebagai akibatnya dia khawatir bahwa yg terjadi malah ‘deformasi’ (pembekuan), bukannya perubahan keadaan generik Indonesia yang signifikan. Kekhawatiran itu diungkap pada karyanya Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat dan Dari Lengser ke Lengser.

Comments