KECERDASAN SPIRITUAL KECERDASAN DALAM MENGHADAPI RINTANGAN ETOS KERJA SDM
Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Dalam Menghadapi Rintangan, Etos Kerja SDM
Era globalisasi telah bergulir, penguasaan teknologi personal komputer digital sebagai infrastruktur menjadi sahabat para pelaku bisnis. Ekonomi akan lebih berbasis pada pengetahuan, bukan tanah atau mesin-mesin tradisional. Aset ekonomi semakin tidak lagi bersifat fisik, misalnya gedung, mesin atau properti lainnya, tetapi bersifat mental intelektual, misalnya persepsi pasar, hubungan, citra usaha, gambaran brand, hak paten, kredibilitas, visi serta pengetahuan khusus (Sinamo, 2002).
Persaingan antar perusahaan di era globalisasi semakin tajam, sebagai akibatnya sumber daya manusia (SDM) dituntut buat terus menerus sanggup membuatkan diri secara agresif. SDM harus sebagai manusia-manusia pembelajar, yaitu pribadi-pribadi yg mau belajar dan bekerja keras menggunakan penuh semangat, sebagai akibatnya potensi insaninya berkembang maksimal . Sinamo (2002) mengemukakan bahwa SDM yang diharapkan di dalam era globalisasi ini merupakan SDM yang sanggup menguasai teknologi menggunakan cepat, adaptif dan responsif terhadap perubahan-perubahan teknologi. Dalam kondisi tersebut integritas eksklusif semakin penting buat memenangkan persaingan.
Agar perusahaan mampu terus bertahan dan bersaing, dominasi teknologi saja tidak relatif apabila nir ditunjang oleh SDM yg handal, sehingga investasi dalam sumber daya ekonomi yang paling berharga, yaitu SDM tidak bisa ditunda lagi. Menurut Handoko (2002) ancaman konkret terbesar terhadap stabilitas ekonomi adalah angkatan kerja yg tidak siap (workforce illeguipped) buat menghadapi tantangan-tantangan pada abad 21. Kondisi SDM tersebut cenderung rentan pada menghadapi perubahan dan rintangan, akibatnya stres serta gangguan emosi lain tidak bisa dihindari. Konsekuensinya adalah kerugian yang dialami perusahaan dengan besarnya biaya yg harus dimuntahkan buat porto pengobatan dan perawatan dan kehilangan jam kerja (Hawari, 1996). SDM yg tidak memiliki kesanggupan menghadapi tuntutan-tuntutaan globalisasi menduga pekerjaan menjadi beban. Mereka menjalani pekerjaan sebagai suatu keharusaaan serta tuntutaan. Kondisi akhirnya adalah tidak dirasakannya makna kerja.
SDM yg menganggap pekerjaan menjadi beban bisa dikatakan sebagai SDM yg mempunyai pandangan hidup kerja rendah. Menurut Latief (Tasmara, 1995) pandangan hidup kerja bangsa Indonesia nisbi masih rendah, antara lain tercermin berdasarkan disiplin, semangat kerja dan produktivitas yang rendah.
Konsep etos kerja lain dikemukakan oleh Sinamo (2002) bahwa masih ada delapan aspek pandangan hidup kerja profesional pada era digital global yg dinamakan ethos 21, yaitu: kerjaa adalah rahmat, panggilan, jujur, aktualisasi diri, ibadah, seni, kehormatan dan pelayanan. Dikemukakan bahwa pandangan hidup kerja tersebut merupakan doktrin kerja yang bersifat universal, artinyaa memiliki moralitas kerja positif, lintas budaya serta kepercayaan . Peran SDM yg beretos kerja tinggi dalam global usaha yang penuh resiko, ketidakpastian serta perubahan tidak hanya pada kemampuan buat menguasai high-tech, tetapi high-touch sekaligus.
Agar perusahaan mendapatkan SDM yg beretos kerja tinggi, perhatian terhadap aspek kecerdasan perlu ditingkatkan. Konsep kecerdasan dewasa ini semakin meluas. Kecerdasan intelektual (IQ) sudah dipercaya sekian lama sebagai penentu kinerja SDM. Dalam perkembangannya diketahui bahwa orang yang memiliki IQ yg sama akan menghasilkan kinerja yang tidak sama (Wahyono, 2002). Perhatian mulai beralih pada konsep kecerdasan emosi (EQ), ternyata kinerja karyawan cenderung semakin tinggi menggunakan semakin tingginya kecerdasan emosi yang dimiliki (Melianawati, dkk., 2001). Kenyataannya tidak seluruh orang yang mempunyai kecerdasan emosi tinggi bisa menarik manfaat secara optimal berdasarkan hal yg dimiliki tadi (Lasmono, 2001).
Konsep baru yg tak jarang dibahas akhir-akhir ini merupakan kecerdasan spiritual (SQ) serta kecerdasan pada menghadapi rintangan (AQ). Kecerdasan spiritual membantu seorang menjalani hayati dalam tingkatan makna yang dalam (Zohar dan Marshall, 2000). SDM yg mempunyai kecerdasan spiritual tinggi cenderung lebih kreatif, luwes, berwawasan luas dan spontan.
Zohar dan Marshall (2000) selanjutnya mengemukakan bahwa bila kecerdasan spiritual seorang telah berkembang menggunakan baik, akan ditandai sang kemampuannya buat bersikap fleksibel (adaptif secara impulsif serta aktif), tingkat pencerahan diri yg tinggi, kemampuan buat menghadapi serta memanfaatkan penderitaan, kemampuan buat menghadapi dan melampaui rasa sakit serta kualitas hidup yang diilhami sang visi dan nilai-nilai. Mereka pula enggan buat melakukan sesuatu yang menyebabkan kerugian karena tidak dibutuhkan dan memiliki kesamaan buat melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan keseluruhan). Mereka mempunyai pertanyaan mendasar, yaitu “mengapa” dan “bagaimana” dan memilii kemudahan buat bekerja melawan kesepakatan .
Jika SDM mempunyai fleksibilitas, adaptif dan aktif, maka mereka memiliki kesiapan atau lebih proaktif dalam menghadapi tantangan di era globalisasi. Menurut Covey (1997) orang yang agresif akan mengerjakan sesuatu yg terhadapnya mereka dapat berbuat sesuatu, mempunyai energi positif, memperluas serta memperbesarnya, yang akan menyebabkan bulat pengaruh mereka semakin tinggi. Kecerdasan spiritual membuat SDMmempunyai pencerahan diri yg kuat dalam melakukan pekerjaan, sehingga pekerjaan dipercaya sebagai asal aktualisasi dan makna hayati. Mereka akan mempersepsi pekerjaan menjadi panggilan hati dan jujur.
Di sisi lain, SDM yang memiliki kecerdasan dalam menghadapi rintangan tinggi sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditemui serta tidak berhenti berusaha sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji (Stoltz, 1997). Dikemukakan bahwa SDM yg memiliki kecerdasan dalam menghadapi rintangan tinggi dapat diramalkan memiliki kinerja, motivasi, pemberdayaan, kreativitas, produktivitas yg tinggi juga. Mereka juga memiliki pengetahuan, tenaga, pengharapan, kebahagiaan, vitalitas dan kegembiraan serta kesehatan emosional yang cenderung tinggi. Dampak lain adalah tentang kesehatan jasmani, ketekunan, daya tahan serta mampu melakukan respon yg positif terhadap perubahan. SDM yang bekerja menggunakan penuh semangat, tanggung jawab, tuntas penuh integritas serta senang cita dan tekun merupakan SDM yang mempunyai etos kerja tinggi.
Identifikasi serta pengembangan SDM yg mempunyai kecerdasan spiritual serta kecerdasan pada menghadapi rintangan tinggi perlu dilakukan oleh perusahaan, supaya dari sisi individual perusahaan memiliki SDM yang bekerja penuh keikhlasan, vitalitas dan tahan terhadap kesulitan. Mereka akan memberitahuakn etos kerja yang tinggi.
Pentingnya Etos Kerja di Era Globalisasi
Etos kerja yang dimiliki SDM sebuah organisasi memainkan peran penting bagi produktivitas kerja. Mereka tidak hanya sanggup bekerja sinkron tuntutan kerja, namun lebih daripada itu mereka melaksanakannya menggunakan penuh keikhlasan dan semangat. Hasil penelitian Hadipranata serta Sudardjo (1999) menemukan bahwa pandangan hidup kerja memberi kontribusi yg besar bagi produktivitas kerja insani.
Tasmara (1995) mengaatakan bahwa apabila seseorang menganggap menjadi suatu hal yg bisa meningkatkan harga dirinya sebagai manusia, maka orang tersebut dalam bekerja cenderung giat, rajin dan mau mendayagunakan seluruh potensi dirinya. Ketika perusahaan dituntut untuk bertahan dan bersaing agar sanggup meraih dan memenangkan persaingan dunia, SDM tadi akan menggunakan kapasitas dirinya secara optimal dengan penuh ketekunan serta semangat juang.
Perilaku pandangan hidup kerja ditandai oleh kegesitan dalam menggunakan kesempatan-kesempatan yg ada, penuh energi, percaya terhadap kekuatan diri serta kesediaan buat memandang jauh ke masa depan (Myrdal pada Soewarso, dkk., 1996). Di era globalisasi pemanfaatan SDM menjadi modal dasar harus diikuti sang pengembangan dan pembaharuan terhadap kemampuan serta keahlian yang dimiliki agar setiap anggota organisasi bisa merespon dan peka terhadap arah perubahan organisasi (Harvey serta Brown dalam Rokhman Jr, 2001). SDM yang memiliki etos kerja tinggi lebih peka terhadap perubahan yang terjadi secara cepat dan mampu menggunakan segenap kapasitas dirinya supaya bisa merespon perubahan tadi.
Individu atau grup masyarakat dikatakan memiliki pandangan hidup kerja tinggi jika menampakan tanda-indikasi menjadi berikut: mempunyai penilaian positif terhadap hasil kerja insan, menempatkan pandangan mengenai kerja sebagai suatu hal yg amat luhur bagi keberadaan insan, kerja dirasakan menjadi kegiatan yang bermakna bagi kehidupan manusia, kerja dihayati menjadi suatu proses yg membutuhkan ketekunan dan sekaligus wahana yg krusial pada mewujudkan hasrat dan kerja dilakukan menjadi bentuk ibadah (Doelhadi, 2001). Persaingan antar perusahaan dan negara membutuhkan ketekunan serta sekaligus keikhlasan. Rintangan-rintangan yang timbul di samping ditanggapi menjadi peluang pula harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Sinamo (2002) mengemukakan ethos 21, yang terdiri menurut delapan aspek pandangan hidup kerja. Delapan aspek tadi merupakan: kerja sebagaai raahmat, yg dilakukan menggunakan penuh ketulusan dan rasa syukur; kerja adalah amanah, artinya seorang bekerja dengan penuh tanggung jawab; kerja merupakan panggilan, ialah seorang bekerja menggunakan tuntas penuh integritas; kerja adalah aktualisasi, seorang bekerja keras penuh semangat. SDM yg memiliki etos kerja tinggi juga ditandai oleh: kerja dipercaya menjadi ibadah, sehingga dalam bekerja lebih serius penuh kecintaan; kerja merupakan seni, sebagai akibatnya dalam bekerja legih kreatif penuhsuka cita; kerja adalah kehormatan, sehingga pada bekerja tekun penuh keunggulan serta yg terakhir kerja merupakan pelayanan, sehingga pada bekerja menggunakan penuh kesempurnaan penuh kerendahan hati.
Etos kerja merupakan syarat perlu (necessary condition), namun bukan syarat relatif (sufficient condition) bagi keberhasilan (Sinamo, 2002). Dikemukakan bahwa etos kerja adalah kunci sukses yang unik, karena sekaligus mampu sebagai fundamen keberhasilan dalam tingkatan personal, organisasional dan sosial. Etos kerja adalah fundamen keberhasilan. Tingkatan sosial pada era globalisasi bisa dimulai berdasarkan level personal dan organisasional, sebagai akibatnya keberhasilan suatu bangsa diantaranya didasari oleh etos kerja setiap personel serta organisasi yg berada pada naungan bangsa tadi. Apabila pondasi tersebut bertenaga, maka bangsa jua bertenaga dan siap menghadapi era digitas global.
Peran Kecerdasan Spiritual (SQ) serta Kecerdasan pada Menghadapi Rintangan (AQ) terhadap Pembentukan Etos Kerja SDM
Siburian (1997) dan Pudyastuti (1997) mengemukakan beberapa faktor yang menghipnotis pandangan hidup kerja. Secara internal pandangan hidup kerja ditentukan sang situasi dan syarat SDM serta kepercayaan , sedangkan secara eksternal ditentukan oleh situasi dan syarat lingkungan dan interaksi sosial. Kecerdasan spiritual dan kecerdasan dalam menghadapi rintangan adalah faktor yang bersifat internal, tetapi pengembangannya bisa dilakukan secara eksternal. Menurut Zohar dan Marshall (2000) serta Agustian (2001), kecerdasan spiritual beroperasi pada pusat otak, yaitu fungsi-fungsi penyatu otak yg dinamakan titik Tuhan (God-Spot). Sedangkan kecerdasan pada menghadapi rintangan adalah pengembangan area cortex prefrontallis yg membesar dibandingkan dengan fauna. Area tersebut bertugas buat melakukan perbandingan untung rugi melalui rasionalitas (Wahyono, 2001), sebagai akibatnya waktu menghadapi rintangan seseorang akan terus melakukan evaluasi laba rugi antara menyerah dan bertahan.
Ancok (2001) menegaskan bahwa agar dapat hayati pada bisnis dunia, modal yg harus dilakukan adalah intelektual, sosial dan spiritual. Disampaikan bahwa kapital spiritual sebagai semakin krusial peranannnya lantaran upaya membangun insan yg cerdas dengan IQ tinggi dan insan yg pandai mengelola emosi dalam berhubungan dengan orang lain tidak menghantarkan insan pada kebermaknaan hayati. Kebermaknaan hayati merupakan motivasi yang kuat menjadi pendorong seseorang buat melakukan sesuatu kegiatan yang bermanfaat. SQ menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yg lebih luas dan kaya (Zohar dan Marshall, 2001).
Agustian (2001) berbagi contoh penggabungan antara kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ). Melalui konsep tersebut mereka berbagi empat langkah buat memaknai hayati, termasuk pekerjaan. Proses pertama merupakan melalui penjernihan emosi dan pikiran (zero mind process), selanjutnya melalui pembangunan mental (mental building), penguatan karakter (personal strength) serta sosial. Apabila SDM pada perusahaan melakukan pekerjaan dengan niat lantaran ibadah dan tanpa belenggu-belenggu negatif berdasarkan pada hati (prasangka, prinsip-prinsip hayati, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut pandang, pembanding dan literatur), maka mental serta kepribadiannya akan bertenaga serta bisa menjalin perilaku dalam konteks menyeluruh.
Tasmara (2001) mengistilahkan kecerdasan spiritual menjadi kecerdasan ruhaniyah (trancendental intelligence). Menurut konsepnya kecerdasan ruhaniyah bertumpu pada ajaran cinta. SDM yg mengasihi pekerjaannya akan menganggap pekerjaan menjadi sebuah rahmat (Sinamo, 2002), sehingga dalam bekerja akan terdorong untuk dilakukan dengan sungguh-benar-benar. Mereka bekerja menggunakan penuh rasa syukur berdasarkan hati yg higienis dan tulus. Dalam pengertian lain bekerja merupakan bentuk rasa syukur pada Tuhan, serta pada bentuk derivatnya merupakan bentuk rasa syukur kepada negara, pemilik modal dan manajemen.
Aspek kecerdasan lain yang sanggup mengatasi kelemahan konsep kecerdasan emosi adaalah kecerdasan dalam menghadapi rintangan (AQ). Kemampuan SDM ini terlihat saat kesulitan semakin meningkat, baik dalam strata rakyat, tempat kerja juga individu (Stoltz, 1997). Dalam syarat kesulitan yang semakin meningkat diharapkan SDM yang bisa bertahan dengan rasa optimis dan mampu merogoh langkah yg sempurna supaya dapat keluar berdasarkan situasi tersebut. Perusahaan wajib mampu berbagi SDM yg bertipe pendaki (climber) daripada tipe berhenti (quitter) dan berkemah (camper). SDM yang bertipe quitter akan segera berhenti pada tengah jalan saat menghadapi kesulitan, sedangkan camper walaupun telah berusaha berjalan dan bersemangat, tetapi mereka cepat puas dan berhenti pada tengah jalan. Lain halnya bagi para pendaki (climber), mereka akan mewujudkan hampir semua potensi dirinya yang terus berkembang sepanjang bepergian hidupnya di perusahaan. Climber memahami bahwa kesulitan merupakan bagian dari hidup, menghindari kesulitan sama saja menggunakan menghindari kehidupan.
SDM yang bertipe climber memiliki keuletan pada menghadapi dan mengatasi semua kesulitan. Mereka merespon kesulitan dengan optimis, menduga kesulitan bersifat ad interim, tidak akan melebar ke aspek-aspek kehidupan lainnya serta hal tersebut lebih bersifat eksternal (Stoltz, 1997). Menurut Sinamo (2002) bila SDM permanen bekerja keras, maka potensi dirinya akan berkembang, lantaran kerja keras berfungsi menjadi sarana ekspresi bagi insan pekerja. Manusia tadi saat bekerja akan mengerahkan tenaga bio-psiko-spiritual yg selain membangun karakter serta kompetensi, sekaligus menciptakan mereka sehat serta bertenaga lahir batin. Dikemukakan lebih lanjut bahwa SDM yang bekerja keras seolah-olah memiliki semangat tanpa batas dan nir mengenal istilah menyerah. SDM demikian dikatakan menjadi SDM yg mempunyai etos kerja tinggi.
Stoltz (1997) pula mengemukakan cara buat mencapai AQ tinggi, yaitu melalui LEAD (listen, explore, analyze dan do). Prosesnya diawali dari mendengarkan respon terhadap kesulitan, menjajaki dari-usul atau penyebab dan pengakuan atas akibat (yang memilih tanggung jawab), menganalisis bukti-bukti dan akhirnya melakukan tindakan nyata dari kondisi yang dihadapinya. Stoltz (dalam Lasmono, 2001) kemudian memperbaiki LEAD menggunakan mengubah E sebagai establish (menegakkan akuntabilitas terhadap sesuatu yang wajib diperbaiki). Berdasarkan hal tadi, SDM yang dimiliki perusahaan akan senantiasa melakukan langkah-langkah konstruktif dan akan tercermin pada perilaku bertahan serta berani mengambil resiko supaya keluar menurut situasi kesulitan yang dihadapi. Mereka akan nampak sebagai SDM yg giat dan pantang menyerah.
Comments
Post a Comment