ADAPTASI GENETIK SUKU BAJO BISA MENYELAM 13 MENIT TANPA ALAT

Berapa lama kemampuan Anda menunda napas pada pada air? Rata-homogen orang hanya bisa bertahan pada dalam air antara 1 sampai 2 menit. Lantaran dalam dasarnya morfologi tubuh kita nir dibuat buat hidup atau bertahan usang di dalam air. Tetapi menggunakan latihan khusus dan kontinyu, ternyata tubuh kita juga bisa mengikuti keadaan dan mengalami perubahan genetik, seperti yg terjadi pada Suku Bajo pada Sulawesi Tenggara.
Para peneliti menemukan bukti pertama bahwa orang sejatinya bisa beradaptasi secara genetik buat berada di pada air (menyelam) lebih usang, seperti yg ditunjukkan sang Suku Bajo yg mempunyai limpa berukuran nir biasa sebagai dampak menurut proses adaptasi genetik selama bertahun-tahun lantaran norma mereka yg acapkali menyelam di dalam bahari.
Suku Bajo yang biasa menggunakan tombak runcing untuk menangkap buruannya di laut tersebut secara teratur menyelam bebas tanpa menggunakan alat-alat selam  dalam biasanya hingga kedalaman 230 kaki (70 meter). Mereka hanya memakai beban pemberat tubuh dan topeng kayu buat menyelami dalamnya samudera .
Mereka menghabiskan 60 % aktivitas sehari-harinya menggunakan menyelam buat menangkap ikan, gurita, kepiting dan mengumpulkan krustasea lainnya.  Jumlah ketika tersebut apabila disamakan misalnya berang-berang laut, yang jua menghabiskan sebagian waktunya pada pada air. Suku Bajo apabila berada di pada air bisa bertahan sampai 13 menit sekali nyelam.
Takjub menggunakan kemampuan yang nir biasa ini, peneliti Amerika, Melissa Ilardo, yang merupakan kandidat pasca doktor di Pusat GeoGenetika pada Universitas Kopenhagen, bertanya-tanya apakah mereka secara genetis sudah menyesuaikan diri sebagai akibatnya dapat bertahan lebih usang pada bawah air dibanding orang lain pada umumnya.
Dia lalu menghabiskan waktu beberapa bulan untuk melakukan penelitian di Jaya Bakti, Sulawesi Tenggara, menggunakan bantuan seorang penerjemah, mengenal Bajo dan gerombolan Suku lain di dekatnya yg bukan penyelam, yaitu Suku Saluan.
"Saya menghabiskan seluruh kunjungan pertama saya ke Jaya Bakti memperkenalkan diri, proyek (yang akan dilakukan), serta ilmu pengetahuan yang mendasarinya," pungkasnya kepada AFP.
"Saya ingin memastikan bahwa mereka mengerti apa yg saya pintai sehingga mereka bisa membantu mengarahkan proyek buat mendeskripsikan minat mereka. Mereka sangat ingin memahami dan bersemangat mengenai penelitian ini."
Sebelum kunjungan keduanya, ia belajar bahasa Indonesia terlebih dahulu agar dapat berkomunikasi pribadi menggunakan orang Bajo.
Pengamatan serta Tes Genetika
Melissa merogoh sampel genetik serta melakukan pemindaian ultrasound, yg hasilnya memberitahuakn bahwa Suku Bajo mempunyai limpa kurang lebih 50 % lebih akbar daripada Suku Saluan.
Limpa penting pada kegiatan menyelam, karena bisa melepaskan lebih banyak oksigen ke dalam darah saat tubuh sedang mengalami tekanan atau saat menunda nafas pada pada air.
Ukuran limpa yg lebih akbar pada orang Bajo memunculkan pertanyaan baru, lalu dilakukan analisis lebih lanjut dengan melakukan tes DNA buat menyampaikan apa yang menyebabkan perubahan berukuran tersebut.
Membandingkan genetik orang Bajo dengan dua populasi tidak selaras, yaitu Saluan serta Han Cina, para ilmuwan menemukan 25 jenis gen yg tidak sinkron secara signifikan.
Di antaranya merupakan sebuah gen yg dikenal sebagai PDE10A, yang kemungkinan bertenaga penyebab perubahan berukuran limpa suku Bajo yang lebih besar .
Pada tikus, "PDE10A adalah gen yg mengatur hormon tiroid serta mengontrol berukuran limpa, menguatkan bukti  bahwa orang Bajo mungkin telah menyebarkan ukuran limpa yang dibutuhkan agar sanggup melakukan penyelaman usang dan acapkali yang mereka lakukan," kata studi tersebut.
Penelitian lebih lanjut diharapkan buat memahami bagaimana hormon tiroid mempengaruhi berukuran limpa manusia.
Temuan ini diperlukan bisa menaikkan penelitian pada bidang kedokteran dengan membantu para peneliti tahu bagaimana tubuh bereaksi terhadap kehilangan oksigen dalam banyak sekali konteks, mulai dari menyelam sampai pendakian di dataran tinggi hingga pembedahan serta penyakit paru-paru.
"Ini benar-sahih memberi memahami kita betapa penting serta berharganya penduduk pribumi pada seluruh dunia yang hidup dengan gaya hayati ekstrem," istilah rekan penulis Eske Willerslev, seorang profesor pada Universitas Kopenhagen.
Willerslev mengakui dia awalnya mendesak Ilardo buat tidak melanjutkan penelitian tersebut buat tesis PhD-nya, lantaran percaya itu terlalu berisiko dan adanya kekhawatiran bila nantinya beliau nir menemukan apa-apa.
"Dia bilang dia permanen ingin melakukannya dan akhirnya memang terbayar. Melissa benar serta kekhawatiran kita itu ternyata keliru."
"Orang Bajo serta para Pengembara Laut lainnya sangat luar biasa serta saya ingin sanggup membuktikan hal itu kepada global," kata Ilardo, yang sekarang seseorang sarjana postdoctoral Institut Kesehatan Nasional Alaihi Salam di departemen Kedokteran Molekuler pada Universitas Utah.
Sumber: AFP

Comments