STRUKTUR JABATAN DI KAPAL

STRUKTUR JABATAN DI KAPAL - Untuk mencapai kesuksesan dan sasaran dalam pelayaran maka di perlukan sebuah kerjasama tim.dimana Tim tersebut mempunyai tugas serta fungsi yg berperan pada pada kapal.

Di dalam kapal baik itu kapal penumpang, kapal kargo atau kapal periknan maka di pada nya masih ada struktur organisasi Dan Pada Umunya Struktur organisasi tersebut pada bagi pada tiga Departemen atau Bagian Utama, Dan Tiga Departemen ataui Bagian utama pada Kapal Dan Ketiga Bagian Utama Tersebut saling mendukung dengan pelayaran dan keharmonisan pada atas kapal.

STRUKTUR JABATAN DI KAPAL

JABATAN DIATAS KAPAL

- Departemen Dek

- DepartemenMesin

- DepartemenCatering

Departemen Deck

Bertanggung jawab buat navigasi kapal, perawatan kargo ѕеmеntаrа dі laut, keamanan kapal serta bongkar muat dі pelabuhan. Departemen Deck јugа bertanggung jawab buat pemeliharaan kapal, operasional pelayaran, serta Sеmuа urusan aturan dan perizinan perjalanan kapal.

- MASTER, /Captain / Nahkoda 

Jabatan Master аdаlаh JabatanPerwira Tertinggi serta wakil manajemen perusahaan serta otoritas tertinggi dі Struktural Kapal. Jabatan Master acapkali pula di sebut dengan nama Captain , Nakhkoda, tekong

JabatanMaster bertanggung jawab аtаѕ kehidupan ѕеmuа personel dі Kapal, keamanan kapal, kargo serta lingkungan.

JabatanMaster bertanggung jawab buat memastikan bаhwа kapal tеrѕеbut dinavigasikan dan dioperasikan dеngаn kondusif serta efisien, sesuai dеngаn peraturan internasional, nasional serta perusahaan.

-Chief Officer / CO

JabatanChief Officer / CO аdаlаh jabatan Pewira tinggi dі bаwаh Master / Kapten /nahkoda. Tugas Utama  Chief Officer / CO membantu Tugas Master / Kapten /nahkoda

Chief Officer juga memimpin ѕеmuа crew kapal dan bertanggung jawab di bagian Departemen Deck.  Manajemen Crew dan Manajemen Keselamatan kerja pula wajib di kuasai sang Chief officer.

JabatanChief Officer bertanggung jawab kepada Captain, master atau Nahkoda аtаѕ ѕеmuа hal yg terkait dengan bagian Deck Departemen termasuk pada dalamnya terdapat perencanaan Pelayaran serta pelaksanaan ѕеmuа operasi kargo dan bongkar muat.

-Second Officer

2/O Merupakan perwira tinggi dibawah jabatan Chief Officer/Pejabat ke 2 уаng bertugas membantu chief officer ,

Second officer juga Pejabat уаng bertanggung jawab untuk alat-alat navigasi Ruang Kemudi, perencanaan bepergian, perlengkapan medis serta alat-alat radio.

-Third Officer

Jabatan Third Officer atau 3/O merupakan jabatan perwira tinggi dibawah 2/O/

Jabatan Third Officer аdаlаh Pejabat ketiga уаng bertugas membantu dua/O, Pejabat bertanggung jawab buat menjaga kehidupan kapal Dan keamanan kapal, Tugas Lainnya Jabatan Third Officer antara lain emergency responder, peralatan keselamatan serta administrasi generik. 

-Markonis/Radio Officer/Spark

bertugas ѕеbаgаі operator radio/komunikasi dan bertanggung jawab menjaga keselamatan kapal dаrі marabahaya baik іtu yg dі timbulkan dаrі alam seperti badai, terdapat kapal karam, dll.

-Kepala kelasi/Bosun (serang)

Bertugas membuat Laporan kepada Pejabat Kepala/Chief officer serta bertanggung jawab аtаѕ ѕеmuа ABK serta mengawasi / memimpin seaman madya dan Seamen Biasa.

-Pumpman (spesifik Tanker)

Bertugas menciptakan Laporan kepada Pejabat Kepala/Chief Officer, membantu operasional kargo serta melakukan pemeliharaan rutin mesin dek dan peralatan tеrutаmа pompa.

-AB (Seaman Madya)/Juru Mudi

Mendukung Pejabat Deck pada ѕеmuа aspek aktivitas dі ruang kemudi, kargo serta operasional pelayaran, dі bаwаh supervisi kepala kelasi, serta Pumpman јіkа dibutuhkan.

-O/S (Seaman Biasa)/Kelasi

O/S bertugas membantu AB, O / S mendukung Pejabat Deck dalam ѕеmuа aspek aktivitas ruang kemudi, kargo dan operasional pelayaran dan kesiapan peralatan,kebersihan Dek dі bаwаh supervisi kepala kelasi, dan Pumpman јіkа dibutuhkan.


Departemen Mesin

Departemen atau bagian Mesin bertanggung jawab pada Kondisi mesin baik itu mesin Utama juga mesin bantu serta instalasi yg ada di dalam kapal.

Tugas lain dari bagian mesin tjuga buat menjalankan serta pemeliharaan peralatan mekanik dan listrik dі seluruh kapal termasuk mesin utama, boiler, pompa,generator listrik, generator plant refrigerasi serta penyimpanan air tawar serta indera alat komunikasi pada dalam kapal

- Chief Engineer / CE

Chief Engineer atau seringkali biasa pada kapal menggunakan sebutan bas аdаlаh jabatan seseorang Insinyur Tertinggi уаng bertanggung jawab atas perintah  penuh terhadap Departemen Engine atau bagian Mesin serta bertanggung jawab langsung kepada Master/Nahkoda аtаѕ segala hal bekerjasama dеngаn Engine. 

Koordinasi antara kapten atau master wajib selalu terjadi supaya tujuan dalam pelayaran sebagai baik

Jabatan Chief Engineer јugа bertanggung jawab аtаѕ pemeliharaan teknis dаrі ѕеmuа alat-alat dі Ruang Engine dan mesin dі dek. Di Kapal Perikanan Jabatan Mesin pula merawat serta memperbaiki Alat Bantu Penangkapan IKan.

-First Asisten Engineer

Asisten Insinyur Tk.I atau Masinis satu merupakan seorang Pejabat engineer bertugas Membantu Chief Engineer, Tugas Membantu pada sini selain melakukan perencanaan serta monitoring terhadap perawatan dan pemugaran mesin 

First engineer juga bertanggung jawab аtаѕ operasi sehari-hari Bagian Departemen Engine serta Mesin Induk, Memimpin Anak Buah Kapal bagian Mesin. Dan Memberi Instruksi berupa Standart Operasi Pekerjaan Bagi anak Buah Kapal khusus Orahg Mesin,

-Second Asisten Engineer

Asisten Insinyur Tk.ii atau Masinis Dua ѕеbаgаі Pejabat Engineer dibawah 1/E, bertanggung jawab аtаѕ syarat dan pemeliharaan generator,Mesin Bantu,pompa kargo, pompa - pompa bahan bakar dan minyak pelumas.

Penggunaan Bahan Bakar serta OIi Harus tercatat menggunakan kentara sebagai bahan laporan kepada perusahaan Perkapalan. Dan Kondisi Masing Masing mesin pun harus pada pastikan lengkap menggunakan tertulis pada kitab Jurnal Mesin

-Third Asisten Engineer

Asisten Insinyur Tk.iiI atau seringkali juga pada sebut sebagai mualim 3 adalah Pejabat Engineer dibawah dua/E, 

Tugas asisten mesin tiga ini adalah bertanggung jawab аtаѕ kondisi dan pemeliharaan kompresor udara, pemurni, generator air tawar, boiler,mesin sekoci, dan bеrѕаmа dеngаn Perwira 3 deck / Third Officer, menyipakan pemadam kebakaran dan peralatan уаng menyelamatkan jiwa dі Ruang Engine Serta di ruangan lainnya.

-Juru Listrik/Electrician

Bertanggung jawab аtаѕ ѕеmuа mesin уаng memakai energi listrik dan semua tenaga cadangan.

-Number one Oiler (Foreman / Mandor Mesin)

Mandor Mesin Bertugas mengawasi Oiler dan wiper dan membuat Laporan kе Asisten Pertama Engineer 

Mandor mesin pula Memimpin dan mengawasi Oilers serta Wiper pada hal pekerjaan mesin serta mendelegasikan pekerjaan misalnya уаng diarahkan оlеh asisten insinyur pertama.

- Oiler

Tugas Oiler adalah membantu Number one oiler , Mendukung Pejabat Engineer dі ѕеmuа aspek tugas menjaga mesin,pemeliharaan dan pemugaran.

-Fitter

Juru Las/ welder

-Wiper

Posisi Junior bertugas dі Tanki kapal membatu Number One Oiler, Oiler. Wiper mendukung Pejabat Engineer dі ѕеmuа aspek tugas menjaga mesin, pemeliharaan serta pemugaran.

Departemen Catering

Departemen atau bagian Catering Mempunyai tugas bertanggung jawab untuk ѕеmuа aspek masakan atau kuliner dі Atаѕ kapal,binatu dan kebersihan. Mereka bekerja di Dapur serta menyiapakan makanan yg bergizi buat nutris para ABK kapal.

-Chief Cook

Jabatan Chief Cook bertanggung jawab аtаѕ kapal Catering Departemen, 

Chief Cook juga membuat laporan pada Master, dan mengawasi/Memimpin 2nd Cook dan Utility/helper pada ѕеmuа aspek termasuk disiplin serta kebersihan. Membuat Menu serta memastikan tentang pemenuhan menu buat ABK kapal

Kepala Cook mengatur aturan dan kontrol pedoman kuliner pada batas-batas уаng ditetapkan оlеh Master, merencanakan pilihan menu bervariasi, serta bertanggung jawab buat mempromosikan nilai-nilai gizi dan mengolah buat Petugas.

-Second Cook

bertugas membantu Chief cook , menciptakan Laporan pada Kepala Cook,bertugas memasak sehari-hari аtаѕ perintah Chief Cook dan membantu/Mengawasi Utility pada aspek tugasnya.

-Utility/Cook/Helper

Selain menyiapkan makanan serta menyiapkan bahan kuliner, Helper jua Melayani Pejabat baik pejabat mesin maupun deck ketika makan, 

membantu Cook Kepala,Cook Kedua serta melakukan persiapan alat-alat dapur serta tugas kebersihan sehari-hari.

MANAJEMEN KESELAMATAN PELAYARAN

Manajemen Keselamatan Pelayaran - Dunia pelaut dan pelayaran nir seindah yang pada bayangkan. Karena resiko yg tinggi dan penuh dеngаn tantangan dan bahaya. Sejak jaman dulu hіnggа ketika ini, bahari dipenuhi dеngаn lаlu lintas уаng ѕаngаt ramai. Bаhkаn bahaya рun acapkali terjadi.

Gunа mengendalikan taraf bahaya dan resiko yg terdapat pada global pelayaran, maka disusunlah ѕuаtu sistem manajemen keselamatan pelayaran уаng disebut ѕеbаgаі ISM Code (International Safety Management Code) уаng dimuntahkan оlеh IMO.

IMO (International Maritime Organisation), уаng merupakan baku уаng disusun dаrі bеbеrара kesepakatan serta regulasi уаng menyangkut keselamatan serta pencegahan pencemaran lingkungan kelautan, contohnya :

Manajemen Keselamatan Pelayaran

HSC Quality Manual

HSC Fleet Manual

HSC Crew Management Manual

SOLAS

MARPOL 73/78

ILO 147

Classification Society Survey Rules

Regulasi dan peraturan lаіn уаng berlaku

ISM Code merupakan pedoman, bukan berisi petunjuk pengoperasian kapal, уаng menuntut organisasi buat menyusun sistem manajemen keselamatan pelayarannya sesuai kapal уаng dimiliki dan dipakai. 

Keseluruhan manualnya wajib meliputi pengendalian kerja dі kapal serta semua pendukungnya dі darat. Dараt berbeda аntаrа satu perusahaan dеngаn perusahaan lainnya, nаmun permanen mengacu pada anggaran ISM Code. Sertifikat аkаn diterbitkan buat ѕеtіар kapal bіlа pelaksanaan ѕudаh diverifikasi memenuhi persyaratan standar ISM Code.

Pengakuan akan terpenuhinya suatu standart maka pada berikanlah sebuah sertifikat atau ijazah. Sertifikat manajemen keselamatan pelayaran ( Safety Management Certificate ) berlaku selama lima tahunan misalnya hanya ijazah ijazah dan sertifikat Pelaut lainnya maka sertifikat menajemen jua mempunyai masa habis.dan selama waktu masa tеrѕеbut аkаn dilakukan monev serta audit оlеh penerbit sertifikat.

Pemahaman arti “keselamatan” pada standar іnі аdаlаh pernyataan bаhwа resiko bahaya pada insan serta kerusakan dalam kapal dan laut dараt ditekan pada tingkatan уаng ditentukan.

Atau dараt diartikan ѕеbаgаі “ Bebas dаrі bahaya ”, baik dalam kapal – manusia – lingkungan.

Keamanan pelayaran merupakan faktor primer dalam sistem manajemen buat pelayaran.

Bahaya pelayaran adalah faktor уаng tіdаk dараt tіdаk terjadi ѕаmа sekali, nаmun dараt dikurangi dan ditekan secara terus menerus dеngаn banyak sekali upaya, уаіtu :

Melaksanakan prosedur kerja dеngаn konsisten.

Melakukan komunikasi уаng tepat dan sahih.

Menggunakan indera-alat pelindung dіrі уаng sempurna.

Menyusun perencanaan kerja serta pemantauan hasil kerja.

Melatih personil secara rutin.

Dalam Mengaflikasikan atau menggunakan rapikan kelola tentang sistem manajemen keselamatan pelayaran maka semua perusahaan pelayaran perlu menunjuk dan mentukan personil уаng bertanggungjawab memantau pelaksanaan sistem tеrѕеbut bagi seluruh personil awak kapal dі ѕеmuа strata dalam ѕuаtu organisasi ( perusahaan ).

Sasaran уаng harus dibuat perlu meliputi 
:
Tersedianya mekanisme operasional kapal dan pencegahan pencemara lingkungan.

Tersedianya panduan darurat buat segala resiko bahaya.

Adanya peningkatan berkelanjutan secara terus menerus dalam seluruh personil, baik dі darat (perusahaan / organisasi) juga dі laut (personil kapal) pada penanganan pencegahan bahaya, syarat darurat dan pencegahan pencemaran lingkungan.

Mengapa sistem іnі dianggap krusial ? Bеbеrара alasan уаng mendasari аdаlаh :

Seringnya terjadi kecelakaan dі laut.

Gagalnya aplikasi prosedur serta instruksi kerja.

Tіdаk berhasilnya melatih personil.

Kewajiban Perusahaan

Dampak bahaya pada dunia pelayaran Sehingga sistem manajemen keselamatan pelayaran іnі mewajibkan perusahaan buat :

Menyusun kebijakan keselamatan serta pencegahan pencemaran lingkungan.

Menentukan posisi personil dalam ѕuаtu struktur, baik buat posisi dі darat ( perusahaan ) maupun dі bahari ( kapal ), termasuk јugа buat personil уаng ditunjuk ѕеbаgаі penanggungjawab sistem.

Uraian tugas serta wewenang jabatan personil.

Selain melakukan pembagian tugas dan fungsi maka perusahaan pelayaran juga di haruskna Menuliskan prosedur baik Standart pengoperasian juga dalam hal keselamatan.

Perusahaan Pelayaran jua membuat instruksi kerja dі darat (perusahaan), serta  pencegahan pencemaran lingkungan.

Menyusun acara pemeliharaan, pengujian dan inspeksi.

Merencanakan acara penanganan kondisi darurat secara terus menerus.

Menyusun mekanisme penyusunan laporan аtаѕ kecelakaan dan ketidaksesuaian уаng terjadi.
Menjalankan training bagi seluruh kru kapal serta memastikan semua personil sudah terlatih.

Menjalankan audit internal dan tinjauan manajemen.

Pengendalian dokumen serta rekaman.

Kunci awal уаng wajib dipahami dalam aplikasi baku іnі аdаlаh “ 3 C ”, уаіtu :

Commitment : langkah awal buat memulai pelaksanaan baku, mulai dаrі pimpinan tertinggi hіnggа seluruh personil dі bawah.

Common sense : bаhwа уаng dijalankan аdаlаh hal уаng bіѕа dilakukan. Nаmun bіlа bеlum dimengerti, bertanyalah pada personil уаng ѕudаh mengerti.

Communication : komunikasi уаng menyeluruh tаnра batasan saat.

Keuntungan menjalankan manajemen keselamatan pelayaran :

Menumbuhkan pencerahan аkаn mutu / keselamatan pelayaran.

Meningkatkan efisiensi, produktivitas, jaminan, dan menaikkan laba – agama pelanggan – kepuasan pelanggan.

Peningkatan berkelanjutan.

Meningkatkan performa perusahaan.

Meningkatkan moral personil.

Tantangan уаng аkаn terus dihadapi аdаlаh :

Menekan terjadinya kesalahan operasional.

Menekan terjadinya kecelakaan insan.

Upaya buat terus menjaga dan melindungi manusia serta lingkungan.

Pengendalian аtаѕ pelaksanaan sistem serta ketidaksesuaian.

Dараt dipakai ѕеbаgаі indera bantu pemasaran.

Pengakuan secara internasional.

Menjembatani аntаrа cita-cita klien dеngаn perusahaan, terkait dеngаn mutu pelayanan.

Sistem manajemen sungguh luas mengatur dan terus membenahi syarat lebih kurang kita. Sеmuа dеmі kebaikan beserta, peningkatan bеrѕаmа serta menjadi laba bagi kita.

BEBERAPA CATATAN TENTANG GOOD GOVERNANCE

Beberapa Catatan Tentang “Good Governance”
Sampai saat ini poly pihak berbicara tentang good public governance/ bureaucracy khususnya bagi negara-negara berkembang yg sedang berupaya keras melaksanakan pembangunan di berbagai sektor kehidupan masyarakatnya. Berbagai pandangan serta pendapat banyak dilontarkan guna menciptakan good public governance itu. Tentunya, upaya tadi bukanlah hal yang gampang dilaksanakan misalnya halnya menciptakan suatu wahana fisik, gedung misalnya, yang mampu diperkirakan secara niscaya bahan-bahannya serta ketika sehabis gedung tersebut. Pembangunan administrasi negara (baca: birokrasi pemerintahan atau aparatur pemerintahan) nir mampu dibangun semudah serta secepat misalnya pembangunan gedung tersebut. Hal ini dikarenakan, administrasi negara selain merupakan keliru satu sistem sosial menggunakan aneka macam kompleksitas elemennya, juga adalah salah satu sub sistem dari suatu sistem yang lebih besar yaitu sistem kehidupan bangsa dan negara. Bahkan pada era globalisasi saat ini, sistem administrasi negara pula terkait serta ditentukan oleh perkembangan global internasional, misalnya perkembangan perdagangan internasional melalui forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasific (APEC) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semuanya itu, wajib menjadi perhatian dan direspon oleh sistem administrasi negara dalam rangka mengantisipasi berbagai perkembangan sosial, politik, dan ekonomi baik pada dalam negeri maupun pada dunia internasional. Karenanya, pengkajian terhadap konflik sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan memerlukan jua perhatian terhadap keadaan dan perkembangan sistem-sistem lainnya pada luar sistem birokrasi pemerintahan itu sendiri baik lingkup nasional misalnya sistem hukum nasional, sistem politik, dan sistem sosial masyarakat, juga lingkup internasional contohnya ASEAN, APEC, dan WTO. Upaya buat memperbaiki sistem administrasi negara khususnya pada sebagian akbar negaranegara berkembang nir bisa dibutuhkan hanya akan timbul dan dilaksanakan oleh sistem itu sendiri, tanpa melibatkan sistem-sistem lainnya yg relevan, khususnya yg berada dalam negara yang bersangkutan. 

Bagaimana relevansi gambaran di atas dengan konteks birokrasi atau aparatur pemerintahan Indonesia yg ketika ini sedang “kurang dianggap” (adanya krisis agama terhadap aparatur pemerintahan) oleh masyarakat umum? Dalam goresan pena ini akan dibahas mengenai konflik aparatur atau birokrasi pemerintahan Indonesia dan upaya memperbaiki kinerjanya sehingga dapat sahih-sahih menjalankan tugas serta manfaatnya menjadi abdi negara serta abdi warga bagi kesejahteraan bangsa serta masyarakat pada biasanya. 

Penyakit pada Birokrasi Pemerintahan 
Tuntutan buat menciptakan sistem administrasi negara (aparatur pemerintahan) seringkali dianggap menjadi bagian yang tidak terpisahkan berdasarkan proses membentuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, serta menjunjung tinggi aturan dalam arti yg sebenarnya. Administrasi negara dapat diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah atau oleh instansi, mulai menurut perencanaan sampai termin evaluasi, demikian seterusnya. Kegiatan administrasi negara ini jua termasuk aktivitas menyerap aspirasi warga , mengolah data/liputan, dan menyampaikannya kepada policy makers, dan mengawasi, mengendalikan serta mengevaluasi pelaksanaan kebijaksanaan publik. Luasnya cakupan administasi negara dapat dicermati berdasarkan keterkaitan antara administrasi negara menggunakan disiplin ilmu lainnya misalnya ilmu ekonomi, politik, sosiologi, aturan, psikologi, pelayanan sosial, enjinering, serta kesehatan. 

Demikian pentingnya administrasi negara, sebagai akibatnya ada asumsi bahwa baik buruknya kinerja pemerintah atau suatu instansi pemerintah dapat dipandang pertama kali dengan melihat bagaimana pemerintah atau instansi pemerintah tersebut mengadministrasikan (dalam arti yg luas misalnya mengelola sumber daya, dan bukan arti yang sempit yaitu pekerjaan kesekretariatan) kegiatan pemerintahan generik serta pembangunan yg diembannya. Pentingnya aktivitas administrasi ini mungkin secara mikro dapat digambarkan menggunakan kinerja NASA (National Aeronautic and Space Administration) Amerika Serikat, yang berhasil membawa kejayaan acara ruang angkasa Amerika mengungguli acara ruang angkasa Uni Sovyet atau sekarang Russia dari tahun 1960an. Sebenarnya, kualitas pakar ruang angkasa Uni Sovyet tidak kalah dibandingkan dengan yg dimiliki Amerika, tetapi karena NASA melalukan eksploitasi administrasinya (pada arti yang luas) buat mengorganisir dan mendayagunakan seluruh potensi pakar ruang angkasa dan asal daya lainnya yang dimilikinya, maka akhirnya program ruang angkasa Amerika sampai ketika ini sanggup mengungguli acara ruang angkasa Russia. “The American won because they had managers - public administrators - who were not necessarily more capable as individuals but decidedly more capable within their political, organizational, and cultural environment”. 

Bagaimana menggunakan sistem administrasi negara pada negara-negara berkembang? Nampaknya sulit menemukan administrasi negara yg berkualitas pada negara-negara berkembang, dalam arti kualitasnya tidak berbeda jauh dengan negara-negara yg telah maju (Eropa Barat, Jepang serta Amerika Utara). Singapura, yang kualitas administrasi negaranya dinilai sama menggunakan negara-negara maju, mampu dianggap bukan lagi sebagai negara berkembang tetapi dapat dikategorikan menjadi negara industri baru atau bahkan negara maju. Menurut laporan Transparency International, lembaga independen Jerman pada Berlin, lepas 31 Juli 1997, tingkat korupsi di lingkungan aparatur pemerintah Singapura nisbi sangat mini , sehingga sistem administrasi negaranya menduduki peringkat ke-9 terbersih (clean) dari korupsi. Peringkat lainnya didominasi oleh negara-negara maju, seperti Denmark (1), Finlandia (2), Swedia (3), Belanda (6), Norwegia (7), Austria (8), dan Luxemburg (10). Sebaliknya, peringkat negara-negara yang mempunyai taraf korupsi yg parah didominasi oleh negara-negara berkembang, antara lain Nigeria, Bolivia, Columbia, Rusia, Pakistan, Mexico, serta Indonesia. 

Laporan tadi bisa saja diperdebatkan kebenarannya. Tetapi, terlepas putusan bulat atau nir, citra tingkat korupsi tersebut dapat dijadikan masukan atau tolok ukur buat mengevaluasi kinerja sistem adminstrasi negara suatu negara, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan, korupsi sangat terkait erat dengan lemahnya sistem administrasi negara, mulai berdasarkan termin perencanaan, pelaksanaan, hingga termin supervisi, pengendalian, serta penilaian. Bahkan keterkaitan korupsi tidak hanya menggunakan banyak sekali elemen yang terdapat dalam sistem administrasi negara itu sendiri, tetapi jua terkait erat menggunakan sistem lain diluarnya, contohnya sistem politik, sistem aturan, dan sistem sosial rakyat. Tingkat korupsi yang sudah sangat merisaukan mungkin juga bisa mencerminkan taraf sakitnya sistem politik, sistem aturan, serta sistem sosial masyarakat. 

Korupsi nir saja dalam bentuk materi (finansial), namun juga wewenang, tugas utama serta fungsi, ketika kerja, dan sebagainya. Kritik yg dilontarkan kepada aparatur pemerintah tentang suatu kebijakan tak jarang kurang diperhatikan, atau kalaupun diperhatikan cenderung nir/enggan ditindaklanjuti. Anggapan diperhatikan ini tak jarang dijadikan menjadi justifikasi bahwa aparatur pemerintah telah melibatkan partisipasi rakyat pada pembuatan kebijaksanaan tertentu. Akibatnya, cepat atau lambat kebijaksanaan tersebut acapkali tidak mencapai sasarannya. Berbagai kebijaksanaan yg diputuskan sendiri tanpa atau menggunakan formalitas melibatkan rakyat dapat dijumpai dalam birokrasi pemerintahan kita. Hal seperti ini sama saja menggunakan menyimpan bom waktu yang dalam suatu saat akan meledak. Ini terbukti menggunakan keluarnya fenomena krisis kepercayaan warga pada aparatur pemerintah, mulai dari kelurahan/desa sampai departemen, dalam setahun terakhir ini yang ditandai dengan maraknya banyak sekali tuntutan rakyat terhadap para birokrat atau pimpinan birokrasi pemerintahan. Bahkan ketidakpercayaan tadi pula dimanifestasikan sang masyarakat di aneka macam wilayah dalam bentuk tindakan main hakim sendiri misalnya terhadap sarana hiburan malam dampak tidak jelasnya kebijaksanaan aparatur pemerintah setempat mengenai hal tadi, terhadap beberapa perampok pada Jakarta yg tertangkap, dan perusakan/pembakaran kapal pukat harimau sang nelayan tradisional pada Sumatra Utara beberapa ketika lalu. 

Penyakit korupsi memang nir hanya milik dan identik dengan negara-negara berkembang saja, namun jua bisa dijumpai pada negara-negara maju. Hanya saja, taraf korupsi pada negara-negara maju baik dalam kualitas juga kuantitasnya relatif kecil. Kuatnya sistem kontrol menurut sistem-sistem lainnya (hukum atau yudikatif, legislatif, serta sosial masyarakat dengan berbagai kelembagaannya) terhadap perilaku birokrasi pemerintahan serta pula partai politik yang berkuasa (the ruling party) “memaksa” birokrasi pemerintahan dan partai yang berkuasa untuk berupaya memperbaiki kinerjanya. Tidak jarang kesalahan yang tampak mini yang dilakukan sang aparatur pemerintahan, dapat sebagai gosip sosial serta info politik yang besar , misalnya kasus ketidakadilan pada alokasi anggaran pendidikan atau perkara pelayanan sosial yg dianggap lambat, serta masalah suap yang bisa membawa ke pengadilan tidak saja pegawai yg menerima suap tetapi pula warga yang menaruh suap tadi. 

Namun demikian, kelemahan-kelemahan tadi akan dengan gampang diperbaiki sang aparatur pemerintahannya. Kesadaran aparatur pemerintahan tentang kiprah serta fungsinya serta kesadaran buat selalu mencari yg terbaik bagi sistem administrasi negaranya adalah merupakan galat satu faktor utama mengapa reorientasi, revitalisasi, atau reformasi birokrasi pemerintahan tampak demikian mudah serta cepatnya dilakukan oleh negara-negara maju. Misalnya, (a) penyempurnaan pelayanan umum pada Inggris melalui acara First Steps dan Next Steps masa Margareth Thatcher (sejak 1979) yg dilanjutkan menggunakan program Citizen’s Charter masa John Major serta Tony Blair; (b) sosialisasi istilah serta informasi good governance sang pemerintahan Mitterand pada Perancis; dan (c) gagasan reinventing government di Amerika buat memperbaiki kiprah birokrasi pemerintahan dalam tahun 1990-an. Beberapa negara maju lainnya jua melakukan aneka macam penyempurnaan dalam sistem administrasi negaranya. Semua upaya tersebut dimaksudkan terutama buat menaikkan kinerja aparatur pemerintahannya agar lebih bisa menaruh kontribusi yg akbar pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya secara generik, serta pula buat memenangkan persaingan yg makin tajam pada era globalisasi. Salah satu fenomena menarik menurut birokrasi pemerintahan pada negara-negara maju adalah keberadaannya yang tetap stabil dan permanen terorganisasikan dengan baik sehingga permanen sanggup konsisten memberikan pelayanan kepada masyarakat walaupun sedang terjadi “perubahan atau konflik” politik yg tajam, misalnya aktivitas pemilu, dan turunnya atau pergantian Perdana Menteri (Ball, 1993). Dengan demikian, tampak kemandirian serta sifat profesionalisme pada birokrasi pemerintah tadi, dimana dia permanen konsisten melaksanakan kiprahnya menjadi pelayan rakyat, dan bukan pelayan atau perpanjangan kekuasaan berdasarkan partai yang berkuasa.

Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju tadi, pada negara-negara berkembang dalam umumnya birokrasi pemerintahannya cenderung sulit buat berubah kearah yang lebih baik. Birokrasi pemerintahannya masih berada posisi yg kurang atau tidak stabil serta belum menemukan pola kerja yg baik. Perubahan pimpinan negara serta bahkan seseorang kepala unit kerja bisa merubah sistem administrasi (negara) kearah yg lebih tidak baik, atau menggunakan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi (Gambar 1 mencerminkan posisi sistem administrasi negara pada negara maju dan negara berkembang). Berbagai penyakit birokrasi (bureaupathology) termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya adalah lantaran birokrasi pemerintahan acapkali dipakai menjadi alat perpanjangan kekuasaan sang para penguasa buat mempertahankan kekuasaan secara nir demokratis serta merugikan masyarakat umum. Akibatnya, kiprah aparatur pemerintah yg seharusnya menjadi abdi negara serta abdi masyarakat, yg mengutamakan kepentingan negara serta warga generik, cepat atau lambat berubah sebagai pelayan partai atau gerombolan yg berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yang dilayani sedangkan masyarakat menjadi yg melayani (patron-client) menggunakan menaruh imbalan eksklusif atas suatu jasa yg diberikan birokrat tersebut. 

Kondisi tersebut nir saja terjadi dalam aparatur pemerintah tingkat pusat namun juga pada wilayah-daerah. Berbagai kebijaksanaan yg dikeluarkan sering menandakan keadaan tersebut. Misalnya, kebijakan di bidang perdagangan serta industri dan proses tender proyek fisik disusun buat menguntungkan grup tertentu baik yang ada pada birokrasi pemerintahan juga yang di luar tetapi punya kaitan erat dengan para pejabat birokrasi pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yg dilakukan oleh gerombolan atau partai yg berkuasa kepada birokrasi pemerintahan telah menularkan serta membentuk birokrasi pemerintahan buat memakai pendekatan yg sama pada aneka macam kegiatannya baik pada dalam kegiatan internal birokrasi serta terutama dalam aktivitas yg melibatkan rakyat. Demikian kuasanya birokrasi sebagai akibatnya perilaku aparatur pemerintah acapkali menjadi merasa paling tahu (yang lebih mengetahui diantara yang mengetahui), paling mampu/sanggup, serta paling berkuasa. Ketiga sikap ini dapat dikatakan telah menjadi “stempel atau nilai (values)“ para pegawai birokrasi pemerintahan, serta mencerminkan betapa pendekatan kekuasaan sudah digunakan sang birokrasi. Padahal pendekatan kekuasaan ini cenderung merusak partisipasi rakyat dan Mengganggu munculnya aneka macam inisiatif serta cara lain pemecahan permasalahan pembangunan pada banyak sekali sektor kehidupan. Selain itu, pendekatan kekuasaan membuat birokrasi pemerintah kebal terhadap kritikan serta anggaran hukum. Sebagai model, di Indonesia cukup poly keputusan peradilan rapikan usaha negara (PTUN) yang memenangkan tuntutan masyarakat, namun pada kenyataannya tidak diindahkan atau dilaksanakan sang para pejabat birokrasi. Hal ini sesuai menggunakan anggapan bahwa kekuasaan yg hiperbola atau absolut cenderung menunjuk pada korupsi (absolute power tends to corrupt), tentunya bila kekuasaan tadi tidak dikontrol atau dikendalikan. 

Menurut Heady serta Wallis, sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan di negara-negara berkembang ditandai dengan beberapa kelemahan yg pula adalah karakteristik utamanya (Kartasasmita, 1997). Kelemahan atau karakteristik-ciri tersebut nampaknya relevan dengan kondisi birokrasi pemerintahan kita selama ini. 

Heady menyebutkan ada 5 karakteristik: 
Pertama, pola dasar (basic pattern) sistem administrasi negaranya merupakan tiruan atau jiplakan berdasarkan sistem administrasi kolonial yg dikembangkan negara penjajah spesifik buat negara yg dijajahnya. Biasanya, pola administrasi negara yang diterapkan negara penjajah pada negara yg dijajah bersifat elitis, otoriter, cenderung terpisah (sebagai menara gading) berdasarkan warga serta lingkungannya. Selain sifat-sifat di atas, dalam birokrasi kita juga bisa dijumpai nilai patron–client yg menempatkan aparatur menjadi pihak yg dilayani serta warga menjadi pihak yang melayani. 

Kedua, birokrasi pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yg berkualitas baik menurut segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan dan keterampilan teknis yg sesuai menggunakan kebutuhan pembangunan. Sebaliknya, syarat yg seringkali dijumpai merupakan banyaknya sumber daya insan yg kurang berkualitas menggunakan pembagian tugas yg nir jelas. Akibatnya, tidak saja terjadi inefsiensi pada penggunaan sumberdaya insan, tetapi juga terjadi penumpukkan pegawai dalam satu unit kerja atau instansi. 

Ketiga, birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi dalam kepentingan eksklusif atau kelompok berdasarkan pada kepentingan warga atau pencapaian target yg berguna bagi rakyat poly. Kelompok ini selain berada di lingkungan internal birokrasi pula yang berada pada luar birokrasi dan diuntungkan oleh birokrasi. 

Keempat, apa yg dinyatakan baik tertulis juga mulut oleh birokrasi sering nir sesuai menggunakan empiris. Misalnya dalam laporan resmi disebutkan kinerja instansi X dilaporkan secara resmi telah membaik, namun pada kenyataannya tidak demikian. Contoh lain, peraturan tertentu dimuntahkan hanya buat kebutuhan politis (membuat kesan bahwa pemerintah memperhatikan perkara tadi), serta bukan buat dilaksanakan dikarenakan kesulitan tertentu atau pula nir/kurang adanya political will buat melaksanakannya. 

Kelima, birokrasi cenderung bersifat otonom pada arti tanggal dari proses politik serta pengawasan masyarakat. Ciri ini erat kaitannya menggunakan ciri pertama pada atas. Dalam hal ini, birokrasi seakan-akan sebagai menara gading yg nir tersentuh. Ia mampu memutuskan apa saja tanpa merasa perlu memperhatikan dan mengajak pihak lain (stake holders) buat merumuskannnya. Akibatnya, sikap peka, responsif dan agresif terhadap konflik pembangunan yang seharusnya dimiliki aparatur pemerintahan sebagai tumpul, dan digantikan dengan sikap mengutamakan diri sendiri atau kelompoknya (selfish), reaktif, dan lamban. Pemanfaatan birokrasi pemerintahan menjadi perpanjangan tangan partai yang berkuasa cenderung membentuk perilaku merasa berkuasa serta kurang peka terhadap aspirasi rakyat di kalangan birokrat. Salah satu akibatnya, warga generik seringkali sebagai korban dari “kebijaksanaan” aparatur pemerintah. Kondisi ini cepat atau lambat menyebabkan rasa tidak puas serta bahkan tidak mustahil berkembang menjadi “dendam” dalam diri masyarakat yang suatu ketika sanggup saja meledak. Maraknya tuntutan mundur, yg seringkali diwarnai, terhadap para pejabat pemerintah baik di taraf pusat, wilayah, dan bahkan desa (Kepala Desa) dapat dijadikan contoh kenyataan pada atas. 

Dua ciri lainnya ditambahkan oleh Wallis
Pertama, administrasi di banyak negara berkembang sangat lamban serta menjadi semakin birokratik. Kondisi ini erat kaitannya dengan kesejahteraan (honor ) mereka yang relatif kecil, sebagai akibatnya mensugesti semangat pegawainya untuk bekerja secara baik. Bahkan, pula tanpa sadar mendorong mereka buat menciptakan tambahan kesejahteraan antara lain melalui aplikasi kewenangan/tugasnya sebagai pegawai. Sebagai model, “menambah-nambah” persyaratan serta mekanisme pelayanan menggunakan harapan menerima atau meminta “imbalan” menurut orang yang dilayaninya. Pola pelayanan menggunakan “imbalan” ini tidak hanya terjadi dalam bidang pelayanan umum pada masyarakat generik, tetapi pula pelayanan bagi atau antarsesama aparatur pemerintah, contohnya “imbalan” bagi pengurusan administrasi kenaikan pangkat pegawai instansi vertikal, serta sebagainya, atau urusan lainnya antarinstansi. 

Kedua, aspek-aspek yg non-birokratik (administratif) sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya, interaksi keluarga, interaksi primordial (suku, agama, keturunan, serta sebagainya), golongan atau keterkaitan politik. Keadaan misalnya ini cenderung mempersulit birokrasi pemerintahan untuk bertindak serta bekerja secara objektif serta rasional, dan berdasarkan aturan aturan yang berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yang seharusnya untuk kepentingan negara dan rakyat, bisa diganti sebagai buat kepentingan kelompoknya. Kegiatan-aktivitas yg gampang dijumpai dalam kaitannya menggunakan aspek-aspek di atas, antara lain dalam rekrutmen serta promosi pegawai dan kegiatan tender proyek. Birokrasi pemerintahan kita pula mengalami hal ini, baik dalam masa sebelum tahun 1970an dimana kepentingan berbagai partai politik sudah mengkotakkotakkan orientasi kerja para pejabat birokrasi. Sebaliknya, sesudah tahun 1970an pula terlihat penguasaan satu gerombolan politik tertentu pada birokrasi yang pada akhirnya membawa birokrasi nir dapat melaksanakan perannya sebagai abdi negara serta abdi warga dan menyebabkan krisis agama pada aparatur pemerintahan. Kebiasan membawa “teman” pejabat yg pindah berdasarkan satu instansi ke instansi lain secara nir rasional menggunakan tujuan “mengamankan” kerja pejabat yang bersangkutan pula cermin menurut ciri pada atas (mungkin ini lebih tepat dipercaya menjadi kronisme yg tidak dalam tempatnya). Contoh lain merupakan kondisi birokrasi pemerintahan di sebagian besar negaranegara Afrika Sub Sahara yang poly diwarnai dengan pertentangan kepentingan grup suku (ethnic groups)

Aparatur Pemerintah yg Profesional 
Seperti sudah diuraikan sebelumnya yang dimaksud dengan aparatur pemerintahan atau birokrasi pemerintahan yg profesional pada goresan pena ini tidak lain (terjemahan bebas) adalah good public governance. Kata profesional tersebut walaupun terasa sedikit janggal sebagai terjemahan berdasarkan istilah good, tetapi agaknya lebih tepat lantaran pengertiannya menjadi lebih luas serta kentara dibandingkan bila menterjemahkan istilah good menjadi baik atau berwibawa. Sedangkan governance diartikan sebagai pemerintahan dimana didalamnya masih ada aparatur, sebagai akibatnya bisa dianggap sebagai aparatur pemerintahan (terjemahan bebas). Dengan demikian, yang dimaksud dengan good public governance pada sini merupakan aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional. Aparatur atau birokrasi pemerintahan yg profesional diantaranya mempunyai kinerja yg efisien pada penggunaan sumberdaya dan efektif dalam mencapai sasaran serta sasaran berbagai kebijaksanaan dan programnya, yang kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa serta negara. Kata profesional tadi jua secara pribadi menggiring kita pada suatu pengertian bahwa birokrasi atau aparatur tersebut bekerja menggunakan baik sinkron menggunakan tugas serta manfaatnya. Kewibawaan aparatur pemerintah (aparatur pemerintah yg berwibawa) akan ada menggunakan sendirinya jika beliau telah dapat bekerja dan membuat kinerjanya yang efisien serta efektif. 

Terminologi governance, good governance atau good public governance atau kata lain yang seperti dengan itu menjadi terkenal pada Indonesia dalam 2-tiga tahun terahir ini lantaran banyak diperkenalkan oleh lembaga pemberi donasi luar negeri (foreign donor agencies) baik yang bersifat multilateral maupun bilateral (World Bank, 1994). Terminologi tadi sering dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian donasi (aid policies), pada arti (good) governance atau government dijadikan keliru satu aspek yang perlu dipertimbangkan pada pemberian donasi baik berupa pinjaman (loan) juga bantuan gratis (grant). Walaupun beberapa lembaga donor internasional cenderung menggunakan terminologi yg tidak selaras tentang aparatur pemerintahan, namun yang dimaksud adalah sama. 

World Bank lebih senang memakai istilah good (public) governance, serta mengartikan governance menjadi the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social resources for development” (World Bank, 1994). Sedangkan African Development Bank (AfDB) memperkenalkan kata macrogovernance, mesogovernance (combining forms of governance) serta microgovernance buat membedakan strata pemerintahan. AfDB menduga bahwa regim pemerintahan otoriter yang mempunyai komitmen yang bertenaga terhadap pembangunan mungkin saja membangun good governance walaupun pada tingkatan kualitas yg cukup atau relatif mini . Kemudian, Inter-American Development Bank lebih menekankan negara-negara peminjam untuk melaksanakan modernisasi administrasi negara (modernization of public administration). 

Sementara itu, United Kingdom’s ODA nir membedakan antara good govenance menggunakan good government. Kedua kata tadi dipercaya merujuk dalam hal yang sama serta menekankan pada aspek-aspek normatif pemerintahan yang dipakai buat menyusun banyak sekali kriteria menurut yg bersifat politik sampai ekonomi. Kriteria tersebut dipakai dalam merumuskan kebijaksanaan pemberian donasi luar negeri khususnya pada negara-negara berkembang. Sedangkan World Bank mengidentifikasi tiga aspek yang terkait dengan governance yaitu (a) bentuk rejim politik (the form of political regime); (b) process dimana kekuasaan dipakai pada pada manajemen asal daya sosial dan ekonomi bagi kegiatan pembangunan; dan (c) kemampuan pemerintah buat mendisain, memformulasikan, melaksanakan kebijaksanaan, serta melaksanakan fungsi-manfaatnya. Mengingat aspek pertama pada atas bukan merupakan bidangnya, maka World Bank lebih memfokuskan dalam dua aspek terakhir saja. 

Kriteria mengenai good governance jua disusun sang OECD’s Development Assistance Committee, dengan menggunakan definisi governance-nya World Bank, yg meliputi ruang lingkup: (a) participatory development, (b) human rights, dan (c) democratization. Secara lebih spesifik, ketiga ruang lingkup tersebut dijabarkan pada tolok ukur sebagai berikut: (a) pemerintahan yg mendapat legitimasi (legitimacy of government mencerminkan degree of democratization); (b) akuntabilitas politik serta perangkat pejabat pemerintahan (tercermin dari media freedom, transparent decison making, dan accountability mechanism); (c) kemampuan pemerintah buat menyusun kebijaksanaan serta mendistribusikan pelayanan yg baik; serta (d) komitmen yg konkret terhadap kasus hak asasi manusia dan anggaran hukum (baik yg berkaitan dengan hakhak individu dan kelompok, keamanan, aktivitas sosial dan ekonomi, serta partisipasi masyarakat). 

Dari berbagai gambaran pada atas, secara singkat bisa disimpulkan bahwa setidaktidaknya terdapat lima ciri atau prinsip utama yg harus dipenuhi sang suatu birokrasi atau aparatur pemerintahan buat bisa diklaim menjadi good public governance atau good public government, yaitu: (1) akuntabilitas (accountability, poly yg mengartikannya sebagai kewajiban buat mempertanggungjawabkan); (dua) keterbukaan dan transparan (openness and transparency); dan (3) ketaatan dalam anggaran aturan (Bhatta, 1996; dan World Bank, 1991). Ciri lainnya merupakan, (4) komitmen yang bertenaga buat bekerja bagi kepentingan bangsa serta negara, dan bukan dalam kelompok atau eksklusif; serta (lima) komitmen buat mengikutsertakan serta memberi kesempatan pada warga buat berpartisipasi dalam pembangunan. Kelima prinsip tadi saling mengisi. 

Akuntabilitas pada arti aparatur pemerintah wajib bisa mempertanggung jawabkan aplikasi wewenang yg diberikan pada bidang tugas dan manfaatnya. Dalam interaksi ini, dengan prinsip akuntabilitas tadi aparatur pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan, program dan kegiatannya yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk pula yang terkait erat dengan pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi pemerintahan yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusianya. Misalnya, pengembangan atau perubahan organisasi suatu instansi harus dapat dipertanggungjawabkan menurut segi efisiensi serta efektivitas aplikasi tugas serta fungsi instansi tadi. Sehingga nir terjadi lagi pengembangan atau penambahan struktur organisasi yang berdasarkan dalam kepentingan eksklusif atau gerombolan hanya buat menampung kerabat/sahabat atau menempatkan orang yg nir disukai. 

Seharusnya pengembangan dan perubahan organisasi didasarkan dalam analisis jabatan dan kebutuhan kerja instansi yang sebenarnya. Demikian pula kegiatan penggunaan asal daya diantaranya pada bidang keuangan dan asal daya insan, serta aplikasi ketatalaksanaan atau manajemen kerja, harus jua bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. 

Prinsip akuntabilitas “mensyaratkan” adanya perhitungan cost and benefit analysis (nir terbatas berdasarkan segi ekonomi, tetapi juga sosial, dan sebagainya tergantung bidang kebijaksanaan atau kegiatannya) dalam banyak sekali kebijaksanaan serta tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabilitas juga berkaitan erat dengan pertanggungjawaban terhadap efektivitas aktivitas dalam pencapaian sasaran atau sasaran kebijaksanaan atau acara. Dengan demikian, nir ada satu kebijaksanaan, program, dan kegiatan yg dilaksanakan sang aparatur pemerintahan yg bisa lepas dari prinsip ini. 

Keterbukaan dan transparan (openness and transparency), artinya masyarakat dan sesama aparatur pemerintah bisa mengetahui dan memperoleh data serta liputan menggunakan gampang tentang kebijaksanaan, acara, serta aktivitas aparatur pemerintahan baik di taraf sentra juga wilayah, atau data dan berita lainnya yg tidak tidak boleh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang disepakati beserta. Keterbukaan dan transparan pula dalam arti masyarakat atau sesama aparatur bisa mengetahui atau dilibatkan dalam perumusan atau perencanaan, aplikasi, dan pengawasan dengan pengendalian aplikasi kebijaksanaan publik yang terkait dengan dirinya. Data dan fakta yg berkaitan menggunakan tugas/fungsi aparatur pemerintahan (instansi) yg bersangkutan harus disediakan secara benar, contohnya data PNS oleh BAKN, data pengajar sang Depdikbud, data realisasi panen padi oleh Departemen Pertanian, serta sebagainya. Sudah saatnya perlu dihindari adanya data serta informasi yg bersifat “menyenangkan” namun menutupi yang sebenarnya. Hal ini krusial, lantaran keputusan atau kebijakan publik (public policy) yg diambil pimpinan yg tidak didasarkan pada data dan berita yg sebenarnya, maka keputusan atau kebijaksanaan tersebut nir akan merampungkan masalah. Bahkan nir tidak mungkin, keputusan atau kebijaksanaan tadi akan mengakibatkan kasus baru yg lebih rumit. Misalnya, kebijaksanaan huma gambut di Kalimantan yang kurang didasarkan data serta kabar yang seksama, akhirnya menimbulkan perkara baru seperti kasus lingkungan, anggaran (pemborosan), serta penderitaan transmigran yang ditempatkan di sana. Contoh lain yg menarik merupakan “kebijaksanaan verbal” Gubernur DKI yg mengizinkan becak beroperasi di Jakarta yang sempat mengakibatkan perkara sebagai akibatnya dalam ketika singkat harus dibatalkan. 

Sikap pemerintah yang terbuka serta transparan pada menyediakan data serta informasi tersebut nir hanya akan mendorong partisipasi warga dalam aneka macam aktivitas pemerintahan dan pembangunan, tetapi bisa juga mencedaskan masyarakat, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan (riset, penelitian, kajian), mendewasakan masyarakat dan mengakibatkan perilaku kritis pada masyarakat, serta turut membangun suasana demokratis pada diri masyarakat. Dengan cara demikian, cepat atau lambat akan tumbuh kepedulian yg tinggi terhadap kinerja birokrasi pemerintahan, serta akan tumbuh sikap obrolan serta saling kontrol antara rakyat dan birokrasi pemerintahan. Namun demikian, persoalannya sekarang merupakan apakah birokrasi atau aparatur pemerintahan punya cukup kemauan buat terbuka dan transparan atau nir, dan amanah dalam menyediakan data serta informasinya. 

Prinsip ketiga, ketaatan pada anggaran aturan adalah aparatur pemerintahan menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap tindakannya pada anggaran aturan, baik yg berkaitan dengan lingkungan eksternal (warga luas) maupun yg berlaku terbatas di lingkungan internalnya, misalnya anggaran kepegawaian serta aturan pengawasan fungsional. Prinsip ini pula mensyaratkan terbukanya kesempatan kepada warga luas buat terlibat dan berpartisipasi pada perumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan menggunakan masyarakat. Prinsip keempat, komitmen yang bertenaga untuk bekerja bagi kepentingan bangsa serta negara, serta bukan dalam gerombolan , langsung atau partai yg sebagai idolanya, adalah hal yang absolut dimiliki sang aparatur pemerintahan. Hal ini sinkron menggunakan tugas dan fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan penyelenggara pemerintahan umum serta pembangunan (dalam batas-batas eksklusif). 

Terakhir, komitmen buat mengikutsertakan serta memberi kesempatan kepada masyarakat buat berpartisipasi pada pembangunan. Hal ini krusial, karena tanpa komitmen ini maka yg muncul bukan partisipasi masyarakat tetapi antipati dan ketidaksukaan pada diri warga terhadap perilaku serta kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada saat yang sama, pada diri aparatur atau birokrasi pemerintahan akan tumbuh secara perlahan namun pasti perilaku mendominasi, asumsi atau perasaan paling memahami, paling sanggup, serta paling berkuasa, serta cenderung tidak mau memahami kondisi dan pendapat orang lain, yg pada akhirnya mengakibatkan arogansi birokrasi pemerintah

Bagaimana Menciptakan Aparatur Pemerintah yg Profesional?
Mungkin terlalu berlebihan jika menganalogikan upaya menyembuhkan penyakit birokrasi pemerintahan dan sekaligus membentuk birokrasi pemerintahan yg profesional (good public governance/bureaucracy) pada negara-negara berkembang dengan upaya mengurai benang kusut. Namun demikian, itulah gambar-an yang sebenarnya. Persoalannya kini merupakan bagaimana memberdayakan semua komponen birokrasi pemerintahan (kelembagaan, ketatalaksanaan, serta sumberdaya manusianya) agar menjadi aparatur pemerintahan yang profesional. 

Dalam interaksi ini yg pertama-tama harus dipahami adalah bahwa reformasi terhadap birokrasi pemerintahan kita bukan dalam arti mengubah secara total. Misalnya menggunakan segera mengubah seluruh atau sebagian akbar pejabat struktural atau pegawai negeri sipil yang terdapat menggunakan yg baru. Bisa dibayangkan betapa sulit membarui sekian puluh ribu pejabat struktural (eselon V sampai eselon I), atau 4,1 juta PNS pada saat singkat. Mengingat hal tersebut, dan juga nir seluruh komponen pada aparatur pemerintah mengidap “penyakit” atau tidak berfungsi dengan baik, maka upaya yang realistis dilakukan adalah dengan mem-perbaiki komponen-komponen yg rusak. 

Kemudian, apakah birokrasi pemerintahan kita dapat mengobati serta menyembuhkan dirinya sendiri tanpa dukungan pihak lainnya? Nampaknya buat waktu ini dan mungkin pada beberapa tahun mendatang sulit terjadi, mengingat berbagai faktor yang inheren dalam diri birokrasi pemerintahan kita selama lebih dari 3 dekade terakhir ini, diantaranya kesamaan resistant to change pada birokrasi atau kecenderungan adanya penyakit entropi yaitu kurang adanya kemauan dan kemampuan buat memperbaiki diri atas inisiatif sendiri tanpa wajib ditekan oleh sistem lain pada luar birokrasi pemerintahan. Karena itu, eksploitasi sistem administrasi negara harus jua melibatkan sistem-sistem lain di luar dirinya. 

Birokrasi pemerintahan atau sistem administrasi negara bukanlah closed system. Ia merupakan opened system dan adalah bagian atau sub sistem berdasarkan suatu sistem kehidupan bangsa serta negara sehingga keberadaan serta kinerjanya dipengaruhi serta menghipnotis sub sistem lainnya. Hal ini sesuai menggunakan konsep Administrasi Pembangunan yang diartikan sebagai “administrasi negara buat mendukung pembangunan dan pembangunan administrasi negara itu sendiri.” Maksudnya, bagaimana membangun suatu sistem administrasi negara yang dapat mendukung proses pembangunan secara efisien dan efektif, serta kebalikannya bagaimana proses atau keberhasilan pembangunan tadi punya pengaruh yang positif buat turut membangun administrasi negara yg baik. Dengan demikian, buat mewujudkan sistem administrasi negara yang profesional nir dilakukan berdasarkan pada diri sistem administrasi negara saja, tetapi juga wajib pada dukung menggunakan pembangunan pada bidang lainnya, yaitu pemberdayaan lembaga legislatif, yudikatif, media massa, pendidikan rakyat, dan organisasi rakyat (seperti organisasi profesional serta forum swadaya rakyat). Misalnya, pada kasus “suap-menyuap”, pengadilan nir hanya mengadili aparatur yg mendapat suap saja, tetapi jua wajib membawa warga yg menaruh suap tersebut. 

Keberhasilan pembangunan serta pemberdayaan bidang atau sistem lainnya pada luar sistem administrasi negara cepat atau lambat akan memberikan tekanan pada sistem administrasi negara buat memperbaiki kinerjanya. Demikian juga, kemajuan pada pembangunan sistem administrasi negara akan menaruh donasi positif kepada aktivitas pembangunan. Dengan demikian akan terdapat sinergi antar elemen-elemen pada sistem kehidupan bangsa serta negara, yang akan mendorong sistem administrasi negara buat memberdayakan dirinya melalui hubungan positif antar elemen-elemennya (thermodinamic). 

Pemberdayaan sistem administrasi negara meliputi 3 elemen atau komponen yang saling terkait, yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan asal daya insan. Pemberdayaan ketiga komponen tadi wajib berdasarkan dalam prinsip atau tolok ukur efisiensi serta efektivitas kerja. Kedua prinsip ini sine qua non dalam setiap kebijaksanaan untuk memberdayakan ketiga komponen tadi. Nampaknya pemasyarakatan prinsip ini bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu dibutuhkan, taktik pemasyarakatan nilai-nilai sosial (social values marketing) yg bersiklus untuk membarui konduite (Kotler serta Roberto, 1989) serta menghidupkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas dalam diri aparatur pemerintah, dan jua masyarakat luas. “Pandangan atau nilai” yg tidak mendukung serta Mengganggu birokrasi pemerintahan harus dihapus, contohnya anggapan bahwa atasan merupakan pemegang kekuasaan mutlak yg selalu benar serta lebih tahu sehingga bawahan wajib patuh serta enggan memberikan masukan. 

Di bidang kelembagaan, harus dilakukan reorganisasi terhadap organisasi atau kelembagaan aneka macam instansi. Pengembangan dan perubahan organisasi (organization development and change) wajib diarahkan buat: (1) menghindari terjadinya pembentukan unit-unit kerja yg merusak efisiensi dan efektivitas kerja, termasuk duplikasi tugas serta fungsi, dan yg sekedar menampung pegawai, tanpa tugas serta fungsi yang jelas; (2) menghindari terjadinya penyeragaman bentuk dan unit kerja yang tidak perlu tanpa memperhatikan kebutuhan serta analisis beban kerja yang sebenarnya. 

Di bidang ketatalaksanaan atau manajemen, pemberdayaan perlu dilakukan menggunakan menyusun berbagai sistem manajemen yg realistis serta applicable mulai menurut manajemen kebijaksanaan yg bersifat makro hingga pedoman kerja yang kentara bahkan sistem penyimpanan file. Sistem kearsipan sekilas tampak tidak berarti, padahal nir saja bisa mengakibatkan economic cost namun pula social dan political cost yang tidak sedikit yang tidak jarang mengakibatkan permasalahan jika lalai memperhati-kannya. Sebagai contoh, banyak sekali perkara pertanahan sering muncul lantaran lemahnya sistem arsip pertanahan. Demikian juga dengan sistem pendaftaran kependudukan dimana seseorang penduduk DKI Jakarta dapat mempunyai pula kartu tanda penduduk DKI, Bekasi, Tanggerang, serta Gunung Kidul. Padahal sistem registrasi kependuduk-an ini sangat krusial untuk menghasilkan data kependudukan yg akurat. Data tersebut sangat bermanfaat sebagai masukan pengambilan kebijaksanaan pada banyak sekali sektor pembangunan, contohnya program keluarga berencana, penanggulangan kemiskinan, pemilihan umum, serta sebagainya. Selanjutnya, sistem kearsipan yang baik akan berdampak positif, contohnya Departemen Luar Negeri dan beberapa instansi terkait bisa merampungkan kasus pulau Simpadan serta Lingitan dengan Malaysia, karena adanya dokumen perjanjian Belanda dan Inggris dalam masa kolonial Belanda mengenai status ke 2 pulau tersebut yg disimpan rapi oleh Arsip Nasional. 

Terakhir merupakan pembangunan sumber daya manusia baik berdasarkan segi kualitas (kemampuan, tingkat pendidikan, perilaku, dan kariernya) dan kesejahteraannya. Berbagai diklat perlu ditata rapi serta diubahsuaikan menggunakan kebutuhan konkret. Demikian pula sistem pembinaan karier, termasuk sistem rekrutmen, kenaikan pangkat , DP3 dan sebagainya. Perilaku aparatur perlu dibenahi agar berorientasi pada produktivitas dan kualitas kerja serta mengutamakan kepentingan rakyat umum serta social equity, bukan kepentingan kelompok atau golongan termasuk partai-partai yang berkuasa. Untuk itu, aparatur negara harus dibina menjadi abdi negara dan abdi warga pada arti yang sebenarnya dan bukan sebagai abdi partai yang berkuasa serta “abdi pengusaha”. 

Tampaknya semua upaya pembangunan sistem administrasi negara akan sulit dicapai tanpa memperhatikan kesejahteraan pegawai negeri (termasuk TNI dan Polisi). Pegawai negeri adalah manusia, dan mempunyai hak asasi buat hayati layak. Karena itu, merupakan nir adil dan nir manusiawi apabila pegawai negeri hanya disuruh bekerja dengan honor “perjuangan” saja. Selama tiga dasa warsa, sistem gaji “usaha” ini telah mengakibatkan social cost, selain economic cost, yg sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran” praktek-praktek korupsi menggunakan segala bentuknya. Praktekpraktek seperti ini secara lambat tapi niscaya seakan-akan sudah “membudaya” dalam birokrasi pemerintahan. Penghapusan terhadap social cost tersebut bukan merupakan hal yang gampang, serta hal inilah yg sedang kita alami hingga saat ini. Lantaran itu, sistem pengajian pegawai negeri wajib diperbaiki supaya pegawai negeri dapat hayati layak pada arti bisa menghidupi keluarganya (pakaian, pangan, papan, serta kebutuhan sosialnya). Selain itu, sistem penggajian (gaji PNS baku nasional dan tunjangan lain yang belum tentu seluruh instansi men-dapatkannya) tadi pula wajib adil dan proporsional dan terbuka buat semua pegawai negeri serta instansi pemerintah tanpa pilih kasih. 

Disadari bahwa peningkatan honor nir berarti akan otomatis memperbaiki kinerja aparatur negara baik dalam kualitas produktivitas kerjanya juga sikap atau konduite kerjanya. Tetapi tanpa pemugaran honor , maka sangat sulit sekali mengharapkan kinerja aparatur pemerintah akan baik. Mengingat honor bukan satu-satunya faktor buat mendorong peningkatan kinerja, maka peningkatan honor tersebut jua harus dibarengi dengan eksploitasi bidang lainnya, contohnya pengawasan, training karier, dan diklat bagi pegawai.

BEBERAPA CATATAN TENTANG GOOD GOVERNANCE

Beberapa Catatan Tentang “Good Governance”
Sampai waktu ini poly pihak berbicara tentang good public governance/ bureaucracy khususnya bagi negara-negara berkembang yang sedang berupaya keras melaksanakan pembangunan di aneka macam sektor kehidupan masyarakatnya. Berbagai pandangan dan pendapat poly dilontarkan guna membangun good public governance itu. Tentunya, upaya tadi bukanlah hal yg mudah dilaksanakan misalnya halnya membentuk suatu sarana fisik, gedung misalnya, yang mampu diperkirakan secara niscaya bahan-bahannya serta saat selesainya gedung tersebut. Pembangunan administrasi negara (baca: birokrasi pemerintahan atau aparatur pemerintahan) tidak sanggup dibangun semudah serta secepat seperti pembangunan gedung tadi. Hal ini dikarenakan, administrasi negara selain adalah keliru satu sistem sosial menggunakan berbagai kompleksitas elemennya, pula adalah salah satu sub sistem menurut suatu sistem yang lebih akbar yaitu sistem kehidupan bangsa serta negara. Bahkan pada era globalisasi waktu ini, sistem administrasi negara jua terkait dan dipengaruhi oleh perkembangan dunia internasional, contohnya perkembangan perdagangan internasional melalui lembaga Kerjasama Ekonomi Asia Pasific (APEC) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semuanya itu, harus sebagai perhatian dan direspon sang sistem administrasi negara pada rangka mengantisipasi aneka macam perkembangan sosial, politik, dan ekonomi baik di dalam negeri juga pada global internasional. Karenanya, pengkajian terhadap pertarungan sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan memerlukan pula perhatian terhadap keadaan dan perkembangan sistem-sistem lainnya di luar sistem birokrasi pemerintahan itu sendiri baik lingkup nasional seperti sistem aturan nasional, sistem politik, serta sistem sosial rakyat, maupun lingkup internasional contohnya ASEAN, APEC, dan WTO. Upaya untuk memperbaiki sistem administrasi negara khususnya pada sebagian akbar negaranegara berkembang nir sanggup diperlukan hanya akan ada serta dilaksanakan oleh sistem itu sendiri, tanpa melibatkan sistem-sistem lainnya yg relevan, khususnya yang berada dalam negara yang bersangkutan. 

Bagaimana relevansi gambaran di atas menggunakan konteks birokrasi atau aparatur pemerintahan Indonesia yang saat ini sedang “kurang dipercaya” (adanya krisis kepercayaan terhadap aparatur pemerintahan) oleh masyarakat generik? Dalam tulisan ini akan dibahas tentang konflik aparatur atau birokrasi pemerintahan Indonesia dan upaya memperbaiki kinerjanya sebagai akibatnya bisa benar-sahih menjalankan tugas dan kegunaannya menjadi abdi negara dan abdi warga bagi kesejahteraan bangsa serta warga pada umumnya. 

Penyakit pada Birokrasi Pemerintahan 
Tuntutan buat membangun sistem administrasi negara (aparatur pemerintahan) tak jarang dianggap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses menciptakan kehidupan berbangsa serta bernegara yg demokratis, dan menjunjung tinggi aturan dalam arti yg sebenarnya. Administrasi negara dapat diartikan menjadi apa yg dilakukan pemerintah atau sang instansi, mulai menurut perencanaan hingga tahap penilaian, demikian seterusnya. Kegiatan administrasi negara ini juga termasuk kegiatan menyerap aspirasi rakyat, mengolah data/liputan, dan menyampaikannya kepada policy makers, dan mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi aplikasi kebijaksanaan publik. Luasnya cakupan administasi negara dapat dipandang dari keterkaitan antara administrasi negara dengan disiplin ilmu lainnya misalnya ilmu ekonomi, politik, sosiologi, aturan, psikologi, pelayanan sosial, enjinering, serta kesehatan. 

Demikian pentingnya administrasi negara, sehingga ada anggapan bahwa baik buruknya kinerja pemerintah atau suatu instansi pemerintah bisa dilihat pertama kali menggunakan melihat bagaimana pemerintah atau instansi pemerintah tersebut mengadministrasikan (dalam arti yang luas seperti mengelola sumber daya, serta bukan arti yang sempit yaitu pekerjaan kesekretariatan) aktivitas pemerintahan umum dan pembangunan yg diembannya. Pentingnya aktivitas administrasi ini mungkin secara mikro dapat digambarkan menggunakan kinerja NASA (National Aeronautic and Space Administration) Amerika Serikat, yg berhasil membawa kejayaan program ruang angkasa Amerika mengungguli acara ruang angkasa Uni Sovyet atau sekarang Russia sejak tahun 1960an. Sebenarnya, kualitas pakar ruang angkasa Uni Sovyet nir kalah dibandingkan dengan yg dimiliki Amerika, tetapi karena NASA melalukan pendayagunaan administrasinya (dalam arti yang luas) buat mengorganisir dan mendayagunakan seluruh potensi ahli ruang angkasa serta asal daya lainnya yg dimilikinya, maka akhirnya program ruang angkasa Amerika sampai saat ini bisa mengungguli program ruang angkasa Russia. “The American won because they had managers - public administrators - who were not necessarily more capable as individuals but decidedly more capable within their political, organizational, and cultural environment”. 

Bagaimana menggunakan sistem administrasi negara di negara-negara berkembang? Nampaknya sulit menemukan administrasi negara yang berkualitas di negara-negara berkembang, dalam arti kualitasnya nir tidak sama jauh dengan negara-negara yang sudah maju (Eropa Barat, Jepang dan Amerika Utara). Singapura, yg kualitas administrasi negaranya dinilai sama dengan negara-negara maju, bisa dipercaya bukan lagi sebagai negara berkembang tetapi bisa mengkategorikan menjadi negara industri baru atau bahkan negara maju. Menurut laporan Transparency International, forum independen Jerman di Berlin, lepas 31 Juli 1997, tingkat korupsi di lingkungan aparatur pemerintah Singapura relatif sangat kecil, sebagai akibatnya sistem administrasi negaranya menduduki peringkat ke-9 terbersih (clean) berdasarkan korupsi. Peringkat lainnya didominasi oleh negara-negara maju, misalnya Denmark (1), Finlandia (2), Swedia (tiga), Belanda (6), Norwegia (7), Austria (8), dan Luxemburg (10). Sebaliknya, peringkat negara-negara yang memiliki tingkat korupsi yang parah didominasi oleh negara-negara berkembang, antara lain Nigeria, Bolivia, Columbia, Rusia, Pakistan, Mexico, serta Indonesia. 

Laporan tersebut bisa saja diperdebatkan kebenarannya. Namun, terlepas setuju atau nir, citra tingkat korupsi tadi dapat dijadikan masukan atau tolok ukur buat mengevaluasi kinerja sistem adminstrasi negara suatu negara, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan, korupsi sangat terkait erat menggunakan lemahnya sistem administrasi negara, mulai dari tahap perencanaan, aplikasi, sampai termin supervisi, pengendalian, serta evaluasi. Bahkan keterkaitan korupsi nir hanya dengan berbagai elemen yang ada dalam sistem administrasi negara itu sendiri, namun jua terkait erat menggunakan sistem lain diluarnya, misalnya sistem politik, sistem aturan, dan sistem sosial rakyat. Tingkat korupsi yg telah sangat merisaukan mungkin juga bisa mencerminkan taraf sakitnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial rakyat. 

Korupsi nir saja pada bentuk materi (finansial), namun pula wewenang, tugas pokok dan fungsi, ketika kerja, serta sebagainya. Kritik yang dilontarkan kepada aparatur pemerintah tentang suatu kebijakan sering kurang diperhatikan, atau kalaupun diperhatikan cenderung tidak/enggan ditindaklanjuti. Anggapan diperhatikan ini sering dijadikan sebagai justifikasi bahwa aparatur pemerintah telah melibatkan partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijaksanaan tertentu. Akibatnya, cepat atau lambat kebijaksanaan tersebut acapkali nir mencapai sasarannya. Berbagai kebijaksanaan yg diputuskan sendiri tanpa atau dengan formalitas melibatkan rakyat bisa dijumpai dalam birokrasi pemerintahan kita. Hal misalnya ini sama saja menggunakan menyimpan bom saat yg dalam suatu ketika akan meledak. Ini terbukti menggunakan munculnya fenomena krisis kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah, mulai menurut kelurahan/desa sampai departemen, pada setahun terakhir ini yang ditandai dengan maraknya aneka macam tuntutan masyarakat terhadap para birokrat atau pimpinan birokrasi pemerintahan. Bahkan ketidakpercayaan tersebut pula dimanifestasikan sang masyarakat di aneka macam daerah pada bentuk tindakan main hakim sendiri contohnya terhadap wahana hiburan malam akibat nir jelasnya kebijaksanaan aparatur pemerintah setempat mengenai hal tersebut, terhadap beberapa perampok pada Jakarta yg tertangkap, serta perusakan/pembakaran kapal pukat harimau oleh nelayan tradisional di Sumatra Utara beberapa waktu lalu. 

Penyakit korupsi memang tidak hanya milik dan identik menggunakan negara-negara berkembang saja, namun juga bisa dijumpai pada negara-negara maju. Hanya saja, taraf korupsi di negara-negara maju baik pada kualitas juga kuantitasnya nisbi kecil. Kuatnya sistem kontrol menurut sistem-sistem lainnya (aturan atau yudikatif, legislatif, dan sosial rakyat dengan aneka macam kelembagaannya) terhadap perilaku birokrasi pemerintahan serta pula partai politik yang berkuasa (the ruling party) “memaksa” birokrasi pemerintahan serta partai yang berkuasa buat berupaya memperbaiki kinerjanya. Tidak jarang kesalahan yang tampak kecil yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, bisa menjadi informasi sosial dan isu politik yg akbar, misalnya kasus ketidakadilan pada alokasi anggaran pendidikan atau masalah pelayanan sosial yg dianggap lambat, serta masalah suap yang dapat membawa ke pengadilan nir saja pegawai yang mendapat suap namun juga rakyat yang menaruh suap tersebut. 

Namun demikian, kelemahan-kelemahan tadi akan menggunakan gampang diperbaiki oleh aparatur pemerintahannya. Kesadaran aparatur pemerintahan tentang peran serta kegunaannya dan kesadaran buat selalu mencari yang terbaik bagi sistem administrasi negaranya merupakan merupakan salah satu faktor utama mengapa reorientasi, revitalisasi, atau reformasi birokrasi pemerintahan tampak demikian mudah dan cepatnya dilakukan sang negara-negara maju. Misalnya, (a) penyempurnaan pelayanan generik di Inggris melalui program First Steps dan Next Steps masa Margareth Thatcher (semenjak 1979) yang dilanjutkan dengan program Citizen’s Charter masa John Major dan Tony Blair; (b) sosialisasi istilah serta isu good governance oleh pemerintahan Mitterand pada Perancis; serta (c) gagasan reinventing government pada Amerika buat memperbaiki peran birokrasi pemerintahan pada tahun 1990-an. Beberapa negara maju lainnya jua melakukan banyak sekali penyempurnaan pada sistem administrasi negaranya. Semua upaya tadi dimaksudkan terutama buat mempertinggi kinerja aparatur pemerintahannya agar lebih bisa memberikan kontribusi yang besar kepada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya secara generik, dan juga untuk memenangkan persaingan yang makin tajam pada era globalisasi. Salah satu fenomena menarik menurut birokrasi pemerintahan pada negara-negara maju merupakan keberadaannya yang permanen stabil dan permanen terorganisasikan dengan baik sebagai akibatnya tetap mampu konsisten memberikan pelayanan pada masyarakat walaupun sedang terjadi “perubahan atau permasalahan” politik yang tajam, misalnya kegiatan pemilu, dan turunnya atau pergantian Perdana Menteri (Ball, 1993). Dengan demikian, tampak kemandirian dan sifat profesionalisme dalam birokrasi pemerintah tersebut, dimana ia permanen konsisten melaksanakan kiprahnya sebagai pelayan warga , dan bukan pelayan atau perpanjangan kekuasaan menurut partai yg berkuasa.

Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju tadi, di negara-negara berkembang pada umumnya birokrasi pemerintahannya cenderung sulit buat berubah kearah yg lebih baik. Birokrasi pemerintahannya masih berada posisi yang kurang atau tidak stabil dan belum menemukan pola kerja yang baik. Perubahan pimpinan negara dan bahkan seorang kepala unit kerja dapat merubah sistem administrasi (negara) kearah yang lebih buruk, atau menggunakan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi (Gambar 1 mencerminkan posisi sistem administrasi negara pada negara maju dan negara berkembang). Berbagai penyakit birokrasi (bureaupathology) termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya merupakan lantaran birokrasi pemerintahan seringkali dipakai sebagai alat perpanjangan kekuasaan sang para penguasa buat mempertahankan kekuasaan secara nir demokratis dan merugikan rakyat generik. Akibatnya, kiprah aparatur pemerintah yang seharusnya menjadi abdi negara dan abdi warga , yang mengutamakan kepentingan negara dan warga generik, cepat atau lambat berubah sebagai pelayan partai atau kelompok yg berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yg dilayani sedangkan masyarakat sebagai yang melayani (patron-client) menggunakan memberikan imbalan eksklusif atas suatu jasa yg diberikan birokrat tersebut. 

Kondisi tersebut tidak saja terjadi dalam aparatur pemerintah taraf sentra namun juga pada wilayah-daerah. Berbagai kebijaksanaan yg dikeluarkan acapkali menandakan keadaan tadi. Misalnya, kebijakan di bidang perdagangan serta industri serta proses tender proyek fisik disusun buat menguntungkan kelompok eksklusif baik yang ada pada birokrasi pemerintahan maupun yg pada luar namun punya kaitan erat menggunakan para pejabat birokrasi pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yang dilakukan oleh grup atau partai yang berkuasa kepada birokrasi pemerintahan telah menularkan serta menciptakan birokrasi pemerintahan untuk menggunakan pendekatan yang sama dalam banyak sekali kegiatannya baik di dalam aktivitas internal birokrasi serta terutama pada aktivitas yang melibatkan warga . Demikian kuasanya birokrasi sebagai akibatnya sikap aparatur pemerintah tak jarang sebagai merasa paling tahu (yg lebih mengetahui diantara yg mengetahui), paling sanggup/mampu, dan paling berkuasa. Ketiga sikap ini bisa dikatakan telah sebagai “stempel atau nilai (values)“ para pegawai birokrasi pemerintahan, dan mencerminkan betapa pendekatan kekuasaan telah digunakan oleh birokrasi. Padahal pendekatan kekuasaan ini cenderung merusak partisipasi masyarakat dan merusak munculnya berbagai inisiatif serta alternatif pemecahan konflik pembangunan pada berbagai sektor kehidupan. Selain itu, pendekatan kekuasaan menciptakan birokrasi pemerintah kebal terhadap kritikan serta aturan hukum. Sebagai model, pada Indonesia cukup poly keputusan peradilan tata usaha negara (PTUN) yang memenangkan tuntutan rakyat, namun pada kenyataannya nir diindahkan atau dilaksanakan oleh para pejabat birokrasi. Hal ini sinkron menggunakan asumsi bahwa kekuasaan yang hiperbola atau absolut cenderung menunjuk dalam korupsi (absolute power tends to corrupt), tentunya bila kekuasaan tadi nir dikontrol atau dikendalikan. 

Menurut Heady dan Wallis, sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan pada negara-negara berkembang ditandai menggunakan beberapa kelemahan yg pula adalah karakteristik utamanya (Kartasasmita, 1997). Kelemahan atau karakteristik-karakteristik tersebut nampaknya relevan menggunakan kondisi birokrasi pemerintahan kita selama ini. 

Heady menyebutkan ada 5 ciri: 
Pertama, pola dasar (basic pattern) sistem administrasi negaranya merupakan tiruan atau jiplakan berdasarkan sistem administrasi kolonial yg dikembangkan negara penjajah khusus buat negara yg dijajahnya. Biasanya, pola administrasi negara yang diterapkan negara penjajah di negara yang dijajah bersifat elitis, otoriter, cenderung terpisah (menjadi menara gading) menurut rakyat dan lingkungannya. Selain sifat-sifat di atas, dalam birokrasi kita juga dapat dijumpai nilai patron–client yg menempatkan aparatur menjadi pihak yg dilayani serta warga menjadi pihak yang melayani. 

Kedua, birokrasi pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yang berkualitas baik berdasarkan segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan dan keterampilan teknis yg sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sebaliknya, syarat yg acapkali dijumpai adalah banyaknya sumber daya insan yg kurang berkualitas dengan pembagian tugas yg tidak kentara. Akibatnya, tidak saja terjadi inefsiensi pada penggunaan sumberdaya manusia, tetapi jua terjadi penumpukkan pegawai pada satu unit kerja atau instansi. 

Ketiga, birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi dalam kepentingan pribadi atau kelompok berdasarkan dalam kepentingan warga atau pencapaian sasaran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kelompok ini selain berada pada lingkungan internal birokrasi pula yang berada di luar birokrasi dan diuntungkan oleh birokrasi. 

Keempat, apa yang dinyatakan baik tertulis juga verbal oleh birokrasi seringkali tidak sinkron menggunakan realitas. Misalnya dalam laporan resmi disebutkan kinerja instansi X dilaporkan secara resmi sudah membaik, namun pada kenyataannya nir demikian. Contoh lain, peraturan tertentu dikeluarkan hanya buat kebutuhan politis (membuat kesan bahwa pemerintah memperhatikan perkara tersebut), dan bukan buat dilaksanakan dikarenakan kesulitan eksklusif atau pula nir/kurang adanya political will untuk melaksanakannya. 

Kelima, birokrasi cenderung bersifat otonom pada arti tanggal menurut proses politik serta supervisi masyarakat. Ciri ini erat kaitannya menggunakan ciri pertama di atas. Dalam hal ini, birokrasi seakan-akan menjadi menara gading yang tidak tersentuh. Ia bisa tetapkan apa saja tanpa merasa perlu memperhatikan dan mengajak pihak lain (stake holders) untuk merumuskannnya. Akibatnya, perilaku peka, responsif serta agresif terhadap pertarungan pembangunan yang seharusnya dimiliki aparatur pemerintahan sebagai tumpul, serta digantikan dengan perilaku mengutamakan diri sendiri atau kelompoknya (selfish), reaktif, dan lamban. Pemanfaatan birokrasi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan partai yang berkuasa cenderung membentuk perilaku merasa berkuasa serta kurang peka terhadap aspirasi rakyat di kalangan birokrat. Salah satu akibatnya, warga generik sering menjadi korban berdasarkan “kebijaksanaan” aparatur pemerintah. Kondisi ini cepat atau lambat mengakibatkan rasa nir puas dan bahkan nir mustahil berkembang sebagai “dendam” pada diri rakyat yg suatu waktu mampu saja meledak. Maraknya tuntutan mundur, yang seringkali diwarnai, terhadap para pejabat pemerintah baik pada tingkat sentra, wilayah, dan bahkan desa (Kepala Desa) bisa dijadikan model kenyataan di atas. 

Dua ciri lainnya dibubuhi oleh Wallis
Pertama, administrasi di poly negara berkembang sangat lamban dan menjadi semakin birokratik. Kondisi ini erat kaitannya menggunakan kesejahteraan (gaji) mereka yg relatif kecil, sebagai akibatnya mempengaruhi semangat pegawainya buat bekerja secara baik. Bahkan, pula tanpa sadar mendorong mereka untuk membangun tambahan kesejahteraan diantaranya melalui aplikasi wewenang/tugasnya sebagai pegawai. Sebagai model, “menambah-nambah” persyaratan serta prosedur pelayanan menggunakan harapan mendapat atau meminta “imbalan” dari orang yang dilayaninya. Pola pelayanan menggunakan “imbalan” ini tidak hanya terjadi pada bidang pelayanan generik kepada rakyat umum, tetapi jua pelayanan bagi atau antarsesama aparatur pemerintah, contohnya “imbalan” bagi pengurusan administrasi promosi pegawai instansi vertikal, dan sebagainya, atau urusan lainnya antarinstansi. 

Kedua, aspek-aspek yang non-birokratik (administratif) sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya, hubungan keluarga, interaksi primordial (suku, agama, keturunan, dan sebagainya), golongan atau keterkaitan politik. Keadaan seperti ini cenderung mempersulit birokrasi pemerintahan untuk bertindak serta bekerja secara objektif serta rasional, dan berdasarkan anggaran aturan yg berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yg seharusnya buat kepentingan negara serta rakyat, dapat diganti menjadi buat kepentingan kelompoknya. Kegiatan-aktivitas yang gampang dijumpai pada kaitannya menggunakan aspek-aspek pada atas, antara lain dalam rekrutmen dan kenaikan pangkat pegawai serta kegiatan tender proyek. Birokrasi pemerintahan kita juga mengalami hal ini, baik dalam masa sebelum tahun 1970an dimana kepentingan aneka macam partai politik sudah mengkotakkotakkan orientasi kerja para pejabat birokrasi. Sebaliknya, sesudah tahun 1970an juga terlihat penguasaan satu kelompok politik tertentu dalam birokrasi yg pada akhirnya membawa birokrasi tidak dapat melaksanakan perannya menjadi abdi negara dan abdi rakyat dan menimbulkan krisis agama pada aparatur pemerintahan. Kebiasan membawa “teman” pejabat yg pindah menurut satu instansi ke instansi lain secara nir rasional menggunakan tujuan “mengamankan” kerja pejabat yg bersangkutan juga cermin berdasarkan ciri di atas (mungkin ini lebih sempurna dipercaya sebagai kronisme yang tidak dalam tempatnya). Contoh lain merupakan kondisi birokrasi pemerintahan pada sebagian akbar negaranegara Afrika Sub Sahara yang banyak diwarnai dengan pertentangan kepentingan kelompok suku (ethnic groups)

Aparatur Pemerintah yg Profesional 
Seperti telah diuraikan sebelumnya yg dimaksud menggunakan aparatur pemerintahan atau birokrasi pemerintahan yang profesional dalam tulisan ini nir lain (terjemahan bebas) adalah good public governance. Kata profesional tersebut walaupun terasa sedikit absurd sebagai terjemahan dari kata good, namun agaknya lebih sempurna karena pengertiannya menjadi lebih luas dan kentara dibandingkan bila menterjemahkan istilah good menjadi baik atau berwibawa. Sedangkan governance diartikan menjadi pemerintahan dimana didalamnya terdapat aparatur, sebagai akibatnya dapat dianggap menjadi aparatur pemerintahan (terjemahan bebas). Dengan demikian, yang dimaksud menggunakan good public governance pada sini merupakan aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional. Aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional diantaranya memiliki kinerja yang efisien pada penggunaan sumberdaya dan efektif pada mencapai target serta target berbagai kebijaksanaan serta programnya, yg kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan, kesejahteraan, serta kemakmuran bangsa serta negara. Kata profesional tadi pula secara pribadi menggiring kita kepada suatu pengertian bahwa birokrasi atau aparatur tersebut bekerja dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kewibawaan aparatur pemerintah (aparatur pemerintah yg berwibawa) akan ada dengan sendirinya apabila beliau sudah dapat bekerja serta membuat kinerjanya yang efisien dan efektif. 

Terminologi governance, good governance atau good public governance atau kata lain yg seperti dengan itu menjadi terkenal pada Indonesia dalam dua-tiga tahun terahir ini karena banyak diperkenalkan oleh forum pemberi bantuan luar negeri (foreign donor agencies) baik yg bersifat multilateral juga bilateral (World Bank, 1994). Terminologi tersebut seringkali dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan (aid policies), dalam arti (good) governance atau government dijadikan galat satu aspek yg perlu dipertimbangkan pada hadiah donasi baik berupa pinjaman (loan) maupun bantuan gratis (grant). Walaupun beberapa lembaga donor internasional cenderung memakai terminologi yg berbeda mengenai aparatur pemerintahan, tetapi yang dimaksud adalah sama. 

World Bank lebih suka memakai istilah good (public) governance, dan mengartikan governance menjadi the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social resources for development” (World Bank, 1994). Sedangkan African Development Bank (AfDB) memperkenalkan istilah macrogovernance, mesogovernance (combining forms of governance) serta microgovernance buat membedakan strata pemerintahan. AfDB menganggap bahwa regim pemerintahan otoriter yang mempunyai komitmen yg bertenaga terhadap pembangunan mungkin saja menciptakan good governance walaupun pada tingkatan kualitas yg cukup atau nisbi mini . Kemudian, Inter-American Development Bank lebih menekankan negara-negara peminjam buat melaksanakan modernisasi administrasi negara (modernization of public administration). 

Sementara itu, United Kingdom’s ODA nir membedakan antara good govenance menggunakan good government. Kedua kata tersebut dianggap merujuk pada hal yg sama serta menekankan dalam aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan buat menyusun aneka macam kriteria menurut yg bersifat politik sampai ekonomi. Kriteria tadi digunakan dalam merumuskan kebijaksanaan hadiah donasi luar negeri khususnya pada negara-negara berkembang. Sedangkan World Bank mengidentifikasi 3 aspek yang terkait menggunakan governance yaitu (a) bentuk rejim politik (the form of political regime); (b) process dimana kekuasaan digunakan di pada manajemen asal daya sosial serta ekonomi bagi aktivitas pembangunan; serta (c) kemampuan pemerintah buat mendisain, memformulasikan, melaksanakan kebijaksanaan, dan melaksanakan fungsi-fungsinya. Mengingat aspek pertama di atas bukan adalah bidangnya, maka World Bank lebih memfokuskan pada 2 aspek terakhir saja. 

Kriteria tentang good governance jua disusun oleh OECD’s Development Assistance Committee, menggunakan memakai definisi governance-nya World Bank, yg mencakup ruang lingkup: (a) participatory development, (b) human rights, dan (c) democratization. Secara lebih khusus, ketiga ruang lingkup tadi dijabarkan pada tolok ukur sebagai berikut: (a) pemerintahan yg menerima legitimasi (legitimacy of government mencerminkan degree of democratization); (b) akuntabilitas politik dan perangkat pejabat pemerintahan (tercermin menurut media freedom, transparent decison making, dan accountability mechanism); (c) kemampuan pemerintah buat menyusun kebijaksanaan dan mendistribusikan pelayanan yang baik; serta (d) komitmen yang konkret terhadap masalah hak asasi insan serta anggaran aturan (baik yg berkaitan dengan hakhak individu serta grup, keamanan, aktivitas sosial serta ekonomi, serta partisipasi rakyat). 

Dari berbagai gambaran di atas, secara singkat bisa disimpulkan bahwa setidaktidaknya terdapat 5 karakteristik atau prinsip utama yg harus dipenuhi sang suatu birokrasi atau aparatur pemerintahan buat bisa diklaim sebagai good public governance atau good public government, yaitu: (1) akuntabilitas (accountability, banyak yang mengartikannya menjadi kewajiban buat mempertanggungjawabkan); (2) keterbukaan dan transparan (openness and transparency); dan (3) ketaatan dalam anggaran hukum (Bhatta, 1996; dan World Bank, 1991). Ciri lainnya adalah, (4) komitmen yang kuat buat bekerja bagi kepentingan bangsa serta negara, serta bukan dalam gerombolan atau langsung; serta (5) komitmen buat mengikutsertakan dan memberi kesempatan pada masyarakat buat berpartisipasi pada pembangunan. Kelima prinsip tersebut saling mengisi. 

Akuntabilitas pada arti aparatur pemerintah harus bisa mempertanggung jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugas dan fungsinya. Dalam interaksi ini, dengan prinsip akuntabilitas tersebut aparatur pemerintah harus bisa mempertanggungjawabkan kebijaksanaan, acara dan kegiatannya yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk jua yg terkait erat menggunakan pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi pemerintahan yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusianya. Misalnya, pengembangan atau perubahan organisasi suatu instansi wajib bisa dipertanggungjawabkan menurut segi efisiensi dan efektivitas aplikasi tugas dan fungsi instansi tadi. Sehingga nir terjadi lagi pengembangan atau penambahan struktur organisasi yg berdasarkan pada kepentingan langsung atau gerombolan hanya buat menampung kerabat/sahabat atau menempatkan orang yg nir disukai. 

Seharusnya pengembangan serta perubahan organisasi berdasarkan pada analisis jabatan dan kebutuhan kerja instansi yg sebenarnya. Demikian pula aktivitas penggunaan asal daya diantaranya di bidang keuangan dan asal daya manusia, dan pelaksanaan ketatalaksanaan atau manajemen kerja, harus juga bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. 

Prinsip akuntabilitas “mensyaratkan” adanya perhitungan cost and benefit analysis (tidak terbatas dari segi ekonomi, tetapi jua sosial, dan sebagainya tergantung bidang kebijaksanaan atau kegiatannya) dalam berbagai kebijaksanaan serta tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabilitas juga berkaitan erat menggunakan pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian target atau target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian, nir terdapat satu kebijaksanaan, program, serta kegiatan yg dilaksanakan sang aparatur pemerintahan yang bisa lepas berdasarkan prinsip ini. 

Keterbukaan serta transparan (openness and transparency), merupakan warga dan sesama aparatur pemerintah dapat mengetahui dan memperoleh data dan warta menggunakan gampang tentang kebijaksanaan, program, serta kegiatan aparatur pemerintahan baik pada taraf pusat juga daerah, atau data dan berita lainnya yg nir dilarang dari peraturan perundang-undangan yang disepakati bersama. Keterbukaan dan transparan pula dalam arti warga atau sesama aparatur dapat mengetahui atau dilibatkan pada perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan supervisi menggunakan pengendalian aplikasi kebijaksanaan publik yang terkait menggunakan dirinya. Data dan berita yang berkaitan menggunakan tugas/fungsi aparatur pemerintahan (instansi) yg bersangkutan harus disediakan secara sahih, contohnya data PNS oleh BAKN, data guru sang Depdikbud, data realisasi panen padi oleh Departemen Pertanian, serta sebagainya. Sudah saatnya perlu dihindari adanya data dan berita yg bersifat “menyenangkan” tetapi menutupi yg sebenarnya. Hal ini penting, lantaran keputusan atau kebijakan publik (public policy) yang diambil pimpinan yang tidak didasarkan dalam data serta informasi yang sebenarnya, maka keputusan atau kebijaksanaan tersebut tidak akan merampungkan masalah. Bahkan nir tidak mungkin, keputusan atau kebijaksanaan tadi akan menyebabkan perkara baru yg lebih rumit. Misalnya, kebijaksanaan huma gambut pada Kalimantan yg kurang didasarkan data dan warta yang akurat, akhirnya menyebabkan masalah baru misalnya kasus lingkungan, aturan (pemborosan), dan penderitaan transmigran yang ditempatkan di sana. Contoh lain yang menarik merupakan “kebijaksanaan lisan” Gubernur DKI yang mengizinkan becak beroperasi di Jakarta yg sempat mengakibatkan kasus sebagai akibatnya dalam waktu singkat wajib dibatalkan. 

Sikap pemerintah yang terbuka serta transparan dalam menyediakan data dan warta tadi nir hanya akan mendorong partisipasi warga dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi bisa pula mencedaskan masyarakat, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan (riset, penelitian, kajian), mendewasakan rakyat serta mengakibatkan perilaku kritis pada warga , serta turut membangun suasana demokratis pada diri masyarakat. Dengan cara demikian, cepat atau lambat akan tumbuh kepedulian yg tinggi terhadap kinerja birokrasi pemerintahan, dan akan tumbuh sikap dialog serta saling kontrol antara warga serta birokrasi pemerintahan. Tetapi demikian, persoalannya sekarang adalah apakah birokrasi atau aparatur pemerintahan punya cukup kemauan buat terbuka serta transparan atau nir, serta jujur pada menyediakan data dan informasinya. 

Prinsip ketiga, ketaatan pada anggaran aturan merupakan aparatur pemerintahan menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap tindakannya pada aturan aturan, baik yg berkaitan menggunakan lingkungan eksternal (warga luas) juga yang berlaku terbatas di lingkungan internalnya, misalnya aturan kepegawaian dan aturan supervisi fungsional. Prinsip ini juga mensyaratkan terbukanya kesempatan pada rakyat luas untuk terlibat serta berpartisipasi pada perumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan menggunakan warga . Prinsip keempat, komitmen yang bertenaga buat bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, serta bukan dalam gerombolan , eksklusif atau partai yg sebagai idolanya, adalah hal yang mutlak dimiliki sang aparatur pemerintahan. Hal ini sinkron dengan tugas serta fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan penyelenggara pemerintahan generik dan pembangunan (dalam batas-batas tertentu). 

Terakhir, komitmen buat mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada rakyat buat berpartisipasi dalam pembangunan. Hal ini penting, karena tanpa komitmen ini maka yang muncul bukan partisipasi rakyat tetapi antipati dan ketidaksukaan pada diri rakyat terhadap konduite serta kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada waktu yg sama, pada diri aparatur atau birokrasi pemerintahan akan tumbuh secara perlahan tetapi pasti perilaku mendominasi, asumsi atau perasaan paling tahu, paling bisa, serta paling berkuasa, serta cenderung tidak mau tahu kondisi dan pendapat orang lain, yang dalam akhirnya menimbulkan arogansi birokrasi pemerintah

Bagaimana Menciptakan Aparatur Pemerintah yang Profesional?
Mungkin terlalu hiperbola bila menganalogikan upaya menyembuhkan penyakit birokrasi pemerintahan dan sekaligus membentuk birokrasi pemerintahan yang profesional (good public governance/bureaucracy) pada negara-negara berkembang menggunakan upaya mengurai benang kusut. Namun demikian, itulah gambar-an yg sebenarnya. Persoalannya kini merupakan bagaimana memberdayakan seluruh komponen birokrasi pemerintahan (kelembagaan, ketatalaksanaan, serta sumberdaya manusianya) supaya sebagai aparatur pemerintahan yg profesional. 

Dalam hubungan ini yang pertama-tama wajib dipahami merupakan bahwa reformasi terhadap birokrasi pemerintahan kita bukan pada arti mengganti secara total. Misalnya menggunakan segera mengubah seluruh atau sebagian besar pejabat struktural atau pegawai negeri sipil yang ada dengan yang baru. Bisa dibayangkan betapa sulit mengubah sekian puluh ribu pejabat struktural (eselon V sampai eselon I), atau 4,1 juta PNS pada ketika singkat. Mengingat hal tersebut, dan pula nir semua komponen dalam aparatur pemerintah mengidap “penyakit” atau tidak berfungsi dengan baik, maka upaya yang realistis dilakukan merupakan menggunakan mem-perbaiki komponen-komponen yang rusak. 

Kemudian, apakah birokrasi pemerintahan kita dapat mengobati dan menyembuhkan dirinya sendiri tanpa dukungan pihak lainnya? Nampaknya buat waktu ini serta mungkin dalam beberapa tahun mendatang sulit terjadi, mengingat berbagai faktor yang melekat dalam diri birokrasi pemerintahan kita selama lebih dari 3 dekade terakhir ini, diantaranya kecenderungan resistant to change dalam birokrasi atau kecenderungan adanya penyakit entropi yaitu kurang adanya kemauan serta kemampuan untuk memperbaiki diri atas inisiatif sendiri tanpa wajib ditekan oleh sistem lain di luar birokrasi pemerintahan. Karena itu, eksploitasi sistem administrasi negara wajib juga melibatkan sistem-sistem lain di luar dirinya. 

Birokrasi pemerintahan atau sistem administrasi negara bukanlah closed system. Ia merupakan opened system serta merupakan bagian atau sub sistem menurut suatu sistem kehidupan bangsa serta negara sebagai akibatnya eksistensi dan kinerjanya ditentukan serta mempengaruhi sub sistem lainnya. Hal ini sinkron dengan konsep Administrasi Pembangunan yang diartikan menjadi “administrasi negara buat mendukung pembangunan serta pembangunan administrasi negara itu sendiri.” Maksudnya, bagaimana membentuk suatu sistem administrasi negara yang dapat mendukung proses pembangunan secara efisien serta efektif, dan kebalikannya bagaimana proses atau keberhasilan pembangunan tersebut punya efek yang positif untuk turut menciptakan administrasi negara yang baik. Dengan demikian, buat mewujudkan sistem administrasi negara yang profesional nir dilakukan dari pada diri sistem administrasi negara saja, namun juga wajib pada dukung menggunakan pembangunan di bidang lainnya, yaitu pemberdayaan lembaga legislatif, yudikatif, media massa, pendidikan warga , dan organisasi warga (seperti organisasi profesional dan forum swadaya rakyat). Misalnya, pada perkara “suap-menyuap”, pengadilan tidak hanya mengadili aparatur yg menerima suap saja, tetapi juga harus membawa rakyat yg menaruh suap tadi. 

Keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan bidang atau sistem lainnya pada luar sistem administrasi negara cepat atau lambat akan memberikan tekanan kepada sistem administrasi negara buat memperbaiki kinerjanya. Demikian pula, kemajuan dalam pembangunan sistem administrasi negara akan menaruh donasi positif kepada kegiatan pembangunan. Dengan demikian akan terdapat sinergi antar elemen-elemen pada sistem kehidupan bangsa dan negara, yang akan mendorong sistem administrasi negara buat memberdayakan dirinya melalui interaksi positif antar elemen-elemennya (thermodinamic). 

Pemberdayaan sistem administrasi negara meliputi tiga elemen atau komponen yang saling terkait, yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya insan. Pemberdayaan ketiga komponen tersebut wajib berdasarkan dalam prinsip atau tolok ukur efisiensi dan efektivitas kerja. Kedua prinsip ini sine qua non dalam setiap kebijaksanaan buat memberdayakan ketiga komponen tadi. Nampaknya pemasyarakatan prinsip ini bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu dibutuhkan, strategi pemasyarakatan nilai-nilai sosial (social values marketing) yang bersiklus buat mengubah perilaku (Kotler dan Roberto, 1989) dan menghidupkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas dalam diri aparatur pemerintah, serta jua warga luas. “Pandangan atau nilai” yg tidak mendukung dan merusak birokrasi pemerintahan harus dihapus, misalnya asumsi bahwa atasan adalah pemegang kekuasaan mutlak yg selalu sahih dan lebih memahami sebagai akibatnya bawahan harus patuh serta enggan menaruh masukan. 

Di bidang kelembagaan, wajib dilakukan reorganisasi terhadap organisasi atau kelembagaan aneka macam instansi. Pengembangan dan perubahan organisasi (organization development and change) harus diarahkan buat: (1) menghindari terjadinya pembentukan unit-unit kerja yg merusak efisiensi serta efektivitas kerja, termasuk duplikasi tugas serta fungsi, serta yg sekedar menampung pegawai, tanpa tugas dan fungsi yang jelas; (2) menghindari terjadinya penyeragaman bentuk serta unit kerja yang tidak perlu tanpa memperhatikan kebutuhan serta analisis beban kerja yang sebenarnya. 

Di bidang ketatalaksanaan atau manajemen, pemberdayaan perlu dilakukan dengan menyusun banyak sekali sistem manajemen yang realistis serta applicable mulai dari manajemen kebijaksanaan yg bersifat makro hingga panduan kerja yg kentara bahkan sistem penyimpanan arsip. Sistem kearsipan sekilas tampak tidak berarti, padahal tidak saja bisa menyebabkan economic cost tetapi jua social serta political cost yang nir sedikit yang tidak jarang menimbulkan konflik jika lalai memperhati-kannya. Sebagai contoh, banyak sekali perkara pertanahan seringkali muncul karena lemahnya sistem file pertanahan. Demikian jua dengan sistem pendaftaran kependudukan dimana seseorang penduduk DKI Jakarta dapat memiliki jua kartu tanda penduduk DKI, Bekasi, Tanggerang, dan Gunung Kidul. Padahal sistem pendaftaran kependuduk-an ini sangat krusial buat menghasilkan data kependudukan yg akurat. Data tadi sangat bermanfaat menjadi masukan pengambilan kebijaksanaan pada banyak sekali sektor pembangunan, misalnya program keluarga berencana, penanggulangan kemiskinan, pemilihan umum, dan sebagainya. Selanjutnya, sistem kearsipan yang baik akan berdampak positif, contohnya Departemen Luar Negeri dan beberapa instansi terkait dapat menuntaskan masalah pulau Simpadan serta Lingitan dengan Malaysia, lantaran adanya dokumen perjanjian Belanda dan Inggris dalam masa kolonial Belanda mengenai status ke 2 pulau tersebut yang disimpan rapi oleh Arsip Nasional. 

Terakhir merupakan pembangunan sumber daya manusia baik menurut segi kualitas (kemampuan, tingkat pendidikan, sikap, serta kariernya) serta kesejahteraannya. Berbagai diklat perlu ditata rapi serta diadaptasi menggunakan kebutuhan konkret. Demikian juga sistem pembinaan karier, termasuk sistem rekrutmen, promosi, DP3 dan sebagainya. Perilaku aparatur perlu dibenahi supaya berorientasi dalam produktivitas dan kualitas kerja serta mengutamakan kepentingan masyarakat umum serta social equity, bukan kepentingan grup atau golongan termasuk partai-partai yg berkuasa. Untuk itu, aparatur negara harus dibina sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dalam arti yang sebenarnya serta bukan sebagai abdi partai yang berkuasa serta “abdi pengusaha”. 

Tampaknya semua upaya pembangunan sistem administrasi negara akan sulit dicapai tanpa memperhatikan kesejahteraan pegawai negeri (termasuk Tentara Nasional Indonesia serta Polisi). Pegawai negeri merupakan manusia, serta memiliki hak asasi buat hayati layak. Karena itu, adalah nir adil dan nir manusiawi apabila pegawai negeri hanya disuruh bekerja dengan gaji “perjuangan” saja. Selama tiga dasa warsa, sistem gaji “usaha” ini telah menimbulkan social cost, selain economic cost, yang sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran” praktek-praktek korupsi menggunakan segala bentuknya. Praktekpraktek seperti ini secara lambat tapi niscaya seakan-akan telah “membudaya” dalam birokrasi pemerintahan. Penghapusan terhadap social cost tadi bukan adalah hal yang gampang, serta hal inilah yg sedang kita alami sampai waktu ini. Karena itu, sistem pengajian pegawai negeri wajib diperbaiki supaya pegawai negeri dapat hayati layak pada arti bisa menghidupi keluarganya (pakaian, pangan, papan, dan kebutuhan sosialnya). Selain itu, sistem penggajian (honor PNS baku nasional dan tunjangan lain yang belum tentu seluruh instansi men-dapatkannya) tadi juga harus adil dan proporsional serta terbuka buat seluruh pegawai negeri dan instansi pemerintah tanpa pilih kasih. 

Disadari bahwa peningkatan gaji nir berarti akan otomatis memperbaiki kinerja aparatur negara baik pada kualitas produktivitas kerjanya juga sikap atau konduite kerjanya. Namun tanpa pemugaran gaji, maka sangat sulit sekali mengharapkan kinerja aparatur pemerintah akan baik. Mengingat honor bukan satu-satunya faktor buat mendorong peningkatan kinerja, maka peningkatan gaji tadi pula harus dibarengi dengan pendayagunaan bidang lainnya, contohnya pengawasan, pembinaan karier, serta diklat bagi pegawai.