CHAIRIL ANWAR PUN MATI MISKIN DAN TEPAKSA MENCURI

Chairil Anwar Pun Mati Miskin dan Tepaksa Mencuri

Siapa yang ingin sebagai penyair? Apakah yakin ingin menjadi penyair tulen yang sanggup membuat uang menurut jualan istilah-istilah?

Judul tulisan ini merujuk dalam kisah kematian Chairil Anwar yang mati dengan penyakit komplikasi di tempat tinggal sakit. Menurut HB Jassin, kritikus sastra Indonesia yang memuji Chairil menjadi Pelopor Angkatan 45 menulis dalam bukunya yang berjudul ‘Chairil Anwar Pelopor Angkatan ‘45’ menyebutkan bahwa Chairil terpaksa mencuri karya orang lain serta diakui menjadi karyanya.

Mural Chairil Anwar pada Sebuah Tembok: "Mampus Kau Dikoyak koyak sepi"
sumber gambar: //encrypted-tbn0.gstatic.com/
Meskipun ini buan penuturan dari Chairil Anwar sendiri, namun alasan ini relatif kuat menggunakan alasan yang masuk akal. Yaitu, beliau terpaksa mencuri karya orang lain agar tulisan puisinya dimuat pada majalah, mendapat honor penulisan, kemudian gaji tersebut dipakai untuk biaya berobat.

Ironis bukan.

Chairil Anwar, setiap pengajar bahasa Indonesia niscaya mengenalnya. Setiap murid yg belajar puisi niscaya mengenalnya. Setiap peringatan hari bahasa selalu dikaitkan menggunakan namanya. Setiap terdapat lomba baca puisi baik banyak sekali kegiatan serta berbagai tingkatan selalu berkaitan dengan karya-karyanya. Fotonya yg terbatas, dijadikan objek sampul, grafiti, poster aktivitas. Tapi beliau miskin, dia bayar porto berobat sampai mencuri.

Masih konfiden mau sebagai penyair tulen? Tidak takut miskin?

Memang sebagai penyair tidak sanggup diandalkan buat hayati. Lebih-lebih sekarang. Produksi kata-istilah semakin nir terbatas. Sepuluh atau 2 puluh tahun yg kemudian mungkin orang menulis di koran selalu mendapatkan honor . Tapi kini , dimuat saja sudah untung. Karena semakin poly orang yg sanggup menulis, semakin banyak media yang menjadi tempat menempatkan goresan pena. Ditambah lagi, semakin sedikit pendapatan yang diraih sang media konvensioanal. Iklan merosot, oplah merosotnya lebih parah lagi. Bahkan tidak sedikit koran dan majalah yang telah tidak dicetak pada kertas, hanya terbit versi digitalnya saja. Tentu karena kesulitan finansial.

Jika dulu Chairil mencuri karya orang lain supaya mendapat gaji berdasarkan malajah tempatnya mengirim puisi, kini mungkin wajib mencuri menggunakan makna leksikal untuk menerima uang. Mencuri dalam arti nyata.

Tetapi, besarnya nama Chairil serta para sastrawan dan penyair lain nir mampu semata-mata hanya dilihat dari segi materi serta nominal uang. Memang Chairil nir kaya, namun karyanya adalah kekayaan tak terhingga bagi bangsa Indonesia. Memang Chairil meninggal belia karena penyakit yang nir dapat diobati maksimal karena nir mempunyai porto, tetapi karyanya masih hayati sampai kini , mungkin akan tetap hayati hingga seribu tahun lagi, seperti baris puisinya dalam ‘Aku’.
Baca Juga:
Analisis Puisi 'Taman' Karya Chairil Anwar
Analisis Puisi 'Senja di Pelabuhan Kecil' Karya Chairil Anwar

Jika ada guru yg menanyakan kepada muridnya, “Ingin menjadi seperti Chairil?” serta murid menjawab serempak: “ingggiiiiiiin...”. Ketika ditanya “Mau jadi seperti Chairil Anwar?” anak didik menjawab kompak: “Mauuuuu”.

Tentu yang diinginkan para siswa tadi adalah kepeloporannya, dan kekayaan karya sastra bagi Indonesia.

Betapa nir, puisi-puisi karyanya sudah menginspirasi, sudah turut mengobarkan semangat pejuangan. Telah turut ‘menjaga bung Karno, menjaga bung Hatta, menjaga bung Syahrir’ yang sudah mengantarkan Indonesia benar-benar lepas berdasarkan penjajahan di usia Republik yg masih sangat muda.

Lalu bagaimana bertahan hayati menggunakan permanen jualan istilah-kata?

Ada poly cara. Buka jasa. Desain kata-kata. Ada yg diaplikasikan di kaos. Ide kreatif. Kata-kata menarik. Laku dibeli orang dapat uang. Dapat berkarya bisa hidup.

Ada jua jasa penulisan grafiti bak truk, yang aneh, yang lucu, yang kerena, yang berisi, meskipun ada yg sukanya cari sensasi dan seksi. Mereka jual kata-istilah. Menarik laku , dapat uang. Dengan modal istilah-istilah.

Tidak sedikit pula yang mengakibatkan kemampuan mendesain kata-istilah berkerjasama dan nir sebatas dengan para event organizer atau jasa pengiklanan. Bikin poster bikin istilah-istilah yang menarik.

Tapi tidak hanya untuk materi, puisi misalnya halnya karya sastra yang lain adalah media buat menyucikan jiwa (katharsis) bagi para pembaca serta penulisnya. Seperti halnya juga sepeti Taufik Ismail pada ‘Dengan Puisi Aku’. Puisi bisa dipakai buat ungkapkan rasa cinta, ungkapkan rindu, ungkapkan protes, ungkapkan kesedihan, jung buat berdoa pada Tuhan.  Perkenankanlah kiranya.

Masih ingin menjadi penyair?
Masih ingin sebagai Chairil Anwar?

Semoga jawabannya lengkap dan tegas. MASIH.


Karena kita adalah penjaga Zaman, seperti Chairil yg turutu menjaga Republik Muda. Masih ingin hidup seribu tahun lagi.

Comments