BILA ALAM BERUNJUK RASA OLEH BAMBANG QANEES

Unjuk rasa menjadi karakteristik utama menurut zaman ini. Tak cuma para mahasiswa serta buruh yg semakin gemar menyuarakan aspirasinya. Alampun melakukan unjuk rasa. Seperti mahasiswa serta buruh, alam pun menampilkan “pertunjukan” yg gagah, bergerombol, tidak kenal obrolan, serta berteriak kumau tidak seseorang kan merayu. Lalu kita saksikan lumpur berunjuk rasa di Sidoarjo, air bah Tsunami menggelar aksi di Aceh serta Nias, serta kini air banjir menurut zaman Nabi Nuh tiba lagi di poly tempat jua di ibukota negara.
lihat juga: meniru buddha
Bila alam yg ikut berunjuk rasa, tentulah beliau memiliki aspirasi. Ia pernah ditindas, dilibas aspirasinya, lalu pada kesempatan yang sempurna ia bersuara –memperlihatkan kekuatannya. Apakah alam merupakan makhluk yang sadar? Ya, paling tidak demikian keyakinan suku Baduy. Dunia atau alam bukan sekadar tempat yg meninggal. Dunia adalah pula makhluk yg hidup, dapat berdialog, dan memiliki sejumlah hak  dan kewajiban. Banyak hadits Nabi yg bilang bahwa setiap debu  mencatat seluruh perbuatan insan, lalu melaporkannya dalam Tuhan.
“Aku tak mau dijadikan pelacur,“ begitu kira-kira tuntutan unjuk-rasa dari alam. Istilah pelacur pernah dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr pada Man and Nature, “manusia terkini memperlakukan alam misalnya pelacur, diperas kenikmatannya tanpa pernah dipedulikan nasibnya –apalagi dipelihara“.  Kitalah orang yg dimaksud Nasr. Kitalah yg terus memompa air tanah tanpa mau menciptakan sumur resapan, menebang pepohonan tanpa memberi kompensasi dalam tanah, kita juga yang menghargai alam hanya sebagai loka sampah.  Selama ini alam begitu sabar, tetapi kesabaran terdapat pula batasnya. Karena selama ini alam monoton dipaksa berbakti dalam manusia –memberi air terjernih dan buah-buahan terlezat– tanpa pernah diberikan haknya, maka masuk akal saja apabila alam merasa  perlu buat berunjuk rasa. Kepada siapa? Lagi-lagi sejumlah mahasiswa serta aktivis memilih hidung kepada para penguasa, seraya menuntut mereka mundur. Padahal air tak pernah peduli dalam penguasa. Sedari dulu, penguasa memang sangat jumawa dan penuh janji kosong. Alam semesta menangis murung waktu ditawari menjadi penguasa global, “Dosaku apa, ya tuhan, sebagai akibatnya kau memintaku menjadi penguasa?“ Alam, saat ini, sedang berunjuk rasa pada kita semua. Kitalah yg memilih para penguasa itu, yang dengan mudah menukarkan hak pilih hati nurani menggunakan uang recehan. Kitalah yg telah menempatkan wakil warga “pejuang PP 37“ itu pada kursi parlemen. Kita jua yang terus-menerus membuang sampah asal-asalan, membiarkan hutan digunduli, menonton gunung diratakan, serta ikut membolongi ozon. Kitalah yang diminta alam buat segera sadar, diminta pulang menjadi bagian menurut alam semesta.sebagai makhluk, alam memiliki rasa kesal juga. Masaru Emoto bilang bahwa air (keliru satu unsur alam) memiliki rasa yang sensitif. Air mengganti-ubah bentuk molekularnya sinkron dengan apa yg diterimanya. Jika suasana kehidupan ramah, air akan berbentuk latif; apabila menyebalkan, air akan berbentuk monster. Kini monster itu mengamuk di ibu kota, menggedor semua pintu lalu menghanyutkannya –menyulap semua impian manusia jadi musnah pada seketika.
Alhamdulillahiladzi ja`alna ma’a thahura (terima kasih Tuhan sudah membuahkan air sebagai pembersih). Segala yg kotor dan hina akan dibersihkan oleh air. Juga sikap kita yang tak pantas telah dibersihkan oleh banjir.

Comments