PERMATA TASAWUF MUHAMMADIYAH MENELADANI SPIRITUAL LEADERSHIP AR FAKHRUDDIN

Permata Tasawuf Muhammadiyah, Meneladani Spiritual Leadership AR. Fakhruddin 
Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan sosial keagamaan didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) dalam awal abad ke 2 puluh, tepatnya dalam 8 Dzulhijjah 1330 H, bersesuaian menggunakan tanggal 18 Nopember 1912. Pendirian organisasi ini, antara lain, dipengaruhi oleh gerakan tajdîd (reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan sang Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arab Saudi, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyîd Ridhâ (1865-1935) pada Mesir, serta lain-lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai corak pemikiran yang spesial , tidak sama satu menggunakan yang lain. Jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih bersifat puritan (purifikasi), maka Muhammad ‘Abduh lebih menekankan pemanfaatan budaya terkini dan menempuh jalur pendidikan, dan karena itu, gerakannya lebih bersifat modernis dan populis. Sementara itu, Rasyîd Ridhâ menekankan pentingnya keterikatan dalam teks-teks al-Qurân pada kerangka pemahaman Islam, yang dikenal dengan al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (pulang kepada al-Qur’an dan al-Sunnah). Oleh karenanya, gerakannya lebih bersifat skriptualis (tekstual), yg kelak menjadi akar fundamentalisme (al-ushûliyyah) pada Timur Tengah (Syafiq A. Mughni, 1998). Dari telaah biografi KH. Ahmad Dahlan, terlihat bahwa betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan serta sedikit banyak terpengaruh sang pemikiran-pemikiran tokoh di atas yg lalu dipadukan dan dikontekstualisasikan menggunakan setting sosial serta budaya Jawa, serta masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika itu, rakyat Indonesia berada dalam syarat terjajah, kurang pandai, mundur, miskin, dan keberagamaan sebagian mereka cenderung mengidap penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).

Sebagai gerakan tajdîd (pembaruan), pada memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah memang mengembangkan semangat tajdîd dan ijtihâd (mendayagunakan nalar rasional pada memecahkan serta merogoh konklusi banyak sekali kasus aturan serta lainnya yang nir ada dalilnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-sunnah), serta menjauhi perilaku taklid (mengikuti ajaran kepercayaan secara membabi buta, tanpa disertai pemahaman yang memadai terhadap dalil-dalilnya), sebagai akibatnya di samping dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan juga dikenal menjadi gerakan tajdîd.

Istilah tajdîd pada dasarnya bermakna pembaruan, penemuan, restorasi, modernisasi serta sebagainya. Dalam konteks ini, berdasarkan Ahmad Syafi’i Ma’arif mantan Ketua PP Muhammadiyah, tajdîd mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah pada bisnis memperbarui pemahaman umat Islam mengenai agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya menggunakan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’ân serta al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996). Pencerahan hati, pikiran, serta tindakan dalam berislam sungguh sangat krusial digelorakan dewasa ini, mengingat penetrasi serta akulturasi budaya Barat yg sekuler serta rendahnya kualitas sebagian akbar umat Islam masih menghantui kehidupan umat Islam Indonesia.

Tajdîd secara harfiah memang mempunyai arti pembaruan. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, dituntut buat selalu sanggup menciptakan langkah-langkah yg ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif serta responsif mengikuti perkembangan zaman. Dengan kata lain, Muhammadiyah dibutuhkan bisa selalu berdiri pada hadapan sejarah, pada arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah sanggup melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara bergerak maju dan kontekstual. Al-Qurân serta al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, bila umat Islam selalu berusaha menangkap serta meresponi pesan-pesan ke 2 sumber Islam itu, lalu mengontekstualisasikannya menggunakan perkembangan rakyat secara antisipatif. Muhammadiyah, memang harus terus menerus melakukan pembaruan. Harus selalu terdapat reorientasi, reevaluasi, revisi serta regenerasi terhadap apa yg sudah serta sedang dikerjakan demikian Amien Rais, oleh lokomotif reformasi Indonesia. Di samping itu, Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian serta prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi serta dekadensi (M. Amien Rais, 1995).

Sementara itu, ketika bicara tentang tajdîd masa sekarang, Amien Rais mengajukan 5 paket tajdîd atau pembaruan yg saling berkaitan serta wajib senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tadi merupakan: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd pandangan hidup Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan (Amien Rais, 1995). Kelima spektrum tajdîd memang sangat relevan dengan tuntutan masa kini ; mengingat dewasa ini kenyataan jahiliyah modern jua bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan-ramalan yang bernuansa klenik serta tahayul, dekadensi moral, pornografi serta pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan insan) terutama anak-anak serta perempuan , dan sebagainya. Semua duduk perkara tersebut hanya dapat dihadapi serta diatasi menggunakan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah menggunakan melakukan kaderisasi serta intelektualisasi pada skala yang lebih besar dan merata ke semua penjuru tanah air.

Wilayah ijtihâd dan tajdîd Muhammadiyah semenjak awal sebenarnya selalu terfokus dalam problem historisitas kemanusiaan yg sekaligus pula menyentuh masalah kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan serta pelayanan kesehatan merupakan duduk perkara keumatan yang kongkrit dan otentik. Sikap dan aksi konkret misalnya itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah dalam awal berdirinya serta terus berlangsung hingga sekarang. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang serta respons yang lebih luas dari rakyat Muhammadiyah dan lainnya.

Bagi KH Ahmad Dahlan yg aktivis Budi Utomo itu, setiap rakyat harus membangun di pada dirinya pandangan hidup kehidupan dan pandangan hidup sosial sebagai seorang guru serta siswa sekaligus. Etos pengajar-murid adalah inti kekuatan ijtihâd dan pula inti kekuatan gerakan sosial KHA. Dahlan pada usahanya mencairkan kebekuan ritual, sebagai akibatnya memiliki fungsi pragmatis sebagai pemecahan duduk perkara sosial bagi pencarian feodalisasi keagamaan dan pendidikan yg cenderung maskulin (kelelakian). Seluruh masyarakat, laki-laki serta perempuan , digerakkan buat bekerja sebagai guru sekaligus murid di dalam banyak bidang sosial serta kegamaan. Kasus penafsiran surat al-Mâ’ûn sebagai dasar kelahiran lembaga panti asuhan mencerminkan ilham dasar metodologi pragmatis etos pengajar-anak didik pada penafsiran ayat-ayat al-Qur’an (Abdul Munir Mulkhan, 2003).

Nafas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, sesungguhnya terletak pada pergumulannya menggunakan dilema historisitas keberagamaan manusia. Untuk membangkitkan serta menyegarkan kembali gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Muhammadiyah dalam konteks pembangunan umat, nir lain dan tidak bukan merupakan menggunakan cara mencermati balik makna normativitas teks-teks (nash-nash) al-Qurân dan al-Sunnah secara lebih kontekstual, dengan cara mengkaitkan dan mempertautkannya secara langsung atau kontekstualisasi menggunakan dilema-problem sosial-historis keberagamaan Islam pada masa ini secara aktual (M. Amin Abdullah, dalam “Muhammadiyah serta Pemikiran Keagamaan”).

Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya pada Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) juga rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yg paling mendasar, yakni perilaku kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman waktu kelahirannya maupun pada bepergian kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yg menekankan kesalehan sosial, misalnya pembangunan forum pendidikan, tempat tinggal sakit, panti asuhan, masjid dan sarana dakwah lainnya. 

Dalam konteks purifikasi, al-Qurân serta al-Sunnah al-shahîhah (yg valid) secara tekstual normatif adalah paradigma utama dalam komitmen aqidah juga pelaksanaan ibadah mahdhah. Dari paradigma tekstual normatif ini melahirkan doktrin segala sesuatu diyakini serta dilaksanakan jika ada perintah (al-Qurân dan al-Sunnah). Sedangkan dalam konteks rasionalisasi, al-Qurân serta al-Sunnah al-shahîhah juga tetap menjadi acum pokok, namun dalam keyakinan dan pengamalan bidang muamalah duniawiyah ini berlaku kaidah ushul: al-ashl fi al-asyyâ’ al-ibâhah (semua urusan muamalah duniawiyah boleh dikerjakan) selama nir ada embargo atau nir bertentangan menggunakan al-Qurân dan al-Sunnah.

Sebagai sebuah gerakan (harakah), tentu poly faktor yg melatarbelakangi kelahirannya. Berbagai ahli serta penulis mengemukakan teori dan alasan buat menunjang teori mereka. Setiap temuan, masing-masing sudah diperkaya dan diperkuat sang aneka macam faktor yang mereka yakini kebenarannya. Di antara nama tadi contohnya A. Mukti Ali (The Muhammadiyah Movement, 1985), mantan Menteri Agama, yg menjelaskan paling tidak terdapat empat faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, yaitu kehidupan beragama yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, kegiatan para misionaris Kristen, dan sikap masa kurang pandai dan bahkan anti agama menurut kalangan intelegensia (Mukti Ali, 1985).

Sementara itu, Alwi Shihab pada bukunya, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Alwi Shihab, 1998), lebih menekankan faktor penetrasi Kristen yg melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, pada samping sejumlah faktor lain yang sangat kompleks, dan faktor terpentingnya masih permanen diperdebatkan. Dalam perdebatan tersebut berdasarkan Alwi, muncul 2 pandangan primer yg dalam umumnya diterima. Pandangan pertama, mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan Islam berdasarkan Timur Tengah ke Indonesia dalam tahun-tahun pertama abad ke-20. Pandangan kedua, menekankan fenomena bahwa Muhammadiyah ada menjadi respons terhadap pertentangan ideologis yg telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Meskipun kedua faktor pada atas memainkan peran sangat penting, namun terdapat faktor lain yang sama pentingnya yg terabaikan dari pertimbangan analitis para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negeri ini serta imbas besar yg ditimbulkannya. Meskipun sang para sarjana Indonesia faktor ini ditinjau nir krusial, tetapi wajib diakui bahwa faktor ini adalah yang terpenting berdasarkan seluruh faktor yang telah mendorong KHA. Dahlan mendirikan organisasi ini pada tahun 1912.

Dari pendapat yg dikemukakan baik oleh Mukti Ali maupun Alwi Shihab tampaknya, faktor yg paling secara umum dikuasai yg mengakibatkan Muhammadiyah lahir merupakan faktor kehidupan beragama yang tidak murni, pendidikan agama yg tidak efisien, dan aktivitas para misionaris Kristen yg melakukan kristenisasi terhadap kalangan Muslim eksklusif, misalnya: kaum fakir-miskin serta kalangan Islam abangan. Kelompok inilah yg mudah sebagai target garap kaum missionaris, karena mereka merupakan kaum yang lemah secara ekonomi maupun secara akidah.

Sementara itu, menyoroti mengenai persyarikatan Muhammadiyah ini, berbagai pandangan serta pendapat telah dilontarkan kepada organisasi ini, baik dari kalangan luar maupun dari kalangan dalam. Kritik internal yg diarahkan pada persyarikatan akhir-akhir ini misalnya, dia terkesan kemarau serta nir lagi sevokal dan seagresif dahulu dalam menyerukan pandangan baru-pandangan baru pembaruan pemahaman keagamaan, khususnya pada hubungannya dengan realitas historis rakyat Muslim yg hidup pada tengah-tengah era modernitas. Kritik ini tentu saja bersifat membentuk (konstruktif). Para aktivis serta penerus gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah ini dikesankan “terjebak” pada rutinitas menjalankan perputaran roda organisasi keagamaan. Jika kritik ini benar, memang relatif ironis: mengapa organisasi yang dahulunya bebas serta leluasa bergerak, akhirnya wajib terjebak dalam liku-liku (prosedur) birokrasi organisasi yang diciptakannya sendiri buat mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh persyarikatan. Kritik ini tentu wajib diresponi secara positif supaya organisasi ini tidak mau dikatakan mandeg (stagnan). Elan vital pembaruan (tajdîd) harus tetap sebagai “tabiat dasar” Muhammadiyah.

Sebagai sebuah organisasi pembaruan keagamaan, Muhammadiyah memang berpandangan bahwa kunci kemajuan dan kemakmuran kaum Muslimin adalah perbaikan pendidikan. Oleh karena itulah, sesungguhnya semenjak dulu nama organisasi ini diambil dari nama sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan satu tahun sebelum didirikannya Muhammadiyah (Alwi Shihab, 1998).

Gerakan Muhammadiyah pula semenjak awal dikenal luas menjadi gerakan sosial keagamaan yang didirikan buat mengadaptasikan Islam menggunakan situasi terkini Indonesia, lantaran gerakan ini menegaskan diri sebagai gerakan pembaruan yang peduli dan konsen (care and concern) terhadap kemajuan Islam serta umat Islam, dan menyebabkan kebangkitan pulang kaum Muslimin di Indonesia.

Pengamat lain menegaskan bahwa organisasi ini merupakan sebuah gerakan dakwah dengan lingkup kegiatan yang mencakup seluruh aspek kehidupan sosial: agama, pendidikan, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Barangkali lebih pantaslah kalau Muhammadiyah ini dikatakan, sebagaimana pendapat Alwi Shihab, bahwa gerakan Muhammadiyah masuk ke pada kombinasi aneka macam penamaan serta penyifatan, sejalan dengan target dan tujuannya yang majemuk, yg sudah mengalami banyak perubahan dalam upayanya buat terus menaruh respons terhadap kebutuhan zaman. Organisasi ini tidak membatasi diri kepada dakwah semata pada pengertian yg sempit, tetapi merogoh kiprah dalam seluruh aspek perkembangan masyarakat, bergantung pada atmosfir yg sedang berlangsung (Alwi Shihab, 1998). Kahin pada Nationalism and Revolution in Indonesia menyatakan bahwa Muhammadiyah paling tidak memiliki peran pada tiga dataran: “menjadi gerakan pembaruan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai kekuatan politik (Kahin, h.87-88). Ketiga atribut yg disematkan kepada Muhammadiyah tersebut memang merupakan keniscayaan. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah berupaya menghadirkan pemikiran-pemikiran inovatif dan kritis terhadap status quo, sehingga eksistensinya pula sekaligus membawa transformasi sosial, terutama melalui modernisasi sistem pendidikan Islam. Seiring menggunakan kekuatan yg semakin diperhitungkan, terutama pada kalangan menengah perkotaan, keberadaan Muhammadiyah juga patut diperhitungkan secara politik, meskipun khiththah (garis serta orientasi usaha) organisasi ini tidak berpolitik mudah.

Sebagai pelopor gerakan pembaruan pemikiran Islam yang lebih mengutamakan aspek rasional pada beragama (meskipun akhir-akhir ini tidak sevokal serta seagresif dahulu) serta menekankan pentingnya peranan nalar serta pendidikan akal, ternyata dalam praktik pemimpin dan anggotanya poly yang mencerminkan dan menekankan pentingnya kehidupan spiritual yg sangat dekat dengan daerah tasawuf. Keharusan hayati buat mensucikan jiwa (akhlaq) yg bersumber menurut ajaran agama dan berkehendak menaati semua perintah Allah dari Kitab Allah serta Sunnah Rasulullah Saw. Dan “menyifatkan dirinya menggunakan sifat-sifat Allah”, adalah ciri serta perilaku kehidupan tasawuf. Meskipun konduite seperti itu dalam zaman Rasul nir dianggap tasawuf, karena istilah atau laqab (julukan) Sufi pada ketika itu belum ada. Istilah ini baru timbul pada akhir abad 2 atau awal abad 3 hijriyah (Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980). Ibn Taimiyah (661-728 H) menyatakan bahwa ahli agama, ahli ilmu dan ahli ibadah pada ketika itu disebut kaum Salaf, yang lalu diklaim menggunakan “Shufiyah wa al-Fuqarâ” (Ibn. Taimiyah dan Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980).

Perilaku serta kehidupan spiritual sejumlah pemimpin Muhammadiyah, dilakukan seiring dengan aplikasi pemberantasan bid’ah, syirik serta khurafat dan desakralisasi praktik beragama, seperti praktik beragama (baca: bertasawuf) model Ibn Taimiyah. Orang-orang yang masuk ke dalam kategori ini (sufi) adalah mereka yang benar-benar-benar-benar mentaati Allah. Di antara mereka ada yang lebih utama karena kesungguhannya dalam ketaatannya dalam Allah serta adapula yg masih dalam termin penyempurnaan, mereka dianggap menggunakan Ahl al-Yamîn (Ibn Taimiyah, 1986). Sementara itu, Imam al-Ghazzâlî (1058-1111 M) menaruh makna tasawuf menggunakan: “Ketulusan kepada Allah dan pergaulan yg baik pada sesama insan”. Setiap orang yg tulus pada Allah dan membaguskan pergaulan dengan sesama insan dari al-Ghazzâlî dianggap sufi (Al-Ghazzali, 1988). Sedangkan ketulusan pada Allah Swt. Berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan diri sendiri (hawa al-nafs) buat melaksanakan perintah Allah dengan sepenuh hati. Sementara pergaulan yang baik dengan sesama manusia tidaklah mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan orang lain, selama kepentingan mereka itu sinkron menggunakan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap defleksi syari’at atau dia mengingkarinya, berdasarkan al-Ghazzâlî, beliau bukanlah sufi. Jadi, sufi adalah orang yang menempuh jalan hidup menggunakan menjalankan syariat secara sahih dan sekaligus merogoh spiritualitas (hakikat) berdasarkan ajaran syariat pada bentuk penyucian serta pendekatan diri secara terus-menerus pada Allah Swt. Perilaku ketaatan terhadap syariat itu kemudian diwujudkan pada perilaku yang penuh moralitas (akhlak mulia) dalam kehidupan sehari-hari (tasawuf akhlaqi).

Apabila pengertian tasawuf mengacu pada pencanderaan seperti yg diungkapkan sang Ibn Taimiyah maupun al-Ghazzâlî misalnya yang disebutkan pada atas, maka di dalam Muhammadiyahpun akan muncul paras-wajah tasawuf, yakni mereka yang ketaatan dan kehidupan spiritualitasnya relatif intens. Tidaklah mengherankan apabila disimak menggunakan akurat penuturan salah seseorang murid K.H.A. Dahlan, yaitu K.R.H. Hadjid, bahwa pada antara referensi pendiri Muhammadiyah merupakan buku-buku yg ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Muhammad ‘Abduh serta termasuk juga karya al-Ghazzâlî. Kitab-kitab tasawuf seperti Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bidâyah al-Hidâyah, Kimiyah al-Sa’âdah, Kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn dan sebagainya menjadi bacaan KHA. Dahlan (Kiyai Hadjid, 1968), sebagai akibatnya keakraban kehidupan spiritual yg dekat dengan wilayah tasawuf pula mewarnai kepribadian pendiri gerakan pembaruan dalam Islam ini. Bahkan beberapa penerusnya seperti Ki Bagus Hadikusumo, cukup intens pada kehidupan daerah ini (baca: bertasawuf). Dia menekankan pentingnya akhlak luhur serta kesederhanaan dalam hayati. Ia prihatin terhadap krisis akhlak yang melanda umat. Banyak orang mengaku Muslim (KTP-nya Islam), tetapi perilakunya tidak Islami. Terhadap krisis ini, Ki Bagus menulis tentang akhlak dalam bukunya “Pustaka Ihsan“ yg mengemukakan tentang istiqâmah, tawakkul, muhâsabah, ‘adl, shidq, tawâdhu’, ikhlâs, amânah, shabr dan qanâ’ah (Farid Ma’ruf, 1990).

Sementara itu, figur A.R. Fakhruddin jua pantas masuk dalam kategori menjadi sosok sufi pada Muhammadiyah. Lantaran menurut irit penulis, dia dapat mewakili wajah kehidupan spiritual dalam Muhammadiyah, lantaran beberapa alasan. Pertama, praktek hidup langsung A.R. Fakhruddin mencerminkan konduite kehidupan spiritual yg sangat dekat menggunakan wilayah tasawuf. Hal ini dapat dicermati, contohnya, dalam kehidupannya sehari-hari, baik waktu bertugas, pada lingkungan rumah tangganya, pada warga maupun di kalangan organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya, beliau senantiasa mencerminkan eksklusif mutasawwif serta watak tasawuf yg akhlaqi, mementingkan pelatihan dan pengamalan konduite yang memberitahuakn akhlak mulia.

Kehidupannya mencerminkan hayati dan kehidupan yg sederhana, asketik serta tidak ngoyo (zâhid). Ia senantiasa menekankan pada perilaku akhlak terpuji. Dalam salah satu ceramah A.R. Fakhruddin, Nakamura pernah mengutip inti ceramahnya menjadi berikut (Mitsuo Nakamura, 1983) :

“Bahwa kita bisa berdoa lima kali sehari menggunakan teratur, namun apabila akhlak kita permanen jelek, permanen rakus, kikir, tidak mau memperhatikan yang miskin serta susah, maka do’a kita tidak akan diterima sang Allah, tidak akan masuk nirwana, tetapi bahkan masuk neraka. Kita dapat menyelesaikan puasa, namun jika kita permanen mengungkapkan keburukan orang lain, berdusta, menipu, arogan, maka puasa kita nir berguna serta nir diakui sang Allah, marilah kita berdo’a, berpuasa, berhaji, membayar zakat, serta di atas segalanya ini, marilah kita memperbaiki akhlak kita”. 

Selanjutnya A.R. Fakhruddin menambahkan:
“Bahwa jalan yg paling niscaya untuk menciptakan akhlak yg mulia adalah melakukan ibadat, dengan kesadaran penuh pada Tauhid. Jalan yang harus dilewati dengan pencerahan merupakan impian seorang buat menjadi nrimo. Ikhlas menunjuk kepada orientasi mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yg bersifat duniawi, kosong, bersih, serta kekosongan inilah yang harus diisi menggunakan Allah sepenuhnya diisi dengan kebaktian kepada Allah, nir dalam yang lain. Bahwa shalat-shalat sunnah, termasuk witir, shalat dhuha serta yang sejenisnya sangatlah dianjurkan. Dan bahwa dzikir, wirid, bukanlah monopoli tarekat, serta boleh diperaktikkan bilamana hal tersebut bisa membantu meningkatkan kesalehan seseorang dan nrimo pada beribadah maupun dalam bermu’amalah”.

Dalam tindakan dan perbuatannya, A.R. Fakhruddin bisa dicandera lebih mencerminkan langsung “amal”, figur yang menekankan pada perbuatan konkret, aksis sosial kemanusiaan. Baginya yg krusial merupakan bagaimana Islam sahih-benar bisa diamalkan pada kehidupan sehari-hari. Kepuasannya yang mendalam adalah bilamana umat Islam sungguh-benar-benar dapat mencerminkan dirinya menjadi muslim yang baik, Muslim dalam keyakinan, dalam ucapan maupun dalam tindakannya. Di antara watak muslim “amal” ini agaknya lebih dekat kepada wilayah tasawuf, dibandingkan Muslim “intelektual” yang mungkin lebih dekat kepada wilayah kalam atau filsafat.

Kedua, karya-karya tulisnya, jelas memang diungkapkan menggunakan narasi yang berbeda menggunakan karya al-Ghazzâlî juga Ibn Taimiyah, namun substansinya senafas menggunakan karya-karya tasawuf al-Ghazzâlî, misalnya tentang Adab-Adab dalam Beragama, mengenai al-Qawâid al-‘Asyrah, Tindak Kepatuhan, Menghindar dari Dosa, baik dosa-dosa tubuh maupun dosa-dosa jiwa yang berhubungan dengan Allah Swt. Serta manusia, mengenai tauhid, iman, penyucian diri berdasarkan noda, dosa, maksiat, dan lain sebagainya.

Gaya penulisannya sederhana, namun menarik dan lezat dibaca. Sepintas, lantaran kesederhanaannya, terkesan seolah-olah kurang dilandasi teori-teori yang bisa mencerminkan sebagai tokoh pergerakan modernisme dalam Islam. Padahal, justru di situlah letak kekuatannya. Sebab, apa yang dikemukakan serta ditulisnya merupakan manifestasi berdasarkan kedalaman serta pengamalan Islam yang diyakininya serta bertolak berdasarkan kejujuran serta ketulusan pribadinya, pengalaman keseharian dan masalah-dilema aktual keagamaan dan kemasyarakatan yg ditemuinya. Dengan karya-karyanya dalam bentuk tadzkirah (peringatan/pelajaran moral) dan anekdotis, di sana dapat dibaca bahwa sifat-sifat serta pribadinya sendiri adalah karya-karya tulisnya itu.

Ketiga, A.R. Fakhruddin adalah pimpinan zenit di Muhammadiyah (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) terlama sepanjang sejarah perkembangannya, yaitu selama 22 tahun (1968–1990), sementara pendiri Muhammadiyah sendiri yakni K.H.A. Dahlan memimpin Muhammadiyah selama 11 tahun (1912–1923). Bahkan sebelum dipilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah, relatif lama A.R. Fakhruddin menjadi pimpinan di daerah dan taraf wilayah, dan selama 30 tahun diberi tugas sang pengurus akbar Muhammadiyah untuk menggerakkan dakwah di pelosok Sumatera Bagian Selatan. Dengan demikian, A.R. Fakhruddin mempunyai kesempatan yang relatif buat memberi corak kehidupan yang bernuansa tasawuf pada kepemimpinan serta kehidupan gerakan Muhammadiyah. Selama periode tersebut, melalui kepemimpinannya di tingkat nasional, berbagai kegiatan serta rendezvous, baik pada tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang maupun pada taraf ranting dapat dilakukan secara intensif serta cukup padat. Bahkan ia acapkali mengisi halaqah-halaqah (pengajian-pengajian dalam lembaga-forum terbatas) di lingkungan famili akbar Muhammadiyah, seperti jamaah perempuan , ‘Aisyiyah, Nasyi’atul 'Aisyiyah, remaja, kaum terpelajar, pengajar-pengajar dan pada berbagai komunitas lainnya.

A.R. Fakhruddin merupakan simbol dan lambang kepemimpinan Muhammadiyah, sebagai tipe pengembangan kepribadian Muhammadiyah dan tokoh sentral yang lengser menurut puncak piramida persyarikatan secara tulus dan legowo. Ia telah bertiwikrama menjadi trade mark organisasi Islam yg paling rapih di Indonesia. Semua itu, secara langsung ataupun nir, bisa memberi impak pada kehidupan persyarikatan. Didukung juga oleh hampir semua karya tulisnya yang lebih poly ditujukan kepada pembaca keluarga persyarikatan, misalnya: Pedoman Muballigh Muhammadiyah, Pedoman Anggota Muhammadiyah, Muhammadiyah Abad ke XV H, Kepribadian Muhammadiyah, Pemimpin Muhammadiyah dan beberapa karya lain dalam bentuk tanya jawab, artikel di majalah Suara Muhammadiyah serta Suara Aisyiyah, serta makalah-makalah yang disampaikan pada halaqah-halaqah, penataran, seminar baik buat anggota, pengurus, juga kader-kader Muhammadiyah, seluruhnya relatif efektif dalam kurun yang demikian nisbi panjang pada memberikan sentuhan tasawuf dari pancaran pribadinya pada jiwa serta amalan anggota Muhammadiyah.

Tema-tema majelis halaqah, tabligh, pengajian, kuliah, khotbah, ataupun tulisan-goresan pena yg tersebar dalam brosur serta majalah-majalah intern persyarikatan Muhammadiyah, memang nir mengangkat tema yg secara eksplisit mengenai tasawuf, seperti tokoh lain dalam Muhammadiyah, yaitu Buya HAMKA, tetapi sarat menggunakan pelajaran akhlaq yg dekat dengan daerah tasawuf, yaitu tasawuf akhlaqi. Sementara karya-karya HAMKA pada bidang Tasawuf, lebih bersifat universal dan ditujukan buat khalayak pembaca yg beragam. Karya-karyanya antara lain : Tasawuf Modern; Tasawuf, Perkembangan serta Pemurniannya, Renungan Tasawuf, Lembaga Budi dan Falsafah Budi.

Tanpa menyebut istilah tasawuf sebenarnya ia telah mempraktekkan dan mengembangkan ajaran akhlak tasawuf secara inklusif. Waktu yang dimiliki selama menjadi tokoh puncak Muhammadiyah, memberi peluang yg cukup luas buat mensosialisasikan pikiran/ renungan dan seruan-seruannya baik dalam konduite organisasi maupun praktik langsung dalam mengamalkan ajaran Islam yg bernuansa tasawuf. Jiwa dan pribadinya merentang cermin pribadi “sufi” pada hal taubat, taqwâ, wara, zuhd, rajâ, khauf, khusyu’, tawâdhu’, qanâ’ah, tawakkul, syukr, shabr, ridhâ, istiqâmah, ikhlâs, serta beberapa tahapan lain penempuh jalan sufi misalnya pencanderaan Imam al-Qusyairî al-Naisaburî di pada Risâlah al-Qusyairiyah (Al-Qusyairi, t.T).

Menurut hemat penulis, kehidupan spiritual A.R. Fakhruddin bisa digolongkan pada eksklusif yg hidup berdasarkan pencerahan dan mempunyai karakter tasawuf (tasawuf akhlaqi), dan sebagai salah satu tokoh zenit dan panutan pada pada komunitas persyarikatan Muhammadiyah yang menghayati serta “berjiwa sufi”. Namun, asumsi ad interim pada atas perlu dibuktikan, apakah sahih kehidupan spiritual AR. Fakhruddin itu memang memiliki karakter tasawuf yang dekat dengan global Sufi. Lalu, cukup tepatkah pernyataan ini ditujukan pada AR. Fakhruddin. Bukankah karya-karya tulisnya juga tidak spesifik menulis mengenai tasawuf, meskipun sarat menggunakan dimensi serta pelajaran akhlak.

Dalam berislam dan bermuhammadiyah, memang sangat dibutuhkan adanya acum moral serta keteladanan spiritual yg dapat membina jati diri muslim melalui akhlak tasawuf, karena kita berkeyakinan bahwa kehidupan yg Islami dapat terwujud lewat konduite dan kehidupan spiritual yang luhur, mulia, serta sarat dengan amal shalih. Ke depan, menurut penulis, Muhammadiyah serta bangsa ini memerlukan figur pemimpin yang dapat diteladani integritas pribadi, kedalaman spiritualitas, dan kecanggihan berpikirnya. Spiritual leadership meminjam istilah Tobroni barangkali adalah salah satu warisan kepemimpinan AR. Fakhruddin dalam menahkodai serta membesarkan Muhammadiyah. Dengan gaya dan contoh kepemimpinan spiritual serta sufistik inilah, jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dapat menyentuh aneka macam lapisan rakyat. AR. Fakhruddin nir hanya memimpin dan berdakwah, namun jua mendidik serta mencerdaskan umat dengan kecerdasan emosi, kedalaman spiritualitas (the corporate mystics), serta keluhuran moralnya yang tercermin dalam kepemimpinan spiritual dimaksud (Tobroni, 2005). Umat serta bangsa dewasa ini memang sangat memerlukan figur-figur pemimpin yg bisa diteladani dari segi pemihakannya terhadap kejujuran, kebenaran, dan integritas moralnya.

Akhirnya, menjadi refleksi bersama: bukankah yg kelak dievaluasi Allah Swt. Di akhirat merupakan amal bakti, prestasi kinerja konkret kita? Muslim yang baik merupakan Muslim yang selalu bersikap rendah hati buat mau belajar serta membelajarkan diri sendiri menuju kualitas hidup yg lebih baik. Praktis-mudahan, pembaca serta kita seluruh dapat belajar “Islam amalî” serta “amal Islami” serta merogoh pelajaran moral serta spiritual berdasarkan tokoh-tokoh zenit pimpinan Muhammadiyah khususnya tokoh kita yg satu ini, K.H. AR. Fakhuruddin (Allah yarham).

Comments