PENGERTIAN DAN TAHAP FORMULASI KEBIJAKAN

Pengertian Dan Tahap Formulasi Kebijakan 
Dalam fase formulasi kebijakan publik, empiris politik yg melingkupi proses pembuatan kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari penekanan kajiannya. Sebab apabila kita melepaskan kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka kentara kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yg miskin aspek lapangannya itu kentara akan menemui poly persoalan dalam termin penerapan berikutnya. Dan yg tidak boleh dilupakan merupakan penerapannya dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur politik. Formulasi kebijakan publik merupakan langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara holistik, sang lantaran apa yang terjadi dalam tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yg dibentuk itu pada masa yang akan tiba. Oleh sebab itu perlu adanya kehati-hatian lebih berdasarkan para penghasil kebijakan ketika akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang wajib diingat jua merupakan bahwa formulasi kebijakan publik yg baik adalah formulasi kebijakan publik yg berorientasi dalam implementasi serta penilaian. Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian konseptual yg sarat menggunakan pesan-pesan ideal serta normatif, tetapi nir membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yg baik itu merupakan sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus cara lain solusi yang fisibel terhadap empiris tersebut. Kendati dalam akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi menggunakan nilai ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian atas kebijakan itu presisi menggunakan empiris kasus kebijakan yg terdapat dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).

Solichin menjelaskan, bahwa seseorang pakar berdasarkan Afrika, Chief J.O. Udoji (1981) merumuskan secara terang pembuatan kebijakan negara dalam hal ini merupakan formulasi kebijakan sebagai :

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yg menyangkut pengartikulasian serta pendefinisian perkara, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tadi kedalam sistem politik, pengupayaan hadiah hukuman-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, ratifikasi serta pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan pulang) (Dalam Solichin. 2002:17).

Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi serta apa peranannya dalam proses tadi buat sebagian akbar akan tergantung pada struktur politik pengambilan keputusan itu sendiri.

Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan pada formulasi kebijakan publik dimana telah dikenal secara generik sang khalayak kebijakan publik yaitu :
1. Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik
2. Pendekatan Rasionalitas serta Pembuatan Kebijakan publik
3. Pendekatan Pilihan Publik pada Pembuatan Kebijakan Publik
4. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi serta Informasi pada Formulasi Kebijakan Publik
(Fadillah, 2001:50-62).

Oleh sebeb itu pada proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat dari Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses kebijakan publik dalam 18 langkah yang adalah uraian berdasarkan tiga termin besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu : 

A. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):
1. Pemrosesan nilai;
2. Pemrosesan empiris;
3. Pemrosesan masalah;
4. Survei, pemrosesan serta pengembangan sumber daya;
5. Desain, penilaian, serta redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
6. Pengalokasian kasus, nilai, serta asal daya;
7. Penentuan taktik pembuatan kebijakan.

B. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)
1. Sub alokasi asal daya;
2. Penetapan tujuan operasional, menggunakan beberapa prioritas;
3. Penetapan nilai-bilai yg signifikan, dengan beberapa prioritas;
4. Penyiapan cara lain -alternatif kebijakan secara generik;
5. Penyiapan prediksi yg realistis atas banyak sekali alternatif tersebut diatas, berikut laba serta kerugiannya;
6. Membandingkan masing-masing alternatif yg ada itu sekaligus memilih alternatif mana yg terbaik;
7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yg telah dipilih tadi diatas.

C. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)
1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;
2. Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;
3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang sudah dilakukan;
4. Komunikasi serta umpan kembali atas seluruh fase yg telah dilakukan.
(Dalam Fadillah, 2001:75-76)

Analisis kebijakan dilakukan buat membentuk, secara kritis menilai, serta mengkomunikasikan pengetahuan yg relevan menggunakan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap termin tersebut mencerminkan kegiatan yg terus berlangsung yg terjadi sepanjang saat. Setiap termin berhubungan dengan termin yang berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan termin pertama (penyusunan rencana), atau tahap ditengah, dalam lingkaran kegiatan yg tidak linear. Aplikasi mekanisme bisa membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yg secara eksklusif mensugesti perkiraan, keputusan, serta aksi dalam satu tahap yang kemudian secara nir langsung menghipnotis kinerja tahap-termin berikutnya. Aktivitas yg termasuk pada pelaksanaan prosedur analisis kebijakan merupakan sempurna buat termin-termin eksklusif dari proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan pada segi empat (tahap-tahap pembuatan kebijakan) serta lonjong yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan) pada bagan 2.1. Masih ada sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki proses pembuatan kebijakan serta kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).

Tabel Tahap-tahap pada Proses Pembuatan Kebijakan
FASE

KARAKTERISTIK

PENYUSUNAN AGENDA

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada rencana publik. Banyak perkara tidak disentuh sama sekali sementara lainnya ditunda buat saat usang.
FORMULASI KEBIJAKAN

Para pejabat merumuskan cara lain kebijakan buat mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya menciptakan perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.
ADOPSI KEBIJAKAN

Alternatif kebijakan yang diadopsi menggunakan dukungan menurut mayoritas legislatif, konsesnsus diantara direktur forum atau keputusan peradilan.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Kebijakan yang sudah diambil dilaksanakan sang unit-unit administrasi yg memobilisasikan sumber daya finansial serta insan.
PENILAIAN KEBIJAKAN

Unit-unit pemeriksanaan serta akuntansi pada pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, serta peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan serta pencapaian tujuan.
Sumber : William N. Dunn, 2000:24. 

Pengertian Implementasi Kebijakan dan Faktor Keberhasilan serta Kegagalannya pada Implementasi

Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan prosedur klasifikasi keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih berdasarkan itu, dia menyangkut masalah permasalahan, keputusan serta siapa yang memperoleh apa dari kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah apabila dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yg krusial dari holistik proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan nir akan ada keuntungannya bila nir dapat diterapkan sinkron dengan planning. Penerapan adalah suatu proses yg tidak sederhana (Dalam Solichin, 1997:45). Bahkan Udoji berkata dengan tegas bahwa “The execution of policies is a important if not more important than policy-making. Policy will remain dreams or blue prints arsip jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan merupakan sesuatu yang krusial, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa virtual atau rencana bagus yg tersimpan rapih dalam arsip bila nir diimplementasikan). Oleh karenanya implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kompetensi dan berwawasan pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih poly yang terlibat baik energi kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses interaksi antara suatu tujuan serta tindakan yg mampu untuk meraihnya. Penerapan adalah kemampuan untuk menciptakan hubungan-interaksi lebih lanjut pada rangkaian sebab dampak yang menghubungan tindakan dengan tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah perkara yg gampang terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit buat membuat sebuah kebijakan publik yang baik serta adil. Dan lebih sulit lagi buat melaksanakannya pada bantuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yg dianggap klien. Masalah lainnya merupakan kesulitan pada memenuhi tuntutan banyak sekali kelompok yg dapat menyebabkan konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik.

Definisi serta konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi. Menurut Van Meter serta Van Horn yg dikutip sang Fadillah menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan : 

“Pelaksanaan serta pengendalian arah tindakan kebijakan hingga tercapainya output kebijakan”. Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or class) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah holistik tindakan-tindakan yg dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan partikelir yg diarahkan dalam tercapainya tujuan serta target, yang sebagai prioritas pada keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan mencakup seluruh tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan serta impak aktualnya.

Didalam artikel yg membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi pada Tiga Kota, Determinan serta Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa buat mengukur kinerja implementasi kebijakan berdasarkan pendapat Keban yang dikutip berdasarkan pendapat Van Meter dan Van Horn yang menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah menegaskan standar serta sasaran tertentu yang wajib dicapai sang para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan evaluasi atas tingkat ketercapaian standar dan target tersebut”. Lebih sederhana lagi kinerja (performance) merupakan taraf pencapaian output atau the degree of accomplishment. Dalam model Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor yg dapat menaikkan kejelasan antara kebijakan serta kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut merupakan standar serta sasaran kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran kegiatan, ciri organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi serta politik, sumber daya, sikap pelaksana (Dalam Keban, 1994:1).

Pada dasarnya indikator kinerja buat menilai derajat pencapaian baku serta target kebijakan bisa dijelaskan bahwa aktivitas itu melangkah berdasarkan taraf kebijakan yang masih berupa dokumen peraturan menuju penentuan standar khusus dan kongkrit dalam menilai kinerja program. Dengan standar serta sasaran dapat diketahui seberapa besar keberhasilan program yg sudah dicapai.

Ripley serta Franklin pada bukunya yg berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau acara bisa ditujukan dari 3 faktor yaitu :
1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi berdasarkan kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur menurut kelancaran rutinitas dan tiadanya problem.
3. Implementasi yg berhasil mengarah pada kinerja yg memuaskan seluruh pihak terutama gerombolan penerima manfaat yg diperlukan”.
(Ripley serta Franklin, 1986:89)

Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam menilai keberhasilan suatu implementasi kebijakan sebagai akibatnya kurang hilangnya keliru satu faktor mensugesti sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut.

Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa terdapat 3 faktor yg dapat menimbulkan kegagalan pada implementasi kebijakan yaitu:
1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan bisa gagal karena masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menerangkan adanya kekurangan yang menyangkut asal daya pembantu.
2. Informasi. Kekurangan liputan dengan gampang mengakibatkan adanya citra yg kurang sempurna baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya serta output-output dari kebijakan itu.
3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit jika pada pelaksanaanya nir relatif dukungan buat kebijakan tersebut.
(Solichin, 1997:19)

Ketiga faktor yg dapat menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi kebijakan sebelumnya harus telah difikirkan pada merumuskan kebijakan, sebab tidak tertutup kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian akbar terletak dalam awal perumusan kebijakan sang pemerintah sendiri yg nir bisa bekerja maksimal serta bahkan tidak memahami apa yang wajib dilakukan.

Model-model Implementasi Kebijakan
Sekalipun pada khasanah ilmu kebijakan negara atau analisis kebijakan negara sudah poly dikembangkan model-model atau teori yang membahas mengenai implementasi kebijakan tetapi penulis hanya akan mengungkapkan beberapa model implementasi kebijakan yg relatif baru serta banyak mensugesti berbagai pemikiran juga tulisan para pakar.

Pertama, contoh yg dikembangkan sang Brian W. Hogwood serta lewis A. Gunn (1978; 1986). Model ini kerap kali dianggap menjadi “The top down approach”, menurutnya buat mengimplementasikan kebijakan negara secara paripurna maka diharapkan beberapa persyaratan eksklusif, kondisi-kondisi itu merupakan menjadi berikut :
1. Kondisi eksternal yg dihadapi sang Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/hambatan yang serius
2. Untuk pelaksanaan acara tersedia saat dan asal yang cukup memadai
3. Perpaduan asal-asal yg diharapkan sahih-sahih tersedia
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yg andal
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung serta hanya sedikit mata rantai penghubungnya
6. Hubungan saling ketergantungan wajib sedikit
7. Pemahaman yang mendalam serta kesepakatan terhadap tujuan
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan pada urutan yang tepat
9. Komunikasi serta koordinasi yg sempurna
10. Pihak-pihak yg memiliki kewenangan dan kekuasaan bisa menuntut serta mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
(Dalam Solichin, 2002:70-78)

Kedua, contoh yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang diklaim menjadi A model of the policy implementation process (contoh proses implementasi kebijakan) dimana pada teorinya berkecimpung berdasarkan suatu argumen bahwa disparitas-disparitas pada proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yg akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba buat menghubungkan antara isu kebijakan menggunakan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Kedua hali ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak adalah konsep-konsep penting dalam mekanisme-prosedur implementasi. Van Meter serta Van Horn lalu berusaha membuat tipologi kebijakan menjadi berikut :
a. Jumlah masing-masing perubahan yg akan dihasilkan dan,
b. Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yg terlibat pada proses implementasi

Alasan yg dikemukakannya ini adalah bahwa proses implementasi itu akan ditentukan oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, pada artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yg dikehendaki nisbi sedikit, sementara konvensi terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan nisbi tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).

Ketiga, contoh yg dikembangkan sang Daniel Mazmanian serta Paul A. Sbatier yg dianggap A frame work for implementation analisys (kerangka analisis implementation). Kedua pakar ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara merupakan mengidentifikasikan variabel-variabel yg mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada holistik proses implementasi. Variabel-variabel yg dimaksud bisa diklasifikasikan menjadi 3 kategori besar , yaitu :
1. Praktis tidaknya kasus yang akan digarap dikendalikan
2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan buat menstrukturkan secara tepat proses implementasinya; dan
3. Pengaruh eksklusif berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yg termuat dalam keputusan kebijaksanaan tadi.
(Dalam Solichin, 2002:81).

Dari model-contoh yang disajikan tersebut terdapat yang relatif abstrak, serta ada juga yg relatif operasional. Sekalipun demikian peneliti nir bermaksud buat menilai mana yang diantara contoh-model tersebut yang baik atau paling sempurna, karena penggunaan model ini buat keperluan penelitian/analisis sedikit poly akan tergantung dalam kompleksitas perseteruan kebijakan yang dikaji dan tujuan dan analisis itu sendiri. Sebagai pedoman awal barangkali terdapat baiknya diingat bahwa semakin kompleks konflik kebijakan serta semakin mendalam analisis yang dilakukan, semakin diharapkan teori atau contoh yang relatif operasional yg bisa mengungkapkan hubungan kausalitas antar yg sebagai penekanan analisis.

Pengertian Kebijakan Keuangan Negara
untuk memahai makna keuangan negara, pertama-tama perlu diketahui apa arti negara dan keuangan yg diperlukan sang negara pada menjalankan pemerintahan buat mencapai tujuannya. Keberhasilan negar dalam mencapai tujuan tersebut, tergantung pada bagaimana negara itu manghimpuan dana masyarakat, utamanya pajak guna menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini dapat dipahami, karena buat menjalankan roda pemerintahan, negara perlu dukungan dana yang sangat besar yg bersumber berdasarkan pendapatan negara yang potensial. Kebijakan pemerintah sejalan menggunakan perkembangan kebutuhan negara guna mensejahterakan masyarakat masyarakatnya berkembang sebagai lebih luas menjadi kebijakan pada bidang keuangan negara. Hal-hal yang dikelola sang pemerintah disebut sebagai keuangan negara, yg pengertiannya selalu berkembang serta tidak sama, baik berdasarkan tempat negara yg mengelolanya maupun dari pendapat para pakar diantaranya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara merupakan “Semua hak serta kewajiban yang bisa dinilai dengan, dan segala sesuatu baik berupa uang juga berupa barang bisa dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” (Pemerintah RI, 2003:2). Kemudian dari M. Subagio (1988) merupakan :

“Keuangan negara terdiri atas hak serta kewajiban negara yg bisa dievaluasi dengan uang, demikian juga segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang bisa dijadikan milik negara herbi pelaksanaan hak serta kewajiban itu. Hak negara mencakup membentuk uang; hak mendatangkan hasil; hak melakukan pungutan; hak meminjam serta hak memaksa. Kewajiban negara meliputi kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan warga ; serta kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam BPK, 2000:16).

Dari pendapat M. Subagio tadi nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang dan barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pakar lainnya Bambang Kusmanto menyatakan :

“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan pada arti sempit, yakni Government Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) sudah terdapat istilah putusan bulat, hakni mendeskripsikan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari sumber-asal dana (Sources of fund) dan lalu bagaimana dana-dana tersebut dipakai (uses of fund) buat mencapai tujuan (pemerintah) tertentu. Jadi keuangan negara mencerminkan aktivitas-aktivitas pemerintah, sedangkan aktivitas pemerintah itu sendiri berada dalam sektor partikelir (private sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).

Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan sang Bambang Kusmanto, amaka unsur-unsur keuangan negara yg dikemukakan mencakup : kegiatan mencari dana serta kegiatan memakai dana buat mencapai tujuan pemerintah tertentu.

Pengelolaan Keuangan Negara
1. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara 
Sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan presiden menjadi penyelenggara pemerintahan negara tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden mempunyai kekuasaan penyelengaraan pemerintahan negara, mencakup apa yang pada trias politica diklaim kekuasaan eksekutif dan legislatif, menggunakan pengertian bahwa kekuasaan legislatif itu dijalankan oleh presiden menggunakan persetujuan DPR. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintah itu meliputi didalamnya 3 kekuasaan pengelolaan keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi (kekuasaan buat mengambil tindakan atau keputusan yang bisa mengakibatkan kekayaan negara sebagai bertambah atau berkurang) yang dibedakan atas kekuasaan otorisasi generik (berupa peraturan perundang-undangan) dan otorisasi khusus (menetapkan keputusan yg mengikat orang ataupihak eksklusif yg bersifat umum). Kedua kekuasaan ordonansi (kekuasaan untuk menerima, meneliti, mengguji keabsahan serta menertibkan surat perintah menagih atau membayar tagihan yang membebani anggaran penerimaan serta pengeluaran negara sebagai dampak tindakan otorisator). Ketiga kekuasaan kebendaharaan (kekuasaan untuk mendapat, menyimpan atau membayar/mengeluarkan uang atau barang, dan pertanggungjawaban uang atau barang yang berada pada pengelolaannya.

2. Pendelegasian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka efisiensi serta efektifitas peleksanaan kekuasaan pengelolaan kekuangan negara sinkron dengan sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945, presiden mendelegasikan sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan itu kepada aparatur pemerintah di sentra serta daerah, BUMN dan BUMD serta pihak lain yang dari peraturan perundang-undangan.
(BPK, 2000:37-40)

Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Mengingat bahwa kekuasaan pemyelenggaraan pemerintah tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan presiden, maka konsekuensi tanggung jawab penyelenggaraan seluruh keuangan negara berada juga ditangan presiden. Telah diketahui beserta bahwa pada tubuh pemerintah, selain presiden, masih ada jua para menteri, gubernur, bupati serta walikota, serta berbagai pejabat yang mempunyai fungsi serta kedudukan eksklusif pada keterlibatannya mengelola keuangan negara. Masing-masing pejabat tersebut memikul tanggung jawab atas pelaksanaan keuangan negara pada bidang tugasnya. Dalam pengertian pengelolaan keuangan negara terkandung pengertian pertanggungjawaban yang harus dibentuk oleh semua instansi pemerintah maupun pejabat yg melakukan penglolaan keuangan negara yg meliputi pelaksanaan APBN, APBD, pelaksanaan anggaran BUMN, BUMD, dan aplikasi anggaran yayasan yg didirikan oleh pemerintah, BUMN dan BUMD atau badan hukum lain dimana masih ada kepentingan negara atau yg menerima donasi pemerintah. Laporan pertanggungjawaban tadi disampaikan pada pejabat atau instansi yg berwenang sinkron dengan peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban diperlukan buat mengetahui aplikasi program pemerintah, baik program pembangunan maupun aktivitas rutin pelayanan pemerintah, tentang tingkat ketaatannya dalam peraturan perundang-undangan, dan mengetahui tingakat kehematan, efisiensi dan efektifitas berdasarkan program atau pelayanan pemerintah. Bentuk tangung jawab keuangan negara dalam generik berupa laporan keuangan yg tersaji secara berkala. Laporan keuangan ini wajib disajikan secara lengkap sepadan menggunakan luas lingkup keuangan negara yg dilimpahkan sang MPR pada presiden yg mencakup keuangan pemerintah pusat, pemerintah wilayah, BUMN serta BUMD, hakekatnya meliputi semua kekayaan negara. Bentuk tanggung hawab masing-masing bagian keuangan negara pada dasarnya berupa : laporan realisasi aplikasi aturan (kinerja keuangan), laporan mutasi kekayaan berdasarkan output pelaksanaan anggaran, serta laporan perhitungan anggaran secara rinci. (BPK, 2000:43-47)

Kebijakan Pendidikan
Pengertian serta Tujuan Pendidikan
A. Definisi Pendidikan
Bertanya tentang hakikat pendidikan adalah bertanya mengenai apakah pendidikan itu? Walaupun sudah sama-sama mengarah dalam suatu tujuan eksklusif, para pakar masih belum seragam pada mendefinisikan istilah pendidikan. Drikarya (1980) berkata bahwa pendidikan itu adalah memanusiakan insan belia pengangkatan manusia belia ketaraf mendidik atau menjadi pendidik. Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan adalah :
1. Proses seorang membuatkan kemampuan, perilaku, dan tingkah laku lainnya didalam warga tempat mereka hidup.
2. Proses sosial yang terjadi pada orang yg dibutuhkan dalam efek lingkungan yang terpilih serta terkontrol (khususnya yg tiba berdasarkan sekolah), sebagai akibatnya mereka bisa memperoleh perkembangan kemampuan sosial serta kemampuan individu yg optimum.
(Dalam Fattah, 1996:4)

Dengan istilah lain pendidikan dipengaruhi sang lingkungan atas individu buat menghasilkan perubahan-perubahan yg sifatnya permanen (tetap) pada tingkah laku , fikiran, dan sikapnya. Pengertian lain dikemukakan sang Crow and Crow (1980); “Modern educational theory and practice not only are eimed at preparation for future living but also are operative in determining the patern of present, day-bay-day attitude and behavior”. (Pendidikan tidak hanya dicermati menjadi wahana buat persiapan hayati yg akan tiba tetapi, juga buat kehidupan kini yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ketingkat kedewasaannya) (Dalam Fattah, 1996:4-lima). Berdasarkan pengertian tersebut bisa didefinisikan beberapa ciri pendidikan berdasarkan Fattah antara lain :
a. Pendidikan mengandung tujuan yaitu, kemampuan buat berkembang sehingga berguna untuk kepentingan hidup.
b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan bisnis terjadwal pada menentukan isi (materi), strategi, serta teknik penilaiannya yang sinkron.
c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah serta warga (formal serta non formal).
(Fattah, 1996:5)

Apabila dikaitkan dengan eksistensi dan hakekat kehidupan manusia kemanakah pendidikan itu diarahkan? Jawabannya buat pembentukan kepribadian manusia, yaitu pengembangan manusia menjadi mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, serta mahluk beragama (religius). Dengan demikian, maka dalam proses pendidikan pengedepanan faktor manusia yg mana diperlukan memiliki ilmplikasi bagi pengembangan kehidupan rakyat secara sosial, kultural, ekonomi, ideologi dan sebagainya (Fattah, 1996:lima).

Pendidikan dari sumber yang masih ada pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 mengenai Sisdiknas merupakan :

“Usaha sadar dan terpola buat mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif berbagi potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi mulia serta keterampilan yg diharapkan dirinya, warga , bangsa, serta negara” (Sisdiknas, 2003:dua).

Berdasarkan pengertian tadi, pendidikan nasional berfungsi membuatkan kemampuan dan menciptakan watak serta peradaban bangsa yg bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman serta bertaqwa pada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, dan menjadi masyarakat negara yg demokratis serta bertanggungjawab (Sisdiknas. 2003:5).

B. Tujuan Pendidikan
Notoarmodjo menyampaikan, Pendidikan dalam hakikatnya bertujuan buat membarui tingkah laris sasaran pendidikan. Tingkah laku baru (output perubahan) itu dirumuskan pada suatu tujuan pendidikan (educational objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan merupakan suatu pelukisan menurut pengetahuan, sikap, tindakan, penampilan, serta sebagainya yg diharapkan akan memiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Lahirnya tujuan pendidikan ditimbulkan lantaran diperlukannya suatu kurikulum yg efisien serta efektif. Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, agar memudahkan dan mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan perlu dibedakan berdasarkan tingkatan tujuan pendidikan sesuai dengan ruang lingkup proses belajar (Notoatmodjo. 2003:41-42). Tujuan pendidikan tadi menjadi berikut :

1. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan ini adalah strata yg tertinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan masyarakat atau negara mengenai ciri-karakteristik seseorang insan yang didapatkan oleh proses pendidikan atau manusia yg terdidik. Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini menggambarkan asa mengenai ciri insan sebagai warga negara yg wajib didapatkan oleh setiap usaha pendidikan. Hal ini berarti bahwa seriap forum pendidikan wajib mengarahkan tujuannya dalam tujuan pendidikan nasional.

2. Tujuan Institusional
Tiap taraf dan jenis lembaga pendidikan, membuatkan tujuan institusinal. Isi tujuan institusional merupakan tingkah laku yg bagaimanakah yg diperlukan oleh forum pendidikan tersebut. Dengan kata lain lembaga pendidikan itu akan membentuk insan-manusia yg diinginkan menggunakan pengertian bahwa tujuan institusional ini wajib mendukung tujuan pendidikan nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yang baik diharapkan criteria-kriteria yaitu kentara, bisa menggunakan gampang diobservasi, dan realistis.

3. Tujuan Antara (Intermediare Objective)
Tujuan pendidikan ini bersifat mengantari tujuan institusional dan tujuan instruksional. Isinya masih agak luas, akan tetapi telah menunjuk dalam tiap-tiap bidang ilmu pengetahuan. Karena tujuan ini sudah menunjuk pada kurikulum (dalam arti sempit) berdasarkan institusi itu maka dianggap “tujuan kurikulum” tujuan ini sudah merinci tujuan-tujuan tiap-tiap departemen ilmu, maka tak jarang juga diklaim tujuan departemen (departement objective).

4. Tujuan Instruksional
Tujuan instruksional mempunyai fungsi :
a. Membantu para pengajar buat memilih isi/topik pedagogi yang relevan
b. Membantu proses pengintegrasian kurikulum baik secara instruksional juga kurikulum
c. Membantu para guru mengarah pada proses pengajarannya
d. Mengarahkan dan memberi gambaran dalam target mengenai apa yg akan mereka peroleh menurut pendidikan/pelatihan
e. Merupakan indikator buat penilaian proses pendidikan
f. Merupakan pasangan sasaran dan pula para pengajar buat bekerja secara efektif serta efisien
g. Membantu para guru memilih metode pedagogi yg sempurna.
(Notoatmodjo, 2003:41-45)

Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya dibentangkan harapan tentang taraf serta jenis perubahan tingkah laku sasaran pendidikan, diantaranya perubahan pengetahuan, sikap dan kemampuan mereka. Sudah tentu bukan sembarang perubahan tingkah laku , sebagai akibat berdasarkan berlengsungnya proses pendidikan. Demikian jua bukan setiap perubahan tingkah laris dapat digunakan menjadi berukuran berhasilnya proses pendidikan. Itulah sebabnya maka harapan perubahan tingkah laris tadi perlu dirumuskan dahulu pada suatu pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah rumusan dalam tingkah laris serta jenis tingkah laku : yang lazimnya dirumuskan dalam kategori pengetahuan, kecerdasan perilaku, keterampilan yang diperlukan buat dimiliki oleh sasaran pendidikan setelah menuntaskan acara pendidikan (serangkaian proses belajar).

Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan telah dipertegas melalui sosialisasi konsep dasar kebijakan pendidikan yang mencakup latar belakang perlunya kebijakan pendidikan, batasan kebijakan pendidikan, kebijakan pendidikan dan kebijakan negara, sistem politik dan kebijakan pendidikan, tingkat-taraf kebijakan pendidikan, dan studi mengenai kebijakan pendidikan (Imron. 1996:1).

Kebijakan pendidikan (educational policy) adalah penggabungan n menurut kata education dan policy. Kebijakan adalah seperangkat aturannya, sedangkan pendidikan mengambarkan kepada bidangnya. Dengan demikian kebijakan pendidikan nir terlalu tidak sama menggunakan kebijakan pemerintah pada bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) menaruh pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) dalam kitab karya Ali Imron yg berjudul Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, yakni :

“Educational policy judgement, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within instituationalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa evaluasi terhadap faktor-faktor yg bersifat situasional; pertimbangan tersebut dijadikan menjadi dasar buat mengoperasikan pendidikan yg bersifat melembaga; pertimbangan tadi adalah perencanaan generik yang dijadikan menjadi panduan buat mengambil keputusan, supaya tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai)” (Dalam Imron, 1996:18).

Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan menjadi suatu proses, tidak terkecuali waktu melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses dimana pertimbangan-pertimbangan itu mesti diambil pada rangka pelaksanaan pendidikan yg bersifat melembaga.

Dalam melakukan petimbangan, terdapat dua hal yg harus dipertimbangkan, adalah sistem nilai yg berlaku serta faktor-faktor situasionalnya. Dan, pertimbangan yg mempedomani terhadap sistem nilai dan faktor-faktor situasional tadi, khususnya dalam melaksanakan pendidikan, akan bisa mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya. Pertimbangan tersebut waktu dirumuskan bisa berupa perencanaan generik. Dan, perencanaan yang bersifat generik ini dapat dijadikan menjadi panduan dalam pengambilan-pengambilan keputusan pendidikan (Imron, 1996:18).

Terdapat taraf-taraf kebijakan pendidikan yg menandakan pada level kebijakan tersebut dirumuskan serta dilaksanakan, juga menunjuk pada cakupannya, strata aplikasi dan mereka yg terlibat didalamnya. Ada empat tingkat kebijakan, yaitu :
1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)
2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)
3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)
4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)

Sistem Politik yg berlaku dalam suatu negara senantiasa terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan pendidikan. Letak kaitan tersebut dapat dilihat dalam, bagaimana kebijakan tersebut dalam ketika dirumuskan, dilegitimasikan, dikhalayakan, dikomunikasikan, dilaksanakan serta dinilai. Berbedanya perumusan kebijakan dinegara yg satu dangan yg lain bisa disebabkan berbedanya sistem politik yg dianut. Berbedanya pelaksanaan serta evaluasi kebijakan negara, kebijakan pendidikan, antara negara yg satu dangan yang lain bisa disebabkan berbedanya sistem politik yg dianut sang negara-negara tadi (Imron, 1996:20-25).

Perumusan Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan kebijakan pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi serta pengenalan kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan partisipasi warga dalam kebijakan pendidikan serta penilaian kebijakan pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan pendidikan mencakup; lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan pendidikan, masalah dan rencana kebijaksanaan pendidikan, formulasi kebijakan pendidikan serta problema-problemanya (Imron, 1996:31).

Lingkungan serta Aktor Kebijakan Pendidikan
Yang dimaksud menggunakan lingkungan kebijakan pendidikan berdasarkan Anderson adalah “segala hal yg berada diluar kebijakan tetapi memiliki impak terhadap kebijakan pendidikan, efek tersebut sanggup besar , mini , eksklusif, tidak eksklusif, laten, dan kentara” (Imron, 1996:31).

Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan secara berbeda-beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi (1988) menyebut lingkungan kebijakan meliputi; kondisi sumber alam, iklim, topografi, demografi, budaya politik, struktur sosial, dan kondisi ekonomik. Sementara yg dipercaya paling berpengaruh terhadap kebijakan tadi merupakan budaya politik (Dalam Imron, 1996:32).

Orang-orang yg terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan negara disebut sebagai aktor perumusan kebijakan pendidikan. Sebutan lain berdasarkan aktor ini merupakan: partisipan, peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karenanya kebijakan pendidikan mempunyai strata-strata (nasional, umum, khusus serta teknis), maka para aktor perumusan kebijakan disetiap strata-strata tadi tidak sama. Aktor tersebut yakni: Legislatif, Eksekutif, Administrator, Partai politik, Interest Group, Organisasi Massa, Peruruan Tinggi, dan Tokoh Perorangan (Imron, 1996:38-45).

Formulasi Kebijakan Pendidikan
Aktifitas lebih kurang formulasi adalah hubungan peranan antar peserta perumusan kebijakan pendidikan baik formal maupun non formal. Kapan suatu perumusan kebijakan pendidikan dipercaya selesai? Suatu kebijakan dianggap final setelah disahkan oleh peserta perumusan kebijakan formal. Pengesahan tersebut bisa berupa penerbitan keputusan dan dapat berupa ketetapan. Dapat juga berupa undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan pemerintah.

Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik, haruslah memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan pendidikan nir mendiktekan keputusan khusus atau hanya menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan pendidikan bisa digunakan dalam menghadapi perkara atau situasi yg muncul secara berulang. Hal ini berarti, bahwa waktu, biaya serta energi yg sudah banyak dikeluarkan nir sekedar digunakan untuk memecahkan satu perkara atau satu situasi saja (Imron, 1996:49).

Pengertian, Batasan serta Faktor Implementasi Kebijakan Pendidikan
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada khalayak kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini, merupakan aktualisasi kebijakan pendidikan yang sudah disahkan, bergantung kepada bagaimana pelaksanaannya dilapangan. Tolak ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada implementasinya. Sebaik apapun rumusan kebijakan, bila nir diimplementasikan, nir akan dirasakan gunanya. Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, bila sudah diimplementasikan, akan lebih bermanfaat, apapun serta seberapa pun gunanya (Imron, 1996:65).

Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan merupakan pengupayaan agar rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam praktik. Nakamura (1988) menaruh batasan implementasi kebijakan pendidikan menjadi keberhasilan mengevaluasi perkara serta menerjemahkannya kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus (Imron, 1996:65). Jones (1977) lebih banyak mengkritik batasan-batasan implementasi kebijakan. Ia sendiri mendasarkan konsepsi implementasi kebijakan dari aktifitas fungsional. 

“Implementasi kebijakan pendidikan, ia katakan menjadi konsep yang bergerak maju, memerlukan bisnis-usaha yg buat mencari apa yg akan serta dapat dilaksanakan. Implementasi akhirnya dipahami menjadi pengaturan aktifitas yg mengarah pada penempatan program kedalam suatu efek” (Dalam Imron, 1996:65-66).

Tiga aktifitas primer pada implementasi kebijakan pendidikan adalah interpretasi, organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi merupakan aktifitas menerjemahkan makna acara kedalam pengaturan yang bisa diterima serta dijalankan. Organisasi merupakan unit atau wadah yg dipergunakan buat menempatkan program. Sementara aplikasi merupakan konsekuensi yg berupa pemenuhan perlengkapan serta porto yg dibutuhkan (Imron, 1996:65-66).

Supandi (1988) menaruh batasan implementasi kebijakan (implementasi kebijakan pendidikan) menjadi suatu proses menjalankan, menyelenggarakan atau mengupayakan agar altenatif-alternatif yg telah diputuskan didalam praktik. Berarti, rumusan-rumusan kebijakan yg umumnya abstrak tadi, baru nyata dan kongkrit selesainya diimplementasikan secara konkret. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain mengenai implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yg telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan menggunakan sendirinya.

“Meskipun poly jua rumusan-rumusan kebijakan yang implementasinya harus diupayakan; atau nir secara otomatis terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal menggunakan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak secara otomatis terealisasi dengan sendirinya lazim dikenal menggunakan non self-executing” (Dalam Imron, 1996:66).

Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan dari Ali Imron dipengaruhi sang poly faktor. Faktor tersebut merupakan :
1. Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang telah dibentuk. Semakin kompleks suatu kebijakan yang dibentuk, semakin rumit serta sulit buat diimplementasikannya.
2. Bila rumusan perkara kebijakan serta cara lain pemecahan perkara kebijakan yang diajukan dalam rumusan nir jelas.
3. Faktor sumber-asal potensial yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan.
4. Keahlian pelaksana kebijakan.
5. Dukungan berdasarkan khalayak target terhadap kebijakan yg diimplementasikan.
6. Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi.
(Imron, 1996:76-77)

Oleh sebab itu analisis faktor yang dapat menentukan keberhasilan pada implementasi kebijakan pendidikan sangat perlu untuk dijadikan pertimbangan utama sang para penentu dan pelaksana kebijakan dilapangan.

Pengertian Pembangunan
Menurut Arief dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga, mengungkapkan bahwa konsep-konsep pembangunan saat ini telah diperluas yg melibatkan aspek-aspek lingkungan dan keadilan sosial yg dalam dasarnya masih bersifat materialistis. Yang dipersoalkan masih terbatas pada persoalan materi yg mau didapatkan serta yg mau dibagi. Hal ini disebabkan lantaran teori pembangunan masih sangat didominasi sang para pakar ekonomi. Kalau kita renungkan, pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok. Pertama masalah materi yg mau dihasilkan serta dibagi. Kedua kasus insan yang sebagai pengambil inisatif, yg sebagai manusia pembangunan. Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya wajib ditujukan dalam pembangunan insan, manusia yg dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif insan tadi wajib merasa bahagia, merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya insan seperti inilah yg bisa menyelenggarakan pembangunan serta memecahkan perkara yang dijumpainya. Pembangunan dalam akhirnya merupakan perkara yang wajib didekati secara interdisipliner melalui berbagai disiplin ilmu (Arief, 1996:13-15). Menurut Soerjono Soekanto, pembangunan merupakan :

“Suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yg dilakukan secara sengaja dari suatu rencana tertentu. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hayati warga , baik secara spritual maupun secara material, yg mencakup seperangkat hasrat meliputi hal-hal menjadi berikut :
1. Pembangunan harus bersifat rasionalistis, haluan yg diambil wajib didasarkan dalam berita, sehingga nantinya adalah suatu kerangka yg singkron.
2. Adanya rencana pembangunan dan proses pembangunan adalah, adanya impian buat selalu membentuk pada ukuran dan haluan yg terkoordinasi secara rasional dalam satu sistem.
3. Peningkatan produktifitas.
4. Peningkatan baku kehidupan.
5. Kedudukan, peranan, dan kesempatan yg sederajat yang sama dibidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.
6. Pengembangan forum-forum sosial dan sikap-perilaku dalam masyarakat meliputi; efisiensi, kerajinan/ketekunan, keteraturan, ketetapan, kesederhanaan serta kecermatan, ketelitian serta kejujuran, bersifat rasional pada merogoh keputusan, siap menghadapi perubahan, ulet dan memakai kesempatan yang sahih, integritas dan dapat berdiri sendiri, bersikap kooperatif”. 
(Soekanto, 2000:454)

Diatas sudah dijelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai sang pembangunan. Disamping itu juga telah uraikan keinginan yang terkandung pada pembangunan itu. Pembangunan buat mencapai tujuan eksklusif itu, bisa dilakukan melalui cara-cara eksklusif.

Pada dasarnya cara melakukan pembangunan merupakan sebagai berikut :
1 Struktural, meliputi perencanaan, pembentukan dan penilaian terhadap forum-forum sosial, produsernya dan pembangunan secara materil.
2 Spiritual, yg meliputi tabiat dan pendidikan pada penggunaan cara-cara berfikir secara ilmiah.
(Soekanto, 2000:455)

Cara-cara tadi diatas bisa ditempuh, oleh karena secara analitis masyarakat terdiri dari struktur sosial yg meliputi ekonomi, teknologi dan sistem kedudukan serta peranan. Kecuali itu, juga masih ada sistem pemerintahan yang mengatur distribusi kekuasaan serta wewenang, dan adanya kebudayaan yang mencakup sistem nilai.

Konsep pembangunan tersebut merupakan upaya pembangunan berwawasan manusia, dimana berdasarkan The World Commision on Environment and Development (WCED) dimaksudkan menjadi :
1. Koreksi terhadap pembangunan yang berwawasan lebih dalam pertumbuhan ekonomi dan kurang dalam keadilan sosial.
2. Jawaban terhadap kepincangan SDM model negara berkembang dibandingkan dengan model negara maju.
3. Pembangunan yang berorientasi nir hanya dalam kepentingan manusia saja, malainkan pula dalam hubungan dengan lingkungannya.

Comments