REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DAN ERA REFORMASI
Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi
Masyarakat madani sebagai terjemahan menurut civil society diperkenalkan pertama kali sang Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan menurut bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan sang Prof. Naquib Attas, seseorang pakar sejarah dan peradaban Islam berdasarkan Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti pula peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal pada kehidupan.
Konsep warga madani itu lahir sebagai hasil berdasarkan Festival Islam yang dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yg selenggarakan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan pada Desember 1991 menggunakan restu menurut Presiden Soeharto dan diketuai sang BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri Riset serta Teknologi. Berdirinya ICMI nir lepas dari peranan Habibie yg berhasil menyakinkan Presiden Soeharto buat mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yg sedang berkembang pesat dan memerlukan wahana buat menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut lantaran Soeharto sedang mencari partner dari golongan Muslim supaya mendukung keinginannya sebagai presiden dalam tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto buat mengurangi tekanan efek menurut mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis yang mendirikan berbagai LSM serta grup Islam yang menempuh jalur sosio-kultural misalnya Gus Dur, Emha, serta Mustafa Bisri.
Mereka berbagi gerakan prodemokrasi menggunakan memperkenalkan konsep civil society atau rakyat sipil. Konsep ini ditawarkan menjadi kaunter terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, serta para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan buat mengkaunter penguasaan ABRI sebagai penyangga primer keberadaan Orde Baru. ABRI nir hanya memerankan menjadi unsur pertahanan dan keamanan saja namun juga mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya dalam doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik dalam forum eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya pada politik sangat menentukan. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan nir berjalan dan Orde Baru berubah menjadi menjadi regim yg bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) serta menampilkan wapres Habibie, yang pula kepala umum ICMI, menjadi presiden pada masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus mengenai konsep itu dalam aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 lepas 27 Februari 1999 buat membentuk suatu komite dengan tugas buat merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep rakyat madani dikembangkan buat menggantikan paradigma usang yg menekankan dalam stabilitas dan keamanan yg terbukti telah tidak cocok lagi.
Munculnya konsep warga madani memperlihatkan intelektual muslim Melayu sanggup menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan terkini, persisnya mengawinkan ajaran Islam menggunakan konsep civil society yang lahir pada Barat pada abad ke-18. Konsep warga madani nir pribadi terbentuk pada format seperti yg dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yg sangat panjang menjadi hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya menciptakan profile konsep normatif seperti yg dikenal kini ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai dampak berdasarkan proses pengaktualisasian yg dinamis menurut konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).
Perumusan dan pengembangan konsep warga madani memakai projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yg mengungkapkan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu pada tetapkan berukuran baik atau buruknya konduite harus menggunakan merujuk pada kejadian yang masih ada dalam khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yang lahir di Barat dengan masyarakat madani, suatu warga kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil model berdasarkan data historis Islam yg secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan buat diinterpretasi ulang sesuai menggunakan perkembangan zaman, serta pada sisi lain, warga kota Madinah merupakan proto-type masyarakat idel produk Islam yg sanggup dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep rakyat madani dilakukan selesainya teruji validitasnya menurut landasan normatif (nass) menurut asal primer Islam (al-Qur’an dan Hadits) atau menggunakan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).
Nabi Muhammad SAW serta Masyarakat Madani
Rasanya tidaklah hiperbola bila kita menerjemahan civil society menggunakan rakyat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip dalam civil society yg lahir pada Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel dengan ilham civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society (Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having its own legal code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: 2). What this basically represents is the idea that people living together form a political community with a common good.
Islam yg diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat humanisme. Dalam QS 2: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh kepada para malaikat bersujud pada Adam (insan pertama) yang telah diberi kelebihan akal pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih lanjut dari paham kemanusiaan ini, kemudian pada Barat sebagaimana yg dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yang berangkat berdasarkan asumsi bahwa insan dalam dasarnya baik sebagai akibatnya harus diberi kebebasan. Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan pada keadaan kudus”.
Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seseorang ahli sejarah global, melihat bahwa seandainya sejarah global ini diibaratkan roda maka sumbunya adalah sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil menurut sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, … (QS 3: 110). Dia melihat kehadiran Islam pada muka bumi ini sungguh sangat sukses dan mempunyai akibat yang sangat signifikan bagi peradaban, pada antaranya pada bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam tiba, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-buat tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India serta ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling benar dan mereka tidak mau menilik ilmu-ilmu lain. Tetapi nir demikian halnya menggunakan Islam. Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada di negeri Cina.” Dalam galat satu ayatnya, Al-Kur’an juga memerintahkan kita buat bertanya: … Maka bertanyalah kepada orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para pakar tafsir menginterpretasikan ahl adz-dzikr pada ayat itu menjadi al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar pada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30).
Islam sebagai kepercayaan universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait sang konteks ruang serta waktu, serta Nabi Muhammad SAW sendiri nir menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam, disamping tidak melontarkan ise suksesi yang tentunya menjadi prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, namun dia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sinkron menggunakan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah membangun orde baru (a new sah order) tapi buat mendidik insan dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan serta kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).
Nabi Muhammad sudah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep ummat yg menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yg ideal tercapai pada masa Nabi Muhammad karena tercapai ekuilibrium antara kecenderungan normatif kaum Muslimin serta kebebasan berpikir semua masyarakat rakyat (termasuk mereka yg non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu jika dilakukan ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yang tadinya buat mensistematiskan serta mempermudah pedagogi agama, akhirnya bisa sebagai pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap terdapat pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah.
Dalam kaitannya menggunakan hak-hak asasi manusia, Islam seperti yang tersebar dalam literatur aturan kepercayaan (al-kutub al-fiqhiyyah) sudah mengembangkan terdapat 5 agunan dasar (Wahid (1999: 1) sebagai berikut:
(1) keselamatan fisik rakyat rakyat menurut tindakan badani di luar ketentuan aturan,
(dua) keselamatan keyakinan kepercayaan masing-masing, tanpa adanya paksaan buat berpindah agama,
(3) keselamatan famili dan keturunan,
(4) keselamatan harta benda dan milik pribadi pada luar mekanisme aturan, serta
(lima) keselamatan profesi.
Bahkan konsep civil society itu mendapat efek dari pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan buku karangan C.G. Weeramantry (Monash University, Australia) serta M. Hidayatullah (India) yang berjudul Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut mereka, pemikiran John Locke dan Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka mengenai kedaulatan (sovereignty), menerima impak berdasarkan pemikiran Islam. Locke waktu menjadi mahasiswa Oxford sangat putus harapan menggunakan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, professor studi mengenai Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai persoalan-duduk perkara mengenai pemerintahan, kekuasaan dan kebebasan individu.
Rousseau dalam Social Contract-nya jua nir lepas berdasarkan impak Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula menurut bukunya Persian Lettters, yg kemudian diteruskan pada buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas menurut pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).
Comments
Post a Comment