ASPEK MANTRA DALAM PUISI BAHASA BANJAR

Warga--belajar--Berikut ini kita akan mencoba menyelidiki sedikit mengenai aspek religi mantra dalam puisi bahasa Banjar. Dalam goresan pena ini Bapak akan mengangkat sebuah puisi bahasa Banjar berdasarkan pengajar, sahabat serta pembimbing penulis pada dunia sastra waktu penulis masih aktif menulis cerpen serta puisi. Beliau adalah Noor Aini Cahya Khairani, berdasarkan sekian banyak puisi hebat yang didapatkan menurut buah tangan serta pikiran dia semasa hidup, keliru satu puisi yang sebagai pavorit sangat aku sukai adalah puisi bahasa banjar yang berjudul : "Mangariau Naga".

Dari judul puisi ini yaitu Mangariau Naga bisa kita artikan menggunakan "memanggil naga", namun kata “memanggil” pada bahasa Indonesia jika disandingkan dengan kata pada bahasa Banjar “mangariau” lebih spesifik lagi yang berkaitan menggunakan konsepsi religi magi atau hal-hal gaib. Kata “mangariau” pada kerangka bahasa Banjar tempio dulu merupakan berdasarkan kata “kariaw” yang ialah tarikan mistik; mangariau adalah menarik secara mistik. Jika “kana kariaw” kena imbas mistik, kena guna-guna.
Sedangkan pengertian menurut “naga” merupakan berkaitan menggunakan suatu mitos menurut beberapa kisah kosmos tentang seekor binatang (ular besar ) yg pula dipercaya keberadaannya sang sebagian masyarakat Banjar. Seperti kita dengar istilah dan ucapan orang-orang banjar tempo dulu, “naga” merupakan naga; banaga-naga ialah terdapat  naga (nya); bananagaan bernaga-nagaan, terdapat naga-nagaannya : tajau malawan rancak : belanga kuno seringkali terdapat naga-naganya.
Dalam konsepsi religi Mangariau Naga  berkaitan dengan hal-hal yg gaib melibatkan mantra dalam bahasa Banjar “Mamang” yang dilakukan dalam kegiatan ritual “mangariau” tadi.
Mangariau Naga bisa ditinjau pada citra suatu kisah kosmos tentang naga orang Banjar, mite naga yang dianggap menghuni sungai-sungai akbar di daerah Kalimantan Selatan yg masing-masing diberi nama naga sirintik dan naga siribut, menurunkan konduite mistik bagi lingkungan kerajaan Banjar tempo dulu dan masyarkat Banjar tadi. Gambaran hal ini dapat dipandang pada kutipan Puisi sebagai berikut :
……………………….
Limbah pikah ampat puluh satu pangayuh
limbah tapaluh nangkaya mangayuh jukung basauh
bakalambu ujan panas marintik, basasajian
bapakaian saraba kuning, babaras kuning pawang
bamamang ;
“ barakat aksaraku tatinggi dalam ikam
ikam kada mangariau ku aku nang mangariau ikam
uiii, sirintik siribut nang basisik habang sinang
babalang-balang
napa batapa di kalurungan
kada mayukah  wadai ampat puluh satu macam
kambang laki-bini pitu macam”
lampah, darah alam jalallah 
nang datang matan raden Samudra
sampai kakita.
…………………………….
Naga yg dimantrai (bamamang), serta dikariaw pada Puisi ini memiliki dua pengertian yaitu : pertama, naga seperti yg terdapat dibalik rahasia mitos mistik yang terjadi pada sungai-sungai serta daratan Kalimantan Selatan. Kedua, pengertian naga sebagai substansi generasi muda penerus “banua” (nanang-galuh) yg harus digugah semangatnya agar sebagai lebih maju, nir membiarkan diri larut pada segala keadaan, sifat serta perilaku negatif yang disimbolkan menggunakan “banyu nang karuh”. Dengan mantra maka beliau “dikariaw” seperti kutipan ini :
……………………………
Jangan hanyut ulih banyu nang karuh
Dingsanakku, hulu masih jauh
Ayu hancap kayuh tambangan
Tampulu kita baluman kakadapan.
Terlepas dari konteks logis atau nir logisnya suatu pemikiran religi magi, mantra yg masih ada dalam puisi Mangariau Naga ini harus diselami berdasarkan dunianya, yaitu secara metafisik serta mistis. Secara mendasar dunia mistis ini mempunyai lingkup tersendiri, menurut Joseph J. Weed (1991 : 18) kita memiliki sifat ganda masih ada dua unsur yg mengarungi sistem kita yaitu energi fisik serta energi rokh (energi batin), tidak ubahnya suatu sistem yg terdiri berdasarkan aneka macam variabel kosmos pada lingkup ruang mistik yang luar biasa dinamika, makna dan daya imajinasinya. Dunia yg dimaksud satu ini yaitu global yang meramu dua variabel yaitu irasional yang berada pada luar batas jangkauan logika dan global logos menjadi suatu sistem kesepakatan kemampuan indra insan. 
Mantra “Mamang” dalam puisi ini yang jua berada pada global mistis adalah sebagai suatu pertanda bahwa penyair melakukan suatu langkah buat melewatu suatu batasan global pada dimensi yang lain. Dimensi yg ditandai oleh pencarian identitas jati diri terhadap alam semesta bersama semua makhluk yang terdapat pada dalamnya baik yg kasat mata juga yg tidak kasat mata. Manusia pada prosesnya mencari suatu taktik buat menemukan hubungan yang tepat antara manusia dan daya-daya kekuatan yg terdapat di alam semesta ini.
Dalam puisi ini dengan teradobsinya nilai-nilai budaya rakyat yang bersifat mistis ini, penyair memberikan suatu gambaran pemikiran pada atas, yaitu alam pemikiran ontologis manusia mulai mengambil jeda terhadap segala/sesuatu yg mengitarinya. Penyair dalam posisi ini, tidak lagi sebagai seseorang penonton prosesi, melainkan telah berusaha memperoleh pengertian daya-daya yg menggerakan alam serta manusia. Lantaran itu di sini penyair memulai suatu interaksi perenungan fisik serta alam irasional menjadi kaji-renung metafisik untuk selanjutnya dikedepankan sebagai nilai-nilai yang berharga pada karya puisi tadi.
Kata-istilah “Mamang”, “Kariau”, serta “Naga” berada pada lingkup dunia metafisik serta mistis. Apabila diuraikan jalinannya berada pada lingkup hidup global mitodologi. Dalam global seperti ini nir ada garis pemisah yg jelas antara dunia empiris serta dunia maya dengan insan, antara subyek serta obyek. Hubungan manusia menggunakan makhluk gaib pada termin tadi sanggup dikatakan sebagai suatu subyek, berupa lingkaran yang masih bisa dibuka serta diselami rahasianya, yg akhirnya bermuara kepada ketauhidan dari kekuasaan Tuhan.
Pandangan ini sejalan menggunakan pemikiran Peursen (1995 : 124) yg menguraikannya sebagai ruang “Sosio-mistis” yaitu suatu lingkup daya kekuatan semesta yang dipengaruhi sang pertalian antar suku (sosio) serta oleh sikap yg mistis-mistis. Inti menurut perilaku mistis tersebut, bahwa kehidupan ini ada, ajaib serta berkuasa. Penuh daya kekuatan. Dan dengan pencerahan tadi timbulah cerita-cerita mistis.
Jadi pandangan akan “naga” ini bukan hal yg nir rasional bila naga sebagai seekor binatang, menghadirkan kekuatan supranatural bagi kehidupan manusia. Hubungan alamiah dan adikodrati yang bisa menghantarkan eksistensi insan dalam hasrat individual pada masyarakat yang komunal.
Secara umum jika kita teliti terdapat kesepakatan dan keyakinan masyarakat  generik yang mewarnai struktur mithe yg poly tersebar di nusantra bahkan di dunia ini yaitu unsur global atas serta unsur global bawah menjadi asal penciptaan global mistis. Mitos Naga Banjar adalah merupakan salah sekian menurut beragam ceritera yang berkembang di wilayah nusantara ini yang bisa kita lihat pada tiap-tiap bagian warga tata cara atau suku yang mendiami daerah yang terbentang menurut sabang hingga merauke ini.
Membaca konsep lanskap alam yg menjadi setting puisi ini, kita mengarahkan pada latar belakang penyair sebagai salah seseorang masyarakat atau suku Banjar yang kehidupannya bermula pada proses dinamika alam Banjar, ia terlihat sangat dekat dengan lingkungannya terutama lingkungan sungai yang memang melingkupi semua kehidupannya. Pada rakyat Kalsel sendiri pada biasanya sarana air serta sungai adalah sarana aktivitas keseharian yg sangat dominan dan sangat vital. Kehidupan yang dimulai menurut proses konsumsi, transportasi, ekonomi hingga kegiatan buang air akbar serta mini . Karena itu bagi penyair mantra-mantra yg dilakukan diarahkan dalam kehidupan sungai ini. Ada beberapa kata serta kalimat dalam puisi tersebut yg berkaitan menggunakan dinamika sungai ini misalnya kata-istilah dan kalimat pada kutipan puisi ini :
…………………………..
Di bawah kalas muha ari, di atas soklat sungai martapura  
……………………………
Mangayuh tambangan tumatan muhara ka hulu
mananjak ilung nang datang tumatan Baritu
………………………………..
gasan anak cucu nang pada tabing atau di banyu
tabing versus banyu kita, urang Banjar
…………………………………
Limbah pikah ampat puluh satu pangayuh
limbah tapaluh nangkaya mangayuh jukung basauh
……………………………
Jangan hanayut ulih banyu nang karuh
Dingsanaku, hulu masih jauh
Ayu hancap kayuh tambangan
………………………..
Unsur air (banyu), bahtera (jukung), rakit (lating/batang), enceng gondok (ilung), tebing atau tepian sungai (tabing) merupakan tradisi berdasarkan sebuah kebudayaan sungai yang telah mendarah daging serta berurat mengakar pada masyarakat Banjar. Begitu pula saat proses mangariau menggunakan perilaku seorang pawang yang “bamamang” (membaca mantra), yaitu gambarannya bisa ia dilakukan pada pinggir sungai dengan sandang serba kuning, menaburkan beras kuning serta melarutkan atau memasukan ke dalam sungai kue-kue makanan khas Banjar sejumlah empat puluh satu jenis, bunga-bunga pria dan perempuan “pitu” (tujuh) macam bunga, menjadi lambang kesempurnaan dan kelengkapan sesaji sehabis menggenapkan semedi atau meditasi yang sudah dilakukan. Hal tersebut secara logika dan akal memang tidak sanggup diterima, karena hanya berupa pemborosan materi dan pembuangan tenaga belaka. Tetapi apabila kita lepaskan jubah logika dan memandangnya berdasarkan kacamata paranormal, metafisik, dan parapsikologi akan terlihat suatu nilai harmonium yang relevan dengan hidup manusia yg mendambakan kesempurnaan. Sehingga hal ini dapat dipahami dan diterima sang nalar insan itu sendiri.
Dalam proses mistis pada atas, kita wajib memahami global antologi mistis, serta harus meletakan mithe sebagai teks dasar yg wajib dikaji dengan pencerahan tersendiri sehingga kita memandang serta memuat global makro yang berisi nilai multidimensi kemasyarakatan. Dunia mistik sendiri berdiri dalam batasan cukup transparan beliau bisa dipandang menurut kacamatan ilmiah dengan melibatkan verifikasi-verifikasi yg logis serta amanah dalam prosesnya (Joseph J. Weed 1991 : 17-27).
Mantra yg dimuat penyair pada puisi kita anggap sebuah teks mistis. Teks ini wajib dicermati menjadi miniatur refleksi kehidupan yang serba kompleks. Kalau kita renungi pesan-pesannya maka akan terlihat sebuah global yg sangat menarik tanpa memberikan restriksi antara dunia menyeramkan/sakral yang identik dengan kesunyian, kesepian serta kegelapan menggunakan dunia konkret yang identik menggunakan warna-warni, hiruk-pikuk dan semangat yang menyala-nyala.
Dari output pengalaman pada masyarakat kita akan dapatkan suatu mantra itu sinkron menggunakan tujuannya pawang atau orang yang menggunakannya. Karenanya mantra identik dengan tujuannya, yaitu beragam, seperti untuk mangariau naga tadi. Bagi kita lepas dari masalah itu, kita melihat mantra itu hanya berdasarkan segi estetika (estetika) dan permainan kata saja, juga menurut segi bahasa kesusastraan itu sendiri.
BIODATA PENYAIR NOOR AINI CAHAYA KHAIRANI
Sekedar mengenang serta mengingat kehadiran belau dihati, dan jasa-jasa dia terhadap penulis dan teman-sahabatnya yg lain, berikut adalah adalah biografi singkat kehidupan langsung dan kepenyairan beliau semasa hayati :
  
Noor Aini Cahya Khairani merupakan penyair wilayah Kalimantan Selatan yang berdomisili pada Banjarmasin. Noor Aini Cahya Khairani dilahirkan pada Banjarmasin lepas 10 Januari  1959, meningal dunia hari Senin, 18 Agustus 2003.  Masa kecilnya banyak dihabiskan pada lingkungan keluarganya dekat dengan kehidupan sungai yg dekat menggunakan pasar terapung di daerah Kuin Utara Banjarmasin. Menyukai global tulis-menulis dari tahun 1980, namun mulai sahih-sahih berfokus selesainya tahun 1984. Puisi, cerita pendek serta esai sastranya dimuat diberbagai media masa seperti di Surat Kabar Merdeka, Swadesi, Bali Post, Sinar Harapan, Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Untaian Mutiara Sekitar Ilmu serta Seni (UMSIS) RRI Nusantara III Banjarmasin dan Majalah Sastra Budaya Horison.
Karya-karya Pengarang:
Dari segi karya-karyanya Noor Aini Cahya Khairani banyak menulis Puisi dan Cerita Pendek disamping beberapa essai dan tulisan sastra populer lainnya. Puisi-puisinya poly terhimpun dalam antologi bersama, antara lain misalnya pada antologi : Forum  Puisi Indonesia “87 (terbitan Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Antologi Puisi Sanggar Minum Kopi Bali (Bali, 1990), antologi LPPIA (Surabaya, 1992), antologi Refleksi 50 tahun Indonesia Merdeka (Taman Budaya Surakarta, 1995), antologi Puisi Indonesia (Komunitas Sastra Indonesia, Bandung, 1997), serta banyak sekali antologi puisi beserta penyair Kalimantan Selatan lainnya.
Setelah ulet menulis semenjak 1984, prestasinya pada dunia sastra terus bertambah. Antara lain, Juara I Lomba Puisi Deppen-Depdikbud Kalsel (1985), Juara I Lomba Tulis Cerpen Bahasa Banjar Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalsel (1986), Juara I Lomba Tulis Puisi Bebas HIMSI Kalsel (1989) serta galat satu berdasarkan 10 Puisi Terbaik Lomba cipta Puisi Se-Indonesia yang diadakan Sangga Minum Kopi (Susu Kental Manis) Bali (1990) Salah satu puisinya pernah terpilih sebagai puisi terbaik dalam lomba tulis puisi hari kebangkitan nasional. Juga puisi serta cerpennya berhasil meraih juara pertama pada lomba yg diadakan sang Himpunan sastrawan Indonesia Kalimantan Selatan. Puisi Mangariau Naga merupakan keliru satu puisinya dalam bahasa Banjar yg sebagai pemenang pertama pada lomba tulis Puisi Bahasa Banjar Tahun 1999 yg pula diadakan HIMSI Kalimantan Selatan.
Tahun 1997 Noor Aini Cahya Khairani mengikuti Forum Puisi  Indonesia ’87 yang dilaksanakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1997), pemakalah dalam diskusi sastra di Galeri Made Wianta di Denpasar (1990); peserta Temu Sastra Lembaga Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (LIPPIA) di Surabaya (1992,1994), Pekan Seni Daerah Banjar di Anjungan Kalsel di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta (TMII) Jakarta (1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka pada Solo (1995), Bedah Buku dan Diskusi Sastra Kepulauan II pada Makasar (2000), Banjarmasin Performing Art di Banjarmasi (2001) serta Dialog Borneo-Kalimantan VII pada Swiss-Belhotel Borneo Banjarmasin (2003).
Selain membacakan puisi di lembaga sastra lokal juga nasional, dia sering diminta menjadi juri lomba membaca juga mengarang puisi serta pemakalah pada sejumlah sarasehan, seminar dan diskusi sastra. Tahun 1999 dipercaya menjadi puncak prestasinya sebagai seniman khsusnya artis seni sastra wilayah Banjar, Noor Aini Cahya Kahirani mendapat Hadiah Seni pada bidang Seni Sastra menurut Gubernur Kalsel.
Sumber: Disarikan menurut Makalah Kuliah PENULIS yang berjudul "Seni Budaya Banjar pada Sastra Puisi Daerah Banjar". Yg diajukan untuk mata kuliah Dinamika Budaya.

Comments