MENCERMATI DINAMIKA KONSEP KEPEMIMPINAN
Mencermati Dinamika Konsep Kepemimpinan
Kepemimpinan diartikan sebagai proses menghipnotis dan mengarahkan aneka macam tugas yg herbi aktivitas anggota kelompok. Kepemimpinan jua diartikan menjadi kemampuan menghipnotis aneka macam strategi serta tujuan, kemampuan mensugesti komitmen dan ketaatan terhadap tugas buat mencapai tujuan beserta; serta kemampuan mensugesti grup supaya mengidentifikasi, memelihara dan menyebarkan budaya organisasi (Shegdill dalam Stoner serta Freeman 1989: 459-460). Unsur-unsur kepemimpinan berdasarkan Shegdill adalah: (1) adanya keterlibatan anggota organisasi sebagai pengikut; (2) distribusi kekuasaan pada antara pemimpin dengan anggota organisasi; (3) legitimasi diberikan pada pengikut, dan (4) pemimpin mempengaruhi pengikut melalui aneka macam cara.
Beberapa pendapat pakar tentang kepemimpinan juga disajikan sang Philip (2003: lima-6) menjadi berikut. Menurut Burns bahwa kepemimpinan merupakan proses interaksi timbal pulang pemimpin serta pengikut pada memobilisasi aneka macam sumber daya ekonomi, politik dan sumber daya lainnya buat mencapai tujuan yg ditetapkan. Selanjutnya, Gardner beropini bahwa kepemimpinan merupakan suatu atau sekumpulan aktivitas yg teramati sang pihak lain, berlangsung pada kelompok, organisasi atau forum, dan melibatkan pemimpin dan pengikut yang berafiliasi untuk mewujudkan tujuan generik yg direncanakan. Sedangkan Hary S. Truman mengartikan kepemimpinan menjadi kemampuan buat memperoleh orang-orang agar mengabaikan apa yg nir disukai serta melaksanakan apa yg disukai.
Sesuai definisi kepeminpinan ahli pada atas dapat dipahami bahwa kepemimpinan mempunyai berbagai makna, tergantung dalam sudut pandang pakar, serta tergantung pula dalam konteksnya. Kepemimpinan merupakan suatu proses menggerakan aneka macam sumber daya serta menghipnotis orang lain agar bekerjasama buat pencapaian tujuan. Kapabilitas, pengaruh, proses, pemimpin, pengikut, penggerakan, kerjasama dan tujuan adalah unsur-unsur krusial kepemimpinan. Sebagai proses, kepemimpinan dapat dikategorikan ke dalam beberapa bagian yaitu: (1) melibatkan dampak pemberian contoh dan persuasi, (2) interaksi di antara banyak sekali aktor baik menjadi pemimpin maupun menjadi pengikut, (3) interaksi ditentukan situasi dimana hubungan itu berlangsung. (4) proses meraih berbagai luaran seperti pencapaian tujuan, kohesi gerombolan , dorongan atau perubahan budaya organisasi (Philip, 2003: 6).
Konsep kepemimpinan kontemporer menganggap bahwa kepemimpinan merupakan proses saling menghipnotis antara pemimpin serta pengikut buat mencapai tujuan beserta (Lussier dan Achua, 2001: 6). Elemen kunci kepemimpinan mencakup: pemimpin-pengikut, pengaruh, orang, perubahan dan tujuan yg akan dicapai. Pengikut artinya orang lain yang dipengaruhi sang pemimpin. Pengaruh adalah upaya pemimpin mensugesti orang lain menggunakan cara mengkomunikasikan gagasan, memperoleh tanggapan atas gagasan yg dikemukakan dan memotivasi pengikut agar mendukung serta mengimplementasikan gagasannya dengan melakukan perubahan. Pengaruh adalah esensi kepemimpinan. Pemimpin yang efektif menghipnotis pengikutnya pada berpikir bukan hanya buat kepentingannya sendiri, melainkan juga untuk kepentingan beserta. Selanjutnya, meskipun istilah orang nir dikemukakan secara spesifik pada definisi kepemimpinan ini, tetapi sehabis membaca elemen definisi kepemimpinan yang lain, maka dapat dipahami bahwa kepemimpinan adalah mengarahkan orang (lain). Definisi kepemimpinan ini mengandung makna bahwa pengikut yang baik jua menampakan peran kepemimpinan apabila diharapkan, artinya pengikut mampu saja mensugesti pemimpinnya. Lantaran itu, definisi kepemimpinan kontemporer ini memperlihatkan bahwa proses mempengaruhi terjadi antara pemimpin dan pengikut secara timbal balik serta dua arah.
Perkembangan Gaya Kepemimpinan
Langkah yg perlu ditempuh dalam mengklasifikasikan gaya kepemimpinan merupakan tahu pengertian gaya kepemimpinan serta menentukan tipologi kepemimpinan yang bisa dijadikan sebagai acuan yg dapat mencirikan sekaligus membedakan setiap gaya kepemimpinan. Istilah gaya sama dengan cara, teknik atau metode yang dipakai sang pemimpin buat mempengaruhi pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan norma konduite yang dipakai sang seorang dalam waktu mencoba menghipnotis perilaku orang lain (Thoha, 2001: 49). Menurut Kaplan serta Norton (2001: 350) bahwa, gaya kepemimpinan adalah ramuan yang paling kritis bagi keberhasilan pengukuran kinerja organisasi secara komprehensif. Gaya kepemimpinan yg dimaksud merupakan gaya kepemimpinan eksekutif senior yg berpengaruh terhadap semua anggota organisasi.
Gaya kepemimpinan bisa dicirikan dan dibedakan menggunakan fungsi kepemimpinan seperti uraian berikut. Gaya kepemimpinan dalam dasarnya mengandung arti berupa cara pemimpin herbi pengikut atau bawahannya. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan mempunyai dua sifat, yakni berorentasi pada tugas dan berorentasi dalam bawahan (Robbins, et.al., 1994: 473). Fungsi kepemimpinan dalam dasarnya menyangkut 2 hal utama, yakni: (1) fungsi yang berkaitan dengan tugas yang dianggap fungsi pemecahan perkara, dan (dua) fungsi pemeliharaan gerombolan yg disebut fungsi sosial.
Menurut Robbins, et.al. (1994: 477) bahwa ada dua gaya kepemimpinan yg ekstrim yakni gaya kepemimpinan otokratis serta gaya kepemimpinan demokratis. Gaya otokratis dipahami menjadi gaya kepemimpinan yang berdasar dalam kekuatan posisi dan penggunaan otoritas pemimpin. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan pengikut dalam proses pemecahan perkara dan pengambilan keputusan. Dua kutub pemikiran mengenai gaya kepemimpinan ini sejalan menggunakan pendapat Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt (1958) dalam Robbins, et.al. (1994: 4780 serta Gibson (1997: 14) bahwa gaya kepemimpinan otokratis serta demokratis adalah gaya kepemimpinan yg dapat ditempatkan pada suatu kontinuum dari konduite pemimpin yang sangat otokratis pada satu ujung serta konduite pemimpin yang sangat demokratis dalam ujung yang lain. Apalagi karena memakai kata kunci yg sama yakni “kontinuum”, menggunakan merinci tujuh contoh keputusan pemimpin. Lantaran itu, gaya kepemimpinan yg lainnya dapat diposisikan pada kontinuum pada antara kedua gaya kepemimpinan tadi.
Beberapa gaya kepemimpinan yang terkenal pada masa kemudian dapat mengkategorikan ke pada kontinuum penjabaran gaya kepemimpinan ini. Misalnya, model Manajerial Grid menurut Robert R. Blake dan Jane S. Mouton pada Robbins, et.al. (1994: 474) yg merinci gaya kepemimpinan ke dalam empat gaya ekstrim, ditambah satu gaya yg berada di tengah-tengah buat menyeimbangkan keempat gaya yg berada dalam empat sisi yg tidak selaras, merupakan salah satu contoh yang tepat. Begitu pula gaya 3 dimensi dari William J. Reddin yg dalam dasarnya hanya adalah pengembangan gaya kepemimpinan yang diintrodusir berdasarkan hasil penelitian Universitas Ohio serta gaya yang dikembangkan oleh Blake serta Mouton. Gaya kepemimpinan yang juga penting menjadi bagian dari teori perilaku merupakan sistem manajemen dari Rensist Likert (Robbins, et.al., 1994: 309) berupa desain empat sistem kepemimpinan.
Hal krusial yang dapat dipahami berdasarkan pelukisan posisi gaya kepemimpinan di atas ialah pemetaan gaya kepemimpinan dalam aneka macam model – kontinuum, grid, 3 dimensi serta sistem manajemen – serta gambaran tentang konsep kepemimpinan terdahulu yg tidak mempermasalahkan perbedaan ciri setiap gaya kepemimpinan, padahal cirinya cenderung tidak sinkron dilihat menurut peta teori yg dibentuk. Dengan demikian, contoh kepemimpinan yang dibentuk ini adalah wadah buat memetakan gaya kepemimpinan yang terdapat serta akan terdapat.
Level Analisis Teori Kepemimpinan
Untuk mengklasifikasi teori dan penelitian kepemimpinan bisa dilakukan dengan cara tahu level analisisnya (Lussier serta Achua, 2001: 14). Level analisis teori kepemimpinan minimal terdiri menurut empat, yakni individu, kelompok, organisasi serta masyarakat. Karena itu, sebagian besar kajian kepemimpinan diformulasikan pada konsep proses pada keliru satu menurut empat level tadi.
Pertama, level individu. Level analisis ini terfokus pada individu pemimpin serta hubungannya menggunakan individu lain (pengikutnya). Asumsi yg dianut artinya efektivitas kepemimpinan tidak bisa dipahami lebih jauh tanpa menjelaskan bagaimana pemimpin serta pengikutnya saling mempengaruhi satu sama lain sepanjang ketika.
Kedua, level grup. Level analisis ini terfokus pada interaksi antara pemimpin menggunakan grup pengikut kolektif yg diklaim proses kelompok. Teori proses kelompok memfokuskan pada donasi seorang pemimpin terhadap efektivitas kelompok. Penelitian mendalam tentang beberapa gerombolan kecil telah mengidentifikasi faktor determinan krusial bagi efektivitas grup.
Ketiga, level organisasi. Level analisis ini terfokus dalam organisasi sehingga lazim disebut proses organisasi. Kinerja organisasi dalam jangka panjang tergantung dalam penyesuaian secara efektif terhadap lingkungan dan perolehan asal daya yang diperlukan buat tetap hidup, dan dalam proses transformasi efektif yang dipakai oleh organisasi buat membuat produk serta jasa. Sebagian hasil penelitian terakhir pada level organisasi memberitahuakn adanya imbas signifikan berdasarkan manajer level zenit terhadap kinerja organisasi (Lussier dan Achua, 2001: 14; Manz serta Sims, 2001: 2; Overton, 2002).
Keempat, level warga . Level analisis ini poly terfokus pada konduite pemimpin informal pada masyarakat dalam umumnya. Corak kepemimpinan pada warga sangat dipengaruhi oleh tatanan nilai dan keyakinan dan norma-norma (norma, kesusilaan, aturan, kepercayaan ) yg berkembang pada masyarakat.
Paradigma Teori Kepemimpinan
Teori kepemimpinan adalah penjelasan tentang beberapa aspek kepemimpinan dan teori yang memiliki nilai simpel karena dipakai buat memahami, memprediksi dan mengendalikan sukses kepemimpinan secara lebih baik. Minimal ada empat pembagian terstruktur mengenai teori kepemimpinan atau pendekatan penelitian buat menyebutkan kepemimpinan. Klasifikasi teori kepemimpinan – yang pada goresan pena ini dianggap gaya kepemimpinan mencakup pembawaan, keperilakuan, kontingensi dan integratif.
Berdasarkan uraian pada atas nampak bahwa kerangka berpikir kepemimpinan merupakan bagian berdasarkan pola pikir yang mewakili cara berpikir, mempersepsikan, menilik, meneliti serta memahami kepemimpinan secara mendasar. Keempat pembagian terstruktur mengenai teori kepemimpinan primer tadi jua mewakili perubahan kerangka berpikir kepemimpinan (Lussier dan Achua, 2001: 14-19).
Paradigma Teori Pembawaan (Sifat)
Kajian kepemimpinan pada mulanya didasarkan pada perkiraan bahwa pemimpin dilahirkan, nir dibuat. Peneliti lalu mengidentifikasi serangkaian pembawaan pemimpin yang membedakan menggunakan pengikutnya, serta pemimpin efektif dengan pemimpin tidak efektif. Teori pembawaan kepemimpinan mencoba mengungkapkan karakteristik spesifik kepemimpinan yang efektif. Peneliti menganalisis pembawaan fisik serta psikologis dan kualitas, misalnya level kemampuan yg tinggi, keagresifan, kepercayaan dalam diri sendiri, daya persuasif yg dimiliki dan kekuasaannya pada mengidentifikasi serangkaian pembawaan yang dimiliki oleh pemimpin yg sukses. Dalam banyak sekali sumber dinyatakan bahwa, keberhasilan seseorang pemimpin dipengaruhi sang sifat dan perangai pemimpin tadi. Sifat-sifat tersebut bisa berupa sifat fisik, sosial dan psikologis (Introducing Leadership Studies, 2001: 18; Leadership, 2001: 1; Sadler, 2001: 11).
Atas dasar pemikiran pada atas ada anggapan bahwa buat sebagai seseorang pemimpin yang berhasil sangat ditentukan kemampuan langsung pemimpin. Lantaran itu, timbul bisnis berdasarkan para ahli buat meneliti serta merinci kualitas seseorang pemimpin yg berhasil melaksanakan tugas kepemimpinannya, lalu hasilnya diformulasikan ke pada sifat-sifat umum seseorang pemimpin. Usaha tersebut berkembang sebagai teori kepemimpinan yg disebut “teori sifat kepemimpinan” (Robbins, at.al., 1994: 469).
Teori Sifat atau Pembawaan
(Sumber: Diadaptasi berdasarkan Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Bakat-talenta kepemimpinan: merepresentasikan karakteristik personal yang membedakan para pemimpin menurut bawahannya.
·Temuan historis menunjukkan bahwa pemimpin dan bawahan dibedakan berdasarkan:
-intelijensi,
-dominasi
-kepercayaan diri
-taraf energi dan aktivitas
-pengetahuan yang relevan dengan tugas
·Temuan pada masa ini memberitahuakn bahwa:
-orang cenderung mempersepsikan seorang selaku pemimpin saat menunjukkan bakat yang berhubungan dengan intelijensi, maskulinitas serta dominasi
-orang mengharapkan pemimpin tadi menjadi kredibel
-pemimpin yang kredibel merupakan pemimpin yang amanah, berpandangan jauh ke depan serta cakap.
Daftar pembawaan dipakai menjadi prasyarat buat mengusulkan calon untuk menduduki posisi kepemimpinan. Calon yang bisa diberi kesempatan menduduki posisi kepemimpinan merupakan yang mempunyai semua pembawaan yg diidentifikasi. Tetapi, nir satu pun yang sebagai daftar pembawaan universal yg dimiliki oleh pemimpin sukses atau pembawaan yg mengklaim keberhasilan kepemimpinan. Pertanyaannya, perangai bagaimana yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin. Ternyata hasil usaha yg dilakukan sang para ahli sangat heterogen sehingga muncul keraguan terhadap hasil tadi. Sisi positifnya artinya meskipun tidak terdapat daftar yang menjamin keberhasilan kepemimpinan, tetapi pembawaan yg terkait menggunakan keberhasilan kepemimpinan bisa teridentifikasi.
Paradigma Teori Kepemimpinan Perilaku
Setelah dalam athun baru 5 puluhan diketahui bahwa penyelidikan mengenai karakteristik-ciri kepemimpinan tidak berhasil, para ahli serta peneliti kepemimpinan memulai menilik tingkah laris pemimpin. Tingkah laris pemimpin lebih terkait dengan proses kepemimpinan. Karena itu, ada 2 dimensi primer kepemimpinan yang dikenal menggunakan nama konsiderasi serta struktur inisiasi. Dua macam kesamaan perilaku kepemimpinan tersebut dalam hakekatnya tidak bisa dilepaskan berdasarkan masalah fungsi dan gaya kepemimpinan.
Teori Gaya Keperilakuan
(Sumber: Diadaptasi berdasarkan Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
·Studi Ohio State University mengidentifikasi 2 dimensi penting konduite pemimpin
(1)Konsiderasi: menciptakan respek dan kepercayaan timbal-pulang dengan bawahan
(dua)Inisiasi struktur: mengorganisir dan meredefinisi apa-apa yg akan dikerjakan oleh anggota kelompok
·Studi Michigan University mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yg sama menggunakan studi yang dilakukan sang Ohio State University.
= galat satu gaya terfokus pada pekerja serta gaya yang satunya terfokus dalam pekerjaan
·Hasil penelitian memberitahuakn bahwa nir ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik. Efektivitas gaya kepemimpinan eksklusif tergantung dalam situasi pada mana gaya tadi diterapkan.
Berdasarkan tabel pada atas bisa dipahami bahwa konduite pemimpin yg efektif melakukan konsiderasi tergantung pada aspek berikut:
- Kepuasan pengikut terhadap pemimpin tergantung dalam derajat konsiderasi yg ditunjukkan sang pemimpin.
- Konsiderasi pemimpin lebih berpengaruh terhadap pengikut saat pekerjaan nir menyenangkan serta mendesak, dari dalam saat pekerjaan menyenangkan serta tidak mendesak.
- Pemimpin yang menerangkan konsiderasi bisa melakukan inisiasi struktur yang lebih banyak tanpa mengurangi kepuasan pengikutnya.
- Konsiderasi yg diberikan menjadi respons terhadap kinerja yg baik akan mempertinggi kemungkinan kinerja yg baik pada masa depan.
Sedangkan perilaku pemimpin yg efektif melakukan inisiasi struktur adalah:
- Inisiasi struktur yg memperjelas kiprah tambahan akan mempertinggi kepuasan.
- Inisiasi struktur akan menyurutkan kepuasan pengikut ketika struktur tersebut telah tersedia.
- Inisiasi struktur akan meningkatkan kinerja ketika tugas nir jelas.
- Inisiasi struktur tidak akan mempengaruhi kinerja saat tugas jelas (Leadership, 2001: dua).
Uraian di atas memperjelas bahwa teori kepemimpinan konduite mencoba menjelaskan keunikan gaya yang dipakai sang pemimpin yg efektif, atau tahu sifat-sifat pekerjaan pemimpin. Sepuluh kiprah manajerial dari Henry Minzberg adalah galat satu contoh teori kepemimpinan konduite. Peneliti konduite menekankan dalam penemuan cara mengklasifikasikan konduite yang bisa memberikan pemahanan mengenai kepemimpinan.
Paradigma Teori Kepemimpinan Kontigensi
Pada mulanya, teori kepemimpinan yg dibangun oleh Fiedler ini menekankan dalam 2 target, yakni melakukan idenfikasi faktor-faktor penting pada situasi tertentu serta memperkirakan gaya atau konduite kepemimpinan yang paling efektif dalam situasi eksklusif. Hasil penelitian Fiedler menerangkan bahwa, pada situasi kerja selalu ada tiga elemen yang menentukan gaya kepemimpinan yang efektif, yakni: hubungan pemimpin menggunakan bawahan, struktur tugas dan ketangguhan posisi pemimpin.
Teori kepemimpinan kontingensi menyebutkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan pemimpin, pengikut serta situasinya. Paradigma teori ini menekankan pentingnya faktor situasional, termasuk sifat pekerjaan yang dilakukan, lingkungan eksternal dan karakteristik pengikut. Selain itu, dikenal pula teori kepemimpinan situasional (Robbins, at.al., 1994: 483) yang dikembangkan dari teori kepemimpinan model kontingensi Fiedler ini. Berdasarkan teori ini, gaya kepemimpinan yang paling efektif merupakan gaya kepemimpinan yg disesuaikan menggunakan tingakat kedewasaan bawahan. Namun, Hersey dan Blanchard tidak merinci dan memberikan definisi kedewasaan menjadi suatu tingkat kemantapan emosional.
Paradigma Teori Kepemimpinan Integratif
Pada paruh hingga akhir tahun 1970an, paradigma kepemimpinan mulai berubah sebagai kerangka berpikir integratif atau teori kharismatik baru. Sesuai namanya, teori kepemimpinan integratif ini memadukan teori pembawaan, konduite dan kontingensi buat mengungkapkan kesuksesan dan efek hubungan antara pemimpin dan pengikut. Peneliti berusaha menyebutkan mengapa pengikut pemimpin eksklusif memiliki impian bekerja keras dan rela berkorban buat mencapai tujuan kelompoknya. Di samping itu, mengungkapkan bagaimana seorang pemimpin secara efektif mempengaruhi konduite pengikutnya, dan mengapa perilaku pemimpin yang sama bisa membawa imbas yang tidak sama pada pengikutnya dalam situasi eksklusif.
Pendekatan Baru Terhadap Kepemimpinan
Dewasa ini, sejumlah peneliti kepemimpinan balik memakai teori sifat kepemimpinan, meskipun dengan perspektif yang tidak selaras (Robbins, at.al., 1994: 497). Lima teori kepemimpinan berdasarkan pendekatan baru ini ialah teori atribusi, teori kepemimpinan kharismatik dan teori kepemimpinan transaksional lawan transformasional. Selain itu, teori kepemimpinan pengembangan (Gilley dan Maycunich, 2000) dan teori kepemimpinan super (Manz serta Sims, 2001) juga adalah gaya atau tipe kepemimpinan yg tergolong dalam perspektif ini.
Tinjauan tiga teori kepemimpinan yg pertama atribusi, kharismatik serta transaksional versus transformasional dapat diringkaskan menurut beberapa sumber (Politis, 2001: 358-359; Politis, 2002: 188-190; Lussier serta Achua, 2001: 374-384 Bass serta Burns dalam Haryono, 2002: 7-10) sebagai berikut.
Teori Atribusi Kepemimpinan
Teori atribusi kepemimpinan menjelaskan disparitas hubungan karena-akibat yang mempengaruhi orang. Jika terjadi suatu peristiwa, pemimpin mencoba menghubungkannya menggunakan suatu penyebab yg sifatnya internal dan eksternal. Dalam konteks kepemimpinan, teori atribusi menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan astribusi yg dibuat orang mengenai individu lain. Dengan memakai kerangka atribusi ini, peneliti menemukan bahwa orang mencirikan pemimpin sebagai menyandang karakteristik misalnya kecerdasan, kepribadian, keramah-tamahan, keterampilan verbal yang bertenaga, keagresifan, pemahaman serta kerajinan. Salah satu tema yg lebih menarik dalam literatur teori atribusi kepemimpinan adalah persepsi bahwa pemimpin yang efektif umumnya konsisten atau nir bergeming pada keputusan yang dibuat (Robbins, et.al., 1994: 167, 497-498).
Teori Kepemimpinan Kharismatik
Teori kepemimpinan kharismatik merupakan suatu perluasan berdasarkan teori atribusi. Teori ini mengemukakan bahwa para pengikut menciptakan atribusi berdasarkan kemampuan kepemimpinan yg heroik atau luar biasa bila mengamati perilaku-konduite tertentu. Beberapa penulis telah mengidentifikasi karakteristik langsung pemimpin kharismatik ini. Robert House yang populer dengan gagasannya mengenai teori jalur-tujuan mengidentifikasi tiga ciri pemimpin kharismatik, yakni: kepercayaan diri yang luar biasa tinggi, kekuasaan dan keteguhan dalam keyakinan yg dianut (Robbins, et.al., 1994: 499-500).
Setelah Warren Bennis memeriksa 90 pemimpin yang paling efektif dan sukses pada Amerika serikat disimpulkan bahwa pemimpin kharismatik mempunyai empat kompetensi yg sama yakni: mempunyai visi atau pemahaman tujuan; bisa mengkomunikasikan visinya pada kata-kata yang jelas sebagai akibatnya para pengikutnya dapat menggunakan mudah memihak; bisa memberitahuakn konsistensi serta penekanan dalam memburu visi kepemimpinannya; serta memahami kekuatannya sendiri dan memanfaatkannya. Selain itu, analisis yg paling menyeluruh sudah dirampungkan sang Congger dan Kanungo dari Universitas McGill. Sebagian kesimpulan yang dibuat menyatakan bahwa pemimpin kharismatik memiliki tujuan ideal yg ingin dicapai, memiliki komitmen eksklusif yang kuat dalam tujuan, nir konvensional, tegas dan percaya diri, dan menjadi agen perubahan radikal, bukan manajer dari status quo.
Menurut Bass (1985) bahwa kharisma adalah bagian krusial berdasarkan kepemimpinan transformasional, tetapi kharisma itu sendiri nir cukup buat proses transformasional. Pemimpin kharismatik lebih menurut sekedar percaya diri dalam keyakinannya, melainkan jua melihat dirinya sendiri seperti mempunyai suatu tujuan dan takdir supranatural. Sementara itu, pengikutnya bukan saja mempercayai dan menghormati pemimpin yang kharismatik, melainkan jua memuja serta menyembah pemimpinnya menjadi seseorang pahlawan yang melebihi insan atau tokoh spiritual. Pemimpin kharismatik dicermati memiliki kebesaran, sekaligus menjadi katalisator prosedur psikodinamik pengikutnya.
Seorang pemimpin kharismatik lebih akbar kemungkinannya akan lahir manakala para pengikut membagi sama norma-norma, keyakinan dan fantasi yg bisa dijadikan sebagai basis bagi seruan emosional dan rasional sang pemimpin tersebut. Tetapi, Bass juga menyatakan bahwa tanggapan seseorang terhadap pemimpin kharismatik kemungkinannya akan sangat terpolarisasi, karena pemimpin kharismatik dicintai oleh beberapa orang namun dibenci oleh yang lainnya. Tanggapan yang terpolarisasi ini membantu mengungkapkan mengapa demikian poly pemimpin politik yg kharismatik sebagai sasaran penghilangan nyawa.
Kata akhir yg perlu dipahami dalam hal ini merupakan kepemimpinan kharismatik mungkin nir selalu diperlukan buat mencapai taraf kinerja karyawan yg tinggi. Namun, pemimpin kharismatik mungkin paling tepat apabila tugas pengikut memiliki suatu komponen ideologis. Hal ini bisa menjelaskan mengapa pemimpin kharismatik lebih dimungkinan ada pada konteks politik, kepercayaan , ketika perang atau bila suatu perusahaan bisnis memperkenalkan suatu produk yang sahih-benar baru (baca: produk kreatif dan inovatif) atau menghadapi suatu krisis yang mengancam kehidupannya.
Kepemimpinan Transaksional versus Transformasional
Hasil studi terakhir yg menarik tentang dua gaya kepemimpinan ini merupakan perhatian yg diberikan pada perbedaan pemimpin transformasional dari pemimpin transaksional. Padahal, pemimpin transformasional juga kharismatik. Lantaran itu, sering terjadi tumpang-tindih topik ini dengan pembahasan kepemimpinan kharismatik.
Burns membedakan kepemimpinan transformasional serta kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional memotivasi pengikutnya dengan memilih dalam kepentingan diri sendiri. Burns pula membedakan kepemimpinan transaksional serta kepemimpinan yang mentransformasi dampak yang ditunjukkan berdasarkan pada kekuasaan birokratis. Organisasi birokratis lebih menekankan dalam kekuatan legitimasi dan lebih menghormati peraturan serta trandisi, menurut dalam pengaruh yg didasarkan atas pertukaran atau ide. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa kepemimpinan adalah suatu proses, bukan sejumlah tindakan yang memiliki ciri-karakteristik sendiri. Burns menyebutkan kepemimpinan menjadi sebuah arus antar interaksi yang berkembang, di mana pemimpin secara terus-menerus membangkitkan tanggapan motivasi dari pada pengikut dan memodifikasi konduite pengikutnya pada saat menghadapi tanggapan atau perlawanan, pada sebuah proses serta arus kembali yg tidak pernah berhenti.
Bass (1985) memperkenalkan teori kepemimpinan transformasional yg dibangun berdasarkan gagasan awal berdasarkan Burns (1978). Pengikut pemimpin transformasional merasa adanya agama, kekaguman, kesetiaan serta adanya rasa hormat terhadap pemimpinnya dan bawahan tadi termotivasi buat melakukan lebih dari pada apa yg diperlukan darinya. Pemimpin mentransformasi serta memotivasi pengikutnya dengan cara: (1) menciptakan pengikutnya lebih sadar tentang arti krusial hasil suatu pekerjaan yang dilakukan; (dua) mendorong pengikutnya buat lebih mementingkan tim atau organisasi berdasarkan pada kepentingan dirinya sendiri; dan (3) mengaktifkan kebutuhan pengikutnya pada level yang lebih tinggi.
Formulasi teori Bass (1985) mencakup 3 unsur kepemimpinan transformasional, yakni: kharisma, stimulasi intelektual dan perhatian yang diindividualisasi. Kharisma didefisinikan menjadi sebuah proses yg padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikutnya dengan menimbulkan emosi-emosi yang bertenaga serta identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual artinya suatu proses yang di dalamnya pemimpin meningkatkan pencerahan pengikut terhadap banyak sekali kasus serta mensugesti para pengikutnya buat memandang berbagai masalah berdasarkan perspektif yang berbeda. Perhatian yg diindividualisasi termasuk di dalamnya memberi dukungan, membesarkan hati dan memberi pengalaman tentang perkembangan kepada para pengikutnya. Sementara itu, kepemimpinan transaksional diartikan menjadi sebuah pertukaran imbalan buat menerima kepatuhan.
Berdasarkan pengertian pada atas, kentara bahwa Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional dalam arti yg lebih luas dari dalam Burns. Salah satu komponen konduite transaksional yg disebut perilaku contingent rewards mencakup kejelasan tentang pekerjaan yg dibutuhkan memperoleh imbalan serta memakai insentif serta contingent rewards buat mempengaruhi motivasi. Komponen ke 2 yang dianggap active management by exception, meliputi pemantauan para bawahan serta tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga yang diklaim passive management by exception ditambahkan sang Bass serta rekannya. Termasuk ke dalam komponen ini merupakan penggunaan contingent punishment dan tindakan pemugaran sebagai tanggapan atas defleksi berdasarkan baku kinerja. Bass memahami kepemimpinan transformasional serta transaksional sebagai proses yang tidak sinkron tetapi tidak saling menafikan. Selain itu, Bass mengakui bahwa pemimpin yg sama dapat menggunakan kedua jenis kepemimpinan tadi pada ketika dan situasi yang tidak sama.
Kepemimpinan Transaksional versus Kepemimpinan Kharismatik
(Sumber: diubahsuaikan berdasarkan Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Kepemimpinan Transaksional: terfokus dalam hubungan interpersonal antara pemimpin serta para pengikut
·Pemimpin Transaksional
-Menggunakan ganjaran kontingen buat memotivasi pengikutnya
-Tindakan koreksi hanya dilakukan manakala pengikutnya gagal mencapai tujuan kinerja yang diharapkan
Kepemimpinan Kharismatik: menekankan konduite pemimpin simbolik yang mentransformasi para pengikut buat memprioritaskan tujuan bersama lebih berdasarkan kepentingan langsung.
·Pemimpin Kharismatik
-Menggunakan pesan-pesan visioner serta inspirasional
-Berdasar dalam komunikasi non-verbal
-Menyerukan nilai-nilai ideologis
-Berupaya menstimulasi pengikutnya secara intelektual
-Menunjukkan kepercayaan diri dan para pengikutnya
-Menetapkan asa kinerja yang tinggi
Kebanyakan teori kepemimpinan yang tersaji sebelumnya – contohnya studi Ohio, model Fiedler, teori jalur tujuan dan model partisipasi pemimpin – memperkuat konsep kepemimpinan transaksional. Pemimpin jenis ini memandu dan motivasi pengikutnya ke arah tujuan yang ditetapkan. Kepemimpinan transformasional dibangun pada atas “fondasi” kepemimpinan transaksional, sehingga membuat tingkat upaya dan kinerja bawahan yg melampaui apa yang terjadi dengan pendekatan transaksional semata. Lebih berdasarkan itu, kepemimpinan transformasional lebih menurut dalam pemimpin kharismatik. Pemimpin yang semata-mata kharismatik bisa menghrapkan pengikutnya mengadopsi perspektif pemimpin kharismatik serta nir berkiprah lebih jauh. Sementara itu, pemimpin transformasional berupaya menanamkan pada diri pengikutnya kemampuan buat mempertanyakan nir hanya pandangan yg mapan, melainkan pula pandangan yg ditetapkan oleh pemimpin.
Perbandingan Tipe Kepemimpinan
Perbandingan tipe kepemimpinan yang dibahas berikut adalah diwakili sang tipe The Strong Man, The Transactor, Visionary Hero serta Superleader (Manz and Sims, 2001: 39). Pertama, the Strongman memakai wewenang pada posisinya buat mempengaruhi orang lain agar tunduk kepadanya lantaran rasa takut. Perilaku the strongman yang paling umum adalah menginstruksikan, memerintah dan mengintimidasi.
Kedua, the Transactor, mengkategorikan ke pada tipe interaksi pertukaran pemimpin dengan bawahan (orang lain). Pemimpin menanamkan dampak melalui pengecualian imbalan dalam pertukaran sehingga pengikut mentaati apa yg diinginkan sang pemimpin. Perilaku yg paling banyak dipakai oleh pemimpin ini adalah ganjaran personal dan material sebagai balikan dari upaya, kinerja serta loyalitas orang terhadap kepemimpinannya (bandingkan menggunakan Model Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota).
Ketiga, the Visionary Hero dicirikan dengan kemampuan yg dimiliki oleh pemimpin buat membentuk motivasi yang tinggi serta menyerap visi masa depan. Pemimpin ini mempunyai kapasitas buat memberi kekuatan pada orang lain untuk merealisasikan visi yang ditetapkan. Jenis kepemimpinan ini terutama menyangkut proses impak atas-bawah. Pemimpin merupakan asal kebijakan serta arahan, dan cenderung menempati posisi sentral, ad interim peran pengikut memudar pada bayang-bayang pemimpin. Kewenangan pemimpin didasarkan pada kapabilitas yg dimiliki pada membangkitkan komitmen pengikutnya terhadap visi pemimpin.
Keempat, the Superleadership, yaitu pemimpin yang mengarahkan orang lain supaya bisa mengarahkan dirinya sendiri. Pemimpin super dikenal jua sebagai pemimpin pemberdaya. Tipe pemimpin ini terutama terfokus pada bawahan. Pemimpin sebagai “super” – mempunyai kekuatan dan kebijaksanaan sejumlah orang – lantaran membantu melejitkan kemampuan para pengikut yg mengelilinginya (Manz serta Sims, 2001: 45).
Model Pertukaran Pemimpin-Anggota
(Sumber: diubahsuaikan berdasarkan Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
·Model ini berdasarkan dalam gagasan bahwa satu menurut 2 tipe khusus mengembangkan interaksi pertukaran timbal balik pemimpin-anggota, dan pertukaran itu herbi luaran pekerjan krusial.
-pertukaran pada grup: kemitraan yg dicirikan dengan rasa saling percaya, respek serta menyukai
-pertukaran di luar grup: kemitraan yg ditandai dengan kurangnya rasa saling percaya, respek dan menyukai.
·Hasil penelitian mendukung model ini.
Tugas pemimpin super adalah membantu pengikut membuatkan keahlian kepemimpinannya secara berdikari supaya menaruh sumbangan yg lebih akbar pada organisasi. Pemimpin super mendorong inisiatif pengikutnya, mendorong rasa tanggung jawab individu, rasa percaya diri, penetapan tujuan diri sendiri, pemikiran peluang positif serta pemecahan masalah sendiri. Dengan istilah lain, pemimpin super memberdayakan bawahannya sehingga gaya kepemimpinan ini mampu dianggap menjadi tipe pemimpin pemberdaya. Luaran konduite yg didapatkan oleh tipe kepemimpinan super adalah kinerja jangka panjang tinggi, kepercayaan diri para pengikut tinggi, pengembangan pengikut tinggi, fleksibiltas sangat tinggi, penemuan tinggi, mampu bekerja tanpa pemimpin dan mengandalkan kerjasama tim. Berdasarkan uraian pada atas, dibuat contour perkembangan konsep serta gaya kepemimpinan dari masa ke masa seperti terlihat pada visualisasi berikut.
Peta Perkembangan Konsep Kepemimpinan
(Diadaptasi dan dikembangkan menurut Rachmany, 2003: 38)
Comments
Post a Comment