KELEMAHAN TERBESAR DARI LEMBAGA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Kelemahan Terbesar Dari Lembaga Pendidikan Di Indonesia
Kelemahan terbesar menurut lembaga pendidikan pada Indonesia merupakan lantaran nir memiliki basis pengembangan budaya yg kentara. Lembaga pendidikan kita hanya dikembangkan berdasarkan model ekonomi buat menghasilkan sumber daya insan pekerja ( abdi dalam ) yg sudah didesain berdasarkan rapikan nilai ekonomi yang berlaku ( kapitalistik ) ( Mubiato, 2002 : 98 ).
Dengan demikian tidak mengherankan bila keluaran pendidikan hanya ingin sebagai manusia pencari kerja serta tidak berdaya, bukan manusia kreatif pencipta keterkaitan kesejahteraan pada siklus rangkai manfaat yang beraneka ragam. Untuk mendorong terjadinya upaya pembudayaan pada lembaga pendidikan ini adalah meletakkan basis budayana yg mengakar pada sumber nilai setempat yg utuh meliputi seluruh aspek kemanusiaan, sehingga membuka peluang pengembangannya sesuai dengan kreatifitas serta inisiatif yg dikelola pada lembaga pendidikan itu.
Menjadi Kepala Sekolah Profesional idealnya wajib memahami secara komprehensif bagaimana kinerja serta kemampuan manajerialnya dalam memimpin sebuah sekolah sehingga sekolah itu bernuansa sekolah yang berbudaya. Dengan demikian diperlukan alumni sekolah itu memilikibudaya yang kentara sesuai menggunakan perkembangan warga . Dengan demikian, Made Pidarta ( 1994 : 145 ), menyampaikan bahwa pada forum pendidikan itu murid harus (1) memahami sosiologi serta pendidikan, (2) Kebudayaan serta pendidikan, (tiga) Masyarakat dan sekolah , (4) Masyarakat Indonesia serta pendidikan, serta (5) Dampak konsep pendidikan.
Kualitas SDM sangat ditentukan oleh pendidikan. Dengan demikian bidang pendidikan merupakan bidang yg sebagai tulang punggung aplikasi pembangunan nasional. Tujuan pendidikan, khususnya di Indonesia merupakan membentuk insan seutuhnya yang Pancasilais ( UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ), dimotori oleh pengembangan afeksi. Tujuan spesifik ini hanya bias ditangani menggunakan ilmu pendidikan bercorak Indonesia sinkron dengan kondisi Indonesia serta menggunakan penyelenggaraan pendidikan yg menggunakan konsep sistem.
Oleh karena itu Kepala sekolah wajib : (a) mempunyai wawasan jauh kedepan (visi) serta tahu tindakan apa yg wajib dilakukan (misi) dan paham sahih mengenai cara yg akan ditempuh (taktik); (b) memiliki kemampuan mengkoordinasikan serta menyerasikan semua sumberdaya terbatas yg terdapat buat mencapai tujuan atau buat memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas); (c) mempunyai kemampuan mengambil keputusan menggunakan terampil (cepat, tepat, cekat, serta akurat); (d) memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada buat mencapai tujuan serta yg mampu menggugah pengikutnya buat melakukan hal-hal krusial bagi tujuan sekolahnya; (e) mempunyai toleransi terhadap disparitas dalam setiap orang serta tidak mencari orang-orang yg mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yg meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai; (f) memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak menciptakan keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, serta bermuka 2 dalam bersikap serta bertindak.
Defenisi Konseptual Menjadi Kepala Sekolah Profesional
Berdasarkan semantiknya, Anton Muliono ( 1989 : 702 ), mengemukakan bahwa Profesi, adalah bidang pekerjaan yang dilandasai pendidikan keahlian ( ketrampilan, kejuruan ) tertentu, Profesional, adalah memerlukan kepandaian spesifik buat menjalankannya, Profesionalisme, merupakan sifat professional, dan profesionalisasi adalah proses membuat suatu badan sebagai professional. Sedangkan, perlindungan, adalah perlindungan aturan secara juridis formal. Selanjutnya, A.S Hornby ( 1952 : 989 ), said that professionalism is The mark or qualities of a profession. Dari kutipan pada atas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisme mencakup, antara lain ; budaya profesi, kualifikasi, kompetensi, ketrampilan, komitmen, konsitensi, etos kerja, kode etik dan pengabdian .
Profesi pengajar, merupakan karya profesi. Engkoswara ( 2004 : 29 ) menyampaikan bahwa karya profesi memerlukan kemampuan dasar, yakni ; membaca dan belajar sepanjang hayat, etos dan etika kerja, serta ketrampilan nalar serta ketrampilan tangan. Pengajar menjadi energi kependidikan harus dan mutlak mempunyai karya profesi tadi, sebagai akibatnya menggunakan mempunyai ketrampilan dasar itu, maka seseorang guru akan menjadi professional. Seorang guru akan professional , bila mempunyai sifat pribadi insan Indonesia. Lebih lanjut, Engkoswara ( 2004 : 31 ), berkata bahwa sifat serta budaya manusia Indonesia itu memiliki, yakni ; (1) Budaya Utama ( sehat, baik dan amanah ), (dua) Budaya Profesi ( cerdas, terampil, dan ahli, (tiga) Budaya Penyerta ( latif ), sedangkan sifat manusia Indonesia, merupakan, (1) sifat primer ( sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, andal dan penuh disiplin, (2) sifat profesi ( cerdas, produktif, dan professional ), serta (tiga) sifat penyerta ( kreatif ).
Profesional dapat berkembang sebagai jabatan professional, sejalan menggunakan itu Komarudin ( 2000 : 205 ), mengungkapkan bahwa professional berasal dari bahasa Latin, yaitu “ Profesia “ yang berarti ; pekerjaan, keahlian, jabatan, jabatan guru akbar. Demikian halnya kepala sekolah, adalah merupakan jabatan fungsional yg diberi sebagai tugas tambahan menjadi kepala sekolah. Dengan demikian muncullah terminology bagaimana menjadi kepala sekolah professional.
Terminologi professional melahirkan teriminologi baru, yakni profesionalisme. Freidson ( 2970 : 28 ), mengemukakan bahwa profesionalisme adalah sebagai komitmen buat inspirasi-ilham professional dan karier. Secara operatif, Syaiful ( 2002 : 199 ) menegaskan bahwa profesionalisme mempunyai aturan serta komitmen jabatan keilmuan teknik dan jabatan yang akan diberikan pada pelayan rakyat agar secara khusus pandangan-pandangan jabatan dikoreksi secara keilmuan dan etika sebagai pengukuhan terhadap profesionalisme. Profesionalisme nir bisa dilakukan atas dasar perasaan, kemauan, pendapat atau semacamnya, tetapi sahih-benar dilandasi oleh pengetahuan secara akademik.
Berdasarkan pendapat diatas, maka bisa dirumuskan bahwa yang dianggap Kepala Sekolah professional wajib dapat membedakan mana ilmu yg esensial berkaitan menggunakan disiplin ilmunya serta tidak esensial sesuai dengan tuntutan professional. Sehubungan menggunakan terminology itu, Paure ( 1972 : 25 ), menegaskan bahwa professional wajib mereduksi usang pendidikan untuk menaruh kualifikasi bagus tanpa mengurangi baku dan metodologi pedagogi yang tepat, percepatan proses belajar, menyeleksi ilmu yg diberikan.
Korelasi Profesional Dengan Sosial Budaya
Sekolah harus memperhatikan pengembangan nilai-nilai dalam diri siswa pada sekolah. Lantaran keliru satu fungsi sekolah merupakan buat memperbaiki mental anak-anak, seperti harapan yg disampaikan sang Coleman. Sekolah berfungsi menjadi alat kontrol social serta perubahan social.
Menjadi ketua sekolah professional harus memperhatikan banyak hal dalam diri siwa selama dalam lingkungan sekolah. Made ( 1994 : 156 ), mengemukakan bahwa sosiologi atau sosiologi pendidikan dapat dideskripsikan sebagai berikut ; (1) Sosiologi memperlihatkan pentingnya aktivitas sosialisasi anak-anak dalam pendidikan, (2) Memberikan donasi pada upaya menganalisis proses pengenalan anak-anak. Seperti konsep mengenai hubungan social, hubungan social, komunikasi, bentuk social, dan sebagainya, (tiga) Kelompok social dan forum rakyat dengan aneka macam bentuknya, termasuk sekolah, (4) Dinamika kelompok, yg telah tentu berlaku jua dalam global pendidikan, (lima) Konsep-konsep untuk mengembangkan grup social dan lembaga-lembaga rakyat, (6) Nilai-nilai yang ada pada rakyat dan keharusan sekolah buat menyebarkan aspek itu dalam diri anak didik, (7) Peranan pendidikan pada warga , dan (8) Dukungan rakyat terhadap pendidikan.
Memahami akan hal itu, para pendidik ( guru ) dan ketua sekolah professional hendaklah menantang diri supaya proses pendidikan di sekolah tidak ketinggalan zaman, agar bisa membantu murid berpacu antarteman sekelas atau dengan yang lainnya. Dengan demikian pengajar serta ketua sekolah wajib menaikkan profesinya supaya memiliki kualitas yg sejajar menggunakan para pendidik di negara-negara maju. Misalnya pada Amerika, Jepang serta negara maju lainnya.
Korelasi Profesi Dengan Budaya
Engkoswara ( 2004 : 31 ), menyampaikan bahwa sifat dan budaya insan Indonesia itu mempunyai, yakni ; (1) Budaya Utama ( sehat, baik dan amanah ), (dua) Budaya Profesi ( cerdas, terampil, serta pakar, (tiga) Budaya Penyerta ( latif ), sedangkan sifat manusia Indonesia, merupakan, (1) sifat primer ( sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh serta penuh disiplin, (2) sifat profesi ( cerdas, produktif, serta professional ), serta (3) sifat penyerta ( kreatif ).
Untuk merealisasikan sifat dan budaya tersebut di kalangan pendidikan, tenaga kependidikan absolut memilikinya serta bisa menatanya dengan harmonis di pada kehidupan sehari-hari. Demikian jua halnya bagi guru dalam menjalankan rutinitasnya, bahwa sifat dan budaya insan Indonesia itu wajib tercermin pada keseharian pengajar baik pada sekolah juga di luar sekolah ( pada tempat tinggal ). Engkoswara ( 2004 : 63 ), mengemukakan pada menegakkan budaya harmoni ada 3 nilai praksis ( aktual ) yg wajib ditata secara harmoni, yakni (1) Budaya Utama, merupakan budaya atau nilai yang berlaku bagi kita seluruh orang sebagai mahluk Tuhan Yang Mahaesa yg mempunyai cirri universal, yg mempunyai hak serta kewajiban yg nisbi bersamaan, (2) Budaya profesi, merupakan nilai yang berlaku bagi manusia sebagai mahluk sosial yg memiliki ciri yang bersamaan dalam grup-kelompok eksklusif, serta (tiga) Budaya penyerta, merupakan nilai yg berlaku bagi insan sebagi mahluk langsung yang bersifat unik serta hakiki.
Tahapan perkembangan yg wajib ditempuh dalam suatu proses profesionalisasi merupakan terkait dengan sejumlah pelayanan. Kepala sekolah professional harus bisa mengkomunikasikan segala tugas utama dan kegunaannya pada manajemen sekolah. Fungsi manajemen sekolah wajib bisa diberdayakan seoptimal mungkin sinkron dengan baku kompetensi yang dimiliki sebagi pimpinan ( manajer ). Pendidikan adalah enkultusasi. Manan ( 1989 : 79 ), mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses menciptakan orang kemasukan budaya, menciptakan orang berperilaku mengikuti budaya yg memasuki dirinya. Enkulturasi ini terjadi di mana-mana, disetiap loka hayati seseorang dan setiap waktu. Dalam hal inilah akan timbul sosialisasi kurikulum yg sangat luas, yaitu seluruh lingkungan loka hayati insan. Suatu budaya sesungguhnya adalah bahan masukan atau pertimbangan bagi anak pada menyebarkan dirinya. Ada kalanya bagioan budaya akan digunakan terus, terdapat kalanya diperbaiki serta terdapat kalanya dibuang atau diganti menggunakan yang baru. Hal ini tergantung bagaimana pelatihan pendidik, pengaruh lingkungan, dan output evaluasi anak itu sendiri.
Kepala sekolah professional wajib cerdas dan intelek dan bijaksana. Sebagai ketua sekolah dengan kegunaannya sebagai manajer pada sekolah wajib memperhatikan cirri-ciri profesionalisasi. Robert W. Rihe ( 1974 : 87 ), mengemukakan bahwa cirri-karakteristik profesionalisasi jabatan fungsional ada 7, diantaranya ; (1) Kepala sekolah bekerja sama serta nir semata-mata hanya menaruh pelayanan kemanusiaan bukan bisnis buat kepentingan pribadi, (2) Memiliki pemahaman dan ketrampilan yang tinggi, (3) Memiliki lisensi hokum dalam memimpin sekolah, (4) Memiliki publikasi yg bisa melayani para pengajar sehingga tidak ketinggalan zaman, (lima) Mengikuti aneka kegiatan seminar pendidikan ( workshop ), (6) Jabatannya sebagai suatu karier hayati, dan (7) Meiliki nilai dan etika yang berfungsi secara nasional maupun local.
Kinerja serta produktifitas ketua sekolah professional harus dapat diukur dengan para meter yg terdapat, yakni baku pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal mengacu kepada konteks sisial budaya pendidikan yg ada pada sekolah. Misalnya, sekolah berbasis budaya lingkungan. Sekolah bernuansa basis lingkungan budaya bisa tampak pada pengelolaan lingkungan sekolah. Misalnya menggunakan penanaman aneka tanaman rindang atau pembuatan apotek serta warung hidup di lingkungan sekolah. Sekolah akan tampak rindang serta sejuk sehingga rakyat sekolah dapat menikmati lingkungan menggunakan nyaman serta teduh sehingga masyarakat sekolah akan merasa betah di sekolah pada aneka macam situasi yg ada.
Kegiatan manajerial sekolah yang umumnya mencakup pada lingkup manajemen pendidikan. Komponen manajemen pendidikan mencakup lima-M, yakni ; Sumber daya insan ( Man ), finasial ( Money ), substansi ( Material ), metode ( Method ), dan Fasilitas ( Machine ). Kepala sekolah menjadi asal daya insan yg professional wajib bisa mengelola sekolah sesuai dengan fungsi sekolah menjadi wiyata mandala. Kepala sekolah menjadi manajer wajib mampu mengelola keuangan sebagai pembiayaan pendidikan pada sekolah baik pembiayaan eksklusif maupun pembiayaan tidak langsung . Kepala sekolah sebagai guru wajib sanggup memerikan bimbingan pada semua masyarakat sekolah sinkron dengan tugas utama dan fungsinya. Kepala sekolah fungsinya menjadi pimpinan wajib mampu metode kepemimpinan atau model kepemimpinannya yang layak dan pantas diterapkan sesuai menggunakan kebiasaan, serta demikian pula ketua sekolah sebagai pimpinan wajib mampu memberdayakan semua fasilitas yang terdapat pada menunjang kemajuan pendidikan pada sekolah.
Korelasi trugas utama serta fungsi kepala sekolah pada tatanan manajerial sekolah, idealnya mampu mengimplementasikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan budaya sekolah. Kepala sekolah professional harus bisa mendorong semua rakyat sekolah buat melestarikan budaya sekolah sehingga tercermin dalam setiap perilaku atau sikap warga sekolah dalam kehidupan sehari-harinya. Motivasi intrinsic akan mendorong kepala sekolah buat terus berpacu pada menggalakkan budaya sekolah. Demikian halnya motivasi ekstrinsik akan mendukung kepemimpinan kepala sekolah demi terciptanya budaya sekolah menggunakan sistem social yg ada pada komunitas sekolah serta warga ( orang tua ).
Comments
Post a Comment