HAMKA DI TENGAH KANCAH DUNIA MELAYU
Hamka pada tengah kancah Dunia Melayu
Dengan berlatar-belakangkan situasi politik, ekonomi dan sosial-budaya menurut kedua sisi pantai Selat Melaka itu semenjak awal abad ke 20 yl, yang lazim pula kita sebut sebagai era kebangkitan dunia Melayu, kita kini melihat serta menyorot di mana kiprah Hamka dan para ulama lainnya di dunia Melayu pada bidang agama khususnya, akan tetapi juga pada bidang kebangkitan ummat Islam sendiri pada global Melayu itu umumnya.
Namun, sebentar, terdapat dua jalur dengan dua penekanan yg berbeda berdasarkan lalu lintas orang serta budaya antara kedua sisi Selat Melaka itu. Satu jalur orang serta satu lagi jalur budaya. Pemasokan orang ke Semenanjung Melayu telah berjalan semenjak berabad, baik sebelum juga selama dan sesudah penjajahan Inggeris di Semenanjung Melayu. Pemasokan TKI/TKW dalam jumlah hampir tidak terkendali seperti kini ini hanyalah kelanjutan menurut rentetan panjang yg telah berjalan semenjak berabad yang lalu, yg sekarang, kebetulan, dipicu oleh lajunya pembangunan pada segala sektor pada Malaysia. Apalagi lantaran semua itu secara relatif terpola dan terprogram dengan baik dengan menempatkan gerombolan Melayu sebagai Tuan pada rumah sendiri, serta dikelola secara nisbi sehat dengan mesin birokrasi yg nisbi efektif serta efisien, sehingga korupsi serta penyalah-gunaan kewenangan serta kekuasaan lainnya pula nisbi minimal dan pada bawah batas yg masih terkendali.
Sebelum dan selama penjajahan Inggeris, saat dunia Melayu di Semenanjung secara internal masih beraja-raja, misalnya pula pada banyak dunia Melayu lainnya pada seberang Selat Melaka, di bagian Indonesia, pemasokan orang, kecuali menurut Sumatera yang memang sendirinya, menggunakan mengingat proksi-mitas berdasarkan segi apapun, pula menurut Bugis, Banjar serta Jawa terutama. Sumatera, Bugis serta Banjar, selain kaitannya dengan kerajaan-kerajaan yg berlatar-belakangkan daerah-daerah tersebut pada Semenanjung sendiri, yg adalah, para pendiri kerajaan-kerajaan tadi berasal dari wilayah-daerah Suma-tera, Bugis serta Banjar itu, sementara pemasokan orang buat keperluan ekonomi, khususnya buat energi kerja pada bidang perkebunan, pertanian dan industri pertambangan, didatangkan atau tiba dari Jawa masih sejak abad ke 19 yl. Kelompok orang berdasarkan Sumatera, Bugis dan Banjar yang mendirikan kerajaan-kerajaan itu, umumnya beranjak pada bidang pemerin-tahan, politik, pendidikan, agama dan ekonomi tradisional serta non-formal. Tegasnya grup Sumatera, Bugis, Banjar lebih menentukan jalur budaya. Melalui jalur budaya inilah interaksi antara sesama dunia Melayu terasa erat serta dekat. Dan dalam jalur inilah sosok-peranan Hamka serta ulama lainnya berdasarkan sebelah Indonesia harus dilihat pada peranan maupun dampaknya di Malaysia kontemporer kini ini.
Yang menarik, karena pemasokan orang dan budaya antara Malaysia serta Indonesia selama ini simpel berjalan satu-arah, yaitu dari Indonesia ke Malaysia, dan nir kebalikannya ataupun timbal-kembali, maka yang terlihat adalah jua, hingga seberapa jauh Malaysia telah menggantungkan diri pada pasokan budaya yg pada sepanjang abad ke 20 dan sebelumnya telah memberi isi dan warna kepada kebudayaan Melayu pada Semenanjung dan kini di Malaysia itu. Apabila disederhanakan, maka hadiah isi dan warna dari budaya Melayu yang masuk berdasarkan sebelah Indonesia itu dipelopori sang nama-nama besar yg satu dari antaranya pada seuntaian dasa warsa-dekade abad ke 20 tidak ayal adalah nama Hamka.
Kenapa Hamka? Lantaran Hamkalah yang adalah inspirator dan sekaligus artikulator ke mana dunia Melayu itu harus menuju, bagaimana corak budayanya, dan bagaimana dunia Melayu dikaitkan dan menjadi bahagian yg integral dan tidak terpisahkan menurut global Islam di Asia Tenggara dan di global Islam lainnya secara menyeluruh.
Secara fisik, bagaimanapun, Buya, seperti jua tokoh-tokoh inspirator serta artikulator lainnya dari Indonesia, seperti Natsir, Hatta, Tan Malaka, Zainal Abidin Ahmad, Mahmud Yunus, Kaharuddin Yunus, Sidi Gazalba, dan seluruh yg mencecahkan penanya ke tinta sebagai akibatnya kitab -bukunya tersebar luas dalam warga Melayu di Semenanjung, secara fisik mereka praktis tidak hadir, atau kalaupun ada, minimalis sifatnya. Tetapi secara spiritual, emosional dan intelektual, merekalah yg menjadi asal inspirasi bagi dunia Melayu ke depan, sama misalnya global Islam mendapatkan inspirasi serta artikulasi menurut tokoh-tokoh pembaharu misalnya Jamaluddin Al Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Ali Jinnah, Muhammad Iqbal, dsb. Mereka yg membangunkan dunia Melayu itu yg lalu jadi panutan inspiratif bagi rakyat dan insan Melayu itu, pada Semenanjung. Dan semua itu juga ditampin dan disambut oleh tokoh-tokoh Melayu yg telah pula mempersiapkan diri di bumi Semenanjung sendiri, yg bila ditinjau berasal-usul satu per satu, datangnya berdasarkan bumi Nusantara seberang Selat Melaka pula.
Tak kurangnya, ketika orientasi pendidikan, khususnya pendidikan kepercayaan , masih berkiblat ke Sumatera, serta khususnya Sumatera Barat, di samping juga Aceh dan Sumatera Timur, terdapat jalur embrionik yg menghubungkan kedua sisi Selat. Sejak menurut zaman Djalaluddin Taher masih dipenggalan abad ke 19 sampai sepanjang abad ke 20, betapa poly anak-anak Melayu menurut Semenanjung yang pergi mengaji serta sekolah ke Sumatera Barat dll itu, yang pusatnya terutama terdapat di 2 kota: Padang Panjang serta Bukittinggi. Puncak berdasarkan seluruh itu tentu saja merupakan: pertengahan pertama abad ke 20, pada mana sekolah-sekolah agama yg berorientasi moderen, misalnya Thawalib, pada Padang Panjang serta Parabek, Bukittinggi, Sekolah Kak Amah: Diniyah Puteri, pada Padang Panjang, selain pula Ma’had Islamy dan Training College pada Payakumbuh dan Madrasah Perti pada Candung serta Bangkaweh, Bukittinggi.
Malah hingga sekarangpun, kendati sekolah-sekolah di Malaysia sendiri telah bertumbuh dengan demikian cantik serta majunya, masih saja cukup banyak berdasarkan anak-anak Melayu yang pulang sekolah, khususnya sekolah agama, ke kota-kota pendidikan pada Sumatera Barat dan Sumatera lainnya. Belum juga, belakangan, ada kerjasama pertukaran mahasiswa antara kedua negara, yang poly-poly jua memilih Sumatera Barat menjadi loka belajarnya. Satu dari faktor pendorongnya adalah hubungan emosional-primordial karena orang tua atau kakek-nenek mereka memang asal berdasarkan sana.
Hamka dalam konteks itu memang berlebih menurut seluruh-semua, karena Hamka menonjol pada penampilannya pada poly segi serta banyak hal. Beliau ya ulama, ya sastrawan, yang filosoof, --failasuf --, ya sejarawan, ya professor-doktor, ya negarawan-politikus, ya mufassir, yang “singanga” pantulannya yang melebihi berdasarkan seluruh-semua, siapapun. Pada hal, di balik itu, pendidikan formal beliau hanya sampai kelas tiga Sekolah Rakyat. Beliau adalah tokoh otodidak tiada duanya.
Kekuatan Hamka adalah pada keseimbangan kata serta upaya, sementara ucapnya itupun bukan hanya yg langsung diucapkan melalui banyak sekali media dakwah bil lisān, dalam kerumunan hingga ribuan orang, tetapi jua dan terutama melalui media dakwah bil qalam, tulis serta cetak. Puluhan kitab telah dia tulis dan semua beredar luas di kedua sisi Selat Melaka itu. Sampai ke akhir hayat dia, dia memimpin majalah yang semua itu bernada dakwah dan tuntunan. Bermula di Medan, tapi jua di Jakarta. Dan semua beliau puncaki menggunakan bingkisan ‘magnum opus’ 30 juz Tafsir Al Azhar yg dia siapkan saat meringkuk pada penjaranya Bung Karno, yg tak lain merupakan teman dia sendiri.
Lisan dan qalam, pengecap serta pena, adalah senjata digdaya dia dalam berjihad sepanjang umur.
Di mana letak kelebihan Hamka? Bukankah yang lain-lainnya jua banyak melakukan hal yang sama? Letaknya dalam cara serta sekaligus jua substansinya. Ulama serta inetelektual umumnya memilih galat satu: ulama dengan sentuhan rasa dan emosi, yang suka -suka sifatnya merupakan normatif dan imperatif, karena itu menghakimi, menggunakan selalu mengungkap ayat-ayat dan hadits-hadits serta dengan langgam bahasa yg kearab-araban serta kedaerah-daerahan. Intelektual menggunakan sentuhan akal dan rasio, dengan bahasa dan ungkapan istilah yg sengaja ditinggi-tinggikan sehingga sedikit orang yang mampu faham serta mengerti, lalu sikit-sikit menggunakan kata yg sok ilmiah kebarat-baratan, yang makin sedikit yang mengerti malah tampaknya makin disukai. Tanda kita tidak sama berdasarkan yang lainnya.
Hamka? Kedua-duanya, atau dengan cara beliau sendiri yang menggabung semua cara, ya rasa, ya nalar, ya tasawuf-metafisika. Lalu seluruh dikemas menggunakan sentuhan bahasa bersastra yang tak mungkin orang tak terkesima. Bahasanya sederhana, bahasa yg difahami oleh seluruh yang mendengar dan membaca. Dan tentu saja, menjadi orang Minang, yg dilahirkan di tepi danau Maninjau yg syahdu, bahasa bersastra, berpantun, berpepatah-berpetitih, bergurindam-berseloka. Retorikanya bukan hanya menggunakan bahasa pengecap, akan tetapi pula bahasa air muka, bahasa mobilitas, bahasa badan (body language). Dan dengan suara yg serak-serak basah, spesial Buya Hamka. Tapi semua sekenanya. Tidak obsessif. Malah, gaya Buya, sedang lezat tidak boleh. Setelah Buya membawa odiensnya berkelana entah ke mana, dia kemudian misalnya tiba-tiba menghentikan. Mari kita berhenti sampai pada sini dahulu. Katanya, makan yg lezat itu artinya ketika berhenti sebelum kenyang. Sendirinya, odiens akan meneruskan khayalannya masing-masing. Berhari serta berminggu sesudah itu, ucapan Buya itu pula yang sebagai butir-bibir mereka. Begitu di majelis taklim, begitu melalui buku-buku yang dia karang. Lekat dalam ingatan mereka.
Orang boleh nir kenal bagaimana sosok Buya Hamka itu, kecuali misalnya yang terlihat melalui media cetak serta televisi. Hamka berlebih dari yang lain karena punya aura dan singanga dan kharisma yg utuh. Karenanya, ke manapun beliau pergi sporadis yg tidak diiringkan, yang sifatnya impulsif tidak direka-reka. Dan Buya, ke manapun, merupakan orang tempat bertanya. Apapun ditanyakan pada dia. Dan orang senang mengelilingi dia. Tapi jangan samakan beliau dengan kiyahi misalnya di Jawa, yang tangannya dicium, sisa minuman serta makanannya diperebutkan, air basuhan telapak kakinya dijadikan obat, dsb. Buya Hamka bukan itu. Malah sebaliknya, yang misinya merupakan menghapus semua itu buat pulang kepada ketauhidan yang khalis, murni, tak tercampur dengan syirk, bid’ah serta khurafat apapun. Buya malah marah sekali dengan berkelebihan membawa-bawa adat Minang yang tak sejalan menggunakan syarak. Beliau sampai tuliskan itu dalam sebuah kitab : Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi (1963).
Hubungan sosial serta sosietal Buya adalah hubungan yang egaliter, bersahaja, yg menempatkan orang dan siapapun menjadi sama dan sederjat. Lantaran aku termasuk yg relatif dekat mengenal dia (pernah siswa beliau pada PTAIN Yogyakarta dan Buya yg memberi rekomendasi buat meneruskan studi ke McGill Univ di Montreal, Kanada, tahun 1957), yg menonjol menurut sosok beliau merupakan kepribadian menggunakan integritas yg utuh, yang santun, dan ramah. Siapapun diperlakukan sama. Ada kehangatan jikalau dekat menggunakan dia. Ada aura yg menyinar menurut diri beliau.
Kelebihan dia bukan hanya itu. Keluar tentu saja pertama merupakan karya sastra dan karya kepercayaan beliau. Beliau adalah zamrud, zamrud berdasarkan dunia Melayu di Khatul Istiwa Nusantara dalam zamannya itu. ‘Singanga’ dan echo-pantulan pandangan baru Buya berlebih berdasarkan lain-lainnya, lantaran daya-pikatnya yg menjurus ke segala arah. Untuk massa kebanyakan, daya-pikat Buya pertama-tama tentu saja adalah karya sastra serta karya agamanya itu, yang sentuhannya pribadi ke ulu-hati massa kebanyakan itu. Walaupun setting cerita poly-banyak diangkatkan menurut insiden di seberang Semenanjung, khususnya di Sumatera dan Bugis, tetapi temanya cocok dan berkenan di hati pembaca, karena apalah arti beda setting dan bahasa budaya pada ke 2 sisi Selat Melaka itu, lantaran budayanya itu juga: Budaya Melayu. Orang dan warga pada Malaysia dan pada Nusantara lainnya pun merasa misalnya membaca diri dan lingkungan sendiri. Apalagi, Buya pandai betul menjalin dan merangkai-rangkaikannya, sehingga orang yang membaca ter-bawa hanyut karenanya. Apalagi karena cara membawakannya itu yang lekat di hati pembacanya.
Sisi Buya yg lain, adalah konsistensi. Buya konsisten, tawadhuk, dengan sikap dan pendirian. Buya pandai benar membedakan, mana yg prinsip mana yg strategi, mana yg aqidah mana yang syari’ah mu’amalah. Ketika sampai kepada uluhati persoalan: wa lanā a’mālunā, wa lakum a’mālukum. Lakum dīnukum waliya dīn. (Bagi kami amalan kami, bagi engkau amalan kamu. Bagimu agamamu, bagiku agamaku). Namun ketika semua itu bisa dipersamakan, serta menyangkut pergaulan dan tenggang rasa buat seluruh manusia, maka yang keluar adalah tasāmuh, toleransi, dan kebersamaan, dan kehangatan. Menonjol tentu saja adalah masalah saat dia dianggap sebagai Ketua MUI, yg bila perlu beliau meletakkan jabatan lantaran ada hal prinsip yang dilanggar yang tidak sanggup ditoleransi. Termasuk membolehkan ummat Islam ikut bernyanyi (baca sembahyang) pada gereja di hari Natal, yang oleh Menteri Agama waktu itu (Jenderal Alamsyah) ditoleransi.
Lihat pula cara Buya membawakan diri. Ada kalanya beliau gunakan sarung, gunakan serban, terdapat kalanya gunakan pantalon, pakai jas gunakan dasi. Ketika mengimami di satu mesjid, beliau bertanya dulu, pakai bismillah atau nir, gunakan kunut atau nir. Beliau menyesuaikan diri menggunakan yg digunakan di tempat itu. Ada kalanya beliau mencium anak gadis kecil, terdapat kalanya dengan cukup mencubit pipinya saja. Tapi yg isteri permanen satu, sampai ke akhir hayat. Dan baru berganti saat yang satu itu sudah duluan pulang. Dan itupun bukan menggunakan perempuan Sungai Batang, Maninjau, atau Minang, tapi menurut Cirebon, Jawa Barat.
Yang menonjol dan sebagai daya tarik kuat sekali di kedua sisi Selat Melaka itu ialah integritas diri itu berdasarkan Buya, yang nyaris tanpa cacad, serta memantul bagai sinar jelas. Apalagi ada suasana sebelum serta terdapat suasana sehabis era beliau, yang kedua-duanya berada dalam sisi yg gelap. Dari pihak Indonesia terutama, ada fenomena yang para pemimpin bangsa itu, tampaknya yg datangnya sekali datang, serta perginya juga sekali pergi. Sehingga kita sekarang dalam bertanya-tanya, mana dia yang namanya pemimpin bangsa itu sekarang?
Yang terdapat kini itu sepertinya hanya pejabat, penguasa, tetapi nir pemimpin, apalagi pemimpin masyarakat. Dalam sorotan itu kita melihat sosok Hamka, dsb itu, misalnya dalam mimpi. Kok ya kita pernah punya tokoh bangsa seperti Buya Hamka itu?
Comments
Post a Comment