POTRET AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

Potret Agribisnis Kelapa Sawit 
1. Perkebunan Kelapa Sawit
Siering dengan meningkatnya permintaan minyak sawit domestik serta global, perkebunan kelapa sawit dalam negeri berkembang pesat. Pada tahun 1968, luas huma hanya lebih kurang 120 ribu ha lalu menjadi 294 ribu ha dalam tahun 1980, sebagai lima,16 juta ha dalam tahun 2005 dan menjadi 7,32 juta ha pada tahun 2009. Selain pertumbuhan huma yg sangat luas, penyebaran perkebunan kelapa sawit yang semula hanya terdapat pada 3 propinsi saja pada Sumatera, sekarang telah beredar di 19 propinsi pada Indonesia. 

Areal terluas perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada di Pulau Sumatera yg meliputi 74,87% kemudian diikuti Kalimantan serta Sulawesi, masing-masing 21,35% dan 2,4%. Riau merupakan pembuat kelapa sawit terbesar pada Indonesia. Pada tahun 2009 produksi kelapa sawit Riau telah mencapai 24% menurut produksi nasional kemudian diikuti Jambi dengan produksi mencapai 7,7 persen berdasarkan produksi nasional. 

Selain itu, ketika ini terjadi pergeseran kepemilikan perkebunan kelapa sawit. Semula huma kelapa sawit hanya dipegang sang perkebunan besar namun sekarang telah meliputi perkebunan masyarakat serta partikelir.

Data berdasarkan Direktorat Jenderal Perkebunan (2005) memberitahuakn luas areal perkebunan masyarakat (PR) mencapai dua.202 ribu ha (40,44%), perkebunan akbar negara (PBN) 630 ribu ha (11,56%), serta perkebunan akbar swasta (PBS) 2.613 ribu ha (47,98%). Pada tahun 2009 komposisi kepemilikan perkebunan kelapa sawit tadi sedikit mengalami perubahan dimana PBS mencapai 47,81 %, PR 43,76 %, serta PBN 8,43 persen. Sejalan dengan perkembangan lahan kelapa sawit Indonesia, produksi pun mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1968 produksi minyak sawit hanya 181 ribu ton, maka dalam tahun 2005 produksi nasional sudah mencapai 12,45 juta ton. Meskipun nomor produksi yg meningkat tajam, produktivitas huma kelapa sawit masih rendah jika dibandingkan Malaysia. Kesesuaian lahan sebagai keliru satu faktor. Pulau Sumatera adalah daerah menggunakan produktivitas huma kelapa sawit tertinggi apabila dibandingkan Kalimantan serta Sulawesi. Secara pengusahaan, taraf produktivitas PR sekitar dua,86 ton CPO/ha atau setara 13,61 ton tandan buah segar (TBS)/ha, PBN 3,57 ton CPO/ha atau setara 16,98 ton TBS/ha, serta PBS 3,51 ton CPO/ha atau kurang lebih 16,69 ton TBS/ha. Pada tahun 2009, Indonesia sanggup berada di urutan pertama global menjadi negara produsen minyak sawit menggunakan jumlah produksi diperkirakan mencapai 20,6 juta ton, lalu diikuti sang Malaysia berada pada urutan ke 2 menggunakan produksi mencapai 17,57 juta ton. 

Porsi produksi minyak sawit Indonesia dan Malaysia tersebut mencapai 85% menurut produksi total dunia yg sebesar 45,1 juta ton. Sebagian akbar produksi minyak Sawit Indonesia merupakan komoditas ekspor dengan porsi mencapai 80 % total produksi domestik pada tahun 2008. Negara utama tujuan ekspor minyak sawit Indonesia adalah India (33 %) kemudian diikuti Cina (13 %) dan Belanda (9%) (Oil World 2010). Disamping CPO, minyak inti sawit adalah hasil bernilai tinggi dari perkebunan kelapa sawit. 

Pada tahun 2005 produksi minyak inti sawit mencapai 2,lima juta ton. Untuk menerima kelapa sawit dengan produktivitas tinggi, PR, PBN, serta PBS harus menggunakan benih kelapa sawit yang berkualitas. Saat ini galat satu sumber benih kelapa sawit tergabung dalam Forum Komunikasi penghasil Benih Kelapa Sawit yang anggota-anggotanya merupakan PPKS, PT. Socfin, PT Lonsum, PT. Dami Mas, PT Tunggal Yunus, PT Bina Sawit Makmur, dan PT Tania Selatan. Masing-masing produsen benih tersebut secara berurutan bisa menghasilkan 35 juta, 35 juta, 15 juta, 12 juta, 12 juta, 25 juta, dan dua juta kecambah kelapa sawit sehingga totalnya mencapai 136 juta per tahun. 

Dari sisi ketenagakerjaan, perkebunan kelapa sawit bisa menyerap energi kerja relatif akbar. Pada tahun 2008 masih ada tiga,25 juta orang bekerja pada perkebunan kelapa sawit, kemudian meningkat menjadi tipis sebagai tiga,28 juta orang dalam 2009 serta 3,38 juta orang dalam 2010. Pada tahun 2011 serta 2012 diperkirakan jumlah orang yg bekerja pada perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi masing-masing tiga,42 juta orang dan 3,7 juta orang (Ditjen Perkebunan, 2012).

Tabel Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit pada Indonesia


Industri Pengolahan dan Perdagangan Crude Palm Oil (CPO)
Peningkatan luas lahan serta produksi kelapa sawit telah mendorong berkembangnya industri pengolahan CPO. Sebagian akbar industri hilir yang mengolah kelapa sawit di Indonesia berkategori pangan misalnya minyak goreng, sedangkan untuk produk bukan pangan nisbi masih sedikit. Industri hilir kelapa sawit berada pada kota-kota besar siering dengan fasilitas pelabuhannya yang relatif baik. Daerah-daerah yang adalah pusat produksi minyak goreng seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Kamiur, Riau, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. 

Sedangkan berdasarkan sisi perdagangan, ekspor produk kelapa sawit Indonesia mengalami pertumbuhan yg sangat pesat. Jika pada tahun 1981 nomor ekspor mencapai 201 ribu ton, maka angka ini melonjak tajam dalam tahun 1990 mencapai 1,dua juta ton (tumbuh 497 % pada 10 tahun). Dalam sepuluh tahun berikutnya pada tahun 2000 ekspor telah mencapai 4,7 juta ton (tumbuh 292 persen dibanding tahun 2000) serta di tahun 2009 ekspor sudah mencapai 21,2 juta ton atau tumbuh 351 persen.

Tabel Volume dan Nilai Ekspor-Impor Kelapa Sawit Indonesia


Kelembagaan dan Kebijakan Pemerintah Mengenai Kelapa Sawit
Ada beberapa organisasi independen yg berhubungan dengan agribisnis kelapa sawit diantaranya Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Federasi Asosiasi Minyak Nabati Indonesia (Famni), serta Asosiasi Pengusaha Oleokimia Indonesia (Apolin). Sedangkan di lingkungan petani terdapat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) serta Gabungan Asosiasi Petani Perkebungan Indonesia (Gaperindo). Selain asosiasi tersebut, juga terdapat Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) yang berfungsi agar minyak sawit dan turunannya bisa sebagai market leader serta menambah kesejahteraan masyarakat.

Sedangkan menurut sisi kebijakan pemerintah, terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang terkait erat menggunakan agribisnis kelapa sawit misalnya:
1. Kebijakan perpajakan dan retribusi melalui instrumen pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), serta retribusi dalam rangka menaikkan penerimaan negara;
2. Kebijakan perdagangan dengan maksud buat menghambat ekspor misalnya melalui instrumen Bea Keluar;
3. Kebijakan bonus perpajakan dengan maksud buat mendorong hilirisasi/penciptaan nilai tambah produk kelapa sawit antara lain melalui tax allowance serta tax holiday;
4. Kebijakan yang mendorong investasi melalui kemudahan perijinan;
5. Penerapan pola integrasi vertikal antara kebun kelapa sawit dengan pengolahan dan integrasi antara kebun kelapa sawit menggunakan bisnis lain, misal ternak dan penerapan lima pola pengembangan perkebunan, yaitu: (i) pola koperasi bisnis perkebunan, (ii) pola patungan koperasi sebagai secara umum dikuasai pemegang saham dan investor sebagai minoritas pemegang saham, (iii) pola patungan investor sebagai mayoritas pemegang saham serta koperasi sebagai minoritas pemegang saham, (iv) pola built, operated, and transferred (BOT), serta (v) pola tabungan negara (BTN).
6. Selain itu terdapat UU No. 18 tahun 2004 menjadi payung hukum bisnis di agribisnis kelapa sawit sebagai bagian integral dari subsektor perkebunan.

Hasil Survei Lapangan Kelapa Sawit serta Produk Karet pada Beberapa Daerah
Hasil Survei Lapangan Produk Kelapa Sawit pada Wilayah Sumatra Utara
Perekonomian Sumatera sangat didominasi sang Provinsi Sumatra Utara, Sumatera Selatan, dan Riau. Peran industri serta perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara sangat secara umum dikuasai demikian juga di beberapa propinsi pada Sumatera lainnya. Di Jambi, contohnya, peran industri kelapa sawit diperkirakan lebih kurang 28% dari perekonomian pada provinsi tersebut. Di Provinsi Riau dan Bengkulu, kiprah kelapa sawit dalam perekonomian jua sangat dominan. Kenaikan permintaan terhadap komoditi kelapa sawit serta komoditi output perkebunan lainnya, misalnya karet, akan sangat mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah ini (Kadin, 2009). 

Sampai tahun 2009, perkembangan perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara terus semakin tinggi dengan luas perkebunan sawit mencapai 1,9 juta hektar dengan rincian satu juta ha adalah perkebunan inti rakyat (PIR) serta 400.000ha dikelola oleh PTPN serta perusahaan perkebunan nasional 500.000 Ha. Bahkan buat mengakibatkan Sumut sebagai barometer perkelapasawitan nasional, pihak PTPN II telah menyiapkan sedikitnya 8.171,54 ha lahan buat menambah pengembangan perkebunan kelapa sawit (PTPN IV, 2009). Sebagai galat satu wilayah yg mempunyai huma perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, Sumut juga membuahkan produkproduk berbasis kelapa sawit sebagai keliru satu komoditas andalan ekspor. Pangsa ekspor CPO terus mengalami peningkatan menurut tahun ke tahun. Jika dalam tahun 2006, pangsanya mencapai 34,75%, maka dalam triwulan I-2009 ekspor CPO pulang mendominasi, menggunakan pangsa sebanyak 47,36% (BI, 2009).

Terkait kebijakan pengembangan direkomendasikan agar pemerintah daerah (Pemerintah Daerah) memberikan kemudahan-kemudahan menggunakan memperhatikan minat investor agribisnis yg berkehendak menggalakkan investasi pada bidang down stream menurut kelapa sawit di Sumatera Utara dengan mengajak investor lokal maupun asing buat membangun pabrik-pabrik produk turunan dari CPO pada Sumatera Utara dengan tidak mempersulit dalam hal perizinan. Sehingga penanganan investasi dalam bidang pengolahan produk turunan CPO ditinjau perlu buat segera dimulai. Dengan banyaknya pabrik produk turunan CPO pada Sumatera Utara akan berdampak pada penyerapan energi kerja, PAD, GDP Sumatera Utara serta kesejahteraan warga .

Terkait menggunakan lokasi penyebaran produksi CPO ini, galat satu lokus klaster yang perlu menerima dukungan semua pihak dalam pengembangan hilirisasi CPO adalah Kawasan Industri Sie Mangkei, Sumatera Utara. Dengan mengaglomerasikan industri berbasis kelapa sawit pada satu lokus klaster, maka akan tercipta efisiensi industri yg akan meningkatkan daya saing industri menuju industri kelas global. Beberapa produk hilir yg potensial dikembangkan secara terpadu dan terintegrasi menurut hulu hilir di Kawasan Industri Sie Mangkei diantaranya Minyak goreng sawit (curah serta kemasan), Margarine, Shortening, Biodiesel, Betacarotene, Tocopherol, Fatty Acids, Fatty Alcohol, Surfactan, dan sebagainya (Kementerian Perindustrian, 2011).

Temuan output survei lapangan tentang nilai tambah produk kelapa sawit yg dilakukan pada Sumatra Utara terhadap beberapa responden diantaranya regulator (Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Perkebunan propinsi Sumatra Utara), pelaku usaha (PTPN III Sumatra Utara) serta Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Sumatra Utara, bisa diuraikan sebagai berikut :
a. Kepala Sub Dirjen Industri Hasil Perkebunan Pangan Kementrian Perindustrian menyampaikan, bahwa satu wilayah penghasil kelapa sawit yg potensial buat dikembangkan klaster industri hilir kelapa sawit adalah wilayah Sumatra Utara. 

Proyeksi produk CPO pada provinsi ini relatif akbar yaitu sebesar lima,07 juta ton per tahun atau sebesar 28,04 persen dari produksi nasional atau sepertiga produksi nasional.

b. CPO output produksi wilayah Sumatra Utara sebagian akbar diekspor ke Malaysia,Eropa dan beberapa negara Asia lainnya seperti RRC dan India termasuk Negara-negara Asia tengah misalnya Ukraina. Yang menarik lagi bahwa tahun 2012, negara tujuan ekspor CPO Sumatra Utara yg relatif potensial merupakan Israel. Mulai Januari 2012 ekspor CPO ke negara Israel dilakukan secara langsung pengapalan dari Belawan ke Israel yg sebelumnya wajib melewati Yordania atau pelabuhan Ashdod. Hal ini sinkron dengan berita berdasarkan Harian Medan Bisnis hari Kamis lepas 24 Mei 2012. Hal ini pula sinkron menggunakan output wawancara dengan Bapak Fitra Kurnia kepala seksi Hasil Pertanian dan Pertambangan Disperindag Sumut. Produk ekspor yang dikirim ke Israel didominasi sang CPO, lantaran di sana telah ada pabrik buat memasak produk turunan atau hilirisasi CPO. Selain CPO produk yg dikirim ke Israel per Maret 2012 merupakan produk olaine (minyak goreng) sebesar 630 ton menggunakan nilai US $ 75,915 juta, CPKO sebesar 21 ton atau US$ 29,820 juta, shortening sebesar 752,6 ton atau benilai US$ 856.600.

c. Sebagian akbar ekspor CPO Sumatra Utara belum diproses lebih lanjut. Padahal produk turunan kelapa sawit yg dapat dikembangkan masih cukup bervariatif, Menurut (Kemenperin, 2009) produk turunan kelapa sawit dapat diolah sebagai beberapa produk lain misalnya, sebagai berikut:

1) Produk kuliner (Food)
Produk kuliner ini seperti baking shortening, friying shortening, milk fat replacer, cocoa butter substitutes, cocoa butter equivalent, cocoa butter replacer, confectionary fats, ice cream fats, creamer, specialty bakery fats, icing and filling fat, spread fats.

2) Oleochemicals
Fatty acids (stearic acid, aleic acid, palmitic acid, myristic acid, lauric acid), fatty alcohol, glycerine, lilin (candle) fatty alcoholmethyl esther sulphate (FAMES), fatty alcohol ethoxylate (FAE), methyl esther sulphonate (MES), gycerol mono oleate (GMO), diethyl oleate (DEO), tocopherol.

3) Energi
Fatty Acid Methyl Esther (FAME), Fame Euro 2 serta Eiro 4 Sesification.

Kendala-kendala yang dihadapi pada pengembangan nilai tambah kelapa sawit di Sumatra Utara
Hilirisasi pada umumnya telah dilakukan sang beberapa industri pengolahan kelapa sawit. Tetapi masih terbatas dalam beberapa produk-produk berbahan minyak sawit seperti minyak goreng atau buat produk-produk makanan (food), produk oleochemicals dan produk-produk pharmaceutical atau cosmetics. Seperti halnya yg sudah dilakukan sang PTPN III Sumatera Utara menggunakan luas huma perkebunan 105.385,81 hektar serta memiliki 28.668 orang karyawan. Ke depan perushaan ini sedang menkonsolidasi buat pengembangan hilirisasi kelapa sawit serta menyebarkan usahanya melalui ekspansi di tempat industri terpadu Sie Mangke. Disamping PTPN III ada beberapa industri kelapa sawit dibawah Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia Sumatra Utara yg terus melakukan pengembangan hilirisasi misalnya PT. Socfindo, PTPN II, PT. Lonsum serta lain-lain. 

Mereka berharap hilirisasi akan cepat terlaksana jika Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sie Mangkei, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara segera terealisir sebagai tempat industri hilirisasi sawit dan karet. Diperkirakan investasi yang diharapkan sebanyak Rp lima,7 triliun khususnya Penanaman Modal Asing (PMA). Sampai saat ini belum berjalan. 

Para pengusaha mengharapkan industri terpadu ini akan menerima perhatian penuh dari pemerintah sentra serta pemerintah daerah, dan akan mendapatkan berbagai fasilitas kemudahan buat menaikkan nilai tambah. Beberapa responden menyampaikan bahwa rencana pemerintah sentra telah cukup mengagumkan terkait proyek Sie Mangke, tetapi implementasi Pemerintah wilayah banyak terkendala baik masalah prasarana maupun sarananya.

Dari output diskusi serta questioner dengan responden, ternyata poly sekali hambatan yg terjadi dilapangan dalam umumnya guna peningkatan nilai tambah produk sawit, diantaranya merupakan sebagai berikut:
a. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus atau tempat terpadu Sie Mangkei Simalungun Sumut sangat lambat.
b. Lambatnya Pemda-Pemerintah Daerah setempat merespon dalam anugerah/pengurusan ijin-ijin.
c. Banyaknya konkurensi lahan.
d. Banyaknya konflik huma, terutama akibat pemekaran daerah. Pertarunga ini diantaranya permintaan kepada perusahaan atas penyediaan lahan untuk fasilitas Pemda baru juga adanya Rencana Tata ruang dan Rencana Wilayah (RTRW) sehingga mensugesti status lahan baik HGL, HGU juga HGP.
e. Bank mempersyaratkan jaminan (sertifikat lahan) kepada petani buat mendapatkan kredit guna peremajaan tanamaman kelapa sawit, tetapi Pemerintah Daerah atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) sulit mengabulkan status lahan tadi.
f. Wilayah-wilayah baru banyak menerapkan retribusi baru kenyataanya seringkali tumpang tindih dengan retribusi menurut wilayah sebelumnya.
g. Ketidakjelasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masukan dalam perusahaan perkebunan yg terintegrasi dengan perushaan kelapa sawit.
h. Ketidakharmonisan anggaran antara Pemerintah pusat dan peraturan wilayah, atau Peraturan Daerah satu menggunakan lainnya sebagai contoh Kementerian kehutanan dengan Pemda.
i. Jalan, jembatan, jaringan kereta api serta pelabuhan yg masih minim.
j. Masalah pasokan tenaga listrik jua masih terkendala.
k. Masalah teknologi untuk pengembangan nilai tambah produk sawit yang memerlukan dana besar .
l. Keluhan tentang PMK 67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan Bea keluar (BK), besaran BK antar produk hulu serta hilir hampir sama. Hal ini menyebabkan hilirisasi industri kelapa sawit nir berkembang.

Beberapa Harapan para Pelaku Industri Kelapa Sawit
Beberapa asa menurut responden terutama pelaku usaha kelapa sawit dalam rangka menaikkan nilai tambah produk kelapa sawit, yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Perlu adanya research and development mengenai produk kelapa sawit.
b. Agar diturunkan tarif Bea Keluar, dengan harapan para petani bisa menikmati keuntungan kelapa sawit, yg selanjutnya bisa dipakai untuk pengembangan produk turunannya.
c. Kalaupun Bea Keluar dikenakan tetapi dana tersebut semestinya dikembalikan lagi ke petani dalam bentuk infrastruktur baik jalan, pelabuhan, termasuk penelitian (research) guna menaikkan nilai tambah pulang.
d. Bea keluar hendaknya jangan dijadikan instrumen penerimaan negara tetapi hanya menjadi kebijakan temporer, serta penerimaan BK tersebut bisa disalurkan kembali ke 30 daerah bisa melalui mekanisme perimbangan keuangan atau seperti halnya Pajak Bumi serta Bangunan yang pada-share ke wilayah propinsi juga daerah tingkat 2.
e. Birokrasi perijinan perlu diperbaiki termasuk buat menghindari sengketa lahan.
f. Petani masyarakat dapat diberikan subsidi harga benih unggul maupun subsidi pupuk.
g. Proyek pengembangan Kawasan industri terpadu Sie Mangke Simalungun supaya dipercepat pembangunannya sebagai akibatnya segera dioperasionalkan.

Beberapa Alternatif Peningkatan Nilai Tambah produk CPO 
a. Penerimaan Bea Keluar yg sudah masuk ke penerimaan negara dibutuhkan dikembalikan pulang, yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan research, subsidi ke petani kelapa sawit atau dalam bentuk benih unggul kelapa sawit sebagai akibatnya meringankan beban petani guna peremajaan perkebunan kelapa sawit. Mengingat jumlah perkebunan kelapa sawit milik petani diperkirakan sebesar 42 %.

b. Khusus Bea keluar sifatnya adalah kebijakan yang temporar, tetapi ketika ini dijadikan penerimaan negara. Oleh karenanya bea keluar dari sektor kelapa sawit ini cukup akbar sehingga bisa dimanfaatkan atau disalurkan balik guna pengembangan hilirisasi misalnya pengembangan research juga anugerah subsidi benih juga permesinan kepada petani atau pengusaha. Adapun prosedur sharing ke wilayah, dapat dilakukan seperti halnya pembagian distribusi hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

c. Regulasi diperbaiki terkait pemanfaatan lahan, perijinan, dan harmonisasi kebijakan dan anggaran.

d. Untuk PTPN atau perusahaan milik negara yg akan mengembangkan hilirisasi tentu membutuhkan dana investasi sangat akbar. Oleh karenanya dapat dilakukan melalui pengurangan pembagian keuntungan buat pemerintah buat memberi kesempatan melakukan investasi guna pengembangan industrinya.

e. Sebagai perbandingan bahwa produksi kelapa sawit Indonesia dan Malaysia. 
Indonesia rata-rata produksi 14-15 ton per hektar sedangkan Malaysia mencapai 20-25 ton per hektar. Beberapa hal yang perlu dilihat adalah Malaysia waktu ini lantaran lahan terbatas banyak melakukan perluasan usahanya ke Indonesia dan giat menyebarkan peningkatan nilai tambah (hilirisasi) produk kelapa sawit. Dan terus menaikkan research and development tentang produk sawit, sehingga didapat penemuan serta pengembangan produk hulu dan produk hilir yg lebih unggul. Dari sisi hulu, Malaysia telah mengembangkan benih yang unggul yang akan menaikkan produksi. Walaupun Indonesia sendiri pengembangan produk hulu pula terus digalakkan. Oleh karena itu dinas perindustrian dapat terus membuatkan penemuan produk kelapa sawit.

f. Menurut Dinas Perkebunan Sumut yg memang tupoksinya adalah pengembangan perkebunan disektor hulu, mengatakan bahwa beberapa perusahaan swasta sudah memiliki lembaga riset yang telah menyebarkan benih kelapa sawit yg unggul. Tiga perusahaan tersebut antara lain PT Socfin Indonesia, PT London Sumatra Indonesia serta Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Dari penelitian ini dihasilkan hibrida kelapa sawit yg ketika ini jua diekspor antara lain ke Nigeria serta Gabon Afrika. Pengembangan ini semestinya lebih luas lagi bukan hanya daerah Sumatra Utara namun ke wilayah lainnya.

g. Keunggulan Kawasan Industri Sie Mangkei sebagai lokus klaster merupakan: agunan pasokan bahan standar minyak sawit; fasilitas air bersih, listrik, serta pengolahan limbah relatif memadai; kemudahan teknis buat integrasi industri hulu hingga hilir; terintegrasi dengan fasilitas logistik pelabuhan Kuala Tanjung, jalan rel trans Sumatera Utara; serta reputasi PTPN III menjadi pemasok bahan standar yg tersertifikasi RSPO (Roundtable Sustainable of Palm Oil). 

Hasil Survei Lapangan Produk Kelapa Sawit di Wilayah Kalimantan Barat
Temuan output survei lapangan mengenai acara hilirisasi atau nilai tambah produk kelapa sawit yang dilakukan pada Kalimantan Barat yang ditujukan pada beberapa responden , antara lain dari regulator yaitu Dinas Perindustrian serta Perdagangan serta Dinas Perkebunan propinsi Kalimantan Barat, pelaku Industri Kelapa Sawit (PTPN XIII Kalimantan Barat) dan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Kalimantan Barat. Hasil wawancara dengan mereka dapat diuraikan menjadi berikut:

Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat.
Kalimantan Barat telah berhasil merealisasikan produk kelapa sawit dalam tahun 2011 sebanyak 9.000 ton pertahun. Areal lahan yg dapat dikembangkan sebanyak 1,lima juta ha, namun hanya bisa direalisasikan sebanyak 880 ha. Lahan tersebut poly dimiliki sang perusahaan perkebunan swasta, perkebunan milik petani dan PT Perkebunan Negara 13. Perusahaan partikelir tersebut seperti Wilmar group, Jarum Group dan lain-lain. 

Menurut Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat terkait peningkatan nilai tambah adalah bahwa tugas dan fungsi menurut Dinas Perkebunan selama ini adalah mempertinggi nilai tambah khususnya disisi hulu, sebagai akibatnya banyak berhubungan dengan kegiatan dalam pembenihan dan pelatihan para petani kelapa sawit. Menurutnya petani, mereka sangat mengharapkan kiprah pemerintah pada mensejahterakan mereka melalui pemberian subsidi bibit unggul kelapa sawit, subsidi pupuk, serta perbaikan infrastruktur jalan dan jembatan. Adapun secara rinci kebijakan yg bisa dilakukan pemerintah antara lain:
a. Peningkatan luas areal plasma bagi para petani.
b. Perbaikan infrastruktur.
c. Peningkatan produktivitas hasil, melalui peningkatan plasma dan inti, peningkatan rendemen kelapa sawit sebagai 26 % menurut 18 % waktu ini.
d. Peremajaan kebun kelapa sawit, termasuk meminimalisasi beredarnya benih-benih kelapa sawit palsu.
e. Peningkatan lahan perkebunan.
f. Peningkatan peran penelitian serta pengembangan (litbang) yg bisa bekerja sama menggunakan universitas atau forum-forum penelitian lainnya guna mempertinggi produktivitas kelapa sawit dan peningkatan nilai tambah.

Terkait dengan bea keluar (BK), Kepala Dinas Perkebunan Kalbar mengharapkan adanya bagi output atau sharing kembali ke daerah pendapatan pemerintah atas bea keluar CPO selama ini. Bagi hasil atas BK ini yang total penerimaan berjumlah Rp 6,1 triliun (per Maret 2011) diharapkan segera direalisasikan menggunakan memperkamibangkan dasar perhitungan yang adil dan peruntukan yg lebih efektif contohnya buat pembangunan infrastruktur jalan atau pelabuhan di wilayah, peningkatan penelitian serta pengembangan kelapa sawit dan peningkatan kesejahteraan petani melalui beberapa subsidi kepada petani misalnya subsidi benih. Saat ini Bea keluar Kelapa Sawit adalah BK progresif atas dasar harga yang berlaku pada pasaran yang mengacu harga Roterdam (pertanyaannya, kenapa harga bukan mengacu pada harga patokan pada Indonesia, karena Indonesia adalah pemasok terbesar dunia).

Adapun tarif progresif Bea Keluar sebagaimana diatur PMK nomor 011 tahun 2012 waktu yang masih berlaku merupakan menjadi berikut :

Tabel Tarif Bea Keluar CPO

Akhir-akhir ini harga CPO dunia terus menurun mencapai Rp6.500 perkilogram di pasar internasional. Hal ini dikarenakan permintaan dunia akan CPO terus menurun. 

Penyebab utamanya merupakan permintaan CPO China menurun siering penurunan permintaan negara-negara Eropa akibat krisis yang dialaminya. Ditambah lagi kebijakan Pemerintah Malaysia yg memotong pajak ekspor menurut 23 persen flat sebagai antara 4,lima persen–8,5 % progresif. Dengan demikian makin membanjirnya pasokan CPO dunia. 

Walaupun terdapat harapan harga akan bangkit menurut negara India yang akan mengadakan festival keagamaan bulan Oktober 2012. Biasanya menggunakan festival keagamaan ini permintaan CPO akan melonjak.

Dengan demikian, waktu inilah pemerintah Indonesia dibutuhkan terus menggalakan program hilirisasi produk CPO lantaran disamping nilai tambah output ekspornya lebih aporisma pula ketergantungan dalam produk ekspor CPO bisa berkurang, demikian himbauan menurut Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat.

PTPN XIII Kalimantan
Hilirisasi pada umumnya sudah dilakukan oleh beberapa industri pengolahan kelapa sawit. Tetapi masih terbatas pada beberapa produk-produk berbahan minyak sawit seperti minyak goreng atau untuk produk-produk makanan (food), produk oleochemicals serta produk-produk pharmaceutical atau cosmetics. Seperti halnya yg sudah dilakukan sang PTPN 13 Kalimantan. Perusahaan negara ini memiliki areal Kebun Kelapa Sawit seluas 113.348 Ha yg terdiri berdasarkan kebun milik sendiri sebesar 55.440 Ha serta kebun plasma sebanyak 57.908 Ha. Pabrik Pengolah Minyak Sawit yang dipunyai oleh PTPN XIII sebanyak 9 (sembilan) unit dengan total kapasitas olah tersedia sebesar 396 Ton TBS/jam. Total Karyawan yg bekerja 13.702 orang, menggunakan produktivitas karyawan 41,52% (keuntungan sebelum Pph per orang). PTPN XIII pula membuat produk minyak sawit/CPO homogen - rata 1000 - 1100 Ton/hari menggunakan norma kualitas menjadi berikut:

Tabel Norma Kualitas Produk Minyak Sawit

Dari data diatas menunjukan bahwa minyak sawit/CPO selain dipakai buat industri kuliner seperti minyak goreng, margarine,dan lain-lain, pula buat industri oleokimia seperti sabun, gliserin, asam laurat, asam palmitat, asam lemak lain, fatty, dan sebagainya. Minyak sawit/CPO tidak mengandung unsur logam seperti tembaga serta besi. Secara ilmiah, tanpa adanya unsur logam didalamnya, berarti minyak sawit/CPO tidak memiliki senyawa pro-oksidasi. Hal ini mengambarkan bahwa tidak terjadi akselerasi oksidasi dari minyak esensil yang terdapat dalam minyak sawit/CPO.

Dari hasil diskusi dan questioner menggunakan beberapa responden, ternyata masih poly hambatan untukl menaikkan nilai tambah produk sawit, diantaranya merupakan sebagai berikut :
a. Harga CPO jua seringkali mengalami fluktuasi yg seringkali ditimbulkan juga sang naik turunnya harga minyak dunia.
b. Banyaknya sengketa lahan perkebunan.
c. Banyaknya pertarungan lahan, terutama dampak pemekaran wilayah. 

Permasalahan ini antara lain permintaan kepada perusahaan atas penyediaan lahan buat fasilitas Pemerintah Daerah baru maupun adanya Rencana Tata ruang serta Rencana Wilayah (RTRW) sebagai akibatnya mensugesti status huma baik HGL, HGU juga HGP.

d. Bank mempersyaratkan agunan (sertifikat huma) pada petani buat mendapatkan kredit guna peremajaan tanamaman kelapa sawit, tetapi Pemerintah Daerah atau Badan 

Pertanahan Nasional (BPN) sulit mengabulkan status lahan tadi.
e. Wilayah-wilayah baru banyak menerapkan retribusi baru yg tak jarang tumpang tindih menggunakan retribusi dari daerah sebelumnya.
f. Ketidakjelasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masukan dalam perusahaan perkebunan yang terintegrasi dengan perushaan kelapa sawit.
g. Ketidakharmonisan anggaran antara Pemerintah pusat serta peraturan daerah, atau Peraturan Daerah satu menggunakan lainnya sebagai contoh Kementerian kehutanan dengan Pemerintah Daerah.
h. Jalan, jembatan, jaringan kereta barah dan pelabuhan yg masih minim.
i. Masalah pasokan energi listrik jua masih terkendala.
j. Masalah teknologi untuk pengembangan nilai tambah produk sawit yang memerlukan dana akbar.

Beberapa Harapan para Pelaku Industri Kelapa Sawit pada Kalimantan Barat
Beberapa harapan berdasarkan responden terutama pelaku bisnis kelapa sawit pada rangka menaikkan nilai tambah produk kelapa sawit, yaitu diantaranya menjadi berikut:
a. Perlu adanya research and development mengenai produk kelapa sawit.
b. Agar diturunkan tarif Bea Keluar agar para petani dapat menikmati laba kelapa sawit, yang selanjutnya dapat digunakan buat pengembangan produk turunannya.
c. Kalaupun Bea Keluar dikenakan namun dana tersebut semestinya dikembalikan lagi ke petani pada bentuk infrastruktur baik jalan, pelabuhan, termasuk penelitian (research) guna menaikkan nilai tambah.
d. Bea keluar hendaknya jangan dijadikan instrumen penerimaan negara namun hanya sebagai kebijakan temporer, dan penerimaan BK tersebut dapat disalurkan kembali ke wilayah mampu melalui mekanisme perimbangan keuangan atau seperti halnya Pajak Bumi serta Bangunan yang dishare ke daerah propinsi maupun daerah tingkat 2.
e. Birokrasi perijinan perlu diperbaiki termasuk buat menghindari sengketa lahan.
f. Petani masyarakat dapat diberikan subsidi harga benih unggul maupun subsidi pupuk.

Beberapa Alternatif Peningkatan Nilai Tambah produk CPO 
a. Penerimaan Bea Keluar yg telah masuk ke penerimaan negara diharapkan disalurkan kembali, dan dimanfaatkan buat pengembangan research, subsidi ke petani kelapa sawit atau dalam bentuk benih unggul kelapa sawit sebagai akibatnya meringankan beban petani guna peremajaan perkebunan kelapa sawit. Mengingat jumlah perkebunan kelapa sawit milik petani diperkirakan sebesar 42 %. Bea keluar merupakan kebijakan yg temporari, namun waktu ini dijadikan penerimaan negara. Oleh karena itu bea keluar dari sektor kelapa sawit ini relatif akbar sehingga bisa dimanfaatkan atau disalurkan pulang guna pengembangan hilirisasi seperti pengembangan research maupun hadiah subsidi benih maupun permesinan pada petani atau pengusaha. Adapun mekanisme sharing ke daerah, dapat dilakukan seperti halnya pembagian distribusi hasil penerimaan Pajak Bumi serta Bangunan (PBB) yaitu memperkamibangkan pusat-pusat wilayah produsen kelapa sawit.
b. Melakukan perbaikan regulasi berkaitan menggunakan pemanfaatan lahan, perijinan, serta harmonisasi kebijakan dan anggaran.
c. Bagi PTPN atau perusahaan milik negara yg akan membuatkan hilirisasi tentu membutuhkan dana investasi sangat akbar. 

Oleh karena itu bisa dilakukan melalui pengurangan pembagian keuntungan buat pemerintah buat memberi kesempatan melakukan investasi guna pengembangan industrinya. Atau menaruh suntikan dana atau modal buat pengembangan hilirisasi produk turunan CPO.

Hasil Survei Lapangan Produk Karet pada Sumatera Selatan
Untuk melengkapi hasil kajian nilai tambah produk-produk pertania terutama produk karet dilakukan peninjauan lapangan (survei) sekaligus mencari kabar serta data. Survei nilai tambah produk karet dilakukan dalam beberapa Regulator produk karet seperti Dinas Perkebunan Sumatera Selatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Selatan. Sedangkan pelaku usaha yang disurvei merupakan PT Hok Tong menjadi perusahaan yg telah lama beranjak dalam usaha pengolahan karet. Perushaaan iniberdiri di Palembang beberapa puluh tahun yang lalu. Untuk melengkapi survei ini dilakukan juga dalam Asosiasi Pengusaha Karet Indonesia (Apkindo) propinsi Sumatera Selatan. Adapun hasil survei dimaksud adalah menjadi berikut:

Dinas Perkebunan Sumatera Selatan 
Hasil survei yg dilakukan dalam Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan pada dapat beberapa keterangan menjadi berikut. Indonesia memiliki areal karet terluas pada global (3,4 juta ha), diikuti Thailand (2,1 juta ha), dan Malaysia (1,tiga juta ha) dengan produksi Indonesia 2,6 juta ton, Thailand 2,9 juta ton, serta Malaysia lebih kurang 1,1 juta ton. Saat ini areal karet nasional terluas berada di Provinsi Sumatera Selatan menggunakan luas 1,29 juta ha yang terdiri menurut 1,dua juta ha perkebunan warga (92,9%), 42,1 ribu ha perkebunan campuran nasional serta asing, 39,8 ribu ha perkebunan akbar swasta nasional (3,1%), 6,8 ribu ha perkebunan akbar negara (0,5%), dan 2,tiga ribu ha perkebunan partikelir asing (0,2%). Sementara itu pada Sumsel ketika ini masih ada 29 perusahaan yang berkecimpung pada pengolahan produk karet Dari data, ternyata areal karet dan produksi karet alam sangat luas. Tetapi sangat disayangkan produk turunan yang didapatkan di Provinsi Sumatera Selatan hanya pada level crumb rubber serta ribbed smoked sheets (RSS). Saat ini, crumb rubber SIR 20 menjadi produk andalan Sumatera Selatan dengan tujuan ekspor ke China, AS, Jerman, Italia, serta India. Crumb rubber serta RSS tersebut masih dikategorikan sebagai barang setengah jadi (industri primer). Hal ini sangat disayangkan, padahal produk karet alam bisa diolah lebih lanjut sebagai akibatnya nilai tambahnya menjadi lebih tinggi serta bisa 

Tabel Kepemilikan Perkebunan Karet pada Sumatera Selatan (tahun 2010)

Dari data, ternyata areal karet dan produksi karet alam sangat luas. Namun sangat disayangkan produk turunan yang dihasilkan pada Provinsi Sumatera Selatan hanya dalam level crumb rubber dan ribbed smoked sheets (RSS). Saat ini, crumb rubber SIR 20 menjadi produk andalan Sumatera Selatan menggunakan tujuan ekspor ke China, Alaihi Salam, Jerman, Italia, dan India. Crumb rubber dan RSS tersebut masih mengkategorikan sebagai barang setengah jadi (industri utama). Hal ini sangat disayangkan, padahal produk karet alam dapat diolah lebih lanjut sebagai akibatnya nilai tambahnya menjadi lebih tinggi dan sanggup menyerap energi kerja lebih banyak. Saat ini jumlah tenaga kerja Sumsel yang bisa diserap sang perkebunan karet belum opkamial yakni mencapai 647.049 orang dan pada industri pengolahan karet mencapai 35.796 orang. Oleh karenanya, industri pengolahan karet alam lanjutan apabila terus dikembangkan bisa menaruh pengaruh multiplier dalam menyerap energi kerja (mengurangi pengangguran) yg jauh lebih akbar lagi. Dibawah ini merupakan rantai industri karet yg bisa dikembangkan. 

Gambar Rantai Industri Karet

Untuk mendukung hilirisasi produk karet, Dinas Perkebunan Sumatera Selatan mengambil kiprah dalam menaikkan produktivitas dan mutu bahan olah karet yang dihasilkan petani sehingga nilai tambah berdasarkan bokar yang dihasilkan dapat terus ditingkatkan. Sebagai pembuat karet alam yg cukup besar , saat ini Sumsel berpotensi akbar buat berbagi industri berbasis karet melalui pengembangan industri pengolahan sarung tangan, ban, vulkanisir, serta belt conveyor. 

Berdasarkan kabar yg disampaikan sang Dinas Perkebunan, jika hilirisasi ingin dikembangkan pada Sumsel maka infrastruktur misalnya jalan serta pelabuhan wajib diperbaiki, selain itu perlu pula harmonisasi regulasi yg mendukung hilirisasi. 

Menurut mereka berdasarkan sisi fiskal, apabila terdapat penerapan bea keluar bisa menekan harga pada tingkat petani, sebagai akibatnya perlu kajian insentif yang komprehensif guna meminimalisir impak negatif terutama bagi para petani karet. 

Akhirnya setiap pembangunan akan terdapat hambatan dan asa berdasarkan para pemangku kepentingan. Misalnya saja kendala yg dihadapi para petani adalah produktivitas yg masih rendah dan industri pengolahan produk karet yang saat ini dipercaya masih kurang. Selain hambatan, masih ada asa yg ingin dicapai sang Dinas Perkebunan diantaranya lahirnya regulasi yang memudahkan investor buat lebih mengutamakan investasi pada produk hilir dan dalam hal pemasaran produk hilirnya, sebagai akibatnya produk karet memiliki nilai tambah yg lebih baik.

Dinas Perindustrian serta Perdagangan Sumatera Selatan 
Sektor industri yg memiliki potensi buat menopang perekonomian daerah Sumatera Selatan adalah industri yang berbasis pertanian serta perkebunan. Hal ini lantaran daerah Sumatera Selatan secara generik merupakan wilayah penghasil produkproduk pertanian dan perkebunan. 

Industri yg memiliki potensi pengembangan serta bernilai strategis dimasa tiba adalah industri pengolahan yg berbasis karet, kelapa sawit, kopi dan industri agro lain, sang karenanya secara sedikit demi sedikit serta terjadwal pengembangan perekonomian Sumatera Selatan akan diarahkan pada komoditas-komoditas tadi. Sebagai langkah awal dilakukan penyusunan perencanana program pengembangan klaster industri karet dan dilanjutkan menggunakan komoditas unggulan lain seperti kelapa sawit serta kopi. 

Target pengembangan industri berbasis karet pada Sumatera Selatan akan ditetapkan pada jangka menengah dan jangka panjang. Untuk sasaran pengembangan jangka menengah (2015) merupakan menjadi berikut : 
a. Meningkatkan produksi karet menggunakan revitalisasi perkebunan rakyat
b. Menguatkan struktur industri dan sistem tataniaga.
c. Meningkatkan investasi
d. Meningkatkan kulitas Sumber Daya Manusia buat industri
e. Mewujudkan tempat industri berbasis karet yang terpadu dengan pendekatan klaster.

Target pengembangan industri berbasis karet di Sumatera Selatan dalam jangka panjang (2030) merupakan berkembangnya industri kompon/masterbath, serta industri barang jadi karet berbahan standar karet padat atau berbahan standar lateks dan terbentuknya sistem perekonomian baru yang ditopang oleh pengembangan industri berbasis karet melalui pengembangan klaster industri.

Pengembangan industri berbasis karet pada Sumatera Selatan dimaksudkan untuk menerima nilai tambah dengan melibatkan seluruh stake-holders. Pengembangan industri berbasis karet di Sumatera Selatan dilakukan dengan strategi pengembangan yang terpadu, menyatu, efektif dan efisien, yang dilakukan dengan pendekatan klaster dengan pendekatan rekayasa kelembagaan, peningkatan mutu karet serta pengembangan industri pengolahan. Model klaster yang akan dikembangkan seperti pada Gambar. 

Strategi pengembangan melalui rekayasa kelembagaan berupa :
a. Inventarisasi serta pembentukan kelompok Industri Kompon Masterbatch (IKM) berbasis karet.
b. Pemberdayaan IKM dalam rangka penyerapan tenaga kerja.
c. Pengembangan jaringan pemasaran.
d. Pengembangan sistem informasi industri karet.
e. Pembentukan lembaga komunikasi serta koordinasi.
f. Peningkatan kemampuan teknologi pengolahan karet.

Strategi pengembangan melalui peningkatan mutu karet berupa :
a. Bimbingan teknis kepada petani karet menjadi upaya peningkatan kualitas dan produksi.
b. Penerapan Standar Nasionall Indonesia.
c. Workshop penerapan baku mutu produk industri karet.

Strategi pengembangan melalui pengembangan industri pengolahan karet berupa :
a. Penyusunan kajian pengembangan industri pengolahan karet.
b. Pendirian pilot project industri pengolahan karet kompon.
c. Promosi investasi melalui temu usaha, kemitraan serta publikasi.

Gambar Model pengembangan industri berbasis karet di Sumatera Selatan.

Untuk mewujudkan target pengembangan industri karet pada Sumatera Selatan, maka disusunlah banyak sekali taktik yaitu:
a. Menyusun peraturan daerah terkait kepentingan sektor industri, antara lain usulan rekomendasi peraturan pemberian bonus impor bahan baku, peraturan tentang penggunaan bahan kimia, perpajakan, penanaman kapital, bonus (fiskal serta/atau non fiskal) rangka menaikkan daya saing, serta melakukan evaluasi serta efektivitas anugerah insentif

b. Melakukan evaluasi mengenai program harmonisasi tarif dan penetapan tingkat tarif bea masuk bahan pembantu buat proses pengolahan industri barang jadi karet.

c. Menyusun kebijakan daerah sektor industri pada rangka aplikasi aneka macam free trade arrangement, terutama ditinjau dari sisi kebijakan tarif dan non tarif, perpajakan (PPN serta PPnBM), fasilitasi perdagangan (penerapan Asean Single Window).

d. Melakukan kajian–kajian strategis dalam rangka menciptakan iklim usaha yg kondusif, seperti kajian pengaruh penetapan TDL/BBM/Gas, kajian impak penurunan/peningkatan tarif bea masuk serta lain-lain.

e. Melakukan diseminasi banyak sekali kebijakan serta teknologi yang terkait menggunakan sektor industri karet dan stakeholder lain.

f. Melakukan kaji ulang peraturan daerah yg menimbulkan ekonomi porto tinggi.
g. Mendorong dan mengkoordinasikan pembangunan tempat industri terpadu.
h. Melakukan banyak sekali kajian impak perubahan variabel–variabel ekonomi terhadap industri.

Selain banyak sekali hal tersebut diatas, untuk mewujudkan pengembangan industri berbasis karet pada Sumatera Selatan diharapkan pula banyak sekali unsur pendukung misalnya kemampuan SDM, infrastruktur serta pasar. Unsur pendukung lain misalnya tersedianya tenaga yg cukup, tersedianya pelabuhan ekspor, adanya perguruan tinggi serta lembaga litbang (Baristand Industri, Puslitbun Sembawa). SDM yg terdidik serta terlatih yg handal yang terdiri menurut energi teknis serta peneliti. Infrastruktur seperti tersedianya jaringan listrik interkoneksi, tersedianya akses jalan penghubung kebun serta industri dan tersedianya jalur kereta api stasiun petikemas. Tabel di bawah ini bisa menunjukkan kerangka pengembangan industri berbasis karet pada Sumsel.

Tabel Kerangka pengembangan industri berbasis karet di Sumatera Selatan

Comments