PELARANGAN TRANSHIPMENT DI LAUT

Pelarangan Transhipment - Permen KP NO 15 tahun 2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup. Dalam peraturan menteri tersebut di sebutkan bahwa kapal pengangkut ikan hayati adalah kapal yang mempunyai palkah yang pada rancang menggunakan memiliki peredaran air dan aliran udara / aerator.
Dengan pengertian tersebut maka perbedaan antara kapal pengangkut ikan tewas serta hayati berada pada rancang bangun bentuk palkahnya. Walaupun tujuan berdasarkan adanya permen 15 tahun 2016 merupakan untuk meningkatkan pembudidayaan ikan baik buat nasional maupun buat kepentingan ekspor.



Kalau melihat antara pelarangan transhipment ikan meninggal dan pada perbolehkannya transhipmen ikan hayati maka terdapat celah buat berakibat sesuatu yg di larang diakali lagi agar pada legalkan. Kapal kapal penampung ikan mangkat bisa saja pada sebut sebagai kapal penampung ikan hayati dari konstruksi rancang bangun berdasarkan bentuk palkah pada rubah dengan menambahkan peredaran air serta aeraror.

Penambahan konstruksi tersebut pada gunakan sebagai persyaratan supaya sanggup di katakan sebagai pengangkut ikan hayati walaupun pada dasarnya digunakan menjadi pengangkut ikan meninggal.


Kalau timbul pertanyaan kan fungsi menurut penambahan sirkulasi air serta udara nir pada butuhkan pada kapal pengangkut ikan meninggal maka jawabannya bisa dengan bahwa ikan tewas ini menggunakan sistem pendingin aerator serta aliran air semisal pendinginan system RSW. Dan itu salah satu celah pada Permen 02 KKP tahun 2016.

Lalu semisalnya kapal tadi memang konkret pada pakai buat aktifitas pengangkutan ikan hayati serta disaat bepergian pengiriman syarat ikan tewas dan presentasi kematian ikan tersebut lebih akbar apakah masih sanggup pada sebut menjadi kapal pengakut ikan hidup. Kalau semisal dalam syarat ikan yg sudah tewas tadi lalu tertangkap sang kapal pengawas. Apakah tuduhan bahwa pelaku pengangkutan ikan tersebut mampu di kenakan dengan pasal transhipment ikan mangkat ?

Dan yg lebih sangat sedih lagi di berlakukannya ijin pengakutan ikan hidup sang kapal asing. Kapal asing apakah telah dipastikan bahwa nir akan membawa atau mengangkut ikan meninggal keluar dari indonesia. Sedangkan kita tahu bahwa ikan hasil tangkapan lebih murah dari dalam ikan yang dibudidaya pada keadaan hayati, Bagi pengusaha walaupun ikan hayati lebih mahal namun menurut selisih keuntungan kentara lebih menguntungkan ikan tewas yg di hasilkan dari aktifitas penangkapan.

Lalu ikan asing itu apakah pengusaha pengakut ikan asing nir menanamkan kapital pada nelayan penangkapan ikan. Sedangkan kita juga tahu bahwa penangkapan ikan terlarang buat asing. Jangan abaikan Permen 15 tahun 2015 di gunakan menjadi alasan supaya para pengusaha asing pulang mengeruk asal daya ikan kita.


Celah dari permen 15 tahun 2016 mampu kita saksikan balik pada kasus wewenang pemberi ijin. Ijin dalam aktivitas kapal pengangkut ikan hidup di sebut menjadi SIKPI ( Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan ) dan yang sebagai rancuhnya balik merupakan tumpang tindihnya peraturan di perijinannya .
.

karena dalam hal kapal pengangkut ikan ini disertakan Direktur perikanan Budidaya sebagai pemberi ijin buat kapal pengangkut ikan hidup serta Direktur perikanan tangkap sebagai pemberi ijin kapal pengangkut ikan hidup output berdasarkan penangkapan ikan.


Yang menjadi pertanyaan jika ijinnya pada berikan oleh direktur perikanan tangkap serta dalam parakteknya ikan tersebut pada campur dengan hasil ikan budidaya, apakah kita mampu buat mengawasi serta memperhatikanya. Malaupun terdapat disparitas antara ikan hidup hasil tangkapan dan output budidaya tetapi perbedaan itu sangat kecil.

Belum Lagi masalah SIUP sebelum kita mendapatkan SIKPI. Sedangkan wewenang SIUP masih berada di perikanan tangkap. Lalu Kita mau mengajukan ijin buat menampung ikan hayati output budidaya maka kita hasil 2 kali mengadap dirjen perikanan tangkap serta dirjen perikanan budidaya.

Untuk menerima SIUP kita jua wajib melihat ke Grooss Akte. Sedangkan Pada Prakteknya buat masalah Gross Akte mampu kita temukan banyak praktek praktek penurunan jumlah volume kapal atau gross ton Atau yg dikenal menggunakan kata MARK DOWN. Dan lebih pelik lagi masalah Gross Akte masih di tangan instansi kementrian perhubungan atau Diperla.

Comments