MENGELOLA DINAMIKA POLITIK DAN SUMBERDAYA DAERAH

Mengelola Dinamika Politik Dan Sumberdaya Daerah 
Di negara berkembang misalnya Indonesia, buruknya birokrasi permanen menjadi masalah terbesar. Birokrasi selalu dikaitkan menggunakan mekanisme kerja yg berbelit-belit dan lamban. Birokrasi yg memiliki sifat patron-klien yg kental, hierarkhis serta impersonal telah memberikan efek diantaranya mematikan inisiatif rakyat serta kualitas pelayanan rakyat yg nir efisien. Sudah menjadi rahasia generik bahwa pelayanan generik pada instansi pemerintah selama ini lamban, ruwet, nir efisien bahkan menjengkelkan karena poly calo yang berkeliaran. Di samsat, di loket stasiun misalnya, calo yang terdapat nir pernah bisa diberantas, malah dilindungi lantaran mendatangkan fulus. Hal ini memberi kesan bahwa birokrasi kita adalah ibarat 'benang kusut', akibatnya warga enggan berhadapan dengan birokrasi. Inilah sebuah paradoks birokrasi kita yg justru nir mendinamisasi warga . Kekuasaan yg berlimpah baik yang bersifat otoritas formal, keuangan, berita juga skill berakibat posisi birokrasi bertenaga serta memungkinkan birokrasi buat memaksakan kehendaknya tanpa terdapat kemampuan warga menolaknya. Dengan keadaan seperti itu, birokrasi yg semula dicermati menjadi organisasi yang bisa secara efektif dan efisien melayani kebutuhan warga lalu mengalami penurunan agama di mata warga bahkan menumbuhkan resistensi yg tinggi dari rakyat. 

Seiring menggunakan proses reformasi yg terjadi pada negara kita, tuntutan masyarakat terhadap birokrasi jua menguat. Birokrasi dituntut buat sebagai publik servant. Artinya tugas birokrasi merupakan melayani warga , bukan sebaliknya warga yang melayani birokrat. Masyarakat menuntut untuk diterapkannya manajemen yg baik dan transparan. Sebagai konsekuensinya, pemerintah wajib menaikkan kinerja dalam fungsi pelayanan publik agar lebih efektif, efisien dan transparan demi terwujudnya rapikan pemerintahan yang baik (good governance). Strategi yang dilakukan buat mengatasi beberapa persoalan birokrasi tersebut adalah melalui reformasi. Reformasi birokrasi adalah upaya untuk mengatasi aneka macam masalah internal birokrasi seperti tumpang tindih tugas dan kesemrawutan fungsi organisasi pada banyak sekali strata, masalah pandangan hidup serta budaya kerja, belum adanya baku pelayanan publik, penggunaan aturan yg belum berorientasi dalam output dan baku kinerja, monitoring serta penilaian masih sering terjadi. 

Reformasi birokrasi berupaya buat mengurangi kasus tersebut menggunakan perubahan, penyegaran serta pembaharuan guna memenuhi pelayanan publik yang bisa mengimbangi dinamika dan kebutuhan rakyat. Tulisan ini dia akan mencoba mengelaborasi lebih jauh terkait menggunakan reformasi pelayanan publik di daerah dan hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan reformasi tadi. Dalam pelaksanaan reformasi pelayanan publik, tulisan ini mengangkat dua daerah yg sudah melakukan reformai birokrasi yaitu Jawa Timur serta Daerah spesial (DI) Yogyakarta. Jawa Timur adalah daerah yang melakukan inisiasi penerapan ISO 9001:2000 sebagai baku pada anugerah pelayanan publik secara profesional yg umumnya diterapkan sang swasta. Sedangkan DI Yogyakarta adalah daerah yg pertama kali melakukan terobosan manajemen pemerintahan wilayah pada era otonomi melalui kerjasama antar pemerintah daerah dalam bidang pariwisata dan pengelolaan wahana dan prasarana perkotaan. Hal ini menunjukkan adanya perubahan positif menggunakan cara serta strategi tidak selaras dari Jawa Timur serta DI Yogyakarta dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Fenomena ini yang dinamakan menggunakan Sound Governance (Farazmand, Ali, 2004). Kedua provinsi ini menaruh bunyi berbeda dalam melakukan reformasi birokrasi pada daerahanya sinkron dengan kebutuhan mereka sendiri dalam upaya meningkatkan pelayanan publik. 

Birokrasi serta Pelayanan Publik
Birokrasi berasal berdasarkan istilah bureau dari bahasa Perancis yg berarti taplak yg digunakan pada sebuah meja buat melayani orang-orang (Savirani, 2004). Birokrasi merupakan tipe ideal rakyat rasional yang ada pada gagasan Weber. Idealnya, birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi yang memiliki hierarkhi, spesialisasi peranan serta taraf kompetensi tinggi yg ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi kiprah-kiprah birokrasi sehingga sangat efektif serta efisien (Weber pada Sinambela,2006). Pada praktiknya, cara-cara yang dijalankan birokrasi terlalu prosedural, berbelit-belit sebagai akibatnya nir efektif dan efisien pada menyelesaikan suatu pekerjaan (Lauer,2004:460). Dalam hubungannya dengan kekuasaan, birokrasi menjadi instrumen buat mengatur aparatur juga mengatur masyarakatnya. Sebagai suatu sistem, birokrasi adalah suatu tata kerja yang stabil dan tidak bergantung pada kualitas individu-individu yang ada didalamnya karena birokrasi merupakan wujud dari tindakan beserta serta memiliki tujuan pasti yang akan dicapai. 

Di negara sedang berkembang, dimana birokrasi patrimonial terdapat, birokrasi tidak hanya menjadi indera penguasa, namun birokrasi justru sebagai penguasa itu sendiri. Kewenangan birokrasi yg terlalu luas menggunakan struktur birokrasi yang sangat hierarkis mempermudah birokrasi berbuat sekendak hatinya terhadap rakyat. Berbagai alasan dijadikan dalih birokrat buat memperlambat proses pelayanan pada masyarakat jika syarat non formal (uang tips) tidak disertakan. Slogan birokrasi ’kalau bisa usang kenapa harus pada percepat’ sebagai momok sendiri bagi rakyat ketika berhadapan dengan birokrasi 

Sejalan menggunakan demokratisasi dan perkembangan teknologi, maka pelayanan publik dituntut lebih efisien, serba cepat, computerised, transparansi dan komunikatif. Birokrasi terkini mengemban misi fairer, faster, better and cheaper. Oleh karena itu, sistem harus dibenahi, dituntut aparat yg memiliki skill yg memadai, ramah, berpengetahuan luas dan ditunjang indera yang canggih. Untuk itu, David Osborn dan Ted Gaebler pada "Reinventing Government" atau entrepreneural government menyarankan adanya perubahan orientasi pemerintahan, antara lain: Entrepreneural government menjadi manajemen pelayanan publik dengan ciri antara lain (1) mengedepankan kompetisi, (2) bisa memberdayakan masyarakat menggunakan membatasi kiprah birokrasi, berorientasi pada hasil (outcome), (tiga) lebih memakai misi ketimbang anggaran menjadi daya dorongnya, (4) mencoba semaksimal mungkin mencegah (prevent) dilema yang muncul ketimbang memecahkannya, (lima) menggunakan semua potensi yang ada buat mencari uang (earning money) ketimbang membelanjakannya, (6) mengedepankan desentralisasi dan mendorong partisipasi, (7) mengadopsi mekanisme pasar dalam manajemen pelayanan publik, serta (8) mengutamakan peran katalisator ketimbang menjadi pengelola pelayanan publik (Osborne & Gaebler,1997:255-250).

Berkaitan dengan pelayanan publik, berdasarkan Keputusan Menpan Nomor 81/1993, pelayanan publik adalah segala bentuk pelayanan generik yg dilaksanakan oleh instansi pemerintah di sentra, pada wilayah serta pada lingkungan BUMN/D dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan rakyat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Secara umum pelayanan publik dapat dipahami sebagai jenis pelayanan yang disediakan buat rakyat, baik yang dilakukan sang pemerintah juga partikelir. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan pelayanan yang terbaik bagi publik atau masyarakat. Pelayanan yg terbaik merupakan pelayanan yg memenuhi apa yg dijanjikan atau apa yg diinginkan serta dibutuhkan sang masyarakat. Pelayanan terbaik akan membawa implikasi terhadap kepuasaan publik atas pelayanan yg diterima. Secara ideal, pelayanan umum yang dilaksanakan harus sedapat mungkin mendorong kreativitas, prakarsa dan peran dan masyarakat dalam pembangunan. Hubungan aparat menggunakan rakyat yg patront-client harus diubah menjadi interaksi produsen-konsumen atau govenrment-citizen di mana rakyat adalah primary stakeholder.

Pelayanan publik mempunyai ciri-ciri utama diantaranya: (1) pelayanan untuk pure public goods (barang dan jasa utama/murni)misalnya pertahanan-keamanan, proteksi lingkungan hidup. Pelayanan jenis ini diselenggarakan oleh pemerintah dan tidak dapat dialihkan kepada organisasi swasta dengan mekanisme pasar; (dua) penyediaan pelayanan publik buat barang ataupun jasa yang mengandung eksternalitas positif dan menguntungkan rakyat secara holistik dan bukan anggota warga secara individual pula lebih tepat diselenggarakan oleh pemerintah. Misalnya imunisasi anak buat penyakit menular, akan memberi manfaat secara keseluruhan terhadap anak-anak yang lain lantaran penyebaran penyakit tadi dapat dihambat; (tiga) kegiatan pelayanan publik yang bersifat monopoli seperti penyediaan air dan pelayanan infrastruktur lain akan lebih efisien diselenggarakan sang organisasi tunggal (single firm). Oleh karena itu, organisasi swasta acapkali kurang tepat menjadi penyelenggara kegiatan ini.

Selain karakteristik-karakteristik utama pada atas, pelayanan publik pula mempunyai karakteristik-karakteristik menjadi berikut: pertama, di pada aktivitas pelayanan publik oleh organisasi pemerintah nir terdapat interaksi yg seimbang antara biaya (cost) dan penerimaan (revenue). Akibatnya, tak jarang masih ada kesamaan bahwa organisasi pemerintah meningkatkan biaya pelayanan; kedua, ada beberapa cara lain pengelolaan institusional, yakni dengan cara hadiah wewenang penyelenggaraan pelayanan publik kepada pihak swasta. Pemberian kewenangan kepada partikelir ini bisa mengungkapkan kepada kita bahwa baik organisasi pemerintah maupun organisasi partikelir dapat berperan menjadi pembeli maupun penjual/produsen dalam penyelenggaraan pelayanan publik atau berperan menjadi keduanya (Pratikno, dkk, 2004:187-189). 

Pelayanan publik itu sendiri dapat diselenggarakan oleh pemerintah, warga sendiri atau sektor privat (swasta). Pelayanan yg diselenggarakan sang pemerintah diklaim sektor publik. Sedangkan yg diselenggarakan oleh rakyat atau individu dianggap sektor partikelir. Hal yg membedakan antara sektor publik serta sektor partikelir antara lain; (1) sektor publik lebih kompleks dan mengemban tugas-tugas yg lebih mendua (ambigu); (2) sektor publik menghadapi lebih poly persoalan dalam mengimplementasikan keputusan-keputusannya; (tiga) sektor publik lebih poly memperhatikan bisnis mempertahankan peluang serta kapasitas; (4) sektor publik memanfaatkan lebih poly orang yg memiliki motivasi yang sangat majemuk; (lima) sektor publik lebih memperhatikan kompensasi atas kegagalan pasar; (6) sektor publik lebih ketat pada menjaga baku komitmen dalam legalitas; (7) sektor publik memiliki peluang yang lebih besar buat merespon gosip-info keadilan serta kejujuran; (8) sektor harus beroperasi demi kepentingan publik serta (9) sektor publik harus memperhatikan level dukungan publik minimal diatas level yang dibutuhkan dalam industri swasta (Parson, 2005:10).

Ukuran sektor publik menurut Parson lebih banyak berdasarkan pada kriteria kesejahteraan sosial ketimbang kriteria laba finansial, dimana karakteristik-cirinya (1) nir mengejar laba; (dua) cenderung menjadi organisasi pelayanan; (tiga) ada batasan yg lebih akbar dalam tujuan dan taktik yg mereka susun; (4) sektor ini lebih tergantung pada klien buat mendapatkan asal daya finansialnya; (5) sektor ini lebih didominasi oleh kelompok profesional; (6) akuntabilitasnya tidak sama dengan akuntabilitas organisasi privat; (7) manajemen puncak nir memiliki tanggung jawab yang sama atau imbalan financial yg sama; (8) organisasi sektor publik bertanggung jawab pada elektorat serta proses politik serta (9) tradisi kontrol manajemennya kurang.

Rendahnya kualitas pelayanan publik pada Indonesia selama ini menerima sorotan yg sangat tajam aneka macam kalangan. Berdasarkan laporan berdasarkan The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, Indonesia termasuk kategori paling rendah diantara 100 negara paling kompetitif pada global (Dwiyanto, dkk: 2006: 53). Situasi serta syarat birokrasi yg dievaluasi jelek dan korup tadi menyebabkan kemerosotan daya tarik berusaha pada Indonesia. Dalam laporan terbarunya, The World Competitiveness Yearbook, International Institute for Management Development menempatkan daya saing Indonesia pada peringkat ke-59 berdasarkan 60 negara. Survey serupa yang dilakukan Forum Ekonomi Dunia (WEF) menerangkan penyebab kemerosotan daya tarik berusaha yang paling mencolok asal berdasarkan institusi publik, dari urutan ke-68 pada tahun 2004 sebagai urutan ke-89 pada tahun 2005. Masih dari survey WEF, yg paling sebagai kasus pada melakukan bisnis pada Indonesia adalah birokrasi pemerintahan yg tidak efisien. Oleh karenanya, birokrasi yang efektif dan efisien sangat diperlukan pada menaruh pelayanan publik yang berkualitas sebagai akibatnya kebutuhan warga dapat terpenuhi.

Dwiyanto (2006:47-76) mengemukakan empat kriteria yg dapat digunakan buat menilai kinerja birokrasi dalam menaruh pelayanan publik. Pertama, akuntabilitas publik, yaitu dengan melihat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan publik menggunakan nilai-nilai yg ada dalam warga atau yang dimilki oleh stakeholders. Kedua, responsivitas, yaitu menilai kinerja birokrasi dengan melihat kemampuan birokrasi dalam mengenali kebutuhan warga , menyusun rencana berdasarkan prioritas pelayanan dan menyebarkan program-acara sinkron kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Ketiga, orientasi dalam pelayanan, yaitu menggunakan melihat seberapa banyak energi birokrasi dipakai buat memberikan pelayanan kepada publik. Keempat, efisiensi pelayanan, yaitu dengan membandingkan antara input serta output pelayanan. 

Birokrasi cenderung mengutamakan buat mempertahankan kekuasaan daripada kualitas pelayanan pada masyarakat. Oleh karenanya, Osborne dan Gaebler menyarankan agar birokrasi mesti memiliki semangat enterpreuner yg tinggi, yaitu wajib memiliki kemampuan buat mencari cara baru guna memaksimalkan produktivitas dan efektivitas telah saatnya dilakukan mengingat tuntutan publik yang semakin tinggi, kebutuhan pelayanan rakyat yg semakin meningkat serta kesiapan pihak partikelir melakukan pelayanan publik dengan menjanjikan pelayanan yang lebih berkualitas. Tidak mungkin pemerintah berperan sebagai provider jasa yang pasif serta monopolistik sebagaimana yang terjadi dalam masa-masa sebelumnya.

Konsepsi reformasi birokrasi di setiap negara serta lebih sempit lagi dalam level wilayah tentu memiliki konteks tersendiri yang turut berkontribusi dalam reformasi birokrasi. Oleh karenanya, konsep Sound Governance yg diawali berdasarkan gagasan Ali Farazmand (2004).terminologi “Sound” menggantikan “Good” merujuk pada prinsip-prinsip penghormatan serta pengakuan atas adanya fakta keberagaman diantara Negara bahkan pada daerah-daerah pada suatu negara seperti Indonesia. Hal ini berarti bahwa konsepsi Sound Governance menaruh penghormatan serta pengakuan atas bervariasinya konteks suatu tempat yg mempunyai lokalitas dan kearifan lokal yg bhineka termasuk di dalamnya penemuan secara lokal sinkron menggunakan kebudayaan yang terdapat dalam loka tadi. 

Namun, adanya faktor keberagaman dalam melakukan reformasi birokrasi ini nir terlepas berdasarkan prasyarat awal dari Good Governance yg terlibat didalamnya seperti adanya syarat demokrasi, transparansi serta akuntabilitas. Reformasi birokrasi dengan Sound Governance ini terlihat dari 2 wilayah yg diangkat dalam makalah ini yaitu Provinsi Jawa Timur serta Daerah Yogyakarta. Kedua daerah ini menaruh penekanan tertentu pada reformasi birokrasi. Jawa Timur melakukan reformasi birokrasi dengan menerapkan inovasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001-2000 sedangkan Daerah spesial Yogyakarta melakukan reformasi birokrasi dengan kerjasama antar pemerintah wilayah dalam bidang pariwisata dan pengelolaan wahana dan prasarana perkotaan yg lebih jauh akan dibahas dalam sub-bab reformasi pelayanan publik pada daerah. 

Reformasi Pelayanan Publik pada Daerah 
1. Inovasi Pelayanan Publik pada Jawa Timur
Implementasi UU No. 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan wilayah memberikan wewenang yang lebih akbar kepada daerah pada menyelenggarakan pemerintahan pada tingkat lokal. Pemerintah wilayah berfungsi menjadi pelaksanaan demokratisasi pada taraf lokal, efisiensi serta efektivitas pemerintahan terutama dalam hal pelayanan publik supaya lebih dekat pada masyarakat. Umumnya kabupaten/ kota sebagai sibuk buat mempersiapkan diri pada merespon tanggung jawab baru pada memberikan pelayanan kepada masyarakat. Diantaranya bidang pengembangan sumber daya insan, pendapatan, wahana dan prasarana, organisasi serta metode serta aneka macam hal penting lainnya, merupakan informasi-gosip dimana Pemerintah Daerah harus meningkatkan serta memperkuatnya buat lebih mampu dalam menjalankan otoritas serta tanggung jawab yang didesentralisasikan.

Disadari atau nir upaya kompetensi aparatur pada pelayanan melalui bimbingan teknis ini tidak akan tercapai apabila masih poly perseteruan internal organisasi yg menjadi penghambat bagi kinerja pelayanan. Karena itu, banyak sekali dilema tersebut diantisipasi menggunakan pembuatan baku pelayanan dalam tiap-tiap organisasi pelayanan publik misalnya yg dilakukan oleh pemerintah provinsi (Pemprov) Jawa Timur. Penyediaan pelayanan publik melalui pendekatan mutu merupakan galat satu bentuk pendekatan yg dapat membantu penyedia layanan publik buat beroperasi secara lebih sistematis dan transparan, dimana didalamnya selalu terdapat proses pemugaran kinerja disertai respon yg selalu positif terhadap seluruh kebutuhan publik serta pihak yg berkepentingan lainnya (stakeholder) (Hanif & Martanto (eds.), 2005: 114). Manajemen mutu merupakan kegiatan buat mengarahkan dan mengendalikan organisasi dalam hal mutu. Hal ini akan terlaksana apabila sistem yg diterapkan merupakan sistem manajemen mutu terpadu yaitu sistem manajemen yg melibatkan semua karyawan pada suatu organisasi yg membentuk produk barang dan jasa. Tujuan utamanya merupakan mempertinggi mutu, efisiensi dan efektivitas produksi pada pada organisasi dengan harapan bisa menaruh jaminan mutu pada kosumen. Penerapan Sistem Manajemen Mutu Terpadu inilah yang menjadi taktik inovasi Pemerintah provinsi (Pemprov) Jawa Timur dalam pelayanan publik. Standar pelayanan publik yg digunakan merupakan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001-2000 yang sudah diterapkan pada lebih dari 150 negara pada dunia (repository.binus.ac.id/content/D0314/D031417914.ppt, diakses 10 April 2012) menggunakan menerapkan 8 prinsip SMM ISO 9001:2000. Delapan prinsip sistem manajemen mutu tersebut terdiri atas penekanan pelanggan, kepemimpinan, dukungan serta keterlibatan karyawan, pendekatan proses, pendekatan sistem terhadap manajemen, perbaikan berkesinambungan, pendekatan aktual dalam pengambilan keputusan serta hubungan pemasok yg saling menguntungkan.

Prinsip penekanan pelanggan merupakan bentuk komitmen unit pelayanan publik pada Jawa Timur yang senantiasa berusaha tahu kebutuhan dan harapan rakyat baik dalam masa sekarang juga di masa yg akan tiba. Unit pelayanan publik wajib merencanakan dan memenuhi kebutuhan rakyat dan berusaha semaksimal mungkin buat melebihi asa kebutuhan waktu ini serta yang akan tiba. Prinsip kepemimpinan merupakan pencerahan akan besarnya peran pengambil keputusan dalam memutuskan suatu kebijakan dan sasaran mutu buat memberi arah organisasi dan dalam membangun serta memelihara harmoni internal dimana seluruh pegawai bisa berperan secara penuh pada menunjang tujuan organisasi. Hal ini memiliki keterkaitan organik dengan prinsip keterlibatan serta partisipasi aktif seluruh karyawan dalam suatu unit pelayanan sebagai akibatnya mencapai sebuah sinergi pada mencapai tujuan organisasi yakni mewujudkan kepuasan rakyat terhadap penyediaan layanan publik. 

Prinsip pendekatan proses menekankan pada suatu realitas bahwa penyediaan layanan publik melibatkan serangkaian proses yg saling berkaitan sebagai akibatnya kendali terhadap setiap tahapan proses akan membentuk hasil layanan publik yang lebih prima. Terkait menggunakan hal tersebut, prinsip kedekatan sistem dalam manajemen yang terdiri menurut input, proses dan hasil dapat diketahui/ diidentifikasi, dipahami, dikelola secara menyeluruh sebagai satu sistem yang terpadu. Hal ini akan berguna bagi pencapaian efektifitas dan efisiensi unit pelayanan publik pada Jawa Timur pada mencapai tujuannya. Penerapan prinsip peningkatan berkelanjutan memerlukan pendataan dan analisis terhadap layanan yg telah dilakukan. Oleh sebab itu, prinsip pendekatan informasi pada pengambilan keputusan membutuhkan data-data yang benar sebagai akibatnya keputusan yg diambil dan ditetapkan senantiasa didasarkan dalam analisis data dan aneka macam liputan yang ada dan tersedia. Sedangkan prinsip hubungan pemasok yg saling menguntungkan merupakan keliru satu faktor yg memiliki imbas yang signifikan terhadap kualitas layanan yang diberikan. Oleh karena itu hubungan yang serasi antara keduanya wajib dipelihara (Hanif & Martanto (eds.), 2005: 115-116). 

Dari 378 unit pelayanan publik pada Jawa Timur 49 unit telah menerapkan SMM ISO 9001:2000, sebanyak 30 diantaranya telah memperoleh sertifikat ISO 9001:2000 serta 19 lainnya masih dalam proses penilaian sertifikasi. Instansi yang sudah mendapatkan tunjangan profesi ISO 9001:2000 diantaranya Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Bangunan Kota Surabaya, Dinas Perijinan serta Penanaman Modal Sidoarjo, PDAM Kota Madiun, RSUD Dr. Soedono Madiun, RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Dinas Pendapatan Daerah Jatim serta Kantor SAMSAT Sidoarjo, serta Badiklat Jatim. Sementara yang masih pada proses sertifikasi diantaranya, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) dan Sekretariat Daerah.

RSUD Dr. Soedono Madiun, misalnya, telah melakukan reformasi birokrasi buat memberikan pelayanan dalam instalasi rawat jalan dengan sistem pelayanan tanpa loket. Hal ini berarti bahwa ada percepatan durasi saat pelayanan kepada rakyat dari 1.lima - dua jam bisa diturunkan menjadi hanya 10-15 menit saja. Selain itu, dalam instalasi rawat inap, mereka menyediakan pelayanan kelas tiga bagi warga miskin menggunakan fasilitas tempat tidur serta wahana perawatan sesuai kelas 1. Kemudian, Kantor SAMSAT Sidoarjo menciptakan program pelayanan berbasis elektro yaitu e-Samsat (//esamsat.jatimprov.go.id/) serta Drive Thru.

Sementara itu, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) yg melakukan reformasi pelayanan publik melalui pelayanan ijin trayek yang diantaranya adalah, a) Pelayanan Perpanjangan Masa Berlaku Izin Trayek; b) Pelayanan Perpanjangan Masa Berlaku Kartu Pengawasan; c) Pelayanan Perubahan Trayek; d) Pelayanan Uji Tipe; e) Pelayanan Sertifikasi Uji Mutu; f) Pelayanan Pengendalian Muatan Mobil Barang. Pengurusan ijin trayek dan kartu supervisi dilakukan menggunakan akselerasi waktu pelayanan berdasarkan saat 14 hari sebagai hanya 1 hari saja. 

Perubahan pelayanan publik ini perlu dibarengi komitmen menurut para aktor birokrasi pada Jawa Timur serta aneka macam kabupaten dan kota yang terdapat pada Provinsi Jawa Timur. Komitmen ini diwujudkan menggunakan adanya Komisi Pelayanan Publik (KPP). Komisi Pelayanan Publik di Jawa Timur dibentuk menurut perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik pada Jawa Timur. Dengan adanya perda ini terbentuklah institusi independen bernama Komisi Pelayanan Publik (KPP), buat melakukan pengawasan pada penyelenggaraan pelayanan publik pada Jawa Timur.

Keberadaan Komisi Pelayanan Publik pada Jawa Timur ini menghadapi tantangan berdasarkan Komisi A DPRD Jawa Timur yang menganggap fungsi KPP telah tumpang tindih menggunakan komisi ombudsman yang telah mempunyai payung hukum berupa UU 25/2009 tentang peran serta fungsi pelayanan publik (//www.surabayapagi.com/, 4 April 2012, diakses lepas 20 April 2012). Keberadaan KPP buat periode 2012-2016 permanen dipertahankan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur menggunakan argumen bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur masih membutuhkan forum independen misalnya KPP buat mengatasi kasus yg timbul atas pelayanan publik di Jawa Timur. Data tahun 2011 memperlihatkan masih ada sebanyak 4.100 perkara pada pelayanan publik di Jawa Timur yg tidak semua perkara bisa diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai akibatnya eksistensi KPP memang sangat dibutuhkan untuk turut membantu menuntaskan perkara pelayanan publik pada Jawa Timur menggunakan melakukan banyak sekali macam inovasi (//www.surabayapagi.com/, 4 April 2012, diakses tanggal 20 April 2012).

2. Inovasi Pelayanan Publik pada Yogyakarta
Berbeda menggunakan inovasi di Jatim, penemuan pelayanan publik pada Yogyakarta lebih menekankan dalam pentingnya kerjasama antar pemerintah terutama kerjasama pada manajemen prasarana perkotaan dan kerjasama dalam pengembangan kepariwisataan. Menurut Feiock (2004) kerjasama antar daerah adalah persetujuan antar 2 atau lebih pemerintah wilayah dimana persetujuan tersebut bertujuan buat memperoleh laba beserta diantara daerah yang bekerjasama. Selain itu, kerjasama antar daerah ini juga untuk menjaring pihak partikelir baik nasional ataupun internasional buat berinvestasi didaerah-daerah yg bekerjasama tersebut. Lebih jauh, kerjasama antar daerah ini bertujuan buat menaikkan daya kompetitif di tingkat nasional dan internasional. Tentu saja, tingkat kompetitif ini hanya akan berhasil jika didukung oleh adanya institusi serta governance yang bisa mewujudkan potensi yang dimilikinya buat pembangunan di daerah pemerintah daerah yang saling berafiliasi secara berkelanjutan (Friedmann, 1999; Bird dan Slack, 2007; Freire, 2007). 

Berkaitan menggunakan kerjasama antar daerah ini, Luo dan Shen (2009) pada Tommy Firman, dalam orasi ilmiah pada acara dies ITB ke-52 tahun 2011 (//www.pl.itb.ac.id/?P=328, diakses lepas 20 April 2012) ada 3 jenis kerjasama antar daerah, yaitu: (1) Hierarchical partnership, kerjasama ini ditandai sang adanya inisiatif menurut pemerintah lebih atas (pusat, provinsi) dalam memobilisasi pemerintah daerah buat berhubungan; (2) Spontaneous partnership, kerjasama ini ditandai adanya inisiatif pemerintah lokal untuk berhubungan satu sama lain; (3) Hybrid, yg merupakan kombinasi antara keduanya. 

Sistem kerja berdasarkan kerjasama tipe hierarkis adalah memakai undang-undang dan banyak sekali peraturan pemerintah. Untuk tipe kerjasama spontaneous, pada prinsipnya memakai persetujuan dan kesepakatan bersama diantara wilayah yang mempunyai kepentingan yang sama baik yang bersifat politis ataupun non politis. Sedangkan tipe kerjasama Hybrid merupakan menggunakan menggabungkan antara peraturan pemerintah diatasnya dengan kesepakatan antar wilayah untuk kepentingan bersama //www.pl.itb.ac.id/?P=328, diakses tanggal 20 April 2012). 

Perkembangan desentralisasi yang cenderung berorientasi pada wilayah sendiri daripada orientasi ke wilayah yang lebih luas antara lain sebagai alasan bertenaga pembentukan Sekretariat Bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman dan Bantul). Pembentukan Sekretariat Bersama Kartamantul merupakan inisiatif bersama antar pemerintah wilayah atau bertipe Spontaneous partnership. Sekretariat Bersama ini adalah metode buat mengoptimalkan keterpaduan pengelolaan prasarana perkotaan wilayah perbatasan. Adanya perhatian serta minat yang sama adalah pertimbangan lain menurut pembentukan Sekretariat Bersama ini. Salah satu gosip krusial dalam manajemen prasarana perkotaan di Yogyakarta adalah infrastruktur seperti jalan serta transportasi, penyediaan air higienis, limbah serta sampah. Oleh karenanya, pengelolaan prasarana perkotaan perlu dilakukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan terhadap prasarana perkotaan menggunakan cara yang adil, kompetitif, tepat buat membantu warga kota pada menuntaskan perkara mereka. Pada prinsipnya, pengelolaan prasarana serta sarana perkotaan yg seringkali melintasi batas administratif wilayah yg berdekatan perlu menekankan suatu pendekatan sistem sebagai suatu metode buat memastikan bahwa setiap faktor telah diperhitungkan. Disisi lain, pemerintah wilayah memiliki kepentingan buat memprioritaskan wilayah mereka di dalam yurisdiksi administratif yg mereka miliki. 

Dengan keberhasilan Sekretariat Bersama Kartamantul ini pada kerjasama pembangunan infrastruktur, akhirnya Sekretariat Bersama Kartamantul ini diperluas pada pengemabangan kepariwisataan. Berkaitan menggunakan pengembangan kepariwisataan, kerjasama antar wilayah tersebut dikukuhkan menggunakan terbentuknya Sekretariat Bersama Java Promo yang sudah disahkan keberadaannya oleh Menteri Budaya serta Pariwisata, I Gede Ardika, pada lepas 21 Mei 2003 di Wonosobo. Sekber ini adalah wadah kerjasama dalam mengupayakan peningkatan kualitas kebijakan bidang pariwisata dari Kabupaten/ kota anggota (13 anggota) diantaranya Sleman, Kota Yogya, Magelang, Purworejo, Wonosobo, dll. Peningkatan kualitas meliputi:
  1. peningkatan keragaman industri pariwisata pada daerah kerjasama lewat aneka usaha-bisnis bersama dalam bidang pariwisata.
  2. peningkatan kualitas SDM bidang pariwisata pada daerah kerjasama.
  3. peningkatan jumlah kunjungan wisata ke wilayah kerjasama ini.
  4. peningkatan lama tinggal (length of stay) wisatawan di wilayah kerjasama ini.
  5. peningkatan taraf hidup rakyat pada daerah kerjasama dengan tersedianya tersedianya lapangan kerja yang lebih banyak di bidang pariwisata.
  6. peningkatan kontribusi PAD berdasarkan sektor pariwisata.
Enam point khusus kerjasama ini juga mengikuti contoh kerjasama Spontaneous yg menggunakan menjalankan prinsip pengambilan keputusan secara kolektif, transparansi dalam bernegosiasi antar daerah yang bekerjasama, kepemimpinan, visi dan komitmen bersama menurut tiap ketua pemerintah daerah yang bekerjasama untuk melakukan pengembangan kepariwisataan bersama, dukungan berdasarkan pemerintah propinsi DIY dan Jawa Tengah. Tentu, prinsip-prinsip kerjasama ini tidaklah gampang buat dilakukan, tetapi, melihat keberhasilan Sekretariat Bersama Kartamantul setidaknya akan memberikan impak positif bagi para ketua wilayah beserta birokrasinya untuk mereformasi dirinya supaya menerima keuntungan dalam peningkatan kesejahteraan warga pada daerahnya masing-masing. 

Kendala pada Melakukan Reformasi Pelayanan Publik
Reformasi pelayanan publik merupakan upaya buat memperbaiki buruknya paras pelayanan publik yang menggunakan pendekatan pelayanan struktural bukan fungsional. Berbagai duduk perkara pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah selama ini masih menyebabkan duduk perkara. Beberapa kelemahan fundamental yg dihadapi antara lain; pertama; kelemahan yg asal dari sulitnya menentukan atau mengukur output juga kualitas menurut pelayanan yg diberikan sang pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah nir mengenal ’bottom line’ merupakan seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal kata bangkrut. Ketiga, tidak sama dengan mekanisme pasar yg memiliki kelemahan dalam memecahkan eksternalitas, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi perkara berupa internalitas. Artinya organisasi pemerintah sangat sulit mencegah imbas nilai-nilai dan kepentingan para birokrat menurut kepentingan umum masyarakat yg seharusnya dilayani (Hanif & Martanto (eds.), 2005:109). Keempat, rendahnya SDM dan kelima, minimnya sarana dan prasarana yg dimiliki oleh Pemerintah Daerah.

Karakteristik pelayanan pemerintah sebagian besar bersifat monopoli sehingga tidak menghadapi permasalahan persaingan pasar menjadikan lemahnya perhatian pengelola pelayaan publik akan penyediaan pelayanan yang berkualitas. Tak jarang kondisi tadi membuahkan sebagian pengelola pelayanan memanfaatkan buat mengambil laba langsung dan cenderung mempersulit prosedur pelayanan. Kendala yang tak kalah penting merupakan kompetensi asal daya insan yg terdapat. Upaya penyediaan pelayanan yg profesional nir akan terwujud jika nir didukung sang pegawai yang mempunyai kemampuan yg handal. Yang perlu diperhatikan disini, melaksanakan pelayanan pada pelanggan bukan merupakan kemampuan yg standar buat setiap syarat. Karenanya setiap pelaku/ aparat atau staf dituntut kreativitasnya berdasarkan saat ke ketika. 

Dalam kaitannya menggunakan penemuan serta terobosan pemerintah daerah pada peningkatan pelayanan publik, terdapat dua hal krusial yang perlu diperhatikan. Pertama, merupakan kepemimpinan menurut ketua daerah serta kedua adalah bagaimana membentuk perangkat wilayah menjadi organisasi pembelajaran. Kepemimpinan diarahkan pada sosok yang merupakan motor pembaharuan pada penyelenggaraan pemerintahan. Pemimpin yg diperlukan adalah pertama, orang yang futuristik pada arti beliau wajib mempunyai pemikiran yang menjangkau ke depan, sebagai akibatnya arah orientasi serta kebijakan yg ditetapkan sang yang bersangkutan merupakan bagian berdasarkan tahapan masa depan. Kedua, orang yg dapat mengatasi kondisi yg seringkali berubah dalam arti bisa mengatasi perubahan yg berkembang cepat. Ketiga, orang yang bisa melakukan asumsi dari keadaan yang nir mampu diprediksikan. Keempat, seorang pemimpin yang situasional. Kelima, orang yang mempunyai wawasan nusantara. Organisasi perangkat wilayah hendaknya sebagai sentra pembelajaran. Interaksi para pegawai pada organisasi yag dimulai dalam unit skala mini menjadi ajang memunculkan gagasan/ ilham perbaikan cara kerja dan bahkan perbaikan syarat kerja dalam skala yg lebih luas. Kecenderungan yang terdapat kini merupakan menciptakan pekerjaan yang akbar ad interim perubahan pada hal yg sifatnya kecil selalu diabaikan.

Comments