PENGERTIAN TEORI EKSISTENSIAL HUMANISTIK

Pengertian, Teori Eksistensial Humanistik
1. Konsep Dasar Tentang Manusia
Pendekatan Eksistensial-humanistik serius dalam diri insan. Pendekatan ini mengutamakan suatu perilaku yg menekankan pada pemahaman atas insan. Pendekatan Eksisteneial-Humanistik dalam konseling memakai sistem tehnik-tehnik yang bertujuan buat mempengaruhi konseli. Pendekatan konseling eksistensial-humanistik bukan merupakan konseling tunggal, melainkan suatu pendekatan yg mencakup konseling-konseling yg berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep serta perkiraan-asumsi tentang manusia. Konsep-konsep primer pendekatan eksistensial yang membangun landasan bagi praktek konseling, yaitu:

a. Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan buat menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan konkret yg memungkinkan insan bisa berpikir serta menetapkan. Semakin bertenaga kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar juga kebebasan yg ada dalam orang itu. Kesadaran buat menentukan cara lain -cara lain yakni memutuskan secara bebas didalam kerangka pembatasnya merupakan suatu aspek yang esensial dalam manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas eksistensi dan nasibnya. 

b. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan serta tanggung jawab bisa mengakibatkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada insan. Kecemasan ekstensial mampu diakibatkan atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan buat meninggal (nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesasaran tersebut menghadapkan individu dalam fenomena bahwa beliau mempunyai saat yang terbatas buat mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang jua merupakan bagian syarat manusia. Adalah akibat menurut kegagalan individu buat sahih-sahih menjadi sesuatu sinkron menggunakan kemampuannya.

c. Penciptaan Makna
Manusia itu unik pada arti bahwa beliau berusaha untuk menentukan tujuan hayati serta menciptakan nilai-nilai yg akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia pula berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian serta mati sendirian pula). Walaupun dalam hakikatnya sendirian, insan memiliki kebutuhan buat berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yg bermakna, karena manusia merupakan mahluk rasional. Kegagalan pada membangun hubungan yg bermakna sanggup menimbulkan kondisi-syarat isolasi dipersonalisasi, alineasi, kerasingan, serta kesepian. Manusia jua berusaha buat mengaktualkan diri yakni menyampaikan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, apabila tidak mampu mengaktualkan diri, dia mampu menajdi “sakit”.

2. Proses Konseling
Ada tiga tahap proses konseling yaitu
  1. Konselor membantu konseli pada mengidentifikasi dan mengklarifikasi perkiraan mereka mengenai global. Konseli diajak buat mendefinisikan serta menayakan tentang cara mereka memandang serta mengakibatkan keberadaan mereka sanggup diterima. Mereka meneliti nilai mereka, keyakinan, dan asumsi buat menentukan kesalahannya. Bagi banyak konseli hal ini bukan pekerjaan yg gampang, sang karena itu awalnya mereka memaparkan problema mereka. Konselor disini mengajarkan mereka bagaimana caranya buat bercermin pada eksistensi mereka sendiri.
  2. Konseli didorong semangatnya buat lebih pada lagi meneliti sumber serta otoritas menurut sistem nilai mereka. Proses eksplorasi diri ini umumnya membawa konseli ke pemahaman baru serta berapa restrukturisasi dari nilai serta perilaku mereka. Konseli mendapat cita rasa yang lebih baik akan jenis kehidupan macam apa yg mereka anggap pantas. Mereka menyebarkan gagasan yang kentara tentang proses anugerah nilai internal mereka.
  3. Konseling eksistensial berfokus dalam menolong konseli buat mampu melaksanakan apa yang telah mereka pelajari mengenai diri mereka sendiri. Sasaran konseling adalah memungkinkan konseli buat bisa mencari cara pengaplikasikan nilai hasil penelitian dan internalisasi dengan jalan kongkrit. Biasanya konseli menemukan jalan mereka buat menggunakan kekuatan itu demi menjalani konsistensi kehidupannya yg memiliki tujuan.
3. Penerapan langkah / Teknik dalam konseling
Teori eksis­tensial-hunianistik tidak mempunyai teknik-teknik yg dipengaruhi secara ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa dipungut menurut beberapa teori konseling lainnya. Metode-metode yg asal menurut teori Gestalt dan Analisis Transaksional seringkali digunakan, dan sejumlah prinsip dan mekanisme psikoanalisis sanggup diintegrasikan ke dalam teori eksistensial-humanistik. Buku The Search for "Authenticity (1965) menurut Bugental merupakan sebuah karya lengkap yang mengemukakan konsep-konsep dan mekanisme-prosedur psiko­konseling eksistensial yang berlandaskan contoh psikoanalitik. Bu­gental menampakan bahwa konsep inti psikoanalisis mengenai resistensi dan transferensi sanggup diterapkan pada filsafat dan praktek konseling eksistensial. Ia menggunakan kerangka psikoanalitik buat menerangkan fase kerja konseling yg berlandaskan konsep-konsep eksistensial seperti kesadaran, emansipasi dan kebebasan, kece­masan eksistensial, serta neurosis eksistensial. 

Rollo May (1953,1958,1961), seorang psikoanalisis Amerika yg diakui luas atas pengembangan psikokonseling eksistensial pada Amerika, pula telah mengintegrasikan metodologi dan konsep-konsep psikoanalisis ke dalam psikokonseling eksistensial. 

Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang menempati kedudukan sentral dalam konseling adalah: Seberapa besar aku menyadari siapa aku ini? Bisa menjadi apa saya ini? Bagaimana aku sanggup memilih membentuk balik bukti diri diri aku yang sekarang? Seberapa akbar kesanggupan aku buat mendapat kebebasan memilih jalan hayati saya sendiri? Bagaimana aku mengatasi kecemasan yang disebabkan sang kesadaran atas pilihan-pilihan? Sejauh mana saya hayati menurut pada sentra diri aku sendiri? Apa yg saya lakukan buat menemukan makna hayati ini? Apa aku menjalani hidup, ataukah aku hanya puas atas keberadaan aku ? Apa yang aku lakukan buat membentuk identitas eksklusif yang saya inginkan? Pada pembahasan pada bawah ini diungkap dalil-dalil yg mendasari praktek konseling eksistensial-humanistik. Dalil-dalil ini, yg dikembangkan berdasarkan suatu survai atas karya-karya para penulis psikologi eksistensial, berasal berdasarkan Frankl (1959,1963), May (1953, 1958, 1961), Maslow (1968), Jourard (1971), serta Bugental (1965), merepresentasikan sejumlah tema yg penting yg merinci praktek-praktek konseling. 

a. Tema-Tema Dan Dalil-Dalil Utama Eksistensial dan Penerapan-Penerapan Pada Praktek Konseling

Dalil 1 : Kesadaran diri 
Manusia memiliki kesanggupan buat menyadari diri yang mengakibatkan dirinya mampu melampaui situasi sekarang dan menciptakan basis bagi kegiatan-aktivitas berpikir serta menentukan yang khas insan. 

Kesadaran diri itu membedakan insan menurut makhluk-makhluk lain. Manusia mampu tampil pada luar diri dan berefleksi atas keberadaannya. Pada hakikatnya, semakin tinggi pencerahan diri seseorang, maka beliau semakin hidup sebagai eksklusif atau sebagaimana dinyatakan sang Kierkegaard, "Semakin tinggi pencerahan, maka semakin utuh diri seorang." Tanggung jawab berlandaskan kesanggupan untuk sadar. Dengan pencerahan, seorang mampu sebagai sadar atas tanggung jawabnya buat menentukan. Sebagaimana dinyatakan sang May (1953), "Manusia adalah makhluk yang sanggup menyadari serta, sang karena itu, bertanggung jawab atas keberadaannya”.

Kesadaran bisa dikonseptualkan dengan cara sebagai berikut: Umpamakan Anda berjalan pada lorong yang di ke 2 sisinya terdapat poly pintu, Bayangkan bahwa Anda mampu membuka beberapa pintu, baik membuka sedikit ataupun membuka lebar-lebar. Barangkali, apabila Anda membuka satu pintu, Anda tidak akan menyukai apa yang Anda temukan pada dalamnya menakutkan atau menjijikkan. Di lain pihak, Anda mampu menemukan sebuah ruangan yang dipenuhi sang estetika. Anda mungkin berdebat menggunakan diri sendiri, apakah akan membiarkan pintu itu tertutup atau terbuka. 

Apabila seseorang konselor dihadapkan dalam konseli yg pencerahan dirinya kurang maka konselor harus menerangkan kepada konseli bahwa harus ada pengorbanan buat menaikkan pencerahan diri. Dengan sebagai lebih sadar, konseli akan lebih sulit buat “ pulang ke rumah lagi “, sebagai orang yg misalnya dulu lagi.

Dalil 2 : Kebebasan serta tanggung jawab 
Manusia adalah makhluk yg menentukan diri, dalam arti bahwa beliau memiliki kebebasan buat memilih pada antara altematif-altematif. Karena manusia pada dasamya bebas, maka beliau harus ber­tanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasibnya sendiri. 

Pendekatan eksistensial meletakkan kebebasan, determinasi diri, hasrat, dan putusan pad a sentra ke beradaan manusia. Apabila pencerahan dan kebebasan dihapus menurut insan, maka beliau nir lagi hadir menjadi manusia, karena kesanggupan-k esanggupan itulah yang memberinya kemanusiaan. Pandangan eksistensial adalah bahwa individu, dengan putusan-putusannya, membangun nasib serta mengukir keberadaannya sendiri. Seseorang menjadi apa yang diputuskannya, serta beliau wajib bertanggung jawab atas jalan hid.up yang ditempuhnya. Tillich mengingatkan, "Manusia sahih-benar menjadi insan hanya saat mengambil putusan. Sartre mengatakan, "Kita merupakan pilihan kita." Nietzsche men­jabarkan kebebasan menjadi "kesanggupan buat menjadi apa yg memang kita alami". Ungkapan Kierkegaard, "menentukan diri sen­diri", menyiratkan bahwa seorang bertanggung jawab atas ke­hidupan serta keberadaannya. Sedangkan Jaspers menjelaskan bahwa "kita merupakan makhluk yang tetapkan". 

Tugas konselor adalah mendorong konseli buat belajar menanggung risiko terhadap akibat penggunaan kebebasannya. Yang jangan dilakukan adalah melumpuhkan konseli serta membuatnya bergantung secara neurotik dalam konselor. Konselor perlu mengajari konseli bahwa beliau bisa mulai menciptakan pilihan meskipun konseli boleh jadi sudah menghabiskan sebagian besar hidupnya buat melarikan diri berdasarkan kebebasan memilih. 

Dalil 3: Keterpusatan dan kebutuhan akan orang lain 
Setiap individu mempunyai kebutuhan buat memelihara keunikan namun dalam saat yg sama beliau memiliki kebutuhan buat keluar berdasarkan dirinya sendiri dan buat berhu­bungan dengan orang lain serta menggunakan alam. Kegagalan pada berhubungan dengan orang lain dan dengan alam menyebabkan ia kesepian serta mengalamin keterasingan. 

Kita masing-masing mempunyai kebutuhan yg bertenaga buat menemukan suatu diri, yakni menemukan bukti diri langsung kita. Akan tetapi, penemuan siapa kita sesungguhnya bukanlah suatu proses yang otomatis; beliau membutuhkan keberanian. Secara para­doksal kita pula mempunyai kebutuhan yg bertenaga untuk keluar dari eksistensi kita. Kita membutuhkan hubungan menggunakan keberada­an-eksistensi yang lain. Kita harus menaruh diri kita pada orang lain serta terlibat dengan mereka. 

Usaha menemukan inti serta belajar bagaimana hayati berdasarkan dalam memerlukan keberanian. Kita berjuang buat menemukan, untuk membentuk, serta buat memelihara inti menurut ada kita. Salah satu ketakutan terbesar menurut para konseli merupakan bahwa mereka akan tidak menemukan diri mereka. Mereka hanya menduga bahwa mereka bukan siapa-siapa.

Para konselor eksistensial sanggup memulai dengan meminta kepada para konselinya untuk mengakui perasaannya sendiri. Sekali konseli membuktikan keberanian buat mengakui ketakutannya, mengungkapkan ketakutan menggunakan istilah-istilah dan membaginya, maka ketakutan itu nir akan begitu menyelubunginya lagi. Untuk mulai bekerja bagi konselor merupakan mengajak konseli buat mendapat cara-cara dia hidup di luar dirinya sendiri serta mengeksplorasi cara-cara buat keluar menurut pusatnya sendiri. 

Dalil 4 : Pencarian makna 
Salah satu ciri yg spesial pada insan merupakan per­juangannya buat merasakan arti serta maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu pada pencarian makna serta identitas eksklusif. 

Biasanya permasalahan-permasalahan yang mendasari sebagai akibatnya membawa orang-orang ke dalam konseling merupakan problem-masalah yang berkisar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Mengapa aku berada? Apa yg saya inginkan berdasarkan hidup? Apa maksud serta makna hayati saya? 

Konseling eksistensial sanggup menyediakan kerangka konseptual buat membantu konseli dalam usahanya mencari makna hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan oleh konselor kepada konseli merupakan: 'Apakah Anda menyukai arah hidup Anda? Apa­kah Anda puas atas apa Anda kini serta akan sebagai apa Anda nanti? Apakah Anda aktif melakukan sesuatu yg akan men­dekatkan Anda pada ideal-diri Anda? Apakah Anda mengetahui apa yang Anda inginkan? Apabila Anda galau mengenai siapa Anda dan apa yang Anda inginkan, apa yg Anda lakukan buat mem­peroleh kejelasan? 

Salah satu masalah dalam konseling merupakan penyisihan nilai-nilai tradisional (serta nilai-nilai yg dialihkan kepada seorang) tanpa disertai inovasi nilai-nilai lain yg sinkron buat menggantikannya. Tugas konselor dalam proses konseling merupakan membantu konseli pada membangun suatu sistem nilai berlandaskan cara hidup yg konsisten menggunakan cara terdapat-nya konseli. 

Konselor harus menaruh kepercayaan terhadap kesanggupan konseli pada menemukan sistem nilai yang bersumber pada dirinya sendiri serta yang memungkinkan hidupnya bermakna. Konseli tidak diragukan lagi akan galau serta mengalami kecemasan sebagai akibat tidak adanya ni1ai-nilai yang kentara. Kepercayaan konselor terhadap konseli merupakan variabel yg penting dalam mengajari konseli agar mempercayai kesanggupannya sendiri pada menemukan asal nilai-nilai baru dari pada dirinya.

Dalil lima : Kecemasan sebagai syarat hidup
Kecemasan merupakan suatu karakteristik dasar insan. Kecemasan nir perlu adalah sesuatu yg patologis, sebab beliau bisa menjadi suatu tenaga motivasi yang kuat buat pertumbuhan. Kecemasan merupakan akibat berdasarkan kesadaran atas tanggung jawab buat memilih.

Kebanyakan orang mencari donasi profesional lantaran mereka mengalami kecemasan atau depresi. Banyak konseli yg memasuki tempat kerja konselor disertai asa bahwa konselor akan mencabut penderitaan mereka atau setidaknya akan menaruh formula tertentu buat mengurangi kecemasan mereka. Konselor yg berorientasi eksistensial, bagaimanapun, bekerja tidak semata-mata buat menghilangkan tanda-tanda-gejala atau mengurangi kecemasan. Sebenamya, konselor eksistensial tidak memandang kecemasan menjadi hal yang tak dibutuhkan. Ia akan bekerja menggunakan cara tertentu sehingga buat sementara konseli sanggup mengalami peningkatan tingkat kecemasan. Pertanyaan-pertanyaan yang mampu diajukan merupakan: Bagaimana konseli mengatasi kecemasan? Apakah kecemasan merupakan fungsi berdasarkan pertumbuhan ataukah fungsi kebergantungan pada tingkah laris neurotik? Apakah konseli menampakan keberanian buat membiarkan dirinya menghadapi kecemasan atas hal-hal yg tidak dikenalnya? 

Kecemasan adalah bahan bagi konseling yang produktif, baik konseling individual maupun konseling gerombolan . Apabila konseli nir mengalami kecemasan, maka motivasinya buat berubah akan rendah. Kecemasan dapat ditransformasikan ke dalam energi yg dibutuhkan buat bertahan menghadapi risiko bereksperimen menggunakan tingkah laku baru. 

Dalil 6: Kesadarau atas kematian dan non-ada 
Kesadaran atas kematian merupakan kondisi manusia yang mendasar, yang menaruh makna pada hidup. Frankl (1965) sejalan menggunakan May menjelaskan bahwa kematian menaruh makna kepada keberadaan insan. Jika kita tidak akan pernah meninggal, maka kita mampu menahan tindakan buat selamanya. Akan tetapi, lantaran kita terbatas, apa yg kita lakukan kini memiliki arti khusus. Bagi Frankl, yg memilih kebermaknaan hayati seseorang bukan lamanya, melainkan bagaimana orang itu hayati.

Dalil 7 Perjuangan buat aktualisasi diri 
Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk sebagai apa saja yang mereka sanggup. Setiap orang mempunyai dorongan bawaan buat menjadi seorang langsung, yakni mereka memiliki kecenderungran kearah pengembangan keunikan dan ketunggalan, inovasi bukti diri eksklusif, serta perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh. Jika seseorang mampu mengaktualkan potensi-potensinya menjadi pribadi, maka dia akan mengalami kepuasan yang paling pada yang bisa dicapai oleh insan, sebab demikianlah alam mengharapkan mereka berbuat. Alam seolah-olah berkata kepada kita, "Kamu wajib menjadi apa saja yang kamu bisa." Menjadi sesuatu memerlukan keberanian. Dan apakah kita ingin menjadi sesuatu atau nir sebagai sesuatu merupakan pilihan kita. Maslow merancang suatu studi yang memakai subjek-subjek yg terdiri menurut orang-orang yang mengaktualkan diri. Beberapa karakteristik yg ditemukan oleh Maslow (1968, 1970) pada orang-orang yang mengaktualkan diri itu adalah: kesanggupan menoleransi serta bahkan menyambut ketidaktentuan pada hayati mereka, penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain, kespontanan dan kreatifitas, kebutuhan akan privacy dan kesendirian, otomoni, kesanggupan menjalin interaksi interpersonal yang mendalam dan intens, perhatian yg nrimo terhadap orang lain, rasa humor, keterarahan pada diri sendiri (kebalikan dari kecenderungan buat hidup dari pengharapan orang lain), serta nir adanya dikotomi-dibagi dua yang artifisial (seperti kerja-bermain, cinta-benci, lemah-bertenaga). 

4. Fungsi dan Peran Konselor
Tugas utama Konselor merupakan berusaha tahu konseli menjadi ada dalam-dunia. Teknik yg dipakai mengikuti alih-alih melalui pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman konseli kini , para konselor eksistensial memberitahuakn keleluasaan dalam memakai metode-metode, serta prosedur yang digunakan sang mereka bervariasi nir hanya dari konseli yang satu pada konseli yang lainnya, tetapi jua berdasarkan satu ke lain fase konseling yg dijalani sang konseli yang sama.

Meskipun konseling eksistesial bukan adalah metode tunggal, di kalangan konselor eksistensial serta humanistik ada konvensi menyangkut tugas-tugas serta tanggung jawab konselor. Buhler serta Allen (1972) sepakat bahwa psikokonseling difokuskan dalam pendekatan terhadap hubungan manusia alih-alih system teknik. Menurt Buhler dan Allen, para pakar psikologi humanistik memiliki orientasi beserta yang meliputi hal-hal berikut :
  1. Mengakui pentingnya pendekatan dari langsung ke langsung.
  2. Menyadari menurut kiprah menurut tangung jawab konselor.
  3. Mengakui sifat timbal pulang menurut interaksi konseling.
  4. Berorientasi pada pertumbuhan.
  5. Menekankan keharusan konselor terlibat dengan konseli sebagai suatu pribadi yg menyeluruh.
  6. Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak ditangan konseli.
  7. Memandang konselor sebagai contoh, dalam arti bahwa konselor menggunakan gaya hayati serta pandangan humanistiknya mengenai manusia sanggup secara implisit menerangkan pada konseli potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
  8. Mengakui kebebasan konseli buat menyampaikan pandangan dan buat berbagi tujuan-tujuan serta nilainya sendiri.
  9. Bekerja kearah mengurangi kebergantungan konseli serta menaikkan kebebasan konseli.
May (1961) memandang tugas konselor pada antaranya adalah membantu konseli agar menyadari keberadaannya dalam global: “Ini merupakan ketika waktu konseli melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia mengancam, dan sebagai subjek yg mempunyai dunia”.

Jika konseli membicarakan perasan-perasaannya kepada konselor pada pertemuan konseling, maka konselor usahakan bertindak sebagai berikut:
  1. Memberikan reaksi-reaksi langsung pada kaitan dengan apa yang dikatakan oleh konseli.
  2. Terlibat pada sejumlah pernyataan eksklusif yang relevan dan pantas mengenai pengalaman-pengalaman yang seperti dengan yg dialami oleh konseli.
  3. Meminta pada konseli buat mampu mengungkapkan ketakutannya terhadap keharuan memilih pada dunia yg tak niscaya.
  4. Menantang konseli buat melihat seluruh cara beliau menghindari pembuatan putusan-putusan, serta menaruh penilaian terhadap penghindaran itu.
  5. Mendorong konseli buat menilik jalan hidupnya pada periode sejak mulai konseling dengan bertanya.
  6. Beri memahami kepada konseli bahwa beliau sedang menilik apa yg dialaminya sesungguhnya merupakan suatu sifat yg khas menjadi manusia. 
Bahwa dia dalam akhirnya sendirian, bahwa dia wajib tetapkan buat dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami kecemasan atas ketidakpastian putusan-putusan yg dia buat, dan bahwa dia akan berjuang buat tetapkan makna kehidupannya pada dunia yang seringkali tampak tidak bermakna.

a. Hubungan antara Konselor dan Konseli 
Hubungan konselor sangat krusial pada konseling eksistensial. Penekanan diletakkan dalam pertemuan antar manusia dan perjalanan beserta alih-alih dalam teknik – teknik yang memepengaruhi konseli. Isi rendezvous konseling merupakan pengalaman konseli sekarang, bukan “masalah” konseli. Hubungan dengan orang lain pada kehadiran yg otentik difokuskan kepada “disini dan sekarang”. Masa lampau atau masa depan hanya penting apabila waktunya bekerjasama pribadi. 

Dalam menulis mengenai hubungan konseling, Sidney Jourard (1971) menghimbau supaya konselor, melalui tingkah lakunya yang otentik dan terbuka, mengajak konseli pada keontetikan. Jourard meminta agar konselor mampu membangun hubungan Aku-Kamu, dimana pembukaan diri konselor yang spontan menunjang pertumbuhan serta keontetikan konseli. Sebagaimana dinyatakan sang Jourard, “Manipulasi melahirkan kontramanipulasi. Pembukaan diri melahirkan Pembukaan diri pula”.

Jourard permanen bependapat bahwa apabila konselor menyembunyikan diri dalam rendezvous konseling, maka beliau terlibat pada tingkah laku nir otentik sama menggunakan yang mengakibatkan tanda-tanda-gejala pada diri konseli. Menurut jourard, cara buat membantu kien supaya menemukan dirinya yang sejati dan supaya tidak sebagai asing dengan dirinya sendiri merupakan, konselor secara impulsif membukakan pengalaman otentiknya pada konseli dalam saat yg tepat pada rendezvous konseling. Hal ini bukan berarti bahwa konselor harus menghentikan penggunaan teknik-tenik, penaksiran-penaksiran, serta penilaian-penilaiannya, melainkan berarti bahwa konselor wajib sering menyatakan atau menyampaikan pada konseli bahwa dia nir ingin membicarakan apa yang dipikirkan atau dirasakan.

b. Pengalaman Konseli
Dalam konseling pendekatan ini, konseli mampu mengalami secara subjektif persepsi-persepsi tentang dunianya. Dia wajib kreatif pada proses konseling, sebab dia wajib memutuskan ketakutan-ketakutan, perasaan-perasaan berdosa, serta kecemasan-kecemasan apa yang akan dieksplorasinya. Memutuskan buat menjalani konseling saja tak jarang adalah tindakan yg menyeramkan.

Dengan kata lain, konseli dalam konseling pendekatan ini terlibat pada pembukaan pintu menuju diri sendiri. Pengalaman tak jarang menakutkan atau menyenangkan, mendepresikan atau adonan berdasarkan semua perasaan tadi. Dengan membuka pintu yg tertutup, konseli mulai melonggarkan belenggu deterministik yang telah mengakibatkan beliau terpenjara secara psikologi. Lambat laun konseli menjadi sadar, apa beliau tadinya dan siapa dia sekarang dan konseli lebih bisa menetapkan masa depan seperti apa yang diinginkannya.

Comments